Svaha dan Arkana berteman sejak kecil. Mereka berteman sejak keduanya tahu bahwa teman semestinya tidak saling membelakangi. Teman harus saling membela. Teman adalah yang paling bisa mengingatkan, mana perbuatan salah, mana perbuatan yang benar. Teman harusnya ada di saat susah dan tidak keberatan ketika kita ingin senang-senang sendiri. Teman adalah yang sepenanggungan. Svaha menanggung keluh sahabatnya, Arkana akan menanggung kesah milik Svaha.
Teman yang harus selalu tahu bahwa manusia tidak terlahir baik saja, atau buruk saja. Teman tahu kalau kebaikan adalah sebuah tujuan, karena semua orang ingin diperlakukan dengan baik.
Dan temannya, Arkana. Tidak pernah jadi orang lain. Perempuan itu tidak pernah menjadi Svaha, dan begitu juga sebaliknya. Arkana selalu menjadi dirinya sendiri.
Pertemuan mereka bermula ketika Svaha sudah tidak ingat lagi sejak kapan mereka bermain bersama. Mungkin di sekolah dasar. Atau sekolah menengah. Entah. Tapi ibu keduanya juga berteman (meski tidak jarang mereka beda pendapat dan saling memusuhi untuk beberapa hari). Sedang ayah, mereka sama-sama tidak punya.
Ayah Arkana meninggal dunia sudah lama. Dan ayahnya Svaha meninggalkan si ibu karena merasa belum siap jadi ayah. Menyakitkan. Tapi itu sudah lama sekali. Svaha bahkan sudah lupa pada wajah ayahnya.
Jadi, bisa dibilang kalau Arkana mencari sosok ayah dari lelaki yang ia pacari. Sementara Svaha, ia percaya bahwa perempuan lebih bisa bertanggung jawab soal perasaan. Ia tidak ingin menjadi lelaki yang sama seperti ayahnya.
Begitulah mulanya. Sampai sekarang tidak satu pun hal yang bisa mengganggu persahabatan mereka. Semuanya tulus, mulus—nyaris tanpa selisih paham. Mereka tidak rebutan pacar, tidak bersaing di kelas. Apalagi berebut makanan. Mereka bukan binatang liar. Mereka selalu berbagi.
Mereka tidak suka memperdebatkan hal-hal yang tidak relevan dan memilih untuk menyikapi semuanya dengan ringan. Mereka berkompromi. Bukannya hidup sudah cukup rumit? Dan punya teman akan membuat kerumitan itu sedikit berkurang.
Kecuali yang tadi malam. Ini pertama kalinya selama pertemanan mereka, Arkana benar-benar membuat lelaki seperti Svaha ngotot. Karena Svaha ingat kejadiannya. Dan flashback itu terus membayang di kepalanya.
Svaha baru saja habis mandi ketika Arkana mengetuk pintu kamar sewa.
“Kamu dengar itu?” tanya Cantra yang adalah pacar dari Svaha. Gadis itu berdiri tepat di depan Svaha. Sehelai handuk menutup tubuhnya yang kurus. Rambutnya beraroma shampoo dan masih basah.
Svaha berkonsentrasi. “Iya, mungkin kamar sebelah. Belakangan mereka bertengkar terus.” Lelaki itu menanggapi dengan cuek, kemudian menyingkirkan gumpalan rambut dan mencium leher kekasihnya.
“Tidak. Tunggu. Itu pintumu.” Cantra menyingkirkan bibir Svaha dari lehernya agar ia bisa mendengar lebih jelas.
Svaha menarik nafas dengan tidak sabar. “Kamu ingin aku memeriksanya? Bagaimana kalau itu Arkana?”
“Memangnya kenapa? Apa dia memberitahumu akan datang malam-malam? Apa kalian menyembunyikan sesuatu?” Cantra bertanya, ingin sekali bersikap biasa, tapi tidak bisa.
“Kamu cemburu padanya.” Svaha mengejek.
“Kalian terlalu dekat.” Cantra mengibas rambutnya. “Apa dia baik-baik saja? Apa kalian baik-baik saja?”
“Kami berteman dari kecil, tentu kami dekat.”
“Apa kamu menyukainya?”
Mulut Svaha berkedut. “Tidak,” jawabnya cepat. Menyembunyikan kegugupan. Svaha tidak pernah memikirkan hal tersebut sebelumnya.
“Jangan bohong.” Cantra memincingkan matanya. Ia amati wajah kekasihnya seperti catatan kaki dalam jurnal kesehatan.
Svaha memaksakan senyumnya. “Aku tidak akan merusak apa pun yang kami punya sekarang. Dan, kalau kami pacaran, Ibuku bisa ngamuk.”
Lalu Cantra mendengus, “Setidaknya dia harus bersikap baik padaku.”
“Dia sudah mencobanya.” Svaha menghibur.
“Tidak, dia tidak mencobanya sama sekali. Dia tidak pernah terlihat menghargaiku.”
“Karena dia Arkana. Dia bukan aku yang hobinya menjaga perasaan orang lain.”
“Oke. Sekarang buka pintunya. Dan bilang kamu sedang denganku.”
“Apa sebaiknya kita pura-pura tidak ada di kamar dan melanjutkan ini?” Svaha merayu lagi. Memeluk Cantra dan menciumi bahunya. Yang lelaki itu tahu, urusan dengan Arkana tidak akan pernah sebentar.
Lalu pintu diketuk semakin keras dan suara tangisnya mulai terdengar. Svaha dan Cantra saling memandang.
“Ah, aku akan buka pintunya,” kata lelaki itu plin-plan. Hanya khawatir. Bisa saja Arkana sedang terjebak dalam masalah besar. Arkana mungkin membutuhkan bantuan sahabatnya.
Tanpa pikir panjang Svaha mengambil sehelai handuk untuk menutupi badannya dan berlari ke pintu.
“Ada apa?”
Ketika pintu terbuka Arkana menghambur masuk tanpa satu pun jawaban keluar dari mulutnya. Bau alkohol menyibak udara, gadis itu duduk di sofa.
“Aku sedang dengan pacarku.” Merasa tak enak. Tapi, Svaha harus menjelaskan persis seperti yang diajarkan Cantra tadi.
“Temani aku minum.” Arkana terisak. Namun kalimatnya masih jelas. Dan memaksa.
Bahu Svaha mengendur, kemudian ia duduk di sebelah Arkana. “Apa kamu baik-baik?”
“Tentu saja tidak. Apa orang yang baik-baik saja bisa menangis sekencang aku?” Arkana menjawab sekaligus bertanya sambil mengeluarkan sebotol arak dari dalam tasnya. Kemudian ia berdiri dan berjalan sempoyongan ke dalam wilayah dapur untuk mencari gelas.
Sebentarnya Cantra keluar dengan pakaian lengkap seperti saat ia datang. Svaha berdiri dan menghampiri kekasihnya. “Mau ke mana?”
“Mau pulang,” jawab Cantra lugas.
“Kenapa? Bukannya kita—"
Cantra menunjukkan kedua telapak tangannya agar Svaha berhenti bicara dan tidak menghalanginya. “Dia membutuhkan teman. Aku harus pulang.”
“Tapi, bagaimana dengan—” Svaha yang kebingungan memeras simpul handuk di depan pusarnya.
Tapi Cantra sudah keburu pergi.
Tahu ada yang tidak beres, lelaki itu mencari Arkana ke kamar.
Dan benar, sahabatnya sudah berbaring di tempat tidur sambil memeluk botol araknya.
“Arkana, apa yang kamu katakan pada Cantra?” Svaha menepuk-nepuk pipi Arkana.
“Sva, Sva!”
Svaha terperanjat karena gelegar suara Laung memutus flashback dalam kepalanya. Pacar Arkana berdiri di tengah ruang tamu. Dadanya bidang, menutupi nyaris seperlima interior di belakangnya. Ia cukup tinggi jadi Svaha tak perlu menunduk untuk melihat wajahnya.
“Ya?” tanya Svaha panik.
“Arkana. Kamu tahu di mana dia?” Laung mengulang pertanyaannya.
“Apa kamu tidak punya ponsel?”
Lelaki satunya kebingungan dengan pertanyaan dari lawan bicaranya.
Svaha mengangkat alis, menegaskan maksud. “Apa kamu tidak bisa meneleponnya?”
“Kalau dia menjawab teleponku aku tidak akan ke sini.” Laung mulai kesal. “Bajumu terbalik.” Ia menambahkan.
Svaha memeriksa baju yang dipakainya, tiba-tiba ingat tentang Arkana membuat pipinya panas.
“Apa kalian bertengkar?” Cepat-cepat Svaha mengalihkan perhatiannya sendiri.
