Jangan lupa tambahkan ke pustaka ya biar enggak ketinggalan update cerita terbaru
“Mas Andi, terima kasih. Mas ‘kan yang mendonorkan darah buat aku? Anak mas juga, kenapa mas pasti sayang banget ya sama aku? Aku terharu mas,” ucap Tiara tidak tahu malu.“Lihat Dek, perempuan tidak tahu malu seperti dia bahkan berani datang ke kandang musuh. Seharusnya kamu membiarkan dia mati saja kemarin,” ucapku.Setiap melihat Tiara aku tidak bisa menahan emosi, hingga kata-kata yang keluar dari mulutku terlampau pedas dan menyakitkan untuk didengar.Berkali-kali Ayu menyuruhku beristigfar, supaya aku lebih tenang. Untuk sesat mungkin bisa tetapi kalau terus-terusan berhadapan dengan Tiara aku bisa darah tinggi.“Jangan panggil aku Mas kamu itu seumuran dengan anakku! Asal kamu tahu kalau bukan karena Ayu. Aku tidak sudi darahku mengalir di tubuhmu, belum puas kamu menghancurkan hidupku? Apa salahku, hah? Aku tidak pernah menyentuhmu! Kenapa kamu bersih keras menjadikanku ayah dari anakmu? Pergi dari rumahku! Jangan pernah datang lagi!”Ayu tiba-tiba memelukku sangat erat, dia b
Aku berdiri di depan cermin. Mematut bayang dari pantulan cermin di depanku. sejenak kami saling pandang dengan bayangan itu. aku mulai memindai penampilanku dari atas sampai bawah, Mungkin ini terakhir kalinya aku akan memakai kemeja dan dasi seperti ini. Tiba di kantor, aku mantap melangkah memasuki bangunan kantor. Pihak HRD sudah menghubungiku pagi-pagi sekali agar nanti aku langsung menemuinya. Aku memang sengaja datang lebih pagi dari biasanya untuk membereskan barang-barang milikku. Belum ada karyawan yang datang hanya ada Pak Eko petugas kebersihan yang tengah berkutat dengan pekerjaannya. Dia menyapa dengan ramah, mungkin dialah satu-satunya orang yang akan menyapaku dengan ramah, karena seisi gedung ini pasti akan memandangku hina karena ulah Tiara. Benar saja HRD memanggilku karna foto-foto itu sudah viral tersebar di dunia maya. Pihak HRD tidak bisa mentolelir, karena perusahaan kami memang sering mengusut tema keluarga. Pemimpin perusahaan yang notabene punya pengala
“To, ini loh Bapa dikasih sama yang punya Ayam geprek yang di sana!” Ditunjuknya ruko ayam geprek miliku. “Wah yang Toto mau itu ya Pa, Hore! Mana? Sini Pak, Toto mau makan!” sahut anak itu dengan riangnya. Toto masih berumur 3 tahunan dan satu lagi yang menggandengnya kuperkirakan berumur 12 tahun mereka tampak menggandol karung berisi botol plastik bekas. Sungguh miris padahal harga ayam geprekku tidak seberapa, ternyata anak ini sudah lama ingin mencicipi ayam geprekku, karena takut mengganggu mereka makan aku segera berpamitan dari sana. “Dek, sepahit itukah kehidupan di jalanan?” tanyaku pada Ayu. Kini, kami tengah berada di dalam mobil menuju arah pulang. “Iya Bang keras dan kejam, makanya kita harus banyak bersyukur, masih punya segalanya. Rumah, keluarga juga usaha. Sayangnya, kita malah sering lupa buat bersyukur.” “Bang Adek punya ide, bagaimana kalau kita kasih diskon 50 persen setiap hari Jumat, biar kita bisa promo sambil sedekah?” “Apa enggak bakal rugi? Abang ta
“Abang udah pernah salat tobat?” tanya Ayu. “Belum Dek, memang harus?” tanyaku balik. Aku pernah mendengar tentang salat tobat tapi tidak pernah berpikir untuk melakukannya. Walaupun aku merasa sudah melakukan kesalahan yang fatal sekalipun. Kurasa Tuhan akan mengerti tanpa harus aku melakukan salat taubat. “Waktu Abang ngelakuin kesalahan Abang ngejelasin panjang lebar ke Adek, tujuannya biar Adek maafin Abang ‘kan? Kenapa Abang ga mau mengakuinya di depan Allah sekali lagi?” Pertanyaan Ayu membuatku terpojok. “Hehehe gitu ya De.” Aku sampai tidak bisa berkata-kata. Aku menoleh ke arah Ayu tapi tidak lama menatap lurus langit-langit kamarku lagi. “Abang pasti mikir kalau Tuhan pasti udah ngerti tanpa Abang jelasin, iya Kan?” “Iya, Dek,” “Tuhan memang Maha mengetahui Bang, tapi apa salahnya kalau Abang mengkhususkan taubat Abang dengan salat,” “Apa Allah akan mengampuni Abang, Dek?” tanyaku, entah kenapa ada sedikit keraguan dihatiku. “Insyaallah Bang, hanya ada satu dosa yan
“Ren enggak baik ngomong kayak gitu, dia itu nenekmu Ren, ibunya mamah,” ucapku mencoba menenangkan Reno.“Apa dia pernah menganggapku cucunya Pah?“Mengakuinya atau tidak kamu tetap cucunya Ren,” ucapku.Reno lagi-lagi tersenyum kecut ke arahku. Dia terkesan meremehkan ucapanku, aku bisa mengerti perbuatan Ibu mertuaku juga sangat menyakiti Reno.“Demi Mamah bersikap baiklah kali ini Ren, hargai dia demi Mamahmu,” ucapku.“Demi Mamah? Aku tidak sebaik Mamah Pah,” ucap Reno. Aku menyerah sepertinya Reno tidak bisa diajak bicara, dia begitu keras kepala, sepertinya aku harus menyuruh Ayu agar dia mau bicara dengan Reno.“Ya sudah Papah mau ke sana sebentar,” pamitku pada Reno aku harus segera membicarakan hal ini dengan Ayu.Reno hanya mengangguk tanda setuju. Kucolek pinggang Ayu agar dia mau menoleh ke arahku, ku ajak dulu dia sedikit menjauh dari Ibu. Ak
PEP! PEP! PEP!Mobilku diklakson orang, sepertinya aku berhenti cukup lama. Dengan segera aku menginjak pedal gas agar segera melaju. Sepulang dari Lapas aku berpikir apakah harus mencabut tuntutan? rasanya tidak tega melihatnya menderita begitu, ah karena memikirkan itu aku jadi lupa untuk menelepon Reno, untuk memastikan apakah dia ada di Lapas atau tidak.Dek maukah kamu pinjamkan hatimu buat Abang sebentar saja, supaya Abang bisa punya hati seluas samudera sepertimu? Tidak seperti hati Abang yang kotor, maafkan Abang Dek, bahkan sampai hari ini Abang belum bisa mengikhlaskan kesalahan Tiara.“Bu Ratna, Reno mana ya kok gak kelihatan?”Bu Ratna adalah ART ku karena dia seumuran dengan ibuku, aku dan Ayu memanggilnya Ibu. Aku masih penasaran, di sisi lain ,mungkin hanya salah lihat tapi di kedai tak kudapati Reno.“Oh tadi Reno udah ke sini sih tapi katanya mau nengokin temennya,”“Temennya di mana Bi? Siapa t
PoV Reno Siapa bilang hidup dengan nenek itu enak, seperti kata orang yang katanya nenek kebanyakan akan lebih menyayangi cucunya dari pada anaknya sendiri, kenyataannya terjadi dalam kehidupanku, justru sebaliknya, jangankan baik, dihargai sebagai manusia pun sudah beruntung. Nenekku tipe wanita yang keras, dia bukan orang yang mau di salahkan,. Selalu saja ingin menang sendiri. Pikiran kolot begitu melekat dalam dirinya. Apakah dengan menjadi tua, manusia akan berubah menjadi menyebalkan? Tak hanya tingkah lakunya saja yang menyakiti, yang bahkan tak segan main fisik, tapi jauh dari itu capannya lebih-lebih menyakitkan hati. Apa lagi Mamahku dari kecil. Aku yakin sekali kehidupan Mamah pasti tak jauh berbeda dengan masa kecilku yang di habiskan dengan wanita temperamental yang gila pria. Silakan orang mau bilang apa, cucu durhaka? Biarkan saja orang menganggapnya begitu. Kebencianku padanya, sudah terlanjur mendarah daging. Andai saja sudah besar waktu Nenek memarahi Mamahku dulu
PoV R enoTerhitung sudah 2 bulan, menikmati permainanku Tiara, tentunya bersama nyamuk-nyamuk gaib yang hanya terlihat olehku.Suatu hari aku ingin sekali masak mie instan, karena aku sudah biasa melakukan semuanya sendirian, ada atau tidak ada ART menurutku tidak ada bedanya.Bedanya hanya Mamah jadi lebih bersemangat, karena pastinya pekerjaan Mamah jadi banyak berkurang.“Ren kalau nyuci mangkok itu enggak boleh bersuara sampai berisik, walaupun piring itu benda mati kita harus memperlakukannya dengan hati-hati Ren,” ucap Mamah saat aku tengah mencuci piring bekas aku makan mie instan.“Loh memang kenapa sih Mah lagian ini kan piring melamin gak bakal pecah?” jawabku“Kamu tahu setiap makhluk yang tidak bernyawa sekalipun, seperti piring contohnya mereka itu senantiasa bertasbih kepada Allah, cuma kitanya aja enggak ngerti bahasa mereka,” ucap mamah pa
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali