Yang barusan itu hampir saja, pikir Svaha.
Setelah mobil Laung menghilang dari pekarangan kamar sewanya, Svaha mendudukkan diri di sofa dengan tarikan dan helaan nafas luar biasa panjang yang sepertinya cukup untuk menghabiskan kadar oksigen di dalam kamar itu.
Diam-diam jemarinya yang terlalu lentik untuk seorang lelaki iseng menyentuh pipi—di sana, tempat Arkana biasa menciumnya sebelum mereka berpisah. Svaha bertanya-tanya kenapa hari ini jadi beda ketika sebelum pergi.
Jangan-jangan ia sedang berharap pada Arkana. Svaha mungkin terlalu menganggap serius apa yang terjadi semalam. Saat mereka mabuk.
Oh, tapi itu tidak boleh.
“Mungkin aku hanya belum terbiasa. Belum? Berarti aku akan terbiasa? Aku tidak boleh berharap begitu. Bagaimana pun juga ada banyak sekali pengorbanan yang harus aku lakukan jika membiarkan perasaan ini hidup,” gumam Svaha pada dirinya sendiri.
Svaha mengibaskan kepala. Ingat akan bajunya yang terbalik, Svaha segera menanggalkannya. Lalu terbayang lagi rasanya ketika jari-jari kurus Arkana berada di atas tubuh telanjangnya. Lelaki itu menyandar, pandangannya terkonsentrasi pada luka cakar di atas pusarnya.
Ia menyentuhnya. Mengikuti tiap goresan, seperti pemahat pada hasil karyanya. Svaha mendesau, adegan malam tadi menyembul seperti hologram. Ia membelai bekas cakaran itu, dan garis merah tersebut membawa jari-jarinya terjun ke tempat lain. Yang menyamankan.
Svaha menyentuh dirinya sendiri. Kejadian semalam mengalir seperti air sungai yang jernih dan deras. Ingatan itu menyiramnya, memberikan sensasi dingin yang melegakan.
Dan balon endorphin dalam tubuhnya meledak tiba-tiba. Ia hampir saja berteriak.
Svaha minta ampun dalam hati, ia minta ampun pada persahabatan mereka karena telah membayangkan Arkana. Dan bayangan itu menjadikan apa yang mereka rawat menjadi kotor. Sambil mengatur ulang nafas, Svaha memakai baju dan mengeringkan tangannya sekalian.
Setelah merasa tenang, Svaha bangun dan segera mencari telepon genggamnya. Bunyi alarm membantunya menavigasi letak benda itu. Ia menyibak-nyibak bed cover yang kusut.
“Di bawah bantal rupanya,” omelnya. Memindahkan rasa kesal pada benda mati berbentuk persegi panjang dan pipih itu. Svaha segera menyambar ponselnya dan mematikan alarm.
Di layar ada enam panggilan yang tidak terjawab milik Cantra sejak semalam. Svaha mengusap layar itu, tanpa pikir panjang, ia menelepon kekasihnya.
“Sayang,” panggil lelaki itu sebelum suara di sana sempat mengumandangkan halo.
Svaha diam sebentar, lalu mengangguk dua kali meski tak ada yang melihat. “Iya, Arkana sudah pulang. Laung yang jemput tadi.”
***
Cantra sampai saat pintu kamar sewa dalam keadaan terbuka. Setelah malam yang membingungkan, Svaha memutuskan untuk membuka pintu lebar-lebar. Berharap sedikit feng-shui bisa merubah suasana hatinya yang hambar. Ia sempat bersih-bersih dan menyapa tukang angkut sampah. Dan, seperti tukang sampah yang kebingungan, Cantra memasang tampang aneh saat masuk.
“Ada musibah apa?” tanya Cantra sambil mendekati Svaha. Ia memusung rambutnya agar tengkuknya yang berkeringat cepat kering. Lalu ia berkacak pinggang.
“Aku bersih-bersih,” jawab Svaha, masih sambil menggosok bagian atas meja kopi di depan sofa. Lelaki itu sama sekali tidak menoleh pada Cantra.
Dengusan Cantra terdengar sangat meremehkan. Ia mengambil jarak lebih dekat dengan Svaha, memeluk lelakinya dari belakang.
“Habis bikin dosa apa kalian semalam? Sampai kamu melakukan ritual eksorsisme di hari libur yang sangat jarang ini?”
Svaha yang tersentak dengan kalimat Cantra, menoleh pada perempuan itu tapi lupa mengontrol wajah. “Kentara sekali ya?” Ia bertanya. Setengah bercanda setengah waspada.
“Biasanya kamu sudah rebahan di sana sambil baca buku setebal empat ratus halaman.” Cantra menunjuk sofa.
Svaha mengangkat bahu dengan canggung. “Aku kehabisan bahan bacaan.”
