“Ren enggak baik ngomong kayak gitu, dia itu nenekmu Ren, ibunya mamah,” ucapku mencoba menenangkan Reno.
“Apa dia pernah menganggapku cucunya Pah?
“Mengakuinya atau tidak kamu tetap cucunya Ren,” ucapku.
Reno lagi-lagi tersenyum kecut ke arahku. Dia terkesan meremehkan ucapanku, aku bisa mengerti perbuatan Ibu mertuaku juga sangat menyakiti Reno.
“Demi Mamah bersikap baiklah kali ini Ren, hargai dia demi Mamahmu,” ucapku.
“Demi Mamah? Aku tidak sebaik Mamah Pah,” ucap Reno. Aku menyerah sepertinya Reno tidak bisa diajak bicara, dia begitu keras kepala, sepertinya aku harus menyuruh Ayu agar dia mau bicara dengan Reno.
“Ya sudah Papah mau ke sana sebentar,” pamitku pada Reno aku harus segera membicarakan hal ini dengan Ayu.
Reno hanya mengangguk tanda setuju. Kucolek pinggang Ayu agar dia mau menoleh ke arahku, ku ajak dulu dia sedikit menjauh dari Ibu. Ak
PEP! PEP! PEP!Mobilku diklakson orang, sepertinya aku berhenti cukup lama. Dengan segera aku menginjak pedal gas agar segera melaju. Sepulang dari Lapas aku berpikir apakah harus mencabut tuntutan? rasanya tidak tega melihatnya menderita begitu, ah karena memikirkan itu aku jadi lupa untuk menelepon Reno, untuk memastikan apakah dia ada di Lapas atau tidak.Dek maukah kamu pinjamkan hatimu buat Abang sebentar saja, supaya Abang bisa punya hati seluas samudera sepertimu? Tidak seperti hati Abang yang kotor, maafkan Abang Dek, bahkan sampai hari ini Abang belum bisa mengikhlaskan kesalahan Tiara.“Bu Ratna, Reno mana ya kok gak kelihatan?”Bu Ratna adalah ART ku karena dia seumuran dengan ibuku, aku dan Ayu memanggilnya Ibu. Aku masih penasaran, di sisi lain ,mungkin hanya salah lihat tapi di kedai tak kudapati Reno.“Oh tadi Reno udah ke sini sih tapi katanya mau nengokin temennya,”“Temennya di mana Bi? Siapa t
PoV Reno Siapa bilang hidup dengan nenek itu enak, seperti kata orang yang katanya nenek kebanyakan akan lebih menyayangi cucunya dari pada anaknya sendiri, kenyataannya terjadi dalam kehidupanku, justru sebaliknya, jangankan baik, dihargai sebagai manusia pun sudah beruntung. Nenekku tipe wanita yang keras, dia bukan orang yang mau di salahkan,. Selalu saja ingin menang sendiri. Pikiran kolot begitu melekat dalam dirinya. Apakah dengan menjadi tua, manusia akan berubah menjadi menyebalkan? Tak hanya tingkah lakunya saja yang menyakiti, yang bahkan tak segan main fisik, tapi jauh dari itu capannya lebih-lebih menyakitkan hati. Apa lagi Mamahku dari kecil. Aku yakin sekali kehidupan Mamah pasti tak jauh berbeda dengan masa kecilku yang di habiskan dengan wanita temperamental yang gila pria. Silakan orang mau bilang apa, cucu durhaka? Biarkan saja orang menganggapnya begitu. Kebencianku padanya, sudah terlanjur mendarah daging. Andai saja sudah besar waktu Nenek memarahi Mamahku dulu
PoV R enoTerhitung sudah 2 bulan, menikmati permainanku Tiara, tentunya bersama nyamuk-nyamuk gaib yang hanya terlihat olehku.Suatu hari aku ingin sekali masak mie instan, karena aku sudah biasa melakukan semuanya sendirian, ada atau tidak ada ART menurutku tidak ada bedanya.Bedanya hanya Mamah jadi lebih bersemangat, karena pastinya pekerjaan Mamah jadi banyak berkurang.“Ren kalau nyuci mangkok itu enggak boleh bersuara sampai berisik, walaupun piring itu benda mati kita harus memperlakukannya dengan hati-hati Ren,” ucap Mamah saat aku tengah mencuci piring bekas aku makan mie instan.“Loh memang kenapa sih Mah lagian ini kan piring melamin gak bakal pecah?” jawabku“Kamu tahu setiap makhluk yang tidak bernyawa sekalipun, seperti piring contohnya mereka itu senantiasa bertasbih kepada Allah, cuma kitanya aja enggak ngerti bahasa mereka,” ucap mamah pa
Pov RenoPah, bagaimana keadaan Mamah?”Aku menepuk pundak Papah perlahan.“Mamahmu kritis, Ren.”Papah tertunduk lesu.“Dedek bayi bagaimana ,Pah?”“Dia baru saja meninggal Ren, tapi mama…, rahim mamah rusak. Harus diangkat. Perutnya kena benturan keras. Astaghfirrullahaladzim, ya Allah.”Papah mengusap wajahnya yang sudah basah dengan air mata.Hatiku begitu nyeri, mendengar setiap penjelasan Papah. Mobil Mamah menabrak pohon hingga berguling turun ke sawah. Membayangkannya saja tidak sanggup. Aku duduk di bangku depan ruangan operasi mamah, tasbih dan salawat tidak henti-hentinya aku lafalkan, demi kesembuhan Mamah.Hingga tiba-tiba dokter keluar dari ruang operasi, kata dokter operasi pengangkatan rahim sudah berhasil.Alhamdulillah.Aku ikut lega mendengarnya. Aku bisa melihat di kaca tembus pandang badan Mamah penuh de
Pov RenoSetelah aku memberi pengertian sebisaku pada Randi dan Ilham, akhirnya mereka mau melepaskanku. Aku segera berangkat menuju rumah sakit.Setelah sampai, aku menyuruh Papah untuk segera pulang, karena dedek bayi sudah dimandikan dan sebentar lagi mungkin akan disalatkan.Aku masuk ke ruangan. Di sana Mamah punya ruangan sendiri, jujur saja aku sangat mengantuk dari semalam aku belum tidur sama sekali saat aku ke sini. Papah juga ketiduran di samping Mamah, kami berdua memang tidak tidur semalaman. Menunggu mamah keluar dari ruang ICU.Pukul 14:00 aku terbangun, ternyata mamah masih belum sadar juga. Aku pun bergegas menunaikan salat dzuhur karena waktunya sudah mepet. Sengaja kupanjangkan zikirnya supaya hatiku lebih tenang karena dari kemarin perasaanku tidak karuan memikirkan keadaan Mamah yang sampai sekarang belum sadar juga.“Ren.”Tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namaku dengan lirih. Ternyat
Kenapa ujian rumah tangga kami seakan tak pernah selesai? Baru selesai ujian tentang Tiara, malah datang lagi ujian yang lain. Di antara semua masalah, kenapa Engkau memilih Ayu yang jadi korbannya?Aku tidak tahu akan seperti apa hiduku tanpa Ayu, partner hidupku selama ini? Kenapa Engkau mengujinya dengan kesakitan berkali-kali? Kenapa bukan aku, padahal aku yang lebih banyak berdosa dibandingkan dengan istriku? Duniaku mendadak berhenti, setelah menerima telepon dari rumah sakit kalau istriku kecelakaan. Tanpa pikir panjang aku segera menuju rumah sakit.Rasanya hancur ketika harus kehilangan calon anakku yang usianya menunggu 2 bulan lagi lahir ke dunia ini. Anakku perempuan. Hidungnya mancung seperti punyaku. Belum lagi operasi pengangkatan rahim Ayu selesai, bayi kecil itu sudah lebih dahulu meregang nyawa.“Sayang kenapa harus pergi secepat ini, bahkan Mamah belum sempat gendong?” kata Ayu.Seorang suster datang mengham
“Adek kenapa? Kenapa Adek sedih, bukannya harusnya Adek senang. Lihat deh anak-anak sayang banget sama Adek!”Kini kami hanya berdua anak-anak sedang disuapi Bu Ratna diruang makan.“Harusnya Adek yang melayani mereka, bukan mereka, hiks.” Ayu menangis lagi. Sejak kecelakaan memang berubah menjadi lebih emosional.“Jangan ngomong begitu! Besok kita udah mulai fisioterapi. Adek mau bisa jalan lagi kan?” tanyaku.“Fisioterapi itu biaya mahal Bang, Adek ga mau ngerepotin..”“Eh siapa bilang Adek merepotkan Abang, Abang punya uang pesangon yang jumlahnya lumayan kita pakai uang itu oke,” ucapku.“Itu buat biaya pendidikan Reno Bang, aku ga mau ngorbanin Reno.”“Sayang sejak kapan kamu meragukan Allah? Setiap anak itu pasti bawa rezekinya masing-masing, tenang aja Abang ga bakal biarin Reno sampai ga kuliah! Adek percaya sama Abang kan?”Ayu pun mengangguk setuju.Hari ini Ayu mulai melakukan fisioterapi di rumah sakit. Di hari pertama dokter memijat kaki Ayu, tidak banyak yang dilakukan
Empat bulan berlalu, kini Ayu sudah belajar melangkah, walaupun masih kaku. Perkembangannya cukup baik, setidaknya ia sudah bisa berjalan menggunakan tongkat. Setiap pagi aku mulai menuntunnya berjalan di halaman rumah. Rasanya senang sekali, karena akhirnya aku kembali menikmatinya senyum yang sudah lama hilang di bibir ranumnya yang kemerahan. Tepat saat kami melakukan sesi Latihan berjlaan. Bel rumah kami berbunyi. Rupanya di balik sana ada Maura dan Ibu. “Eh Mbak udah bisa jalan, ya? Alhamdullillah,” ucap Maura dengan penuh syukur. “Alhamdulillah. sedikit-dikit Ra.” Begitu pintu terbuka, mereka lantas mendekat. Sontak saja, kami saling bersalaman, kemudian mempersilakan keduanya untuk masuk. Mengetahui kedatangan tante dan neneknya, anak-anak berhamburan keluar, terlebih Randi seketika merajuk minta digendong. Saat itu ada hal yang membuatku sangat tidak nayaman. Cara Ayu memandang kedekatan Randi pada adik perempuannay seolah-olah menggambarkan perasaan cemburu. Belum lagi,
Aku tidak menyadari jika aku terlalu lama berada di toilet, sampai kemudian Mas Syahru menyusul ke sini. Aku buru-buru keluar agar ia tak khawatir.“Ada apa? Kenapa lama banget ke toiletnya? Perutmu sakit?”“Hm, sedikit, tapi udah lebih baik.”“Apa karena obat antidepressant itu?”“Enggak.”“Obatnya sudah habis dan aku udah enggak pernah minum lagi sejak sebulan yang lalu.”“Loh, kenapa?”“Maaf, tapi kepalaku sering sakit kalau terus-terusan minum obatnya.”“Terus sekarang kenapa bisa sakit?”“Mungkin cuma masuk angin. Aku mau ganti baju dulu, gamisku kena muntahan.”“Muntah? Memangnya dari tadi kamu muntah?”“Iya.”“Kapan terakhir datang bulan?”“Hm, ya Allah udah 2 minggu yang lalu.”Pria itu mendadak tersenyum, bukan hanya tersenyum ia bahkan tiba-tiba saja mengangkatku dan memutarnya.Ya Tuhan aku masih lemas karena muntah yang tak kunjung usai, ia malah membuatku pusing dengan berputar-putar.“Mas turunin dulu, aku mabok!”“Maaf ya, Mas seneng aja. Ini kamu pasti hamil Sayang.”
Bahkan sekarang melihatku tak berdaya. Pria ini tak hanya memanggilkan dokter, ia juga rela mengurus rumah bahkan menyuapiku makan dan membantu ke toilet.Entah kenapa dengan fisikku. Aku begitu takut dengan ancaman, setelah berbulan-bulan terus saja ditekan dengan berbagai hinaan, makian bahkan kadang-kadang ada juga beberapa akun yang mengancamku. Aku masih baik-baik saja, karena aku pikir itu hanya ucapan tanpa pembenaran. Namun, nyatatanya saat tahu jika kemarin aku benar-benar diancam. Pertahananku benar-benar runtuh.“Al, kita ke rumah sakit saja ya!”“Enggak Mas, aku baik-baik saja.”“Kamu terus saja waspada sejak kemarin bahkan belum tidur sama sekali.”Bagaimana aku bisa tidur jika, setiap waktu aku terus ketakutan kalau mungkin saja ada yang akan datang ke rumah. Ketakutan itu semakin menjadi mana kala tak ada orang di rumah.“Reza enggak akan ke sini Sayang, kalau kamu terus begini bisa ganggu kesehatan. Kita ketemu psikiater aja oke?”“Aku enggak gila.”“Enggak semua orang
“Ya Allah Mas, itu bukannya orang yang pernah datang ke rumah kita?”“Iya, itu anak buahnya Reza.”“Mau apa lagi coba? Kok bisa tahu kita ada di sini?”“Entah, nah itu Rezanya datang. Kamu jangan jauh-jauh dari Mas. Sini pegangan! Kita emang enggak bisa terus menghindar. Di sini banyak CCTV jadi kalau ada apa-apa banyak saksinya. Kamu jangan takut!”Pria itu menggenggam lenganku lantas mulai berjalan menuju Reza yang kini juga menatap kami ke arah yang sama. Di sampingnya sudah ada dua orang pria berbadan tegak dan besar yang melihat kami dengan tatapan sangarnya yang khas.Tak lama beberapa bawahannya yang lain juga datang dan berjajar di belakangnya. Namun, seolah tak kenal takut Mas Syahru terus melangkah.Sampai kemi berdiri tepat di depan pria itu, ia tiba-tiba saja menghadiahi pukulan yang cukup keras di perut sahabatnya. Hampir saja dua bawahannya membalaskan apa yang ia lakukan pada Reza, kalau saja tak dicegah oleh atasannya, aku yakin Mas Syahru juga sudah mendapatkan pukula
“Apa sih Sayang, pikiran kamu itu ya! Kotor banget.”“Memang kenyataannya begitu ‘kan?”“Suamimu ini masih normal. Mana mungkin mau melakukan hubungan sesama jenis. Membayangkannya saja sangat mengerikan.”“Ya terus kalau Reza nginep dia tidur di mana?”“Di bawah, di sofa tempat Mas biasa tidur.”“Memangnya dia mau.”“Ya, harus mau. Suruh siapa numpang tidur di sini. Sudah tahu rumahnya kecil.”Ternyata berbeda sekali perlakuannya padaku dan orang lain.“Meskipun Mas berteman baik, Mas juga enggak naif. Dia dari awal memang keliatan enggak normal sejak kasus pelecehan itu, jadi harus pintar jaga diri.”“Baguslah.”“Udah enggak marah lagi?”Aku hanya menggeleng.“Cie ada yang cemburu.”“Aku hanya bertanya, tolong jangan menafsirkannya sebagai cemburu.”“Orang enggak akan bertanya jika tidak cemburu.”Entah sejak kapan pria ini menjadi sangat narsis. Sepanjang jalan menuju rumah ia bahkan terus saja memaksaku untuk mengakui kecemburuanku padanya.“Iya, aku cemburu sama Reza. Puas?”Seka
“Loh, memangnya sudah?”Aku bahkan bisa melihat matanya yang sejak tadi meredup, mendadak berbinar.Aku hanya mengangguk, tetapi pria itu malah kembali memelukku. Kali ini ia bahkan mendaratkan kecupan singkat di kening.“Sejak kapan?”“Memangnya harus aku kasih tahu?”“Ya harus dong, Sayang.”“Mungkin sebelum Mas mengutarakan semuanya.”“Ya Allah, ih masa sih. Enggak nyangka deh.”“Terus kenapa kemarin kesannya kamu kayak mau nolak Mas.”“Siapa yang enggak shock lihat pasangan sendiri punya hubungan yang cukup dekat dengan sesama jenis lagi. Aku hanya perlu waktu meyakinkan diriku sendiri, kalau memang semua in hanya salah paham.”“Jadi sekarang ceritanya sudah yakin?”“Insyaallah, melihat bagaimana Mas bersikeras untuk melindungiku. Itu saja sudah cukup untuk membuktikan semuanya.”“Kalau begitu ayo!”“Ke mana?”Ia malah menatap pintu kamar kami yang saat itu masih terbuka. Siapa lagi yang melakukannya kalau bukan Reza si pembuat onar itu bahkan tak menutupnya kembali.“Mas memangny
“Kamu di rumah aja. Mas yang ke sana. Kunci pintu ya, jangan keluar kalau ada yang ketuk. Mas ‘kan tahu sandinya jadi pasti langsung masuk.”“Oke.”Aku hanya bisa mengiyakan apa yang diperintahkan suamiku, sebelum akhirnya ia pergi untuk mengatasi kekacauan. Saat itu aku memang mengantarnya sampai ke depan.Namun, begitu aku akan kembali masuk, Luna yang kebetulan tengah membuang sampah malah menyapaku.“Pagi Ka, baik-baik aja ‘kan?” katanya.Entah kenapa ia bertanya seperti itu. Apakah memang wajahku terlihat bermasalah?“Alhamdulillah.”“Syukurlah, oh ya Ka, aku boleh minta tolong boleh enggak?”“Apa?”“Hari ini aku masak banyak buat acara nanti siang. Kakak bisa enggak cobain masakan aku, kurang apa gitu. Aku enggak percaya diri, masalahnya aku baru mau coba masak. Resepnya aja lihat di youtube.”“Boleh.”Gadis cantik berusia 22 tahun ini merupakan seorang karyawan di bank swasta. Setahuku ia memang tak suka memasak, bahkan pernah mengatakan jika ia tak tahu sama sekali tentang bu
Hingga terdengar decit pintu yang terbuka barulah aku berani untuk membuka selimut. Untungnya yang datang suamiku.“Jangan takut Al, itu hanya ban motor yang tetangga yang pecah.”“Astaghfirrullah.”“Kejadian kemarin pasti bikin kamu trauma, ya?”“Enggak kok Mas, aku cuma sedikit takut aja. Enggak sampai ke tahap trauma. Terus bagaimana orang yang bawa motornya baik-baik aja ‘kan?”“Alhamdulillah. Mas Danu baik-baik saja kok. Dia baru aja pulang shift 3.”“Ada-ada saja.”“Iya, sampai tetangga kita keluar semua. Dikira bom.”Aku sampai tertawa karenanya. Memang bunyinya seperti itu.“Nah, begitu dong. ‘Kan tambah cantik kalau ketawa.”“Apa sih Mas, pagi-pagi bukannya sarapan malah gombal.”“Lihat wajah kamu aja sudah kenyang kok.”“Ih, malah tambah gombal. Sudahlah aku mau ke bawah dulu, kita sarapan roti bakar dulu ya.”“Hm, boleh. Asalkan buatanmu semuanya enak.”“Timbang masukin ke panggangan aja kok enak, Mas. Itu mah standar rasanya.”“Tapi, ‘kan beda rasanya kalau makanan dibuat
Tepat saat hantaman keras pada pintu itu semakin intens terdengar, petugas keamanan untungnya segera datang. Barulah aku berani menilik dari celah gorden yang terbuka. Itu pun dari balik kamar yang berada di lantai 2. Rupanya tak hanya ada petugas, orang-orang sekitar rumah pun ikut melihat kekacauan itu.Ya Tuhan aku pikir ia menghantam pintu dengan tangannya. Namun, setelah melihat halaman rumah yang berantakan barulah aku tahu jika ia bahkan tak sekedar datang, tetapi juga merusak.Melihat dari kejauhan saja, sepertinya postur tubuh itu sangat mirip dengan Reza.“Ya Allah jangan-jangan memang dia, yang menyebarkan berita itu. Lagi pula siapa lagi orang terdekat kami yang mengetahui rahasian ini, selain dia.”Aku bergegas turun, mengingat salah satu petugas keamanan mulai mengetuk pintu. Sepertinya mereka ingin aku memberikan keterangan.Luna yang tak lain salah satu tetangga rumahku, seketika menghambur dan memelukku erat.“Ka Alea baik-baik aja, ‘kan?” katanya dengan wajah yag kha
“Mas sebenarnya mau melakukan apa?”“Mas tahu siapa biang dari masalah ini.”“Siapa?”“Kamu juga kenal orangnya. Sudah nanti saja kita bahas!”Ia sudah akan beranjak, tetapi kemudian malah kembali berbalik dan mendekat padaku. Ia tangkupkan kedua telapak tangannya itu di wajahku.Aku harus apa? Bahkan, dalam suasana yang genting saja ia masih saja bersikap romantis.“Jaga diri baik-baik, ya!”“Hm.”Tiba-tiba saja ia menarik kepalaku mendekat, sampai kemudian kurasakan benda kenyal itu menempel di keningku. Ada bekas basah yang kian mengering seiring dengan hembusan angin yang menerpa wajah, begitu pintu rumah kami terbuka.Bodohnya kenapa aku hanya diam saja. Seharusnya berontak saja.“Aku harus pergi Al, jangan sedih. Semuanya akan baik-baik saja. Bahkan jika mereka berhasil mengantongi bukti itu, Mas yang akan membuktikan sendiri kalau pernikahan kita memang sungguhan.”“Terima kasih, tapi bisakah berjanji satu hal saja padaku.”“Apa?”“Aku cuma punya Mas di sini, janji buat kembali