Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit.
Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan.
Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya.
“Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini.
Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin.
“Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi dalam matanya yang bulat.
Svaha menoleh padanya. “Yang mana?”
Cantra memperbaiki posisi duduknya, kini menyerong sedikit agar leluasa memandang wajah lelaki di sebelahnya.
“Arkana Kana.” Perempuan itu memulai.
Svaha tidak begitu hirau dengan alasan Cantra menyebut nama sahabatnya lengkap sampai dengan nama belakangnya.
“Apa kamu pikir dia baik-baik saja?” tanya perempuan itu.
Svaha berpikir sambil menyisip minumannya, menoleh pada Arkana yang sedang menenggak vodka langsung dari botolnya seperti anak kecil dan susu favoritnya. “Dia minum banyak. Apa yang membuatmu berpikir dia dalam keadaan buruk?”
“Ada dua. Hanya pecandu alkohol yang minum langsung dari botol. Berikutnya, hanya rasa frustasi yang membuat orang minum langsung dari botol. Keduanya menyedihkan.” Sekali lagi Cantra menjilat bibir bawahnya. “Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja.”
“Arkana. Dia bukan orang yang senang menyimpan rahasia. Apalagi perasaannya. Jadi kalau dia tidak dalam keadaan baik, dia pasti sudah mengoceh.”
“Kamu benar.” Cantra menghadapi api unggun lagi. Tapi seperti belum puas, dia memandang kekasihnya lagi. “Aku khawatir padanya.”
“Apa ada yang harus aku ketahui?” tanya Svaha. Kalau bertanya bisa membuat Cantra merasa lebih dianggap dan diperdulikan, Svaha yakin bisa melakukannya semalaman.
“Lupakan saja. Aku sudah setengah mabuk.” Yang perempuan memilih mengakhiri percakapan itu dan mulai membicarakan hal lain.
Tapi, diam-diam Svaha jadi merasa cemas. Ia jadi memikirkan Arkana. Apa temannya itu baik-baik saja? Apa yang bisa dilihat Cantra tapi tidak Svaha ketahui? Svaha menduga-duga dalam hati.
Mungkin, hubunga antara Arkana dengan Laung sedang dalam situasi yang pelik. Svaha maklum karena hal semacam itu terjadi pada semua orang. Kadang dia sendiri merasa kesal pada Cantra tanpa sebab jelas. Begitu juga Cantra, meski seringkali mereka tak mau mengakuinya. Rasa bosan terjadi pada semua orang.
“Omong-omong…” suara Cantra naik ke permukaan. Svaha menoleh agar Cantra melanjutkan.
“Omong-omong, waktu Arkana datang ke tempatmu dalam keadaan mabuk. Ingat?”
“Ya,” jawab Svaha.
“Aku tidak marah. Aku pikir ia lebih membutuhkanmu pada saat itu. Jadi, aku meninggalkan kamarmu. Agar kalian punya waktu mengobrol.”
“Terimakasih sudah perduli padanya,” jawab Svaha sekedarnya.
Lalu dalam hati lelaki itu berteriak, “Jujur saja, aku belum tahu alasan sebenarnya Arkana datang dalam keadaan mabuk waktu itu. Kami disibukkan dengan insiden lain. Benar katamu, aku menyukainya. Sahabat baikku itu. Dan aku menikmatinya. Aku bahkan tak memikirkanmu sama sekali!” pikiran itu membuat Svaha agak tersengal. Ia berharap Cantra tidak menyadarinya.
Sebab kini Svaha jadi merasa bersalah pada Cantra. Cantra begitu perduli pada persahabatan Svaha dan Arkana.
“Apa aku harus jujur padanya? Apa sekarang waktu yang tepat?” tanya Svaha dalam hati.
“Ayo kita kembali ke villa! Suhu mulai dingin di sini.” Cantra berdiri, mengulurkan tangan untuk membantu lelakinya bangun. Svaha tersenyum, menangkap jari-jari lentik itu.
“Cantra,” panggil Svaha setelah berdiri dan membersihkan debu dari celananya.
Cantra menatapnya, gadis itu tersenyum, mendongak sedikit agar bibirnya sejajar dengan milik lelaki di depannya. Lalu ia kecup setiap jengkal wajah Svaha sebelum berkata, “Ya?”
Svaha baru akan membuka mulut saat perhatian Cantra tercurah pada hal lain.
“Arkana.” Cantra menunjuk dengan dagunya. “Sepertinya dia butuh bantuanmu.”
Svaha spontan menoleh. Di ujung sana perempuan yang Cantra maksud sedang terbungkuk sambil muntah. Laung mendekatinya, tapi Arkana mendorong lelaki itu. Mereka bertengkar. Mereka sedang mendebatkan sesuatu. Suara mereka diterbangkan angin. Svaha hanya mendengar kepulan bunyi yang tidak ada artinya.
“Sana, pergilah!” bisik Cantra.
Svaha mendekat pada Arkana, menyapih pasangan itu supaya tidak saling membunuh dalam pengawasannya. Arkana mengucapkan kata-kata kasar, lalu telunjuknya menusuk-nusuk di udara. Svaha menghentikannya, dia memeluk Arkana erat. Dari sanalah Svaha tahu kalau Arkana sudah mabuk berat.
“Hei, jangan ikut campur urusan kami.” Laung menarik bahu Svaha kemudian mendorongnya. Tidak sekeras itu sampai si pendiam itu jatuh, hanya mundur beberapa inchi.
“Jangan coba-coba menyentuhku.” Svaha membentak.
Cantra pasang badan di depan kekasihnya. Svaha menyangka, gadisnya itu sedang memelototi Laung.
Laung mengangkat kedua tangannya. “Biarkan aku menyelesaikan masalah dengan pacarku.” Ia meminta.
“Tidak dalam keadaan mabuk. Oke?” Cantra berdiplomasi.
Lelaki itu mendengus, “Oke.”
“Bagus,” kata Cantra. Lalu kudengar suaranya berteriak pada penonton yang lain, “Ayo bubar, pestanya sudah selesai.”
Remaja lain menurut. Sambil menggerutu mereka pergi.
“Ayo pulang,” kata Svaha pada Arkana. Arkana melepas pelukannya lalu mengangguk pasrah. Sebelum menjauh dari danau ia merampas sebotol vodka lagi dari dalam kotak pendingin.
“Kamu terlalu banyak minum.” Svaha ingin merebut botol itu dari sahabatnya.
Tapi Cantra melarang, “Biar saja dulu.”
Svaha mempertimbangkan kalimat kekasihnya, kemudian mengangguk. Svaha memang punya pengaruh besar. Bahkan Laung mendengarkannya.
Arkana berjalan sempoyongan di depan, sementara Svaha dan Cantra mengikuti di belakang. Arkana muntah dua kali lagi sebelum sampai di parkiran. Cantra membantu menyingkirkan rambut dan memijat lehernya. Sedang Svaha hanya berdiri sambil memeluk botol vodka.
“Apa kamu mabuk?” tanya Cantra pada Svaha.
Svaha menggeleng.
“Kalau begitu, kita pakai mobilmu. Kamu menyetir. Aku akan menjaga Arkana di belakang.”
Svaha mengangguk, mengeluarkan kunci dan membuka pintu belakang mobil. Setelah memastikan kedua perempuan tersebut nyaman di sana, Svaha menyalakan mesin.
Lampu kuning Civic busuk milik Svaha membelah jalanan yang mulai sepi. Cantra menghela nafas. Svaha menilai dari cermin, melihat Arkana rebah di atas pangkuan Cantra. “Dia tidur?”
“Kupikir, ya. Dia sudah tidur,” jawab Cantra.
Lalu Svaha mengangguk. “Terimakasih sudah perduli padanya.”
Cantra tersenyum. Ia menoleh ke luar jendela. “Aku tidak pernah punya teman. Tidak pernah sedekat persahabatan kalian.”
Svaha tidak menjawab.
“Sudah berapa lama kalian bersahabat?”
“Entahlah, hampir seumur hidup?” Svaha ingin menghitung secara pasti, tapi dia butuh konsentrasi saat menyetir.
Cantra tertawa singkat. “Menyenangkan selalu ada untuk orang lain,” suaranya bergetar.
“Ya, Arkana selalu ada kalau aku ingin pinjam uang.” Svaha berusaha melucu.
Cantra tidak tertawa. “Aku memperhatikan kalian. Beda jurusan dan masih punya waktu makan siang bersama. Akur seperti saudara. Kalian bicara dalam bahasa isyarat juga.”
“Nah, ini dia. Apa Cantra memata-matai kami? Apa ia sudah tahu yang terjadi malam itu? Kenapa ia belum membentakku sampai sekarang?” Svaha merasa curiga, tapi ia memilih tak mengatakan isi pikirannya.
“Kalian tidak pernah kesepian.” Intonasinya menggantung. Svaha tak yakin apa kekasihnya sedang bertanya? Atau sedang menghakiminya?
“Kami sama-sama tidak punya ayah.” Svaha memberi tanggapan yang netral.
“Maaf,” katanya, “kupikir kalau memacarimu, Arkana juga akan mau berteman denganku.”
Svaha terbatuk. Tertusuk.
“Bukan begitu, Svaha. Aku menyukaimu. Sungguh. Tapi, lihatlah dengan kacamataku. Aku ini anak tunggal. Aku tidak punya teman. Aku punya. Tapi, mengertikan maksudku?” Cantra mengusap bibirnya. “Persahabatan kalian jujur. Nyata.”
“Dan kalimatmu membingungkan,” gerutu Svaha dalam diam.
“Aku harap Arkana bisa menyukaiku juga. Aku berhak mendapatkan itu. Aku pacarmu.” Cantra mengutarakan sisi lain dirinya. Cantra Bhuana, yang kesepian. “Semua orang mendekatiku dengan tujuan. Di semester awal mereka mendekatiku karena sebuah taruhan,” tuturnya sambil tertawa. Atau meringis.
“Aku akan bicara pada Arkana nanti.” Svaha memberi janji.
“Terimakasih,” kata Cantra antusias. Svaha sampai dapat mendengar senyum lawan bicaranya.
***
Svaha mematikan mesin mobil ketika mereka sampai. Cantra berdecak. Wajahnya kelihatan kaget. Svaha langsung menoleh ke belakang.
“Kupikir kita akan mengantarnya pulang.”
“Oh,” jawab lelaki itu, “Muscle memory. Aku tidak sadar.” Svaha gelagapan.
“Jam berapa ini?” Cantra meraup ponselnya, mengetuk kaca hitam itu dua kali. Wajahnya dihinggapi sinar kebiruan.
Svaha mencoba memperbaiki keadaan dengan mengajaknya, “Menginaplah di sini, dengan kami.”
“Supaya Arkana tidak macam-macam padaku lagi. Atau sebaliknya.” Yang ini tentu tidak dia utarakan juga.
“Tentu.” Cantra mengusap lengan Arkana, membangunkan si pemabuk dengan lembut. Arkana menggeliat, mendudukkan diri sambil mengusap wajah.
Entah apa yang terjadi setelahnya, kedua gadis itu keluar dari pintu mobil yang berbeda. Arkana menepis tangan Cantra, kemudian mendahului masuk ke dalam kamar sewa Svaha.
Svaha kemudian membuat gerakan melingkar dengan kepalan tangan di depan dada yang bermakna permintaan maaf. Sebagai respon, Cantra melontarkan tiga jari di udara. “Tak apa.” Wajahnya sedih tidak bisa ia sembunyikan.
Lalu, suara ‘BRUK’ dari tempat tidur yang artinya ‘kalian berdua tidur di sofa’.
“Kamu sangat sabar,” bisik Cantra. Ia duduk di pangkuan kekasihnya. Mereka tidak menyalakan lampu ruang tamu. Cahaya dari teras hampir menembus material korden, itu sudah cukup.
“Hm,” jawab si lelaki. Ia mengecup telapak tangan Cantra.
“Kita masih punya setengah jam. Agar tidak terbangun kepagian.” Cantra mengusap wajah, lalu menciumi leher Svaha.
Svaha memeluk pinggang ramping itu. “Ya, kurasa tiga puluh menit itu bagus.” Satu tangan menarik tali bikini. “Satu lagi, tolong jangan bersuara keras.”
Arkana memaksa diri untuk bangun, saat ia bermimpi tentang salah satu murid ibunya; seorang anak nakal menendangi kepalanya sampai benjol. Dan saat sudah yakin bahwa secara fisik dirinya sudah terbangun, benjol itu seperti bersarang, nyerinya berkedutan. Arkana melenguh jengkel.Ia mengusap wajah. Masih dalam posisi rebahan gadis itu membuka mata. Mendapati musuh besarnya sudah duduk di tepi tempat tidur, sambil mengumbar senyum. Arkana tersentak sambil mendudukkan diri. Kepalanya terasa makin sakit.Sikap Cantra yang aneh membuat Arkana gugup. “Apa maumu, Cantra?”“Mari kita mulai dengan selamat pagi. Apa kamu tahu ini di mana?”Arkana tahu. Tapi ia memilih untuk melihat ke sekitar sebelum mengangguk.“Bagus. Jadi semalam kamu tidak sepenuhnya mabuk.” Cantra mengulurkan segelas air dingin dan sebutir penghilang rasa sakit. Untuk sakit yang menendang kepala Arkana.“Kamu mengira aku mabuk untuk menca
Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia
Pandangannya jadi sempit karena sinar matahari sore yang begitu menyudutkan. Menyisakan cukup banyak titik buta berwarna merah tembaga yang tidak terjangkau. Sesekali Arkana menutup dahi dengan kelima jarinya. Hanya untuk memastikan, agar dirinya tidak terjerembab atau menabrak apapun.Langkah Arkana mengapung di atas trotoar jalan utama yang lenggang. Tidak banyak pejalan kaki atau pelari sore yang lewat sini, tiang lampu mulai menyala satu-satu juga papan tanda lalu lintas jadi tampak kesepian. Hawa panas menguap dari bawah, kadang diselingi udara got yang berbau asam. Mengambang tanpa tujuan jelas, kecuali membuat gadis itu makin mual.Arkana membenci sore ini. Beberapa hari belakangan ini. Hari-hari antara dulu dan sekarang. Atau sampai sekarang.“Kalau saja aku bisa lebih jujur dan mengungkapkan semuanya, ini tidak akan pernah terjadi. Aku tak harus mempermalukan diriku sendiri di depan sahabat baikku. Ia lelaki baik. Yang terperting, ia tidak bersala
Satu tangan menggaruk dagu, tangan yang lain mengetuk-ngetuk meja. Di dalam sebuah restoran penuh tanaman hias dan lampu gantung bulat kuning menjengkelkan, Svaha menunggu Cantra dengan sabar.Di jendela bagian atas, papan nama restoran tergantung menghadap jalan. Lampu kecil berwarna ungu berbaris di pinggir, membuat tulisannya nampak semakin tebal dan menonjol.LLAH LIAH. HAIL HALL.Seekor kucing melenggak-lenggok di atas trotoar. Bulunya candramawa. Ekor menjulur naik seperti ular—menjilat kaki orang-orang yang lewat di sekitarnya. Svaha melihat binatang itu mendongak sambil membuka mulutnya, menduga apa mungkin mahluk itu sedang mengeong atau sedang berusaha bicara dengan bahasa manusia. Suaranya tidak terdengar.Sementara langit yang tadinya hitam jadi agak kelabu. Awan merapat pendek, seolah akan menelan bangunan-bangunan bertingkat yang berjejalan seperti gigi. Svaha merenggangkan badannya yang jangkung, ia melenguh, mengeluh.“A
Cirrocumulus. Kata itu melayang janggal dalam kepala Arkana seperti balon kata dalam cerita bergambar. Ia memandang ke arah langit. Kepada awan pembawa hujan yang menyebar rata di atas bangunan kampus. Sebentar lagi musim berubah, mungkin itu bisa jadi salah satu alasan atas suasana hatinya yang buruk hari ini. Tapi benarkah perubahan iklim bisa membuat perasaan manusia berubah? Mungkin saja. Kalau tidak salah ia pernah dengar tentang SAD (Seasonal Affective Disorder). Istilah itu begitu mudah diingatnya karena sangat lucu jika diterjemahkan; Gangguan Suasana Hati Musiman. Sejauh yang ia dengar dan pahami, ini hanya berupa peran cuaca terhadap kadar serotonin dalam tubuh seseorang. Bisa membuat seseorang jadi sensitif, atau malah agresif. Tidak berlaku untuk semua manusia, tapi beberapa persen mengalaminya. Setidaknya begitu yang ia bisa ingat dari kuliah umum tidak formalnya Svaha. Fakultas mereka memang tidak ada hubungannya dengan sains a
Mekanisme Coping.Adalah sebuah cara yang sering dilakukan manusia dalam mengatasi trauma atau stress. Mekanisme ini bisa membantu manusia untuk mengolah rasa sakit dan emosi juga menyesuaikan diri dari kejadian buruk yang menimpanya.Beberapa contoh yang sering terjadi pada orang-orang adalah mencari kegiatan baru, menjalani hobi baru, bicara dengan orang baru. Ada juga yang melakukannya dengan makan, menikmati hidup dengan berlibur. Ada yang menyalahkan diri sendiri dan menyangkal keadaannya. Tapi itu membuat mekanisme ini jadi tampak mirip dengan saudaranya yang lain, defense mechanism.Bagi Svaha, membentur-benturkan kepala ke meja adalah salah satu wujud dari mekanisme coping tersebut.Kalau saja, hari ini tidak ada jadwal ujian. Svaha pasti sudah meringkuk di bawah selimut sambil mengembara dalam cerita roman-heroik Musashi. Atau dia akan duduk di taman umum dengan novel Little Women dalam genggaman. Atau tempat manapun tanpa orang yang ia
Arkana tidak pernah menduga kalau menghindari lelaki seperti Laung akan sedemikian mudah. Sebelumnya ia pikir lelaki itu mungkin akan menggunakan kekerasan untuk memaksanya. Laung akan membentak, atau jadi ringan tangan seperti biasanya. Jelas lelaki itu punya pengaruh besar di kampus ini. Kemarin malam, Laung bahkan mempermalukan Arkana di depan teman-teman klub Voli-nya. Tapi, barangkali Arkana hanya perlu bertindak seolah ia perempuan yang kuat. Arkana hanya perlu membalas tatapan Laung dengan pandangan yang menantang dan sok berani. Menjawab omong kosong lelaki itu dengan tegas. Seperti yang sering Arkana lakukan pada Cantra. Maka Laung akan kalah. Ya! Dia akan menunduk dan mengalah. Dia akan mundur dan berpikir dua kali untuk mengasari Arkana lagi. Perihal lain, tanpa bermaksud menjilat ludahnya sendiri, Arkana memuji Cantra dalam hati. Cantra adalah orang yang membuat Arkana sadar akan kekuatan dalam dirinya. Cantra perempuan yang penuh dengan keyakinan
Sampai pada akhirnya Arkana tiba dengan Laung di sebelahnya, Svaha pikir acara malam ini akan berjalan dengan baik tanpa rasa canggung.Salah.Otaknya menolak untuk menikmati film yang sedang tayang tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena Svaha sedang tidak ingin menonton film bergenre misteri. Atau karena Arkana duduk di sebelahnya.Mereka belum sempat bicara lagi sejak hari itu. Dan Svaha tidak mungkin menyalahkan pacarnya karena merencanakan acara ini tanpa berdiskusi dulu. Cantra tak tahu apa-apa. Ini bukan salah kekasihnya.Tak lama kemudian Svaha menoleh pada Arkana. Di saat yang sama Arkana sedang memandang Svaha juga. Lelaki itu kemudian tersenyum, ingin tahu apa Arkana masih marah padanya. Arkana membalas senyum Svaha dan membuat lelaki itu merasa lega. Pikirnya, sekarang masalah mereka sudah selesai. Dan Svaha bisa menonton film dengan perasaan yang lebih tenang.Salah lagi.Ketika Svaha memperbaiki posisi duduknya, tak sengaja ia
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran
Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada
Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k