“Yu. bisa enggak sih enggak bikin malu? Kenapa kamu antar makanan segala ke kantorku?” ucapku sembari menyeretnya keluar halaman gedung.
“Maaf Bang pesanannya lumayan banyak, aku butuh buat beli diaper Randi. ”Ayu tertunduk seraya mengusap pergelangan tangan, ada jejak merah di sana. Bekas cengkeramanku yang mungkin terlalu kuat.“Emang 50 ribu yang aku kasih tiap hari, kamu pakai apa hah?”Aku sedikit membentak. Mau ditaruh di mana wajahku. Teman sekantor harus mengetahui istri seorang Manager berjualan makanan. Ditambah lagi bisa dipesan online. Kenapa juga dia harus mengantarnya sendiri, zaman sekarang kan banyak ojek.‘Memalukan!’“Uangnya sudah enggak cukup lagi, Abang juga enggak mau kasih tambahan lagi.”Ayu mundur selangkah menjauh dariku.“Ya sudah enggak usah pakai diaper segala?”“Kemarin Abang bilang enggak suka kalau tiba-tiba Randi Buang air sembarangan, jadi Adek pakaikan diaper.”“Ah sudah sana pulang ke rumah, kamu saja yang enggak bersyukur.”Terlanjur kesal, akhirnya Ayu mengalah, lalu memilih pergi. Dengan setengah berlari wanita itu mengambil motornya di parkiran kantor. Sedang, aku masih terpaku di depan gerbang kantor. Bukannya segera berlalu Ayu justru memarkirkan motornya tepat di hadapanku.“Adek pamit, Bang,” ucapnya mengulurkan tangan mengajakku bersalaman.“Sudahlah sana.”Cepat-cepat kutepis. Emosi yang kian menggebu membuatku muak. Pelan-pelan wanita itu mengelus tangan kanannya. Kala itu dia hanya diam, hingga akhirnya memilih pergi dengan scooter matic pink yang kubelikan saat ulang tahun pernikahan yang pertama.Di kantor teman-teman sudah siap dengan berbagai macam pertanyaan. Bagaimana bisa istri seorang Manager berjualan makanan bahkan sampai mau mengantarnya sendiri.‘Sungguh memuakkan! Lihat sana nanti! Tunggu aku pulang, biar kuberi pelajaran kali ini!’~~Sesampainya di rumah, sengaja kubanting pintu, membukanya lalu menutupnya kembali dengan kasar, hingga menimbulkan bunyi gebrakan cukup keras. Randi Si bungsu, yang sepertinya tengah tertidur akhirnya menangis, mungkin terkejut karena ulahku. Tak lama setelah itu, sosok Ayu muncul dengan Randi dalam gendongannya. Dia menuruni tangga rumah, dengan sedikit tergesa-gesa, lengkap dengan wajah bingung tanpa dosa. Jelas-jelas dia sudah membuatku malu, masih tak tahu juga salahnya apa.“Yu sejak kapan kamu jualan makanan sampai mengantarnya sendiri, bukannya biasanya dipaketkan?”“Semenjak Randi lahir Bang, sekarang jualan camilan di Shopee lagi sepi, makanya Adek coba bikin makanan lain, maaf enggak izin dulu, Adek takut Abang enggak mengizinkan,” ucap Ayu lembut.“Apa uangku enggak cukup?”“Bang anak kita sudah tiga, saat Randi lahir cuma dua bulan Adek menyusuinya, setelah itu ASI Adek enggak keluar lagi, Adek kan sudah pernah bilang, harus beli susu formula. Benar Bang, uangnya enggak cukup lagi.”Kali ini tampak netranya mulai mengembun.“Memang berapa harga susunya?”“Delapan puluh lima ribu, itu pun cuma cukup untuk lima hari, Bang,” jawabnya. Sembari, memalingkan seperti mati-matian menahan tangisnya agar tak sampai pecah di depanku.“Kamu itu bisanya cuma nangis. Pantas saja rumah ini bau masakan tiap hari.”“Nih, besok enggak usah jualan lagi, bikin malu!”Kuserahkan uang 100 ribuan, saat uang itu telah berpindah ke tangannya raut wajahnya seketika berubah, ada semburat bahagia yang tampak di sana.“Sekalian buat jatah besok, sisanya kamu masih ada untung jualan tadi pagi ‘kan?”