Kali ini Laung diam. Lelaki itu tertunduk, lalu dengan gerakan teatrikal ia duduk di sofa.
Svaha memijat pelipisnya. Merasa panik. “Mau kuambilkan minum?”
“Terimakasih,” jawabnya, “tolong yang dingin. Dan irisan lemon kalau ada.”
Svaha memutar mata karena frustasi pada sikap Laung yang mulai menyebalkan. “Tunggu sebentar.” Ia berbalik untuk mengambilkan air.
Tapi, seseorang lagi menerobos masuk ke kamar itu. Derap kakinya berhenti tepat di tengah palang pintu.
“Laung.” Arkana memanggil pacarnya. Nafasnya terengah-engah.
Svaha tidak bisa berkata apa pun kecuali menonton drama percintaan yang sedang terjadi di sana.
Laung menengok untuk meyakinkan dirinya, bahwa yang datang adalah Arkana. “Dari mana kamu tahu aku di sini?”
Arkana melirik pada Svaha, menimbang-nimbang kalau kemunculannya yang tiba-tiba akan membuat mereka tertangkap basah. Svaha melotot padanya sambil menggeleng.
“Aku selalu tahu kamu di mana.” Arkana membual, ia menggamit tangan Laung kemudian mencium pipi lelaki itu.
Svaha mencibir dari tempatnya berdiri.
“Ya sudah, sekarang Arkana sudah muncul. Kalian pergilah dari sini.” Sesegera mungkin Svaha mengusir.
Laung keluar lebih dahulu setelah berpamitan. Sebelum menyusul kekasihnya, Arkana menghampiri Svaha.
“Aku akan segera kembali.”
“Aku tidak bisa, Cantra akan datang sebentar lagi.”
“Lalu kapan kita akan bicara?” Arkana mendesak.
“Nanti aku kabari. Oke?”
Lalu perempuan itu mengangguk, ia memeluk Svaha, kemudian mencium pipinya seperti yang biasa mereka lakukan sebelum berpisah.
Hanya, yang kali ini membuat pipi Svaha memerah.
(Flashback)Laung baru saja masuk ke dalam mobil. Ia menutup pintunya dengan kasar. Lalu berpaling pada Arkana. Ia meneliti wajah pacarnya. Menelan ludahnya sekali, untuk menyembunyikan marah. Ia mencobanya. Tapi Arkana melihat mata yang tajam itu bersinar seperti akan memakan dirinya sebentar lagi. “Ke mana saja kamu?” Laung bertanya dengan nada suara yang rendah. Terlalu rendah untuk bisa dipastikan tujuannya. Arkana mengira-ngira apa si lelaki hanya sedang mengambil ancang-ancang untuk menerkamnya? Ia menghela nafas, menghadap ke depan. “Aku di rumah ibuku,” kata perempuan itu. “Tiba-tiba saja, kamu pergi ke rumah ibumu? Enam jam perjalanan? Bolak-balik?”“Tiba-tiba saja aku kangen ibuku. Lalu aku ke sana.”Laung memberi jeda sebentar sebelum mengangguk. Seperti sedang mendistraksi dirinya sendiri, ia menyalakan me
Yang barusan itu hampir saja, pikir Svaha. Setelah mobil Laung menghilang dari pekarangan kamar sewanya, Svaha mendudukkan diri di sofa dengan tarikan dan helaan nafas luar biasa panjang yang sepertinya cukup untuk menghabiskan kadar oksigen di dalam kamar itu. Diam-diam jemarinya yang terlalu lentik untuk seorang lelaki iseng menyentuh pipi—di sana, tempat Arkana biasa menciumnya sebelum mereka berpisah. Svaha bertanya-tanya kenapa hari ini jadi beda ketika sebelum pergi. Jangan-jangan ia sedang berharap pada Arkana. Svaha mungkin terlalu menganggap serius apa yang terjadi semalam. Saat mereka mabuk. Oh, tapi itu tidak boleh. “Mungkin aku hanya belum terbiasa. Belum? Berarti aku akan terbiasa? Aku tidak boleh berharap begitu. Bagaimana pun juga ada banyak sekali pengorbanan yang harus aku lakukan jika membiarkan perasaan ini hidup,” gumam Svaha pada dirinya sendiri. Svaha mengibaskan kepala. Ingat akan bajunya yang terbalik,
“Boo...” Arkana meniup telinga Svaha dari belakang ketika ia sedang membungkuk dengan tindak-tanduk mencurigakan di belakang pilar lorong kelasnya.Tidak. Ia tidak tersentak, atau kaget. Svaha hanya memberi jarak satu atau dua detik untuk menyadari keberadaan Arkana. Kemudian menegakkan tubuhnya dengan anggun. Berbalik dan menghadapi temannya.“Kaget?” tanya Arkana dengan nada riang.Svaha menggeleng. Tapi, wajahnya ketakutan—pucat seperti maniak yang baru saja kepergok mencuri celana dalam.“Siapa yang kamu hindari?” Arkana ikut menengok dari posisinya.“Tidak ada.”Arkana merasa curiga, ia memincingkan mata. Terbiasa memaklumi sikap Svaha yang aneh. Mereka berteman lama sekali. Jadi Arkana tahu kalau Svaha sedang ‘begini’, artinya sahabatnya itu sedang menghindarinya. Tentu saja.Sama seperti dulu itu. Ketika Arkana memergokinya bersikap mencurigakan.
Sayup-sayup gurau mahasiswa membaur bersama suara serangga musim panas. Pohon-pohon muda menari di luar jendela kelas mata kuliah Estetika. Burung-burung terbang dari atap ke dahan mencari-curi hangat di bawah terik matahari. Di bawahnya, di pojokan sebelah luar gedung, kucing liar mengais biji nasi yang tertinggal di kertas minyak. Sampah sarapan mahasiswa terpelajar miskin kesadaran. Yang mengira hanya dengan membayar uang SPP bersubsidi silang, maka mereka akan terbebas dari tanggung jawab soal kebersihan lingkungan. Svaha duduk terpekur dalam kotak kaca. Sebuah akuarium akademis, memikirkan dunia yang dinamis seperti jarum jam yang terus bergerak. “Ck, ck, ck,” bunyi konstan yang relatif. Kadang terasa cepat, seringnya terlalu lambat. Tarik menarik bersama kebosanan masal penghuni kelas. Sekali lagi Svaha mencoba memusatkan perhatian pada ibu dosen bertubuh pendek gemuk (tapi cantik dan terlihat baik) di depan kelas. Ia tangkupkan kedua tangan di pipi, lalu denga
Arkana sudah setengah mabuk ketika jari-jari panjang yang super dingin itu menancap di bahunya. Gadis itu reflek berbalik, hampir berteriak. Ia menginjak sepatu penangkapnya. Mereka terjungkal ke belakang. Lalu keduanya cekikikan.“Sva, kamu membuatku kaget,” omel Arkana ketika tubuh jangkung Svaha masih melintang di atasnya. Rambut hitam yang biasa ia sisir ke belakang terurai. Ujungnya hampir menyentuh wajah Arkana. Kedua tangan lelaki itu bertumpu di tanah membentuk penjara berpilar dua. Mengurung Arkana di antaranya. Lalu Svaha cepat-cepat berdiri sambil menepuk-nepuk paha celananya dengan dua tangan.“Aku sudah merasa keren tadi, tapi adegan jatuh benar-benar tidak ada di sekenario.” Svaha berkelakar, menunggu Arkana berdiri. Sekali lagi ia menangkap lengan Arkana dan memojokkan tubuh gadis di depannya ke batang pohon terdekat.“Tertangkap,” kata lelaki itu.“Haha.” Arkana menggumamkan tawa lalu menghel
Tumpukan kayu dalam api unggun berkeretak. Remah-remah api memercik terbawa angin ke udara. Bulan purnama tergambar di langit biru tua. Sementara permukaan danau berkilau, airnya bergulung lembut. Menghantar sejuk yang menggigit. Para pelaku permainan Buronan berkumpul membentuk koloni seperti sejumput semut yang sedang rapat kalau dilihat dari atas. Cahaya merah memantul di wajah mereka. Memberi kesan misterius yang menyenangkan. Menggairahkan. Cantra duduk di sebelah Svaha, mulutnya berbau asam alkohol, bibirnya mengkilat. Ia tidak banyak bicara. Ia menikmati situasi pesta sambil sesekali mengisi gelas kekasihnya dengan minuman yang sulit dieja namanya. “Apa kamu menikmati pestanya?” Ia memastikan Svaha masih nyaman berada di tempat ini. Svaha mengangguk, mengelus punggung telanjang Cantra agar gadis itu percaya. Punggung itu kering dan dingin. “Aku memikirkan apa yang terjadi di hutan tadi,” gumam Cantra. Cahaya api dan bintang terefleksi d
Arkana memaksa diri untuk bangun, saat ia bermimpi tentang salah satu murid ibunya; seorang anak nakal menendangi kepalanya sampai benjol. Dan saat sudah yakin bahwa secara fisik dirinya sudah terbangun, benjol itu seperti bersarang, nyerinya berkedutan. Arkana melenguh jengkel.Ia mengusap wajah. Masih dalam posisi rebahan gadis itu membuka mata. Mendapati musuh besarnya sudah duduk di tepi tempat tidur, sambil mengumbar senyum. Arkana tersentak sambil mendudukkan diri. Kepalanya terasa makin sakit.Sikap Cantra yang aneh membuat Arkana gugup. “Apa maumu, Cantra?”“Mari kita mulai dengan selamat pagi. Apa kamu tahu ini di mana?”Arkana tahu. Tapi ia memilih untuk melihat ke sekitar sebelum mengangguk.“Bagus. Jadi semalam kamu tidak sepenuhnya mabuk.” Cantra mengulurkan segelas air dingin dan sebutir penghilang rasa sakit. Untuk sakit yang menendang kepala Arkana.“Kamu mengira aku mabuk untuk menca
Svaha ingat, terakhir kali Arkana memagari hatinya dengan membuat tembok yang tinggi adalah lima tahun yang lalu.Waktu itu umur mereka empat belas atau lima belas tahun. Sore yang cerah dan warnanya kemerahan tumpah di halaman belakang rumah keluarga Kana yang mulai sesak karena tamu undangan juga properti untuk acara ulang tahun si putri tunggal.Arkana berputar-putar di antara para tamu undangan dengan gaun berwarna hijau tosca, bertukar antara sapa dan bingkisan. Svaha yang sudah sejak dua jam di sana benar-benar tak punya ide saat teman baiknya bertanya bagaimana warna tosca terlihat di kulitnya.“Itu tetap berwarna tosca,” jawab anak lelaki itu. Gaun panjang Arkana menyeret di rumput seperti kain pel dan entah kenapa suara gesekannya memuaskan mata dan telinga Svaha kecil.Pekarangan rumah keluarga Kana nampak asri. Tidak begitu besar, tapi terlalu luas untuk dikatakan sempit. Ayah Arkana adalah lelaki yang cukup sukses. Setelah ia
Kota Eila tidak menunjukkan perubahan yang berarti empat tahun belakangan. Semua orang seolah bersepakat untuk mempertahankan lahan perkebunan mereka dan berkeras hati pada rencana investor untuk mengembangkan peradaban. Ya, sudah empat tahun. Empat tahun sejak berakhirnya pertunangan Svaha dan putri tunggal keluarga Bhuana. Sejak itu Cantra memang tidak pernah terlihat lagi. Ia menghilang begitu saja seolah memang tidak pernah punya keberadaan. Bhuana keluarga yang cukup kaya untuk menutup mulut semua orang. Tak ada lagi yang membahas tentang pertunangan itu. Pintu rumah megah sudah tertutup rapat. Dan siapa tukang kebunnya juga masih jadi misteri. Konon anak-anak kompleks sana mulai kreatif dan mengarang cerita-cerita urban bergenre fantasi. Di sudut rumah tangga yang lain, orang mengenal kebahagiaan melalui beragam hal yang harus dikorbankan. Ekanta Falan meninggalkan keluarganya dan kembali pada Swan Nirmala. Ia memulai usahanya sendiri sebagai desainer serabutan
Anggur tinggal setengah botol. Arkana bersandar dengan wajah merah, ia duduk di lantai. Bahunya menepi di sisi tempat tidur super empuk milik Banu. Sementara yang punya kamar belum juga memakai jasnya. Dasinya bagai selendang yang terjuntai begitu saja di lehernya. Banu sibuk mengintip ke dalam lengan kemeja panjangnya. Ada jam berbentuk bulat dengan banyak sekali batu yang menghias pinggirnya. Permata. Jarumnya menunjukkan pukul dua belas lebih lima. “Apa yang sedang kita tunggu, Banu?” tanya Arkana. Meski sudah dipengaruhi alkohol, gadis itu selalu memperhatikan perubahan di raut wajah Banu. Banu tidak menoleh pada lawan bicaranya, ia malah menghadap ke langit-langit. “Sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” Lelaki itu menunduk, memakai sepatunya kembali, kemudian menyimpul dasinya. Masih sambil menghitung mundur, kejutan yang entah apa. “Dua, satu…” Banu mengulurkan tangan, menghimbau Arkana untuk berdiri. “Oh… Aku tidak siap.” “Bersikaplah seolah tida
Sudah satu jam Svaha berdiri di ujung balkon kamarnya. Sambil memandangi pekarangan rumah besar itu. Juga pohon leci tua, juga ujung atap dari aula milik keluarga Bhuana. Matahari sudah turun sedari tadi, ia menyisakan semburat jingga yang pekat di belakang bangunan-bangunan tinggi kota Harsa. Beberapa kali Svaha tertegun karena kilatan lampu mobil-mobil mewah yang memasuki lahan parkir. Ia pandangi orang-orang dengan pakaian serba mewah itu. Mereka berjalan anggun, beberapa mengobrol sambil membenarkan simpul dasi atau maset penjepit lengan mereka hanya sebagai gimik saja. Svaha sampai detik ini, belum bisa membayangkan bagaimana dirinya akan menjadi salah satu dari orang-orang itu. Orang-orang yang memiliki nama Bhuana di belakang semua nama mereka. Svaha tidak pernah punya mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil hidupnya sederhana. Ia makan apa adanya. Ia jarang makan di restoran kecuali merayakan sesuatu. Ibunya jarang masak makanan laut yang mahal. Semua diambil dari
Svaha turun dari mobil dan berjalan ke dalam pekarangan rumah megah milik keluarga Bhuana. Lampu-lampu taman berwarna kuning yang berpendar diselimuti oleh cahaya pagi yang kelam. Pohon perindang dan tanaman kerdil yang selalu rapi meski belum pernah sekali pun Svaha melihat tukang kebun di sini. Rumah ini seperti dipelihara oleh kekuatan mistis yang tak kasat mata. Mungkin benar demikian, karena itu sangat menjelaskan bagaimana anehnya perangai setiap Bhuana yang tinggal di sini. Misterius. Di sisi lain Svaha nampaknya sudah terbiasa tinggal di sini. Ia menyukai ketenangan di sini. Seringkali lebih merujuk pada kesepian. Karena Cantra tidak menginginkan pertunangan mereka dari awal. Bukannya Svaha jadi matrealistis, hanya saja, siapa yang tidak suka tinggal di rumah yang penuh dengan fasilitas dan makanan? Dan kalau saja Arkana boleh tinggal di sini, tentu akan sangat sempurna. “Svaha,” panggil Cantra. Ia menyusul langkah Svaha dan langsung memeluk lengan lelaki itu
Svaha masih belum dapat mengingat dengan spesifik bagaimana ia mengakhiri cerita tentang pertemuannya dengan Ekanta pada sahabatnya. Ketika ia membuka mata, Arkana berbaring di sebelahnya. Matanya pejam dengan bola mata yang bergerak-gerak di dalamnya. Apa yang sedang dia impikan? Tanya Svaha dalam hati. Sementara di luar bulan sudah menggantung tinggi dan binatang tuli mulai bernyanyi. Seharusnya ini masih musim hujan. Tapi suasannya sangat mirip dengan musim yang lain. Disingkirkannya helaian rambut yang membelah pipi dan dahi sahabatnya. Lalu Svaha mengecup bibir Arkana yang kering. Tepat seperti dongeng putri tidur dan kesatria berkuda, Arkana membuka mata. Mata mereka saling menyapa dalam kantuk yang pedih. Helaan nafas yang ringan. Senyum. “Sudah pagi?” tanya Arkana. Suaranya serak. Tangannya menggenggam ujung kerah baju. Sungguh mustahil mereka tertidur dengan pakaian utuh. Benar, Svaha datang sebagai seorang teman. Tidak ada hubungan pertemanan yang mengutama
Sejak perpisahannya dengan Banu di Hail Hall pagi kemarin, Arkana belum bisa bernafas dengan tenang sama sekali. Ia tidak berhenti memikirkan lelaki itu. Tiba-tiba saja Arkana ingin tahu apa yang sedang Banu lakukan. Apa yang Cantra perintahkan pada lelaki itu. Entah sejak kapan Banu jadi penting buatnya. Yang ia tahu pasti, selama ini Svahalah yang ada di hatinya. Svaha yang paling penting untuknya. Bukan Banu Bhuana. Sejak itu juga Arkana berusaha mengabaikan pesan singkat dari Banu. Ia bahkan tak berani membacanya. Ia berusaha mengalihkan diri dengan menonton. Makan. Atau apa saja yang membuatnya berhenti berkhayal tentang Banu. Arkana tahu, banyak sekali resiko yang akan berdatangan, antri untuk membuat hidupnya semakin tidak tenang. Masalah pertama pasti akan datang dari ibunya. Veronika tidak akan menyukai kenyataan ini. Umur Banu terpaut sepuluh tahun dari Arkana. Dia seorang duda beranak satu. Dia baru saja bercerai dengan istrinya. Tapi, Veronika juga seoran
Agaknya, kali ini seorang Ekanta benar-benar menepati janjinya. Ia menunggu anak lelakinya di luar. Sambil mengisi waktu, ia menggambar di bawah pohon leci tua yang tidak berbuah. Bayangan pohon yang gelap menaunginya, angin bergerak pelan di antara jenggotnya, menawarkan kantuk prematur. Belum juga tengah hari, bisa jadi pembicaraannya dengan Svaha nanti akan memakan banyak energi. Jadi, Ekanta memutuskan merokok barang sebatang untuk mengusir kantuk. Sambil menghembuskan asap dari bakaran tembakau favoritnya, ingatan tentang Svaha kecil menari-nari di udara. Kini, anak itu sudah tumbuh. Ia tampan, hidungnya seperti Swan. Tubuh Svaha kurus namun bahunya lebar dan tegap, seperti dirinya. Ia merasa bangga. Ekanta dibuai rasa bangga yang janggal. Mungkin karena kini anak lelakinya sudah dewasa dan akan menikah. Mungkin karena tanpa kehadirannya Swan berhasil mendidik anak lelakinya. Mungkin, mungkin… Mungkin karena ia sangat mencintai Swan dan kemunculan Svaha membuat rindunya
Svaha sudah terbiasa diejek karena tidak punya ayah. Di sekolah dasar, karena tak ada yang mengambil rapornya, atau hari ayah. Jika teman-temannya ingin tahu apa dia anak di luar pernikahan. Apa dia anak haram. Atau korban perceraian. Apa ayahnya sudah mati seperti ayahnya Arkana. Atau ayahnya berselingkuh seperti dalam telenovela. Biasanya Svaha tidak sempat menjawab, karena Arkana keburu menjitak kepala siapapun yang bicara soal ayahnya Svaha. Meski dalam hati lelaki itu terluka perasaannya. Svaha tidak benar-benar kenal ayahnya. Ia hanya tahu namanya. Ekanta meninggalkan rumah juga sudah lama, sehingga Svaha tak lagi ingat makanan kesukaan ayahnya. Atau lagu apa yang selalu dinyanyikan Ekanta kalau Svaha tidur di malam hari. Satu-satunya yang Svaha ingat adalah hari di mana ayahnya pergi. Hari sabtu, hari pertama musim panas. Svaha sedang berjongkok di depan rumahnya sambil menghitung kelereng ketika Ekanta menghampirinya. Ayahnya berbau cat minyak, di kukunya ada
Café itu terlihat sama dengan pesaingnya dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, Arkana merasa disentil dengan pemandangan interiornya. Ruang satu dan lain dibatasi kusen tanpa daun pintu yang diwarnai merah. Lampunya berbentuk mangkok putih dengan pendar kuning, digantung dari langit-langit bermotif garis. Sebagian temboknya dihaluskan dan dicat putih sementara sebagian sisanya dibiarkan telanjang dengan motif bata. Untuk menghidupkan inovasi ini, mereka menaruh palem dalam pot di beberapa sisi. Segar sekali. Belum lagi meja dan kursi yang dikordinasikan sedemikian rupa. Meja persegi yang mempertahankan serat kayu, dipadu sofa tunggal berbahan bludru, warna putih tulang dan merah yang diletakkan acak. Di meja besar yang selalu ditempatkan di sudut, sebuah sofa dinding di warna hijau sage. Oh! Arkana merayakan ‘eyegasm’ dalam dadanya. Ia begitu bersemangat sehingga tak sengaja menyeret Banu untuk segera masuk ke sana. Gadis itu memilih duduk di pojokan. Di k