“Kalau begitu…” Cantra menangkupkan tangannya di pipi Svaha. “Baca aku.”
Ya! Kalimat itu mengalun seperti dialog salah satu novel dewasa terjemahan karangan perempuan yang khusus ditulis untuk mengembangkan pengalaman emosional dan sisi liar kutu buku perempuan yang miskin bersosialisasi.
Svaha tidak bisa menahan senyumnya saat mendengar kalimat yang tujuh puluh lima persennya adalah helaan nafas itu.
“Mau apa kamu, sayang?” suaranya melembut.
“Menggodamu.”
“Hanya menggodaku?”
Cantra mengangguk. Ia diam sedetik, mencium kekasihnya selama dua detik. Setelah paham kalau Svaha memikirkan hal yang sama cabul dengannya, Cantra merangkak menuju pintu depan. Ia mendorong pintu itu, menguncinya. Saat kembali ia mempreteli sepatunya.
“Sekarang aku akan memperkosamu,” ledeknya. Ia mendorong tubuh pacarnya sampai terlentang.
“Ih, amit-amit.” Svaha mengelak, “Minta baik-baik saja, tentu dengan senang hati kuserahkan semuahnyah.”
“Ih, amit-amit.” Cantra balik mencibir, “Sebaiknya kita tidak menggunakan kata-kata dengan konotasi sensitif seperti itu. Aku tidak sanggup mendengar itu.”
“Aku setuju. Lalu kita ganti dengan apa?”
“Mungkin, diganti dengan kata mengontrol atau mendominasi.”
Svaha tertawa, “Apa kita ulangi dari awal saja?”
Cantra menggeleng, bandul kalungnya tergelincir dari dalam baju dan menggantung seperti pendulum. Itu batu kecubung. Cantra ikut memerhatikan benda itu dan ia tidak berhenti. Jari-jarinya mulai merangkak naik ke dada Svaha, lalu bergantung di tulang selangkanya.
“Di sini?” Pandangan Svaha menyapu ruang tamu, lalu menggigit bibir.
Cantra mengangguk.
“Aku belum mandi, aku berkeringat, aku—”
Cantra menghentikan kalimat lelaki di depannya, membuat kata menguap jadi desau. Dan desau membaur dengan cuaca. Udara mendadak hangat di atas permukaan kulit mereka. Cantra merangkak seperti laba-laba.
(Flashback dalam pikiran Svaha)
Nafasnya menyapu wajah Svaha, bau alkohol menyeret oksigen—masuk ke dalam lubang hidung Svaha, sisanya membuat perih mata. Tapi tak seperti biasanya, si lelaki malah menghirup racun itu serakus yang ia bisa. Arkana, apa yang akan gadis itu ingat besok pagi?
Pori-pori Svaha tak ia biarkan tidur. Meski tak memiliki mata, jemari Cantra sudah hapal dengan tubuh Svaha. Cantra membimbing cacing gemuk dalam mulutnya, menjelajahi barisan tulang dalam baju Svaha. Svaha menutup mata, sebuah kesalahan besar. Karena bayangan Arkana semalam malah bergentayangan dengan bebas.
Svaha diam saja. Ia biarkan Arkana melakukan maunya. Sahabatnya sedang mabuk, ini bukan kesalahannya. “Biar kuteguk paksa alkohol itu nanti. Jadi, saat pagi datang, kami tak akan saling menyalahkan.” Svaha meyakinkan dirinya sendiri.
Lalu dalam kekinian waktu, gelombang suara dengan frekuensi aneh menggaruk gendang telinga lelaki itu tiba-tiba, membuat saraf-sarafnya berdenyut. Cantra perempuan yang pandai menghibur.
“Arkana perempuan yang pandai menyiksa. Tapi siksaan itu! Tidak mungkin! Aku menyukainya. Aku adalah seorang pembohong!” Svaha menyalahkan dirinya sendiri.
“Ar—Cantra, Cantra. Hentikan.” Svaha memeluk kekasihnya erat-erat. Khawatir akan menyakiti perasaan Cantra karena hampir ia salah bicara. Meski tak akan mungkin ia mengaku kalau bukan Cantra gadis yang sedang dia bayangkan. Hampir saja.
Cantra kembali dari buaian sihirnya, ia mencium Svaha. Dua kali.
“Apa tulangmu sakit? Sepertinya, lantai memang bukan pilihan baik.” Cantra mengeluhkan lututnya yang nyeri kemudian.
Svaha tersenyum. “Mungkin yang orisinal saja.”
“Konvensional. Oh, kita ini memang membosankan.” Gadis itu menggertutu, kali ini tanpa nada kecewa.
Sambil menuntun Cantra ke atas tempat tidur, Svaha memaki dirinya sendiri. Ia memaki kesadarannya. Memaki lemahnya konsentrasi yang ia miliki. Svaha memaki ketidak terbukaannya pada Cantra. “Kenapa tak kuakui saja dari tadi? Aku hanya tinggal minta maaf, menyalahkan minuman keras. Lalu pura-pura menyesal. Aku tinggal mencium kakinya dan bilang ‘aku cinta padamu’ paling tidak tiga kali,” ujarnya dalam hati.
“Tapi bagaimana jika Cantra tidak bisa memaafkanku, bagaimana jika dia meninggalkanku? Bisakah aku sendirian menghadapi ini? Menghadapi apa? Bukannya aku menyukainya? Aku tidak menolaknya. Aku menginginkannya. Dan aku juga tidak mendorong Arkana untuk memulainya.” Svaha masih terus berdebat dengan dirinya sendiri.
“Bagaimana jika Cantra memaafkanku, tapi ingin aku menyudahi pertemananku dengan Arkana? Apa yang akan kukatakan pada ibunya? Ibuku? Bagaimana jika mereka mencari tahu dan akhirnya ikut campur. Aku tidak ingin membayangkannya. Lalu, apa memutuskan bicara dengan Arkana nanti adalah tindakan bijak? Lalu apa? Lalu kami berdua akan menyimpannya di kotak rahasia kami dan tidak pernah membukannya? Membayangkan kerumitan yang belum terjadi membuat kepalaku pening.” Sementara Svaha tahu kalau waktu tidak mungkin berputar kembali dan ia juga tak sepenuhnya menyesali tindakannya.
Sekarang Svaha sedang tak punya pilihan lain. Ia harus segera menyelesaikan yang ini, baru setelahnya ia bertekad untuk menghukum diriku sendiri. Dengan gerakan yang konyol ia persilahkan kekasihnya naik ke tempat tidur. Lalu Svaha menyusul, berbaring di sebelah Cantra.
“Mari kita ulang sekali lagi.” Svaha menyemangati diri sendiri.
Svaha menghirup nafas panjang. Tapi sial sekali, bau parfum Arkana yang tertinggal di bantal menamparnya lagi. Svaha sempat berharap ada gempa bumi sehingga ia bisa melarikan diri dari penyiksaan ini—paling tidak untuk sekarang saja.
Lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Cantra.
“Sva!” Cantra mendorong Svaha tiba-tiba.
“Apa? Ada gempa bumi?” Svaha sempat terpikir kalau dirinya sehebat itu.
“Hidungmu mimisan.”
Sekali lagi, Svaha memaki dirinya dalam hati.
“Boo...” Arkana meniup telinga Svaha dari belakang ketika ia sedang membungkuk dengan tindak-tanduk mencurigakan di belakang pilar lorong kelasnya.Tidak. Ia tidak tersentak, atau kaget. Svaha hanya memberi jarak satu atau dua detik untuk menyadari keberadaan Arkana. Kemudian menegakkan tubuhnya dengan anggun. Berbalik dan menghadapi temannya.“Kaget?” tanya Arkana dengan nada riang.Svaha menggeleng. Tapi, wajahnya ketakutan—pucat seperti maniak yang baru saja kepergok mencuri celana dalam.“Siapa yang kamu hindari?” Arkana ikut menengok dari posisinya.“Tidak ada.”Arkana merasa curiga, ia memincingkan mata. Terbiasa memaklumi sikap Svaha yang aneh. Mereka berteman lama sekali. Jadi Arkana tahu kalau Svaha sedang ‘begini’, artinya sahabatnya itu sedang menghindarinya. Tentu saja.Sama seperti dulu itu. Ketika Arkana memergokinya bersikap mencurigakan.
Sayup-sayup gurau mahasiswa membaur bersama suara serangga musim panas. Pohon-pohon muda menari di luar jendela kelas mata kuliah Estetika. Burung-burung terbang dari atap ke dahan mencari-curi hangat di bawah terik matahari. Di bawahnya, di pojokan sebelah luar gedung, kucing liar mengais biji nasi yang tertinggal di kertas minyak. Sampah sarapan mahasiswa terpelajar miskin kesadaran. Yang mengira hanya dengan membayar uang SPP bersubsidi silang, maka mereka akan terbebas dari tanggung jawab soal kebersihan lingkungan. Svaha duduk terpekur dalam kotak kaca. Sebuah akuarium akademis, memikirkan dunia yang dinamis seperti jarum jam yang terus bergerak. “Ck, ck, ck,” bunyi konstan yang relatif. Kadang terasa cepat, seringnya terlalu lambat. Tarik menarik bersama kebosanan masal penghuni kelas. Sekali lagi Svaha mencoba memusatkan perhatian pada ibu dosen bertubuh pendek gemuk (tapi cantik dan terlihat baik) di depan kelas. Ia tangkupkan kedua tangan di pipi, lalu denga
Arkana sudah setengah mabuk ketika jari-jari panjang yang super dingin itu menancap di bahunya. Gadis itu reflek berbalik, hampir berteriak. Ia menginjak sepatu penangkapnya. Mereka terjungkal ke belakang. Lalu keduanya cekikikan.“Sva, kamu membuatku kaget,” omel Arkana ketika tubuh jangkung Svaha masih melintang di atasnya. Rambut hitam yang biasa ia sisir ke belakang terurai. Ujungnya hampir menyentuh wajah Arkana. Kedua tangan lelaki itu bertumpu di tanah membentuk penjara berpilar dua. Mengurung Arkana di antaranya. Lalu Svaha cepat-cepat berdiri sambil menepuk-nepuk paha celananya dengan dua tangan.“Aku sudah merasa keren tadi, tapi adegan jatuh benar-benar tidak ada di sekenario.” Svaha berkelakar, menunggu Arkana berdiri. Sekali lagi ia menangkap lengan Arkana dan memojokkan tubuh gadis di depannya ke batang pohon terdekat.“Tertangkap,” kata lelaki itu.“Haha.” Arkana menggumamkan tawa lalu menghel
Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit. Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan. Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya. “Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini. Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin. “Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi d
Arkana memaksa diri untuk bangun, saat ia bermimpi tentang salah satu murid ibunya; seorang anak nakal menendangi kepalanya sampai benjol. Dan saat sudah yakin bahwa secara fisik dirinya sudah terbangun, benjol itu seperti bersarang, nyerinya berkedutan. Arkana melenguh jengkel.Ia mengusap wajah. Masih dalam posisi rebahan gadis itu membuka mata. Mendapati musuh besarnya sudah duduk di tepi tempat tidur, sambil mengumbar senyum. Arkana tersentak sambil mendudukkan diri. Kepalanya terasa makin sakit.Sikap Cantra yang aneh membuat Arkana gugup. “Apa maumu, Cantra?”“Mari kita mulai dengan selamat pagi. Apa kamu tahu ini di mana?”Arkana tahu. Tapi ia memilih untuk melihat ke sekitar sebelum mengangguk.“Bagus. Jadi semalam kamu tidak sepenuhnya mabuk.” Cantra mengulurkan segelas air dingin dan sebutir penghilang rasa sakit. Untuk sakit yang menendang kepala Arkana.“Kamu mengira aku mabuk untuk menca
Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia
Pandangannya jadi sempit karena sinar matahari sore yang begitu menyudutkan. Menyisakan cukup banyak titik buta berwarna merah tembaga yang tidak terjangkau. Sesekali Arkana menutup dahi dengan kelima jarinya. Hanya untuk memastikan, agar dirinya tidak terjerembab atau menabrak apapun.Langkah Arkana mengapung di atas trotoar jalan utama yang lenggang. Tidak banyak pejalan kaki atau pelari sore yang lewat sini, tiang lampu mulai menyala satu-satu juga papan tanda lalu lintas jadi tampak kesepian. Hawa panas menguap dari bawah, kadang diselingi udara got yang berbau asam. Mengambang tanpa tujuan jelas, kecuali membuat gadis itu makin mual.Arkana membenci sore ini. Beberapa hari belakangan ini. Hari-hari antara dulu dan sekarang. Atau sampai sekarang.“Kalau saja aku bisa lebih jujur dan mengungkapkan semuanya, ini tidak akan pernah terjadi. Aku tak harus mempermalukan diriku sendiri di depan sahabat baikku. Ia lelaki baik. Yang terperting, ia tidak bersala
Satu tangan menggaruk dagu, tangan yang lain mengetuk-ngetuk meja. Di dalam sebuah restoran penuh tanaman hias dan lampu gantung bulat kuning menjengkelkan, Svaha menunggu Cantra dengan sabar.Di jendela bagian atas, papan nama restoran tergantung menghadap jalan. Lampu kecil berwarna ungu berbaris di pinggir, membuat tulisannya nampak semakin tebal dan menonjol.LLAH LIAH. HAIL HALL.Seekor kucing melenggak-lenggok di atas trotoar. Bulunya candramawa. Ekor menjulur naik seperti ular—menjilat kaki orang-orang yang lewat di sekitarnya. Svaha melihat binatang itu mendongak sambil membuka mulutnya, menduga apa mungkin mahluk itu sedang mengeong atau sedang berusaha bicara dengan bahasa manusia. Suaranya tidak terdengar.Sementara langit yang tadinya hitam jadi agak kelabu. Awan merapat pendek, seolah akan menelan bangunan-bangunan bertingkat yang berjejalan seperti gigi. Svaha merenggangkan badannya yang jangkung, ia melenguh, mengeluh.“A
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran
Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada
Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k