“Terima kasih.”Secepat kilat binar bahagia itu menghilang berganti dengan raut wajah yang ditekuk, lalu kembali meneruskan langkahnya menuju dapur. Sepertinya hendak mengambilkan segelas air putih hangat, untukku.Bisa kulihat dari sini, gerakkannya yang lambat. Sudah diberi uang masih saja begitu, tak pandai bersyukur.“Apa kopi saja sampai tak terbeli, Yu?”“Maaf Bang, mmm kalau Adek enggak jualan lagi. Abang tambahi ya uang belanjanya!”“Kamu ini uang terus, aku capek pulang kerja. Kopi saja enggak ada.” Kembali kubanting tas kerja itu ke atas meja, hingga menimbulkan bunyi cukup keras.“Dasar kamu saja yang boros!” bentakku sembari berlalu.Ayu selalu diam saat aku marah, kemudian dia akan menangis di ruang salat setelah anak-anak tidur. Tak pernah sekali pun memarahiku balik, mengakuinya atau tidak dia memang perempuan soleha yang lembut.Keesokan harinya, tepat hari minggu aku memilih untuk lari pagi berkeliling kompleks perumahan.“Pak Andi!” teriak seorang perempuan.“Eh Tiara, kamu lari juga?” tanyaku.Tiara adalah staf di kantor dia masih gadis usianya masih 20 tahun.“Bareng yuk, Pak!”“Oke, Ayo!” ajakku kemudian.Kenapa rasanya hatiku berdebar-debar tak karuan saat di samping Tiara?Mungkinkah menyukainya?Dia memang cantik modis dan wangi, berbeda dengan Ayu yang setiap hari nyaman dengan daster kumalnya dan aroma masakkan yang tak enak di cium.Terlalu sibuk memikirkan Ayu, bisa-bisanya aku sampai tak menyadari ada polisi tidur di depan, hingga aku tersungkur mencium aspal.“Kenapa, Pak?”Tiara terlihat sedikit khawatir.“Enggak apa-apa kok, Ra.”Aku langsung berdiri, menggaruk kepala yang sejujurnya yang tidak gatal, sekadar menghilangkan malu. Baru jalan sekali, sudah terjatuh dengan konyol.Setelah berlari cukup lama, lelah juga ternyata akhirnya kami pergi mencari sarapan di sebuah kedai makan. Aku tahu ini salah, tetapi salahmu sendiri tak pandai merawat diri. Setelah selesai sarapan aku pulang ke rumah, terlihat Ayu tengah menyuapi anak-anak yang berlarian ke sana kemari.“ Sarapan dulu, Bang!”“Aku sudah sarapan di luar.”Aku pun berlalu meninggalkannya begitu saja.~~“Mau ke mana?” tanya Ayu, saat aku sudah bersiap lagi untuk pergi keluar.“Kamu cerewet banget sih Yu, malas aku lihat kamu. Apa enggak bisa kamu pakai baju bagusan dikit biar enak dilihat?”“Maaf, Bang,” ucapnya sambil tertunduk.Aku benci sekali saat dia tertunduk dan meminta maaf. Kutinggalkan dia sendir. Tak lagi memedulikannya yang kini tengah sibuk dengan anak-anak, apalagi kudengar Randi menangis. Hari ini aku ada janji dengan Tiara.Bukankah tak apa kalau sesekali keluar untuk sekedar menghilangkan kepenatan?Seiring waktu berlalu, intensitas kedekatan kami semakin bertambah. Saat pulang ke rumah rasa bersalah kadang datang saat kudapati hingga larut malam Ayu masih berkutat dengan pekerjaan rumah.Ayu memang cantik, rambutnya hitam panjang dan lurus hanya saja dia tak pandai menjaga penampilan. Rambutnya yang indah hanya diikat dan digulung ke atas. Kulitnya pun terlihat kusam.Laki-laki mana yang betah dengan istri berpenampilan kumal seperti itu? Hasratku sebagai laki-laki luruh saat aroma tubuhnya yang bau dapur itu menyeruak. Sungguh mengganggu.Itu salahnya bukan? Aku hanya laki-laki normal.Sejak Ayu berhenti berjualan. Ketika pulang kerja kerap kali rumah dalam keadaan gelap gulita. Apa lagi kalau bukan karena kehabisan token listrik. Hal itu membuatku kesal dan akhirnya melampiaskan emosi pada Ayu. Entah ke mana larinya uang yang kuberikan padahal sudah kutambahi jatah susu Randi, tetapi bukannya membaik, yang terjadi justru rumah seringnya dibiarkan kehabisan token.‘Bikin malu suami.’Hari ini aku pulang tepat pukul sebelas malam. Ayu menyambut hangat, tak lupa lengkap dengan segelas susu Jahe kesukaanku. Dia memang istri yang pandai menyenangkan perut. Ayu juga tak pernah menolak saat aku mengajaknya memuaskan hasrat. Hanya saja semenjak ada Tiara, rasanya dia tak lagi menggairahkan.Sejak itu juga kadang aku lebih sering tidur di depan televisi karna tak ingin ketahuan saat berbalas pesan dengan Tiara. Ayu begitu naif. Tidak pernah menaruh curiga. Mungkin dia berpikir aku benar-benar terganggu karena Randi kerap menangis pada tengah malam, padahal itu hanya alasan. Bagaimana mungkin bisa terganggu? Bahkan jika dia meletakkan alarm yang bising, di samping telinga pun belum tentu sanggup membangunkan tidurku.“Sayang sebal banget sama Si kumal! Rumah sudah kaya gua setiap pulang sering banget gelap-gelapan padahal dikasih uang tapi token aja enggak kebeli, dasteran mulu, mana bau bawang bikin mual. Sekalinya harum malah bau minyak telon, beda banget sama kamu yang cantik dan wangi. Ih jadi kangen deh.”Kukirim pesan itu ke Tiara.“Hahaha istri kayak gitu kok masih betah sih sayang, si kumal itu memang belum tidur? Kangen nih mau video call, tadi sih Mas enggak ajak aku meeting sama klien seharian, jadi kesepian.”Aku menyebut Ayu si kumal, aku yang mengawalinya tapi kenapa rasanya tak terima saat orang lain merendahkan istriku seperti itu.“Sabar ya sayang, dia masih mondar-mandir, bikin pusing, sudah kayak kereta.”“Hahaha, oh ya Mas kita sudah lama dekat, kapan Mas mau nikahi aku? Meski pun jadi yang kedua aku rela sayang asalkan bisa sama mas terus.”Pesan dari Tiara sontak membuatku tersedak susu jahe. Aku masih terbatuk karenanya. Hingga tiba-tiba terdengar suara benda kaca yang jatuh di belakangku.Aku yang tengah tiduran di sofa refleks membalikkan badan sejurus kemudian tampak di lantai piring berserakan.Ada sepasang kaki tepat berdiri di sana. Itu milik Ayu. Sejak kapan dia berdiri? seketika jantungku berpacu sangat cepat, seperti pencuri yang tertangkap Tuan Rumah.“Sejak kapan?” tanya Ayu.Jangan lupa tambahkan ke pustaka ya, biar enggak ketinggalan update bab selanjutnya.
Tatapan Ayu yang lurus, seakan tidak mau melihat wajahku yang kini berdiri di sampingnya, dibiarkannya nasi dan lauk bersama serpihan piring berserakan di lantai.“Maaf dek Abang bisa jelasin. A-abang cuma iseng, Dek,” ucapku gelagapan.“Kalian sudah pernah berhubungan bad ….”“Demi Allah belum Dek, Abang masih punya iman,” ucapku sembari memegang tangan kanan Ayu dengan kedua tangan.“Kemarin tas itu buat dia?”“Tas, tas yang mana?” Aku sedikit bingung kemudian Ayu meninggalkanku begitu saja dia terlihat seperti tengah mencari sesuatu. Setelah mendapatkannya dia segera memberikannya padaku. Itu adalah sebuah bon pembelian tas dan sebuah lingerie. Dua hari lalu aku membelikan Tas untuk Tiara, tapi tidak tahu kalau dia juga membeli sebuah lingerie, saat itu aku menerima telepon dari kantor pusat sehingga tak terlalu memperhatikannya, aku hanya mengiyakan tanpa tahu apa yang dia beli.“Cih, kukira itu hadiah untuk ulang tahunku hari ini, hahahah.” Tiba-tiba Ayu tertawa seraya memijat
Hari ini aku pulang lebih awal, aku berencana mengajak keluargaku liburan, kami akan menginap selama 2 hari di Bandung. Selama menikah mereka belum pernah liburan ke luar kota. Teringat janjiku dulu, kalau kita sudah punya mobil akan ku bawa dia jalan-jalan tiap weekend. Dia selalu ingin ke Bandung, sayangnya 18 tahun pernikahan, aku belum pernah mengabulkannya. Terobsesi ingin punya segalanya, membuatku lupa. Dulu Ayu kuajak ke Bandung saat kami belum menikah dan masih satu kerjaan, itu pun ramai-ramai, dengan teman kerja, mana mau dia, kuajak pergi berdua.~~Karena ingin cepat sampai rumah, aku mengambil jalan pintas, jalan ini memang sepi karena kanan kiri masih hamparan persawahan. Semoga saja usahaku kali ini berhasil membuat Ayu mau berbicara padaku, tak masalah kalau dia belum memaafkan, yang penting Ayu lebih banyak berbicara.~Aku mencari Ayu, dia terlihat berada di ruang salat, syukurkah aku merasa lega sekali, setidaknya dia baik-baik saja, sungguh aku takut dia menjadi
Ayu semakin tergugu bahunya sampai naik turun.“Bisa-bisanya dia menghinaku di depan perempuan itu. Aku yang melahirkan anak-anaknya, Di.”“Dia berubah Di, dia berubah semenjak jabatannya naik. Aku sudah tak mengenalnya lagi. Apakah menjadi tua adalah suatu kesalahan?"“Enggak Mbak, kita enggak bisa mengelak. Masa itu pasti akan datang pada setiap makhluk yang bernyawa,” ucap Dian mencoba menenangkannya.“Kamu tahu Di, dari dulu Aku berusaha menjadi anak yang baik tapi orang tuaku cuma sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mereka hanya peduli keluarga baru mereka, Aku dibuang. Aku dari kecil tinggal sama Nenek, tapi Tuhan lagi-lagi menghancurkan duniaku. Dia begitu cepat mengambil Nenek dariku."“Di saat aku hancur, dia datang. Memberikan rasa aman hingga aku mau merima lamarannya. Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik tak banyak menuntutinya, tapi tetap saja akhirnya dibuang juga. Aku ini hanya manusia golongan sampah yang hanya pantas untuk dibuang.""Aku hanya manusia bia
“Dek, boleh Abang tanya sesuatu?” Setelah selesai menunaikan kewajibanku, ternyata aku tak bisa tidur. Begitu pun Ayu. Jujur saja aku masih penasaran kenapa Ayu tak mau memberitahu kehamilannya.“Hemm,” sahutnya.Cuek seperti biasa.“Perut Adek kok maaf ya, kayaknya agak buncit.”Ayu terdiam sejenak, kemudian membalikkan badannya.“Abang mau tahu?” tanyanya“Aku hamil Bang udah 3 bulan.”Akhirnya mengaku juga kau Dek.“Kenapa Adek baru bilang?” tanyaku.“Abang kan punya Tiara. Aku takut kehamilanku kali ini, enggak Abang harapkan.”“Dek, kita pernah mati-matian berjuang agar bisa hamil Ilham. Puncaknya Adek masih inget, Adek sampai mendatangi setiap orang yang mau haji atau umroh untuk minta di doain sama mereka. Supaya, Adek bisa punya anak, padahal Adek ga kenal mereka.” Kutangkupkan ke dua telapak tanganku di wajah Ayu yang tertunduk, agar dia bisa melihat wajahku.“Maaf, Bang,” lirihnya.“Ga usah minta maaf. Abang yang salah. Oh ya, urusan Tiara, sudah Abang selesaikan. Dia mili
“Dek, boleh Abang tanya sesuatu?”Ayu tak menjawab hanya menatap wajahku.“Kenapa Adek lebih milih diemin Abang? padahal bisa aja marah?”“Adek takut mulut Adek nyakitin hati Abang.”“Adek masih aja mikirin hal itu, padahal Abang udah nyakitin banget.”“Apa ada jaminan kalau Adek marah, Abang bakal ninggalin perempuan itu?”Aku tersenyum kecut ke arahnya, perkataan Ayu memang benar adanya.“Justru diamnya Adek yang bikin Abang sadar. Apa Adek pernah berpikir buat ninggalin Abang?”“Enggak pernah.” “Kenapa?”“Aku hanya berpikir setiap orang pernah salah dan semoga ke depannya Abang enggak akan pernah mengulanginya lagi.”“Makasih ya, Adek udah mau kasih kesempatan buat Abang.” Ucapku.“Adek cuma mencoba berdamai dengan diri sendiri, enggak semua hal bisa berjalan semau kita.”“Bener, Dek.”Aku mendekatkan kepala ke perut ayu, perutnya tampak sedikit membuncit terlihat begitu menggemaskan bagiku. Bagaimana tidak, ada benihku di dalamnya yang sebentar lagi akan jadi makhluk hidup yang b
