Sambil menggenggam tangan Ayu. Entah kenapa rasanya berat sekali untuk mengatakannya, tetapi ada sedikit lega saat aku berani jujur mengatakan yang sebenarnya meskipun aku tahu itu akan sangat menyakiti hatinya. Ayu memalingkan wajahnya, kali ini dia enggan menatapku lagi. Apa sekarang kamu merasa jijik padaku, Dek?
“Abang tahu, meskipun fakta di depanku membenarkan kalau anak di kandungan Tiara itu....”
Ayu mendongakkan wajahnya ke atas, dia berusaha menahan agar air matanya tak tumpah ruah.
“Astaghfirrullahaladzim.”
Ayu memejamkan matanya, hingga berkali-kali melafalkan istigfar. Sungguh itu membuat hati ini bagai tersayat mendengarkan kalimat suci berulang-ulang keluar dari mulut Ayu.
“Abang masih ingat Abang yang memaksaku percaya dengan bersaksi atas nama Tuhan? Aku percaya Bang, tapi kenapa hari ini Abang jelasin lagi sesuatu yang enggak ingin aku denger?”
Lidahku kelu, rasanya tidak bisa di gerakkan saat lagi-lagi Ayu mengungkit sumpahku.
“Aku permisi Bang, kasih aku waktu untuk mencerna semuanya,” ucapnya.
Aku masih diam terpaku di tempat dudukku, entah apa yang harus aku katakan, pikiranku buntu.
Hingga aku teringat kalau Ayu pernah bilang kalau tiap tanggal 10 setiap bulannya dia harus periksa kehamilan. Kebetulan besok adalah tanggal 10. Aku harus menemaninya mungkin itu bisa mengurangi sedikit kekecewaannya. Seingatku Tiara tak mengatakan apa pun setelah kejadian di hotel aku langsung check out saat itu juga setelah merapikan baju tentunya.
Sepanjang perjalanan suasana menjadi kikuk. Tak ada perbincangan apa pun.
Hingga keesokan hari, Tiara masih belum mengatakan apa pun. Aku pikir tidak ada yang terjadi di antara kami. Apa lagi ia terlihat bersikap biasa. Seolah tidak terjadi hal yang besar.
Beruntung Ayu tak menolak ajakkanku untuk mengantarnya periksa kehamilan.
Kali ini aku sengaja mengajaknya periksa di rumah sakit. Setahuku di sana ada Dokter Spesialis Kandungan perempuan. Di mana biasanya Ayu hanya ikut posyandu bulanan yang diadakan sebulan sekali atau terkadang juga di puskesmas. Saat ditanya kenapa dia lebih memilih periksa di sana, Ayu hanya bilang di sana murah.
Lagi-lagi aku seolah ditampar dengan ucapan wanita itu. Pasti dia harus berhemat mati-matian dengan uang nafkah yang pas-pasan ditambah lagi aku melarangnya berjualan.
Tiba di Rumah Sakit. Di mana giliran Ayu untuk diperiksa. Hal yang mengejutkan justru terjadi, ketika pintu dibuka terlihat Tiara baru saja keluar dari ruangan itu.
“Ya ampun, memang kalau anak sama ayah tuh enggak bisa dipisahin. Itu Ayah kamu malah susul kita ke sini, Dek,” ucap Tiara.
Sambil mengusap perutnya perlahan ia tersenyum padaku, tanpa merasa bersalah sama sekali.
Sungguh sial bisa bertemu Tiara di sini. Kenapa juga di antara banyak tempat dia harus periksa kandungan di tempat yang sama dengan Ayu.
Saat itu hanya satu yang ada di dalam benakku, aku mengkhawatirkan Ayu. Dia pasti akan marah padaku. Namun, kenyataannya seperti biasa wanita itu hanya diam. Ia memilih berlalu masuk ke dalam mengabaikan Tiara.
“Mas Andi kebetulan nih, mas bayarin aku ya ke bagian administrasi! Mas kan Ayahnya,” ucapnya sambil berusaha meraih lenganku. Seketika itu juga aku refleks menghindar.
Tepat saat kejadian itu Ayu sedang menatap ke arah kami. Sesaat ketika pandangan kami bertemu. Aku bisa melihat ada kesedihan di matanya. Sayangnya baru beberapa detik saja, Ayu memilingkan wajahnya.
“Sudahlah Bang bayarin aja, aku tunggu di sini,” perintah Ayu.
Akhirnya tanpa membuang waktu lagi aku pun membayarkan biaya cek kehamilan Tiara, sepanjang perjalanan Tiara terus saja menggelayuti tanganku, aku sampai risi karena jadi pusat perhatian orang. Setelah kubayar biaya administrasi Tiara terus saja menahanku.
Aku harus pura-pura ke kamar mandi dan sialnya dia masih saja mengikutiku, aku sampai bertukar jaket dengan orang lain sekaligus membeli jaket itu seharga 300 ribu. Tak apalah yang penting aku bisa selamat dari Tiara.
Benar saja saat aku berjalan di depannya dia tidak mengenaliku. Aku segera kembali ke ruangan tempat Ayu diperiksa. Sayangnya, ketika aku membuka pintu, Ayu dan dokter kandungan itu tampak sangat akrab. Setahuku Ayu tipe orang yang susah bergaul.
Mereka terus saja mengulang kata 5 Minggu, bahkan Ayu tampak tersenyum saat dokter itu memastikan kalau benar 5 minggu. Aku jadi bingung apanya yang 5 Minggu? Baru saja aku ingin menanyakan perihal hal tersebut, mereka sudah berdiri berpelukan seperti seorang teman yang lama tidak jumpa. Siapa Dokter itu kenapa Ayu begitu dekat dengannya?
“Bang kenalin ini Dr. Maura, dia adikku!” ucap Ayu.
“Oh kamu Maura, maaf ya Maura saya sampai tidak mengenali kamu.”
“Gak apa-apa, Pak,” ucap Maura.
“Panggil Mas aja Ra, dia kan kakak iparmu,” ucap Ayu.
“Oh iya deh, Mbak kalau ada waktu jangan lupa Ya,” ucap Maura.
Aku tidak mengerti apa maksudnya.
“Insyaallah kami pamit, ya,” pamit Ayu.
Setelah berpamitan Maura kembali ke ruangannya. Sedangkan kami tentu saja memutuskan untuk pulang.
“Dek tadi waktu ngobrol sama Maura, kamu ngobrolin apa?”
Tiba-tiba Ayu tersenyum ke arahku. Sepertinya dia tidak menyangka kalau aku akan sebegitu ingin tahu tentang hal ini padanya.
Memang tak biasanya aku seperti ini. Namun, entah kenapa senang sekali melihatnya tersenyum seperti itu. Apa dia sudah memaafkanku, tapi rasanya tak mungkin?
“Maura nyuruh kita nengokin Ibu, katanya ibu sudah sakit-sakitan. Tadi dia juga bilang kalau sekarang Ibu ikut sama Maura.”
“Yaudah kapan kita mau nengok?”
“Haruskah kita nengokin Ibu, Bang? Aku takut ibu bakal ngusir kita lagi. Abang masih ingat waktu kita baru nikah karena Abang belum dapet kerjaan Ibu usir kita dari rumah hanya karena kita gak ngasih ibu uang belanja 2 hari,” ucap Ayu sambil tertunduk tiba-tiba matanya berembun.
Lantas, dengan cepat dia memalingkan wajahnya ke jendela. Itulah kebiasaan Ayu dia selalu sekuat tenaga agar air matanya tidak tumpah di depan orang lain. Aku menghentikan laju mobil. Kutangkupkan ke dua tangan di wajahnya.
“Hei Sayang liat Abang! Ibu sudah sakit-sakitan. Abang cuma gak mau Adek nyesel kalau sampai ketemu ibu dalam keadaan—”
“Cukup, Bang!” potong Ayu.
“Adek mau tengok Ibu, tapi kasih waktu. Aku belum siap kalau hari ini.”
“Abang tahu saat Abang mengkhianati pernikahan kita kenapa aku memilih bertahan?”
Aku hanya menggeleng tak tahu harus menjawab apa.
“Karena aku enggak mau jadi kayak Ibu yang dibenci anak-anaknya. Ibu enggak sepenuhnya salah Bang dia hanya korban, sayangnya dia lebih memilih mengikuti nafsu. Memilih membalaskan dendam, dengan menikahi beberapa pria agar Ayahku tahu kalau Ibu baik-baik saja tanpa Ayah.”
Bahkan meski ia menyembunyikan kesedihannya, semua itu masih terlukis dengan jelas di rona wajahnya.
“Ibu lupa ada kami di antara mereka. Anak-anak kecil seperti kami dipaksa mengerti hubungan orang dewasa yang rumit,” tambah Ayu.
Aku hanya diam mendengarkan setiap keluh kesahnya, karena jarang sekali Ayu mau berbicara panjang lebar tentang keluarganya.
“Aku punya empat adik Bang, tetapi semuanya dari Ayah yang berbeda. Tahu enggak sampai kata teman-temanku, aku ini Bapaknya banyak,” tambah Ayu lagi.
Saat itu ia tersenyum lebar, sampai memperlihatkan giginya yang putih bersih. Namun, aku tahu hatinya pasti sakit, saat kembali menceritakan masa lalunya yang kelabu.
“Setiap orang pernah khilaf pada masanya Dek, kalau Adek bisa maafin Abang. Kenapa Adek ga bisa maafin ibu?”
Ayu tersenyum ke arahku, tetapi kemudian menunduk begitu saja. Namun, hanya sebentar. Ia buru-buru mengusapnya dengan telapak tangan. Melihatnya rapuh seperti itu kuurungkan niat untuk melanjutkan pertanyaanku perihal 5 minggu tadi.
Aku memang pernah sakit hati dengan perlakuan ibu mertuaku ini. Dulu ia pernah tega mengusir kami, hanya karena 2 hari aku tak memberi uang dapur
Awal menikah hidup kami memang serba kekurangan. Aku hanya montir di sebuah bengkel yang tidak cukup besar, yang upahnya dibayar harian. Jadi, ibu selalu menagih uang pada Ayu hampir setiap hari.
Mendengar kabarnya yang kini sedang terbaring lemah, nyatanya tetap saja hatiku tidak bisa berbohong. Masih ada sedikit rasa sayang pada dirinya, karena dialah yang melahirkan Ayu, Istriku dan ibu dari anak-anakku.
Sesampainya di rumah, Ayu langsung masuk kamar, sedangkan Reno terlihat sedang menjemur pakaian. Anak laki-laki itu sepertinya tidak terbiasa menyuruh orang lain mencuci pakai miliknya, Ayu berhasil melatihnya jadi anak yang mandiri.
Aku duduk di teras depan rumah sekedar untuk menghilangkan penat. Masalah yang kuhadapi akhir-akhir ini membuat pikiranku tak karuan. Aku memperhatikan Reno dari jauh, dengan telaten satu persatu dia menjemur pakaian miliknya. Hingga, saat giliran Reno menjemur celana pendeknya aku jadi teringat sesuatu, dengan cepat aku mengambil benda itu.
“Loh Pah mau dibawa ke mana? Itu punyaku Pah jangan di pakai!” teriak Reno.
“Nih papah beli, Ren.” Kuserahkan 2 lembar uang merah ketangannya.
Wah wah, nih Pah sekalian seember Papah beli aja semuanya per pcsnya 100 ribu deh.”
Reno tiba-tiba menyerahkan ember kecil berisi beberapa celana pendek miliknya.
“Ampun kamu mah Ren.”
Mengabaikan omongannya yang melantur, aku lantas berlari menuju kamar mencari Ayu. Sayangnya, dia tidak ada di kamar. Akhirnya aku berlari ke sana kemari sambil berteriak.
“Dek Dek,Adeeek Adeek di mana?”
“Kenapa sih Bang kok teriak-teriak?” ucap Ayu yang tiba-tiba sudah ada di belakangku.
“Dek, coba liat Abang bawa apa?” tanyaku dengan berapi-api.
“Kolor,” jawab Ayu.
“Iya dek ini kolor, Abang inget waktu Abang bangun di hotel Abang masih pakai kolor Spongebob ini Dek, itu artinya Abang ga pernah berhubungan badan sama Tiara, buktinya Abang masih pake kolor Dek.”
Aku mengatakan semuanya dengan penuh keyakinan.
“Hahahhaa astagfirullah, jadi Abang pakai kolor Reno lagi.”
Tiba-tiba Ayu tertawa, membuatku jadi malu sendiri.
“Waktu itu ‘kan gelap Dek Abang asal ambil aja di keranjang Eh tahunya punya Reno,” tuturku.
Namun, Ayu masih saja terus tertawa.
“Lagian kamu sih Dek, ngapain belikan Reno kolor gambar spongebob, anak kita udah gede loh!” jawabku asal jujur saja aku bingung mau bilang apa.
“Reno yang pilih, Bang,” jawab Ayu.
“Kejadian itu kapan sih Bang?” tanya Ayu.
“4 bulan yang lalu Dek.”
Lagi-lagi Ayu tersenyum kepadaku.
“ Abang enggak melakukan itu, Dek.”
Entah kenapa aku refleks berbicara dengan nada memelas?
“Umur kandungan Tiara baru 5 minggu Bang Maura yang bilang.”
Jadi, 5 minggu tadi itu maksudnya usia kandungan Tiara. Entah kenapa aku bahagia sekali mendengarnya, sampai aku tak bisa berkata-kata lagi.
“Jangan seneng dulu Bang, Tiara gaK mungkin mau nyerah gitu aja,” ucap Ayu.
“Benar juga Dek, terus kita harus bagaimana Dek?”
“Gak tahu Bang, Adek cuma bisa berdoa semoga Tiara bisa berubah,” tutur Ayu.
“Yah Dek kok cuma berdoa, Tiara tuh nekat. Adek liat nih Abang sampai beli jaket orang cuma buat nyamar biar bisa kabur dari Tiara!”
“Abang yang pikirkan caranya biar Adek bantu doa,”
“Ini kolor jangan lupa di jemur Bang, masih basah tuh,” ucap Ayu sambil menunjuk kolor spongebob yang sedari tadi ku bawa.
Kamu wanita hebat Dek, masalah sebesar apa pun kamu hadapi dengan tenang. Keyakinanmu pada Tuhan mengalahkan segalanya entah kenapa selalu ada jalan agar kebenaran itu bisa terungkap. Aku percaya jika didunia ini ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh logika itu karena kekuatan doa. Aku berharap semoga anak kita perempuan, supaya dunia ini tidak kekurangan wanita sepertimu. Seorang wanita yang memiliki keyakinan yang kuat pada Tuhannya.
PoV Tiara “Ah, kenapa dari tadi perutku mual?” Kring, kring, kring! Ya ampun berisik amat sih! Mau tak mau aku harus keluar dari kamar mandi, meraih gawai di atas meja riasku, kutatap layar ponselku yang menunjukkan pukul 07:00 10 September 2020. Sontak saja membuatku melotot tidak percaya, melihat tanggal yang ditampilkan layar ponselku Sejak mengundurkan diri aku tidak memperhatikan tanggal dan hari, hingga baru menyadari kalau aku sudah telat datang bulan selama seminggu. Jangan-jangan mual-mualku barusan karena hamil? Untuk memastikannya kembali kubuka aplikasi ojek secara daring. Selain itu aku juga meminta tolong abang ojek itu membelikanku test pack. Pokoknya aku tidak mau sampai ketahuan orang-orang sini kalau aku hamil. Nyaliku terlalu ciut untuk menunjukkan kehamilanku pada semua orang. Beruntungnya Abang tukang ojek itu bersedia membelikannya. Tentunya dengan alasan kalau perutku sakit tidak bisa berjalan akhirnya. Meski begitu aku cukup tahu diri. Aku tak lupa mem
Aku mencoba meneleponnya sialnya nomornya tidak aktif. Mungkin dia sudah ganti kartu, tapi sepertinya aku pernah menyimpan nomor istrinya. Kukirimkan beberapa foto mesraku dengan Mas Andi, pasti dia akan kepanasan.Ternyata nomornya aktif bahkan pesan dariku sudah centang biru.“Hallo Mbak, masih ingat aku? Aku Tiara Mbak, calon madumu?”Dengan angkuh aku mengawali pembicaraan di telepon. Sialnya dia tidak menjawab apa pun.“Mbak sudah lihat kan foto-foto yang aku kirim kan, asal Mbak tahu aku tengah mengandung anaknya Mas Andi.”“Suamiku tidak pernah tidur denganmu,” balas Istri Mas Andi di ujung telepon“Hahaha dari mana Mbak tahu, apa mbak mengikuti Mas Andi ke mana saja?” Naif sekali wanita ini.“Mana buktinya kalau di perutmu itu anak dari suamiku?” tanya Ayu.Pertanyaannya membuatku tersentak apakah bukti ini tak cukup. Di saat seperti ini tiba-tiba teringat saat aku memapah Pak Andi ke hotel saat vertigonya kambuh. Kenapa aku tidak memanfaatkannya.Aku akan mengambil rekaman CC
Pov Andi Setelah mendapatkan kepercayaan Ayu, rasanya seperti mendapat suntikan semangat. Hari-hariku jadi lebih berwarna karena senyum dan tawa Ayu serta anak-anakku tak pernah lepas. Aku sampai melupakan urusan Tiara, entah hal apalagi yang akan dia lakukan demi menghancurkan rumah tanggaku. Terhitung sudah sepekan setelah Tiara dengan tidak tahu diri melabrakku di Mall. Ayu sering bilang kalau Tiara masih sering mengirimnya pesan yang isinya hanya mengompori Ayu agar mau meninggalkanku, kuminta saja Ayu untuk mengabaikan pesan dari Tiara, biar dia tahu kalau kita sudah tidak peduli. Suatu hari saat aku berangkat ke kantor awalnya semua berjalan normal hingga tiba-tiba, aku dipanggil ke ruangan HRD. Sepanjang perjalanan menuju ruang HRD semua karyawan yang aku temui menatapku dengan pandangan yang tidak biasa, terkesan merendahkan menurutku, aku mulai merasa risi setahuku mereka biasanya tidak peduli saat aku bulak-balik ke ruangan ini. Tidak biasanya aku dipanggil dadakan seperti
Tiara terlihat kaget dengan kalimat yang kubisikkan, matanya melotot. Aku sudah tidak peduli memilih meninggalkannya yang masih terpaku di depan pintu. Entah setan apa yang merasuki tubuhku hingga aku pernah menyukai gadis tidak tahu diri sepertinya. Setelah kejadian itu selera makan pun ikut menghilang. Tiba di rumah aku memilih langsung masuk kamar dan tidur. Hingga melupakan, kalau mungkin saja Ayu sudah menungguku di ruang makan sejak kedatanganku. Aku hanya bangun untuk salat, kubilang saja aku lelah dan butuh istirahat dan terpaksa aku berbohong kalau aku sudah makan di jalan. Walaupun, aku tahu percuma saja berbohong di depan Ayu, dengan mudahnya dia bisa tahu kalau aku tengah berbohong, meski begitu Ayu membiarkanku untuk tidur sendiri, tidak lagi menawariku makan berkali-kali seperti biasanya. Pukul 12 malam aku terbangun dari tidur. Ayu sepertinya belum tidur. Aku bisa merasakan nafasnya yang tidak beraturan, mungkinkah dia mengkhawatirkanku. “Tidur Sayang, sudah malam!Aba
Targetku aku akan buka pada hari Sabtu, karena biasanya jalan ini akan ramai di akhir pekan, aku tinggal di dekat kawasan industri jadi banyak karyawan pabrik yang biasa nongkrong di malam minggu.Hari yang dinanti tiba, sejak subuh aku sudah siap-siap untuk berangkat ke ruko. Aku memperkerjakan 2 orang karyawan satu untuk memasak dan satu lagi untuk melayani tamu mengantarkan pesanan. Sedangkan, untuk bagian kasir sementara meminta bantuan Reno untuk berjaga selagi dia masih libur sekolah, karena wabah yang melanda kota ini.Alhamdulillah hari pertama buka dagangan kami laris, dengan iming-iming diskon 30 persen, ayamku habis tidak tersisa. Rasanya bahagia sekali kerja kerasku tidak sia-sia, tetapi Ayu bilang biasanya saat pembukaan pertama memang akan ramai, untuk hari-hari selanjutnya tidak akan seramai hari ini. Ah tidak apa Dek, nanti kita pikirkan lagi solusi agar kedai makan kita tetap ramai pengunjung.Sempat berpikir, andai saja mempunyai
Pov AyuAku hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang dikaruniai 3 putra.Banyak yang bilang aku ini wanita bodoh, tidak punya harga diri, dan masih banyak lagi hanya karena mereka mengetahui kalau aku lebih memilih bertahan dalam pengkhianatan.Gosip tentang rumah tangga memang sangat cepat tersebar, apalagi suamiku memilih bermain hati dengan anak kosan yang masih satu kompleks dengan tempat tinggal kami.“Mamah Reno maaf ya ini mah jangan kesinggung ya, masa kemarin saya lihat Mas Andi sama anak kosan yang di ujung jalan sini, lagi di Mall berduaan,” ucap Bu Sari setelah pengajian bergilir digelar di rumahnya selesai.Tetanggaku memang sering memanggilku Mamah Reno dari pada Ayu namaku sendiri.“Mungkin sama temennya, Bu,” tuturku meskipun hatiku panas.Tentu saja itu aib suamiku mau tidak mau aku harus menutupinya.“Ih iya Mah, kemarin saya juga liat tuh saya kenal anakny
“Ya Allah, masihkah tersisa pengampunanmu untuk anak durhaka sepertiku,” “Aku telah membencinya-membencinya bertahun-tahun. Engkau menegurku dengan berbagai cobaan, tapi aku tak pernah mau menghadapmu, Izinkan aku ya Allah, izinkan aku membuatnya bahagia sekali saja. Janganlah Engkau cabut kenikmatan hidupnya di dunia.” “Sehatkanlah dia ya Allah, sehat kan dia!” Aku tidak lagi bisa menahan air mata, mengingat dosaku pada Ibuku. Belum selesai mencurahkan isi hatiku, tiba-tiba Reno berteriak memanggil, aku jadi panik dengan cepat aku menghampirinya. “Ke-kenapa Reno bersama Tiara?” “Mah tadi aku menemukan dia udah pingsan di depan rumah kita,” ucap Reno di baringkannya tubuh Tiara di sofa ruang tamu. “Ren kok ada darah bercecer?” Saat itu sepanjang jalan dari halaman depan menuju pintu tampak tetesan darah. “Loh Ren Tiara berdarah Ren, Tiara pendarahan, mamah ambil mobil kamu bawa tiara ke mobil cepet.” Saking paniknya aku sampai berteriak di depan Reno. Kami berinisiatif membaw
“Mas Andi, terima kasih. Mas ‘kan yang mendonorkan darah buat aku? Anak mas juga, kenapa mas pasti sayang banget ya sama aku? Aku terharu mas,” ucap Tiara tidak tahu malu.“Lihat Dek, perempuan tidak tahu malu seperti dia bahkan berani datang ke kandang musuh. Seharusnya kamu membiarkan dia mati saja kemarin,” ucapku.Setiap melihat Tiara aku tidak bisa menahan emosi, hingga kata-kata yang keluar dari mulutku terlampau pedas dan menyakitkan untuk didengar.Berkali-kali Ayu menyuruhku beristigfar, supaya aku lebih tenang. Untuk sesat mungkin bisa tetapi kalau terus-terusan berhadapan dengan Tiara aku bisa darah tinggi.“Jangan panggil aku Mas kamu itu seumuran dengan anakku! Asal kamu tahu kalau bukan karena Ayu. Aku tidak sudi darahku mengalir di tubuhmu, belum puas kamu menghancurkan hidupku? Apa salahku, hah? Aku tidak pernah menyentuhmu! Kenapa kamu bersih keras menjadikanku ayah dari anakmu? Pergi dari rumahku! Jangan pernah datang lagi!”Ayu tiba-tiba memelukku sangat erat, dia b
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali