(Flashback)
Laung baru saja masuk ke dalam mobil. Ia menutup pintunya dengan kasar. Lalu berpaling pada Arkana.
Ia meneliti wajah pacarnya. Menelan ludahnya sekali, untuk menyembunyikan marah. Ia mencobanya. Tapi Arkana melihat mata yang tajam itu bersinar seperti akan memakan dirinya sebentar lagi.
“Ke mana saja kamu?” Laung bertanya dengan nada suara yang rendah. Terlalu rendah untuk bisa dipastikan tujuannya.
Arkana mengira-ngira apa si lelaki hanya sedang mengambil ancang-ancang untuk menerkamnya? Ia menghela nafas, menghadap ke depan. “Aku di rumah ibuku,” kata perempuan itu.
“Tiba-tiba saja, kamu pergi ke rumah ibumu? Enam jam perjalanan? Bolak-balik?”
“Tiba-tiba saja aku kangen ibuku. Lalu aku ke sana.”
Laung memberi jeda sebentar sebelum mengangguk. Seperti sedang mendistraksi dirinya sendiri, ia menyalakan mesin mobil.
Semula Arkana pikir masalah mereka sudah selesai.
“Tapi kamu harusnya bilang padaku!” Laung berteriak. Memukul-mukul kemudi seperti sedang kesetanan. Rambutnya terguncang, seperti badannya.
Arkana terkesiap. Kaget dan ketakutan pada saat yang sama. “Aku minta maaf. Oke? Jangan marah.” Ia membujuk. Mencoba mengambil hati Laung dengan bersandar pada bahunya yang kekar. “Aku minta maaf.”
Laung tidak bergerak. Arkana mendongakkan kepala, mencium pipi Laung yang kasar karena belum bercukur. “Ayo kita pulang.”
Masih tak bersuara, kini Arkana mengusap dada lelaki itu.
“Lain kali, kalau kamu akan pulang ke rumah ibumu, bilang padaku. Aku tak keberatan mengantarmu.”
Arkana mengangguk. Ia ingin pertengkaran ini cepat berlalu.
Laung mencium kening gadisnya, kemudian bibirnya sebentar, sebelum ia berubah pikiran.
“Kita pulang ke rumahku.”
Arkana segera mengiyakan, memasang sabuk pengaman dan duduk dengan tenang sampai mereka sampai di rumah besar itu.
Pohon-pohon bergerak seperti roll film dalam proyektor kuno. Menjauh ke belakang dalam kebisuan mereka berdua. Laung memusatkan seluruh perhatiannya ke jalan. Ia tidak mengumpat pada orang-orang di jalan seperti yang biasa ia lakukan.
Ia sedang menghukum Arkana dengan sikapnya yang terlalu diam. Sampai mobilnya memasuki gerbang rumah. Laung turun dari mobil, menunggu Arkana untuk segera membuka pintu. Lalu dia memapah tangan gadisnya masuk ke dalam rumah.
“Mana orang tuamu?” tanya Arkana untuk membuka percakapan.
“Sudah berangkat kerja,” jawabnya cepat, “atau keluar kota.”
Ini pertama kalinya Arkana dibawa kemari, ia memindai rumah Laung dengan tatapan kagum. Duduk di sofa ruang tamunya yang megah. Arkana percaya kalau pacarnya kaya, tapi tidak mengira kalau sekaya ini.
“Kita ke kamar saja, atau kamu mau sarapan dulu?” Kini Laung merubah intonasinya jadi lebih lembut.
Arkana tersenyum. “Aku lapar sekali. Mungkin kita sarapan dulu?”
Laung menunduk sedikit untuk menatap Arkana. “Nanti, kita sarapan nanti saja.” Ia mengusap pipi Arkana. Lalu menarik tangan gadis itu naik tangga, menuju kamarnya.
Arkana mengikuti dengan patuh. Mengatur nafas untuk naik ke tangga itu. Laung mendudukkannya di tepi tempat tidur. Kemudian membuka jaket Arkana. Menatanya di capstok dekat pintu. Lalu lelaki itu menanggalkan bajunya juga.
“Hm, Laung!” Ragu-ragu Arkana memanggil.
Laung mendekat. Duduk di sebelah pacarnya dengan dada yang sudah telanjang. Ia menciumi leher Arkana.
Gadis itu menjauh. “Aku tidak mau.”
“Kita sudah pacaran enam bulan.” Suaranya parau. Laung meneruskan kecupannya.
“Aku tahu, tapi bukan berarti aku mau melakukannya. Aku belum siap Laung. Mungkin beberapa bulan lagi.” Telapak tangan Arkana menangkup di wajah tirus lelakinya, membelai tulang pipi itu dengan lembut. “Kita bisa melakukannya lain kali. Aku lelah Laung, lagi pula aku lapar.”
Laung mengerjap. Lalu mengangguk seolah mengerti. Arkana yang cepat percaya menghela nafas lega. Berpikir masalah ini terselesaikan dengan mudah, barangkali untuk sementara.
Sayang, yang lelaki itu lakukan selanjutnya malah terbalik. Ia mendorong pacarnya. Membuka kait celana jeansnya.
Arkana menolak. Didorongnya Laung dengan kaki.
Laung menggigit bibirnya. Semakin penasaran. Dipikirnya gadis malang itu sedang jual mahal.
“Kita harus bicara, Laung.” Arkana duduk kembali.
Bahu Laung naik turun. “Kita bisa bicara nanti.”
Pacarnya menggeleng. “Sekarang.”
“Apa kamu ingin kita putus?”
“Bukan begitu,” jawab Arkana. Gadis itu kebingungan, harus memulai dari mana.
“Kalau begitu bagus,” kata si lelaki dingin, “sekarang buka bajumu sebelum aku merobeknya.” Rahangnya mengeras.
“Laung, aku belum pernah melakukannya.”
“Atau kamu tidak ingin aku tahu kalau kamu sudah melakukannya.”
Kalimat itu sulit dipercaya. Arkana membuka mulutnya, “Wow, apa itu Laung?”
“Kamu berselingkuh mungkin? Atau kamu sebenarnya tidak mau aku tahu kalau kamu sudah pernah melakukannya dengan orang lain. Jadi kamu tidak mau melakukannya denganku.” Laung mondar-mandir. Spekulasi di kepalanya melayang-layang seperti kabut tak kasat mata. “Atau, kamu dan Svaha…”
“Laung,” panggil Arkana, tapi lelaki itu tidak mau menoleh.
Arkana tahu benar kalau pembicaraan ini akan percuma. Jadi ia memutuskan, “Kalau begitu aku pergi.” Arkana berdiri, mengambil jaketku dan memakainya. “Kalau kamu pikir begitu Laung, anggap saja begitu. Lain kali kalau kamu sudah bisa membuang pikiran tidak masuk akalmu. Baru kita bicara.” Ia menuju pintu hendak membukanya. Laung tidak menghalangi sama sekali. Ia hanya memandang lawan bicaranya.
Sayang, Arkana tidak bisa membuka pintu itu. Laung mengunci pintunya. Dan kuncinya tidak ada di sana. Itu kenapa Laung begitu tenang, ia tidak bereaksi.
Arkana berbalik lagi. “Buka. Aku mau pulang.” Ia berusaha sekali untuk tidak tersulut kemarahan. Semua hal bisa dibicarakan dengan baik. Pikirnya.
Laung menepuk tepi tempat tidur. Menyuruh kekasihnya duduk. Arkana menolak.
“Duduk dulu. Kalau mau kubukakan pintunya.”
Sekian detik berlalu dengan lamban. Akhirnya Arkana menyerah. Ia duduk di sebelah Laung. “Apa yang kamu mau, Laung?” tanya Arkana sambil menyabar-nyabarkan diri.
Laung mengusap dagunya. Setelah helaan nafas ia akhirnya bicara, “Temani aku tidur.”
“Tidur? Ini masih pagi, Laung.”
“Aku belum tidur. Aku mencarimu semalaman. Ini hari libur.”
Arkana menatapnya lekat. “Baiklah. Tapi aku butuh ke kamar mandi dahulu.”
Laung mengangguk. Ia berdiri, mengambil kunci di kantong celananya dan membukakan pintu kamarnya untuk Arkana.
Arkana melangkah ke luar, Laung mengikuti di belakang.
“Beritahu saja di mana letak kamar mandimu.”
Setelah itu Laung berhenti, menunjuk ke ujung lorong.
Gadis itu menyusuri lorong lantai dua, masuk ke dalam kamar mandi. Setelah menutup pintu cepat-cepat ia mengeluarkan ponsel dan menyalakannya. Sambil menelepon Arkana menyalakan keran agar Laung tidak curiga.
“Sial,” katanya.
Satu-satunya bantuan yang ia harapkan tidak bisa diandalkan. Svaha tidak mengangkat telepon. Arkana belum menyerah, ia mencoba sekali lagi. Dan lagi. Svaha tetap tidak menjawab. Gadis itu mendongak seolah jawaban akan segera menjemputnya dari langit-langit kamar mandi.
“Oke, Arkana. Sekarang bagaimana kalau kamu menyelamatkan dirimu sendiri?” Gadis itu bertanya pada pantulan wajahnya di cermin.
Sekali lagi Arkana mencuci muka, pelan-pelan ia membuka pintu kamar mandi. Berjinjit melewati kamar Laung menuju tangga. Semuanya berjalan baik. Sialnya, Laung sudah menunggu. Ia duduk di anak tangga ke tiga.
“Tidak secepat itu,” katanya. Lelaki itu menyeringai seperti serigala.
Arkana mundur, berlari.
Si lelaki mengejar. Menangkap gadis itu segera, mendorong tubuhnya ke tembok hingga kepala Arkana pusing karena terbentur.
“Kamu mengasariku.”
“Kamu mencoba kabur.”
“Kamu psikopat!”
Laung terkikik geli, “Aku bisa dengan cara yang lembut. Tapi kamu menolakku. Kamu membuatku melakukan ini.” Laung mengangkat tangannya. Sebuah gunting kain besar tersangkut di sana, sebentar lagi dia akan memotong baju Arkana. Atau menusuk pacarnya.
“Oke. Oke,” kata Arkana, sambil menahan panik. Ia mengangkat kedua tangannya yang gemetar ke udara.
Laung tersenyum senang.
Arkana kembali ke kamar Laung seperti tawanan. Laung mengikuti dari belakang. Sebelum naik ke tempat tidur lelaki itu keburu memeluk Arkana dari belakang. Membuka kait celananya. Menurunkannya cepat-cepat.
Arkana mencicit karena kaget. Ia berusaha mempertahankan diri. Tapi Laung seperti sudah terbiasa melakukannya. Gadis itu menyerah. Setelahnya. Arkana menutup mata saja. Membiarkan pacarnya merubah diri jadi monster dan melakukan apa yang dia mau.
Arkana mengibas-ngibaskan kepala agar ingatan buruk tersebut segera hilang dan berhenti mengganggunya. “Aku bisa saja melaporkanmu ke polisi, Laung!” ancamnya setelah keluar dari kamar sewa Svaha, “atas semua yang kamu lakukan kemarin padaku.”
“Kamu tidak akan melakukannya.” Laung berkata yakin.
“Aku bisa melakukannya.”
“Mau bilang apa kamu pada mereka? Pacar saya memperkosa saya? Bagaimana kalau mereka malah tertawa?” Laung sengaja mengubah suaranya untuk menghina Arkana.
Arkana tercekat, “Svaha akan percaya padaku.”
“Dia percaya padamu. Tapi dia bukan polisi. Dan, dia tidak ada di sana.” Laung memeluk pacarnya dari belakang. “Aku pacarmu. Kamu milikku. Aku tidak akan menyakitimu. Asal kamu tidak bandel.”
Laung menuntun Arkana ke dalam mobilnya. Sebelum menyalakan mesin dan pergi, ia mencium kening gadisnya. Dari tempat Arkana duduk, ia melihat Svaha mengintip dari jendela kamar sewanya.
Yang barusan itu hampir saja, pikir Svaha. Setelah mobil Laung menghilang dari pekarangan kamar sewanya, Svaha mendudukkan diri di sofa dengan tarikan dan helaan nafas luar biasa panjang yang sepertinya cukup untuk menghabiskan kadar oksigen di dalam kamar itu. Diam-diam jemarinya yang terlalu lentik untuk seorang lelaki iseng menyentuh pipi—di sana, tempat Arkana biasa menciumnya sebelum mereka berpisah. Svaha bertanya-tanya kenapa hari ini jadi beda ketika sebelum pergi. Jangan-jangan ia sedang berharap pada Arkana. Svaha mungkin terlalu menganggap serius apa yang terjadi semalam. Saat mereka mabuk. Oh, tapi itu tidak boleh. “Mungkin aku hanya belum terbiasa. Belum? Berarti aku akan terbiasa? Aku tidak boleh berharap begitu. Bagaimana pun juga ada banyak sekali pengorbanan yang harus aku lakukan jika membiarkan perasaan ini hidup,” gumam Svaha pada dirinya sendiri. Svaha mengibaskan kepala. Ingat akan bajunya yang terbalik,
“Boo...” Arkana meniup telinga Svaha dari belakang ketika ia sedang membungkuk dengan tindak-tanduk mencurigakan di belakang pilar lorong kelasnya.Tidak. Ia tidak tersentak, atau kaget. Svaha hanya memberi jarak satu atau dua detik untuk menyadari keberadaan Arkana. Kemudian menegakkan tubuhnya dengan anggun. Berbalik dan menghadapi temannya.“Kaget?” tanya Arkana dengan nada riang.Svaha menggeleng. Tapi, wajahnya ketakutan—pucat seperti maniak yang baru saja kepergok mencuri celana dalam.“Siapa yang kamu hindari?” Arkana ikut menengok dari posisinya.“Tidak ada.”Arkana merasa curiga, ia memincingkan mata. Terbiasa memaklumi sikap Svaha yang aneh. Mereka berteman lama sekali. Jadi Arkana tahu kalau Svaha sedang ‘begini’, artinya sahabatnya itu sedang menghindarinya. Tentu saja.Sama seperti dulu itu. Ketika Arkana memergokinya bersikap mencurigakan.
Sayup-sayup gurau mahasiswa membaur bersama suara serangga musim panas. Pohon-pohon muda menari di luar jendela kelas mata kuliah Estetika. Burung-burung terbang dari atap ke dahan mencari-curi hangat di bawah terik matahari. Di bawahnya, di pojokan sebelah luar gedung, kucing liar mengais biji nasi yang tertinggal di kertas minyak. Sampah sarapan mahasiswa terpelajar miskin kesadaran. Yang mengira hanya dengan membayar uang SPP bersubsidi silang, maka mereka akan terbebas dari tanggung jawab soal kebersihan lingkungan. Svaha duduk terpekur dalam kotak kaca. Sebuah akuarium akademis, memikirkan dunia yang dinamis seperti jarum jam yang terus bergerak. “Ck, ck, ck,” bunyi konstan yang relatif. Kadang terasa cepat, seringnya terlalu lambat. Tarik menarik bersama kebosanan masal penghuni kelas. Sekali lagi Svaha mencoba memusatkan perhatian pada ibu dosen bertubuh pendek gemuk (tapi cantik dan terlihat baik) di depan kelas. Ia tangkupkan kedua tangan di pipi, lalu denga
Arkana sudah setengah mabuk ketika jari-jari panjang yang super dingin itu menancap di bahunya. Gadis itu reflek berbalik, hampir berteriak. Ia menginjak sepatu penangkapnya. Mereka terjungkal ke belakang. Lalu keduanya cekikikan.“Sva, kamu membuatku kaget,” omel Arkana ketika tubuh jangkung Svaha masih melintang di atasnya. Rambut hitam yang biasa ia sisir ke belakang terurai. Ujungnya hampir menyentuh wajah Arkana. Kedua tangan lelaki itu bertumpu di tanah membentuk penjara berpilar dua. Mengurung Arkana di antaranya. Lalu Svaha cepat-cepat berdiri sambil menepuk-nepuk paha celananya dengan dua tangan.“Aku sudah merasa keren tadi, tapi adegan jatuh benar-benar tidak ada di sekenario.” Svaha berkelakar, menunggu Arkana berdiri. Sekali lagi ia menangkap lengan Arkana dan memojokkan tubuh gadis di depannya ke batang pohon terdekat.“Tertangkap,” kata lelaki itu.“Haha.” Arkana menggumamkan tawa lalu menghel
Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit. Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan. Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya. “Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini. Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin. “Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi d
Arkana memaksa diri untuk bangun, saat ia bermimpi tentang salah satu murid ibunya; seorang anak nakal menendangi kepalanya sampai benjol. Dan saat sudah yakin bahwa secara fisik dirinya sudah terbangun, benjol itu seperti bersarang, nyerinya berkedutan. Arkana melenguh jengkel.Ia mengusap wajah. Masih dalam posisi rebahan gadis itu membuka mata. Mendapati musuh besarnya sudah duduk di tepi tempat tidur, sambil mengumbar senyum. Arkana tersentak sambil mendudukkan diri. Kepalanya terasa makin sakit.Sikap Cantra yang aneh membuat Arkana gugup. “Apa maumu, Cantra?”“Mari kita mulai dengan selamat pagi. Apa kamu tahu ini di mana?”Arkana tahu. Tapi ia memilih untuk melihat ke sekitar sebelum mengangguk.“Bagus. Jadi semalam kamu tidak sepenuhnya mabuk.” Cantra mengulurkan segelas air dingin dan sebutir penghilang rasa sakit. Untuk sakit yang menendang kepala Arkana.“Kamu mengira aku mabuk untuk menca
Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia
Pandangannya jadi sempit karena sinar matahari sore yang begitu menyudutkan. Menyisakan cukup banyak titik buta berwarna merah tembaga yang tidak terjangkau. Sesekali Arkana menutup dahi dengan kelima jarinya. Hanya untuk memastikan, agar dirinya tidak terjerembab atau menabrak apapun.Langkah Arkana mengapung di atas trotoar jalan utama yang lenggang. Tidak banyak pejalan kaki atau pelari sore yang lewat sini, tiang lampu mulai menyala satu-satu juga papan tanda lalu lintas jadi tampak kesepian. Hawa panas menguap dari bawah, kadang diselingi udara got yang berbau asam. Mengambang tanpa tujuan jelas, kecuali membuat gadis itu makin mual.Arkana membenci sore ini. Beberapa hari belakangan ini. Hari-hari antara dulu dan sekarang. Atau sampai sekarang.“Kalau saja aku bisa lebih jujur dan mengungkapkan semuanya, ini tidak akan pernah terjadi. Aku tak harus mempermalukan diriku sendiri di depan sahabat baikku. Ia lelaki baik. Yang terperting, ia tidak bersala
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran
Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada
Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k