Arkana sudah setengah mabuk ketika jari-jari panjang yang super dingin itu menancap di bahunya. Gadis itu reflek berbalik, hampir berteriak. Ia menginjak sepatu penangkapnya. Mereka terjungkal ke belakang. Lalu keduanya cekikikan.
“Sva, kamu membuatku kaget,” omel Arkana ketika tubuh jangkung Svaha masih melintang di atasnya. Rambut hitam yang biasa ia sisir ke belakang terurai. Ujungnya hampir menyentuh wajah Arkana. Kedua tangan lelaki itu bertumpu di tanah membentuk penjara berpilar dua. Mengurung Arkana di antaranya. Lalu Svaha cepat-cepat berdiri sambil menepuk-nepuk paha celananya dengan dua tangan.
“Aku sudah merasa keren tadi, tapi adegan jatuh benar-benar tidak ada di sekenario.” Svaha berkelakar, menunggu Arkana berdiri. Sekali lagi ia menangkap lengan Arkana dan memojokkan tubuh gadis di depannya ke batang pohon terdekat.
“Tertangkap,” kata lelaki itu.
“Haha.” Arkana menggumamkan tawa lalu menghela nafas.
Ada kekosongan di wajah Svaha.
“Apa kamu sehat?” Arkana memeluk pinggang Svaha. Kemudian ia menarik lelaki itu ke dekatnya. Tanpa menyadari sama sekali bahwa hal tersebut membuat jarak mereka lebih dekat dari yang bisa ia perkirakan jika tidak dalam pengaruh alkohol.
Nafas mereka masih terengah, mengisi ruang kosong antara wajah Arkana dan dada milik Svaha. Arkana mendongak untuk melihat mata lawan bicaranya, seketika merasa malu saat ketahuan meneliti bibir lelaki itu. Svaha menelan ludah. Arkana membasahi bibir.
“A—aku khawatir harus memenjarakanmu sekarang, Arkana,” ucap Svaha dengan suara yang serak dan berat. Getarannya membuat telinga Arkana gatal.
Arkana mengutarakan senyum. Tapi mereka berdua tidak bergerak sama sekali. Pohon ini membuat keduanya lengket.
“Di mana letak penjaranya tadi?” Svaha menghela nafas.
Pembuluh darah di ulu hatinya berdenyut-denyut di atas kulit Arkana, Svaha juga menyadarinya.
“Maaf,” gumam si lelaki.
Arkana menyentuh asal denyut itu dengan ujung jarinya. Seperti anak kecil yang kagum pada kehamilan baru ibunya. Lalu ia mencari-cari mata sahabatnya. Jemarinya menyisir di atas baju yang Svaha kenakan, dadanya yang bidang, naik ke leher—tempat pembuluh darah yang lain berdenyut.
Ada hal gila yang tiba-tiba melayang di kepala Arkana. Hampir saja gadis itu punya ide untuk mencium Svaha! Hampir saja! Tapi Arkana memutuskan untuk berlari menjauh.
“Lain kali,” kata gadis itu dengan intonasi riang. Ia adalah Buronan yang melarikan diri.
Sayup Arkana mendengar suara tawa sahabatnya di belakang. Tapi semakin jauh berlari, ia tahu kalau Svaha tidak mengejarnya lagi.
Arkana memutuskan untuk berhenti. Terperosok pada kesadaran bahwa rasa mabuknya sudah lenyap entah ke mana. Ia pandangi telapak tangannya yang lembab meski percuma. Terlalu gelap di sini.
“Kenapa pula aku malah lari terlalu cepat? Bukankah akan mengasikkan jika Svaha mengejarku? Kakinya yang panjang namun pemalas tidak mungkin mengalahkanku,” pikirnya.
Ada desau nafas yang bersahutan ketika Arkana memutuskan kembali ke tempat Svaha menangkapnya tadi. Arkana memutuskan untuk bersembunyi dan mengintip.
Tubuh jangkung Svaha berdiri membelakanginya, sementara seorang Buronan lain berdiri di hadapannya. Tangan kurus itu menyilang di pinggang sahabatku.
Svaha melingkarkan tangan di leher perempuan itu. Bibir mereka bersentuhan, bersilangan desau dan suara decap yang basah.
Cantra. Cantra sudah menemukannya. Atau sebaliknya. Dia gadis yang pandai memenangkan situasi. Arkana berdiri mematung, pikirannya menjadi kosong seketika.
Arkana tentu punya alasan yang cukup bagus untuk menjelaskan mengapa dia tidak menyukai pacar Svaha sejak awal.
Cantra Bhuana. Adalah nama yang akan paling pertama terdengar ketika seorang mahasiswa baru masuk ke universitas kota Harsha. Bukan nama rektornya, bukan dekan fakultas, bukan dosen pembimbing akademik. Bukan. Tapi Cantra.
Perempuan ini populer, kredibilitasnya tinggi. Semua orang memuji, khusus lelaki, memuja. Cantra adalah Freya dalam mitologi Nordik bagi kaum adam di kampus itu. Dan dialah Athena bagi kaum hawa. Dia menarik, berbakat, cantik, ramah, kaya dan murah hati.
Bukankah itu aneh? Dan keanehan itu saja sudah membuat Arkana jengkel.
Arkana yakin kalau dirinya tidak sirik. Arkana Kana juga perempuan yang berbakat (di bidangnya). Dia cantik (menurut delapan puluh persen orang yang sudah ia temui dalam hidup dan riset yang tidak dilakukan oleh Oxford tentu saja). Arkana gadis yang cuek, ia bicara apapun yang ada di kepalanya, nyaris tanpa beauty filter. Dan itu sudah cukup menjelaskan sifatnya yang manusiawi, karena semua orang haruslah punya kelemahan. Terlebih, ia tidak akan memuji diri sendiri dan membuat dirinya terlihat sama dengan Cantra Bhuana.
Banyak yang memprediksi bahwa Arkana akan menggantikan kepopuleran Cantra setelah lulus. Tapi, Arkana yakin bisa melakukan itu tanpa perlu dibanding-bandingkan atau menunggu sampai yang bersangkutan lulus. Singkatnya, Arkana adalah perempuan yang apa adanya. Agak angkuh, tapi tidak makan manusia.
Di luar itu semua, Cantra memilih Svaha. Svaha Nirmala. Ya, Svaha yang itu, lelaki penyendiri yang suka baca buku tebal, yang suka nonton film fiksi fantasi dan misteri. Lelaki yang pengecut dan hobi menyembunyikan diri di balik dinding perpustakaan. Svaha yang pemalas tapi paling pintar di kelas.
“Dari sekian ribu mahasiswa atau mahasiswi di kampus ini, kenapa dia memilih Svaha-ku? Apa maunya? Apa rencananya? Bagaimana ia akan diuntungkan dengan itu?” Pertanyaan Arkana selalu sama.
Meski bagaimanapun juga Arkana tentu akan mendukung Svaha mendapatkan perempuan manapun yang dia mau. Arkana akan senang jika sahabatnya merasa senang, jika Svaha bahagia. Arkana cukup suportif terhadap hubungan Cantra dan Svaha. Ia tak masalah berhadapan dengan Cantra, menyapa lebih dahulu, membalas senyumnya. Arkana menghormati keputusan Svaha untuk punya waktu yang berkualitas tanpa kehadirannya. Dan yang terpenting, Arkana tidak mencakar. Belum lebih tepatnya.
“Oh! Semakin dipikirkan semakin kesal rasanya.”
“Di sini rupanya.” Laung muncul dan memeluk Arkana dari belakang. Rambut-rambut yang tumbuh di lengan lelaki itu menyikat kulit Arkana.
Arkana menghembuskan nafas, lalu berbalik.
“Sampai kapan kamu mau mengintip mereka?” bisik Laung. Ia melirik Svaha dan Cantra yang belum menyadari kehadiran orang lain di sana.
“Hanya memastikan dia tidak memangsa sahabatku,” kata Arkana dengan nada suara sinis dan tajam.
Tawa Laung berhembus di kekasihnya. Ia menciumi rahang Arkana. Tangannya meluncur ke belakang, meremas kulit punggung gadis itu.
“Laung, Laung. Aku sedang tidak mood.” Arkana menolaknya.
“Ya Tuhan, aku sedang menolaknya. Apa ia akan marah sekarang?” pikir Arkana.
“Hei, rilekslah sedikit. Tak ada ibumu di sini.”
“Jangan bawa nama ibuku.”
“Kita boleh bawa nama ayahku kalau kamu mau.”
“Laung, hentikan!”
“Uh, bisakah kamu lebih menikmati? Seperti temanmu itu?” Bukannya berhenti, Laung menarik simpul dari bikini Arkana hingga merosot.
Arkana menutupi dadanya cepat-cepat. Ia ingin membentak Laung, tapi giginya menyaring kata itu, membuatnya jadi desis yang tajam.
Lalu Laung mencengkram lengan Arkana, ia menarik rambut perempuan itu ke belakang sampai kepala Arkana mendongak.
“Apa yang barusan itu?” Laung membasahi bibir atasnya karena marah membuatnya kering.
“Aku, jangan mengasariku!”
“Siapa di sana?” Cantra menginterupsi ketegangan di antara Arkana dan Laung.
Laung langsung melepaskan Arkana, ia membelai kepala gadis itu, jarinya tersangkut dalam gumpalan rambut.
“Kami menikmati suasana,” jawab lelaki itu. Tapi lengan Arkana masih diremasnya. Arkana meringis.
Pasangan lain mendekat pada mereka. Svaha, dia berjalan pelan. Cantra di depannya.
“Bagaimana permainannya, Sva?” tanya Laung pada Svaha.
“Bagus.” Svaha masih memerhatikan wajah sahabatnya. “Maksudku, asik.”
“Kulihat kamu sudah menangkap satu Buronan.”
“Kamu juga,” jawabnya dingin. Ia mencurigai tindak tanduk Laung. Arkana tahu, kalau ia ingin mengadu, inilah saatnya.
Svaha membentangkan jari tangannya dan menyentuhkan ibu jari ke dada, isyarat singkat yang bisa berarti, ‘Apa kamu baik-baik?’.
“Tidak, tolong selamatkan aku dari lelaki ini,” teriak Arkana dalam hati.
Arkana mengangguk. Membuat isyarat yang sama.
“Kalau demikian, ayo kita bawa para Buronan ke dalam penjara.” Senyum Laung terdengar jelas dalam intonasinya. “Ayo naiklah sini!” Lelaki itu kemudian membungkuk di depan Arkana.
Cantra melirik pada Svaha. Svaha memaksakan senyumnya.
Arkana tidak ingin Laung terlihat konyol, ia naik ke punggung pacarnya dengan terpaksa. Cantra dan Svaha berjalan di samping mereka sambil berpegangan tangan.
Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit. Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan. Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya. “Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini. Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin. “Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi d
Arkana memaksa diri untuk bangun, saat ia bermimpi tentang salah satu murid ibunya; seorang anak nakal menendangi kepalanya sampai benjol. Dan saat sudah yakin bahwa secara fisik dirinya sudah terbangun, benjol itu seperti bersarang, nyerinya berkedutan. Arkana melenguh jengkel.Ia mengusap wajah. Masih dalam posisi rebahan gadis itu membuka mata. Mendapati musuh besarnya sudah duduk di tepi tempat tidur, sambil mengumbar senyum. Arkana tersentak sambil mendudukkan diri. Kepalanya terasa makin sakit.Sikap Cantra yang aneh membuat Arkana gugup. “Apa maumu, Cantra?”“Mari kita mulai dengan selamat pagi. Apa kamu tahu ini di mana?”Arkana tahu. Tapi ia memilih untuk melihat ke sekitar sebelum mengangguk.“Bagus. Jadi semalam kamu tidak sepenuhnya mabuk.” Cantra mengulurkan segelas air dingin dan sebutir penghilang rasa sakit. Untuk sakit yang menendang kepala Arkana.“Kamu mengira aku mabuk untuk menca
Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia
Pandangannya jadi sempit karena sinar matahari sore yang begitu menyudutkan. Menyisakan cukup banyak titik buta berwarna merah tembaga yang tidak terjangkau. Sesekali Arkana menutup dahi dengan kelima jarinya. Hanya untuk memastikan, agar dirinya tidak terjerembab atau menabrak apapun.Langkah Arkana mengapung di atas trotoar jalan utama yang lenggang. Tidak banyak pejalan kaki atau pelari sore yang lewat sini, tiang lampu mulai menyala satu-satu juga papan tanda lalu lintas jadi tampak kesepian. Hawa panas menguap dari bawah, kadang diselingi udara got yang berbau asam. Mengambang tanpa tujuan jelas, kecuali membuat gadis itu makin mual.Arkana membenci sore ini. Beberapa hari belakangan ini. Hari-hari antara dulu dan sekarang. Atau sampai sekarang.“Kalau saja aku bisa lebih jujur dan mengungkapkan semuanya, ini tidak akan pernah terjadi. Aku tak harus mempermalukan diriku sendiri di depan sahabat baikku. Ia lelaki baik. Yang terperting, ia tidak bersala
Satu tangan menggaruk dagu, tangan yang lain mengetuk-ngetuk meja. Di dalam sebuah restoran penuh tanaman hias dan lampu gantung bulat kuning menjengkelkan, Svaha menunggu Cantra dengan sabar.Di jendela bagian atas, papan nama restoran tergantung menghadap jalan. Lampu kecil berwarna ungu berbaris di pinggir, membuat tulisannya nampak semakin tebal dan menonjol.LLAH LIAH. HAIL HALL.Seekor kucing melenggak-lenggok di atas trotoar. Bulunya candramawa. Ekor menjulur naik seperti ular—menjilat kaki orang-orang yang lewat di sekitarnya. Svaha melihat binatang itu mendongak sambil membuka mulutnya, menduga apa mungkin mahluk itu sedang mengeong atau sedang berusaha bicara dengan bahasa manusia. Suaranya tidak terdengar.Sementara langit yang tadinya hitam jadi agak kelabu. Awan merapat pendek, seolah akan menelan bangunan-bangunan bertingkat yang berjejalan seperti gigi. Svaha merenggangkan badannya yang jangkung, ia melenguh, mengeluh.“A
Cirrocumulus. Kata itu melayang janggal dalam kepala Arkana seperti balon kata dalam cerita bergambar. Ia memandang ke arah langit. Kepada awan pembawa hujan yang menyebar rata di atas bangunan kampus. Sebentar lagi musim berubah, mungkin itu bisa jadi salah satu alasan atas suasana hatinya yang buruk hari ini. Tapi benarkah perubahan iklim bisa membuat perasaan manusia berubah? Mungkin saja. Kalau tidak salah ia pernah dengar tentang SAD (Seasonal Affective Disorder). Istilah itu begitu mudah diingatnya karena sangat lucu jika diterjemahkan; Gangguan Suasana Hati Musiman. Sejauh yang ia dengar dan pahami, ini hanya berupa peran cuaca terhadap kadar serotonin dalam tubuh seseorang. Bisa membuat seseorang jadi sensitif, atau malah agresif. Tidak berlaku untuk semua manusia, tapi beberapa persen mengalaminya. Setidaknya begitu yang ia bisa ingat dari kuliah umum tidak formalnya Svaha. Fakultas mereka memang tidak ada hubungannya dengan sains a
Mekanisme Coping.Adalah sebuah cara yang sering dilakukan manusia dalam mengatasi trauma atau stress. Mekanisme ini bisa membantu manusia untuk mengolah rasa sakit dan emosi juga menyesuaikan diri dari kejadian buruk yang menimpanya.Beberapa contoh yang sering terjadi pada orang-orang adalah mencari kegiatan baru, menjalani hobi baru, bicara dengan orang baru. Ada juga yang melakukannya dengan makan, menikmati hidup dengan berlibur. Ada yang menyalahkan diri sendiri dan menyangkal keadaannya. Tapi itu membuat mekanisme ini jadi tampak mirip dengan saudaranya yang lain, defense mechanism.Bagi Svaha, membentur-benturkan kepala ke meja adalah salah satu wujud dari mekanisme coping tersebut.Kalau saja, hari ini tidak ada jadwal ujian. Svaha pasti sudah meringkuk di bawah selimut sambil mengembara dalam cerita roman-heroik Musashi. Atau dia akan duduk di taman umum dengan novel Little Women dalam genggaman. Atau tempat manapun tanpa orang yang ia
Arkana tidak pernah menduga kalau menghindari lelaki seperti Laung akan sedemikian mudah. Sebelumnya ia pikir lelaki itu mungkin akan menggunakan kekerasan untuk memaksanya. Laung akan membentak, atau jadi ringan tangan seperti biasanya. Jelas lelaki itu punya pengaruh besar di kampus ini. Kemarin malam, Laung bahkan mempermalukan Arkana di depan teman-teman klub Voli-nya. Tapi, barangkali Arkana hanya perlu bertindak seolah ia perempuan yang kuat. Arkana hanya perlu membalas tatapan Laung dengan pandangan yang menantang dan sok berani. Menjawab omong kosong lelaki itu dengan tegas. Seperti yang sering Arkana lakukan pada Cantra. Maka Laung akan kalah. Ya! Dia akan menunduk dan mengalah. Dia akan mundur dan berpikir dua kali untuk mengasari Arkana lagi. Perihal lain, tanpa bermaksud menjilat ludahnya sendiri, Arkana memuji Cantra dalam hati. Cantra adalah orang yang membuat Arkana sadar akan kekuatan dalam dirinya. Cantra perempuan yang penuh dengan keyakinan
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran
Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada
Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k