“Dek, percaya sama Abang, itu bukan anak Abang.”Lagi-lagi ayu hanya diam.“Kau mau berkilah Bang, ini foto-fotomu lihat!” tunjuk Tiara ke ponselnya, di sana ada fotoku bertelanjang dada.‘Sial! Dari mana dia dapat foto itu?’Ayu ikut melihatnya bersamaku, saat layar di ponsel Tiara menunjukkan aku yang tengah terlelap dengan bertelanjang dada sedang dipeluk Tiara, bisa kulihat mata Ayu mulai berembun. Lantas dia memalingkan wajah, namun tetap tak ada satu kata pun yang terucap.“Mbak kamu masih mau percaya sama suamimu hah? Di mana harga dirimu Mbak? Kau bela mati-matian laki-laki yang sudah tidur dengan wanita lain?” ucap Tiara berapi-api.“Aku lebih percaya suamiku,” ucap ayu.Seketika duniaku berasa berhenti.“Gila kau Mbak, apa aku harus melakukannya di depanmu baru kamu percaya?”“Atas nama Tuhan suamiku bersumpah tidak pernah tidur denganmu!” Ayu setengah berteriak di hadapan Tiara ku lihat bibirnya bergetar.“Mbak percaya hanya karena dia bersumpah atas nama Tuhan hahaha. Dia
Sambil menggenggam tangan Ayu. Entah kenapa rasanya berat sekali untuk mengatakannya, tetapi ada sedikit lega saat aku berani jujur mengatakan yang sebenarnya meskipun aku tahu itu akan sangat menyakiti hatinya. Ayu memalingkan wajahnya, kali ini dia enggan menatapku lagi. Apa sekarang kamu merasa jijik padaku, Dek? “Abang tahu, meskipun fakta di depanku membenarkan kalau anak di kandungan Tiara itu....” Ayu mendongakkan wajahnya ke atas, dia berusaha menahan agar air matanya tak tumpah ruah. “Astaghfirrullahaladzim.” Ayu memejamkan matanya, hingga berkali-kali melafalkan istigfar. Sungguh itu membuat hati ini bagai tersayat mendengarkan kalimat suci berulang-ulang keluar dari mulut Ayu. “Abang masih ingat Abang yang memaksaku percaya dengan bersaksi atas nama Tuhan? Aku percaya Bang, tapi kenapa hari ini Abang jelasin lagi sesuatu yang enggak ingin aku denger?” Lidahku kelu, rasanya tidak bisa di gerakkan saat lagi-lagi Ayu mengungkit sumpahku. “Aku permisi Bang, kasih aku wakt
PoV Tiara “Ah, kenapa dari tadi perutku mual?” Kring, kring, kring! Ya ampun berisik amat sih! Mau tak mau aku harus keluar dari kamar mandi, meraih gawai di atas meja riasku, kutatap layar ponselku yang menunjukkan pukul 07:00 10 September 2020. Sontak saja membuatku melotot tidak percaya, melihat tanggal yang ditampilkan layar ponselku Sejak mengundurkan diri aku tidak memperhatikan tanggal dan hari, hingga baru menyadari kalau aku sudah telat datang bulan selama seminggu. Jangan-jangan mual-mualku barusan karena hamil? Untuk memastikannya kembali kubuka aplikasi ojek secara daring. Selain itu aku juga meminta tolong abang ojek itu membelikanku test pack. Pokoknya aku tidak mau sampai ketahuan orang-orang sini kalau aku hamil. Nyaliku terlalu ciut untuk menunjukkan kehamilanku pada semua orang. Beruntungnya Abang tukang ojek itu bersedia membelikannya. Tentunya dengan alasan kalau perutku sakit tidak bisa berjalan akhirnya. Meski begitu aku cukup tahu diri. Aku tak lupa mem
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali