“Dek, boleh Abang tanya sesuatu?”
Setelah selesai menunaikan kewajibanku, ternyata aku tak bisa tidur. Begitu pun Ayu. Jujur saja aku masih penasaran kenapa Ayu tak mau memberitahu kehamilannya.“Hemm,” sahutnya.Cuek seperti biasa.“Perut Adek kok maaf ya, kayaknya agak buncit.”Ayu terdiam sejenak, kemudian membalikkan badannya.“Abang mau tahu?” tanyanya“Aku hamil Bang udah 3 bulan.”Akhirnya mengaku juga kau Dek.“Kenapa Adek baru bilang?” tanyaku.“Abang kan punya Tiara. Aku takut kehamilanku kali ini, enggak Abang harapkan.”“Dek, kita pernah mati-matian berjuang agar bisa hamil Ilham. Puncaknya Adek masih inget, Adek sampai mendatangi setiap orang yang mau haji atau umroh untuk minta di doain sama mereka. Supaya, Adek bisa punya anak, padahal Adek ga kenal mereka.”Kutangkupkan ke dua telapak tanganku di wajah Ayu yang tertunduk, agar dia bisa melihat wajahku.“Maaf, Bang,” lirihnya.“Ga usah minta maaf. Abang yang salah. Oh ya, urusan Tiara, sudah Abang selesaikan. Dia milih resign Dek. Dia juga sempat titip maaf buat Adek, karena pernah berniat merusak rumah tangga kita. Belakangan Abang tahu, ternyata Tiara anak yatim piatu. Mungkin dia nyaman sama Abang karena dia enggak pernah kenal sosok Ayah.”“Mana ada anak yang beli lingerie untuk ayahnya?”“Mana Abang tahu dek, mungkin dia hanya mau bikin Adek salah paham, karena dia takut kehilangan.”Tiba-tiba Ayu membalikkan badan.Yah, salah ngomong lagi.“Sudah ya, enggak usah dipikirin! Adek tidur ya sekarang kasihan adiknya Randi udah ngantuk tuh!”Kupeluk Ayu dari belakang. Hingga, tak lama kemudian Ayu pun terlelap.Tiba-tiba aku jadi teringat saat di Bandung, Ayu memaksaku mengantre cimol, padahal antreannya cukup panjang. Ditambah lagi aku harus berdesakan dengan anak seumuran Ilham. Sayangnya, saat giliranku tiba cimolnya sudah habis, apes benar.Saat itu Ayu tampak sangat kecewa hanya karena cimol, apakah Ayu sedang ngidam cimol.Aku mengetikan kata “Cara Membuat Cimol” di Youtube.“Gampang banget bahannya cuma tapioka sama bawang putih dan penyedap. Kenapa aku gak bikin sendiri aja?” ucapku dalam hati.“Dek kamu tunggu besok, ya. Aku bakal jadi tukang cimol demi kamu dan anak kita dek.”Kukecup kening istriku yang kini terlelap. Dia sedikit mengerang ah lucu sekali dia. Aku pun menciumnya sekali lagi dan lagi-lagi Ayu hanya mengerang.“Gemas banget sih, Dek,” ucapku pelan.Aku berniat mengecup keningnya ketiga kali.“Tidur Bang, udah malam!”Tiba-tiba Ayu bersuara, padahal matanya masih terpejam.“Eh iya iya, Dek.”Yah, gagal deh!Keesokan harinya aku sudah berada di dapur. Mengambil kesempatan saat Ayu tengah sibuk menidurkan Randi di kamar.“Tepung tapioka yang mana, ya?”Aku bingung sendiri melihat ada 2 plastik tepung yang satu agak butek yang satu putih bersih.“Yang ini nih, Pah.”Tiba-tiba Reno sudah ada di samping. Kebetulan dia ingin mengambil air minum di lemari es.“Mau buat apa sih?” tanyanya.“Ren kamu ingat, gak? Waktu di Bandung Papah ngantri cimol, udah desak-desakkan sama bocah ujungnya malah gak dapat. Terus ‘kan Mamahmu cemberut sepanjang jalan.”“Iya Pah, tumben ya, Mamah begitu. Enggak kayak biasanya,” ucap Reno.“Randi mau punya adik Ren,” ucapku setengah berbisik.“Uhuk uhuk.”Reno tersedak air minumnya sendiri, mungkin dia juga terkejut sekaligus tak menyangka akan punya adik lagi.“Ssst, jangan berisik nanti ketahuan, papah mau bikin cimol. Toh, bahannya cuma tepung.”“Ya udah Pah, biar Reno bantu!”Aku dan Reno membuat adonan cimol mengikuti sebuah video lewat ponsel. Setelah semua adonan selesai di bulat-bulatkan aku dengan angkuh dan percaya diri mematikan ponsel begitu saja, karena hanya tinggal menggorengnya.Tentu saja ini sangat mudah aku tidak perlu melihat videonya. Kunyalakan kompor, rasanya dag dig dug tak karuan, takut tiba-tiba ketahuan Ayu. Setelah dirasa minyaknya cukup panas, aku mulai menyemplungkan butiran-butiran cimol satu persatu ke dalam wajan“Papah cocok enggak Ren, jadi Chef?”“Cocoknya jadi Kang Cimol, mana ada Chef masak cimol, Pah.”Aku dan Reno cekikan di dapur. Namun, tiba-tiba cimol yang kugoreng malah meledak.“Loh Ren, kok meledak gini sih?”Bletak bletak, satu persatu cimol yang kugoreng meledak ke atas“Loh Pah, Pah, bagaimana nih? Ambil tutup panci Pah cepet!”Reno mulai panik.Aku langsung mengambil tutup panci dan menutupnya. Untuk sesaat bisa tenang tapi tiba-tiba tutup itu terlempar ke atas karena ledakan beberapa cimol.Reno tiba-tiba berlari, meninggalkanku sendirian di dapur. Tak lama dia kembali dengan helm terpasang di kepalanya.“Pake, Pah!”Dilemparkan satu helm yang dia bawa ke arahku dengan cepat aku memakainya. Keadaan dapur sangat kacau butiran cimol meledak ke sana ke mari bahkan sampai ke langit-langit rumah.“Ren, bagaimana nih?”“Matiin kompornya Pah, cepet!”Aku berusaha mematikannya, tetapi cimol-cimol itu terus meledak, hingga tanganku terciprat minyak panas. Aku menyerah aku terlalu takut untuk menggapai kompor itu“Mah, Mamah, Mah! Sini Mah, cepet Mah! Itu cimolnya ngamuk di dapur, tolongin Papah!”Reno lagi-lagi meninggalkanku, dia berlari sambil berteriak memanggil mamahnya.Ayu pun datang. Tanpa basa-basi dengan cepat dia matikan kompor, perlahan cimol-cimol itu berhenti meledak. Ayu menatapku dan Reno bergantian.“Hahahahhah.”Ayu tertawa. Tawa yang begitu kurindukan kini aku dapat mendengarnya lagi.“Hahaha, Abang mau ngapain bang pakai helem segala? Kalau mau bikin cimol minyaknya jangan dipanasin dulu!”“Kamu juga udah pakai helm, jaket segala mau masak apa mau naik motor?”Ayu menertawakan kelakuan anaknya.“Hahaha Papah tuh Mah, katanya Chef, mau bikin cimol malah bikin bom,” ledek Reno.“Maaf Dek, dapurnya jadi kotor hehehe.”Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. Malu rasanya, niat memberikan Ayu kejutan malah membuat dapur jadi berantakan.“Lain kali beli aja Bang, atau panggil Adek,” ucapnya,Apa aku tidak salah dengar, dia menyebut dirinya Adek?“Kemarin ‘kan Adek cemberut sepanjang jalan gara-gara enggak kebagian cimol. Abang pikir bikinnya gampang, gak tahunya malah jadi begini”“Ya sudah sini biar tangannya Adek obatin! Terima kasih, ya Bang. Di depan kompleks ada tukang cimol, beli aja di sana. Ngapain repot-repot,” ucapnya.Kini ia tengah mengobati luka di tangan, bekas terciprat minyak panas.“Adek bener enggak marah lagi?” tanyaku.“Engga Bang, maafin Adek ya udah diemin Abang,” ucapnya sambil tersenyum.“Abang yang salah. Mulai sekarang Adek yang pegang kartu ATMnya ya, Adek gak boleh nolak lagi. Pinnya masih sama.”Aku menyerahkan ATM di dompetku.“Terima kasih, Bang.”Dia menerima kartu debit yang kuberikan.“Ren, kamu beresin dapur, ya!” perintah Ayu."Yah, kok aku sih mah?”“Kamu mau laptop baru ‘kan, Ren? Papah beliin tar sore,” ucapku kemudian.“Siap 86 Mah, Reno bersihin.”Ah, sulungku sungguh materialistis.Sepertinya aku harus berterima kasih kepada penemu cimol, dia berjasa karena telah mengembalikan jiwa Ayu.Teruntuk istriku, terima kasih telah menemaniku mengarungi bahtera rumah tangga bersamaku. Tanpa kamu, aku yakin kapal kita mungkin sudah karam, di saat ombak kencang menghantamnya. Kita pernah terombang-ambing tanpa arah di lautan lepas, ketulusanmulah yang membuat aku kembali bisa mengendalikan kapal yang sudah hampir karam.Tuhan, terlalu serakahkah, kalau aku meminta agar di akhirat nanti Ayu tetap menjadi istriku? Asalkan ada Ayu di sisiku, rasanya aku tidak akan butuh lagi bidadari lain yang Engkau janjikan di surga-Mu. Aku takut Ayu akan cemburu, meskipun yang aku tahu di surga hanya ada kebahagiaan.“Dek, boleh Abang tanya sesuatu?”Ayu tak menjawab hanya menatap wajahku.“Kenapa Adek lebih milih diemin Abang? padahal bisa aja marah?”“Adek takut mulut Adek nyakitin hati Abang.”“Adek masih aja mikirin hal itu, padahal Abang udah nyakitin banget.”“Apa ada jaminan kalau Adek marah, Abang bakal ninggalin perempuan itu?”Aku tersenyum kecut ke arahnya, perkataan Ayu memang benar adanya.“Justru diamnya Adek yang bikin Abang sadar. Apa Adek pernah berpikir buat ninggalin Abang?”“Enggak pernah.” “Kenapa?”“Aku hanya berpikir setiap orang pernah salah dan semoga ke depannya Abang enggak akan pernah mengulanginya lagi.”“Makasih ya, Adek udah mau kasih kesempatan buat Abang.” Ucapku.“Adek cuma mencoba berdamai dengan diri sendiri, enggak semua hal bisa berjalan semau kita.”“Bener, Dek.”Aku mendekatkan kepala ke perut ayu, perutnya tampak sedikit membuncit terlihat begitu menggemaskan bagiku. Bagaimana tidak, ada benihku di dalamnya yang sebentar lagi akan jadi makhluk hidup yang b
“Dek, percaya sama Abang, itu bukan anak Abang.”Lagi-lagi ayu hanya diam.“Kau mau berkilah Bang, ini foto-fotomu lihat!” tunjuk Tiara ke ponselnya, di sana ada fotoku bertelanjang dada.‘Sial! Dari mana dia dapat foto itu?’Ayu ikut melihatnya bersamaku, saat layar di ponsel Tiara menunjukkan aku yang tengah terlelap dengan bertelanjang dada sedang dipeluk Tiara, bisa kulihat mata Ayu mulai berembun. Lantas dia memalingkan wajah, namun tetap tak ada satu kata pun yang terucap.“Mbak kamu masih mau percaya sama suamimu hah? Di mana harga dirimu Mbak? Kau bela mati-matian laki-laki yang sudah tidur dengan wanita lain?” ucap Tiara berapi-api.“Aku lebih percaya suamiku,” ucap ayu.Seketika duniaku berasa berhenti.“Gila kau Mbak, apa aku harus melakukannya di depanmu baru kamu percaya?”“Atas nama Tuhan suamiku bersumpah tidak pernah tidur denganmu!” Ayu setengah berteriak di hadapan Tiara ku lihat bibirnya bergetar.“Mbak percaya hanya karena dia bersumpah atas nama Tuhan hahaha. Dia
Sambil menggenggam tangan Ayu. Entah kenapa rasanya berat sekali untuk mengatakannya, tetapi ada sedikit lega saat aku berani jujur mengatakan yang sebenarnya meskipun aku tahu itu akan sangat menyakiti hatinya. Ayu memalingkan wajahnya, kali ini dia enggan menatapku lagi. Apa sekarang kamu merasa jijik padaku, Dek? “Abang tahu, meskipun fakta di depanku membenarkan kalau anak di kandungan Tiara itu....” Ayu mendongakkan wajahnya ke atas, dia berusaha menahan agar air matanya tak tumpah ruah. “Astaghfirrullahaladzim.” Ayu memejamkan matanya, hingga berkali-kali melafalkan istigfar. Sungguh itu membuat hati ini bagai tersayat mendengarkan kalimat suci berulang-ulang keluar dari mulut Ayu. “Abang masih ingat Abang yang memaksaku percaya dengan bersaksi atas nama Tuhan? Aku percaya Bang, tapi kenapa hari ini Abang jelasin lagi sesuatu yang enggak ingin aku denger?” Lidahku kelu, rasanya tidak bisa di gerakkan saat lagi-lagi Ayu mengungkit sumpahku. “Aku permisi Bang, kasih aku wakt
PoV Tiara “Ah, kenapa dari tadi perutku mual?” Kring, kring, kring! Ya ampun berisik amat sih! Mau tak mau aku harus keluar dari kamar mandi, meraih gawai di atas meja riasku, kutatap layar ponselku yang menunjukkan pukul 07:00 10 September 2020. Sontak saja membuatku melotot tidak percaya, melihat tanggal yang ditampilkan layar ponselku Sejak mengundurkan diri aku tidak memperhatikan tanggal dan hari, hingga baru menyadari kalau aku sudah telat datang bulan selama seminggu. Jangan-jangan mual-mualku barusan karena hamil? Untuk memastikannya kembali kubuka aplikasi ojek secara daring. Selain itu aku juga meminta tolong abang ojek itu membelikanku test pack. Pokoknya aku tidak mau sampai ketahuan orang-orang sini kalau aku hamil. Nyaliku terlalu ciut untuk menunjukkan kehamilanku pada semua orang. Beruntungnya Abang tukang ojek itu bersedia membelikannya. Tentunya dengan alasan kalau perutku sakit tidak bisa berjalan akhirnya. Meski begitu aku cukup tahu diri. Aku tak lupa mem
Aku mencoba meneleponnya sialnya nomornya tidak aktif. Mungkin dia sudah ganti kartu, tapi sepertinya aku pernah menyimpan nomor istrinya. Kukirimkan beberapa foto mesraku dengan Mas Andi, pasti dia akan kepanasan.Ternyata nomornya aktif bahkan pesan dariku sudah centang biru.“Hallo Mbak, masih ingat aku? Aku Tiara Mbak, calon madumu?”Dengan angkuh aku mengawali pembicaraan di telepon. Sialnya dia tidak menjawab apa pun.“Mbak sudah lihat kan foto-foto yang aku kirim kan, asal Mbak tahu aku tengah mengandung anaknya Mas Andi.”“Suamiku tidak pernah tidur denganmu,” balas Istri Mas Andi di ujung telepon“Hahaha dari mana Mbak tahu, apa mbak mengikuti Mas Andi ke mana saja?” Naif sekali wanita ini.“Mana buktinya kalau di perutmu itu anak dari suamiku?” tanya Ayu.Pertanyaannya membuatku tersentak apakah bukti ini tak cukup. Di saat seperti ini tiba-tiba teringat saat aku memapah Pak Andi ke hotel saat vertigonya kambuh. Kenapa aku tidak memanfaatkannya.Aku akan mengambil rekaman CC
Pov Andi Setelah mendapatkan kepercayaan Ayu, rasanya seperti mendapat suntikan semangat. Hari-hariku jadi lebih berwarna karena senyum dan tawa Ayu serta anak-anakku tak pernah lepas. Aku sampai melupakan urusan Tiara, entah hal apalagi yang akan dia lakukan demi menghancurkan rumah tanggaku. Terhitung sudah sepekan setelah Tiara dengan tidak tahu diri melabrakku di Mall. Ayu sering bilang kalau Tiara masih sering mengirimnya pesan yang isinya hanya mengompori Ayu agar mau meninggalkanku, kuminta saja Ayu untuk mengabaikan pesan dari Tiara, biar dia tahu kalau kita sudah tidak peduli. Suatu hari saat aku berangkat ke kantor awalnya semua berjalan normal hingga tiba-tiba, aku dipanggil ke ruangan HRD. Sepanjang perjalanan menuju ruang HRD semua karyawan yang aku temui menatapku dengan pandangan yang tidak biasa, terkesan merendahkan menurutku, aku mulai merasa risi setahuku mereka biasanya tidak peduli saat aku bulak-balik ke ruangan ini. Tidak biasanya aku dipanggil dadakan seperti
Tiara terlihat kaget dengan kalimat yang kubisikkan, matanya melotot. Aku sudah tidak peduli memilih meninggalkannya yang masih terpaku di depan pintu. Entah setan apa yang merasuki tubuhku hingga aku pernah menyukai gadis tidak tahu diri sepertinya. Setelah kejadian itu selera makan pun ikut menghilang. Tiba di rumah aku memilih langsung masuk kamar dan tidur. Hingga melupakan, kalau mungkin saja Ayu sudah menungguku di ruang makan sejak kedatanganku. Aku hanya bangun untuk salat, kubilang saja aku lelah dan butuh istirahat dan terpaksa aku berbohong kalau aku sudah makan di jalan. Walaupun, aku tahu percuma saja berbohong di depan Ayu, dengan mudahnya dia bisa tahu kalau aku tengah berbohong, meski begitu Ayu membiarkanku untuk tidur sendiri, tidak lagi menawariku makan berkali-kali seperti biasanya. Pukul 12 malam aku terbangun dari tidur. Ayu sepertinya belum tidur. Aku bisa merasakan nafasnya yang tidak beraturan, mungkinkah dia mengkhawatirkanku. “Tidur Sayang, sudah malam!Aba
Targetku aku akan buka pada hari Sabtu, karena biasanya jalan ini akan ramai di akhir pekan, aku tinggal di dekat kawasan industri jadi banyak karyawan pabrik yang biasa nongkrong di malam minggu.Hari yang dinanti tiba, sejak subuh aku sudah siap-siap untuk berangkat ke ruko. Aku memperkerjakan 2 orang karyawan satu untuk memasak dan satu lagi untuk melayani tamu mengantarkan pesanan. Sedangkan, untuk bagian kasir sementara meminta bantuan Reno untuk berjaga selagi dia masih libur sekolah, karena wabah yang melanda kota ini.Alhamdulillah hari pertama buka dagangan kami laris, dengan iming-iming diskon 30 persen, ayamku habis tidak tersisa. Rasanya bahagia sekali kerja kerasku tidak sia-sia, tetapi Ayu bilang biasanya saat pembukaan pertama memang akan ramai, untuk hari-hari selanjutnya tidak akan seramai hari ini. Ah tidak apa Dek, nanti kita pikirkan lagi solusi agar kedai makan kita tetap ramai pengunjung.Sempat berpikir, andai saja mempunyai
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali