Russel menghentikan langkahnya begitu suara sepatu hak tinggi itu mendekat. Ia perlahan menoleh, dan di sana, Leah Hamilton berdiri dengan seringai yang begitu familiar, seringai yang pernah memikatnya sekaligus menghancurkannya. Wajah Russel seketika berubah dingin, penuh kebencian yang tak lagi ia sembunyikan.Leah berjalan mendekat dengan langkah santai, tatapannya penuh kemenangan. "Bisa bicara sebentar?" tanyanya, suaranya manis namun sarat sindiran. Pandangannya melirik tajam pada asisten Russel, membuatnya sadar diri untuk segera menjauh.Mereka berdua pun melangkah menuju sudut terpencil, jauh dari keramaian dan bahkan dari jangkauan kamera pengawas. Tempat itu seperti diatur untuk menjadi panggung kecil bagi perasaan emosional mereka. Leah berdiri dengan sikap percaya diri, melipat tangannya di depan dada sambil menatap Russel dengan tatapan yang hanya bisa diartikan sebagai penghinaan."Sudah lama tidak bertemu, mantan kekasih gelapku," ujar Leah, nadanya licik, memancing ama
Suasana meja makan terasa hening, hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar. Luna mencuri pandang ke arah Jacob beberapa kali, ragu-ragu untuk memulai pembicaraan. Tapi akhirnya, Jacob yang membuka suara lebih dulu."Besok, jadwalmu untuk terapi," ucap Jacob tanpa menoleh dari makanannya. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Jadi, aku sudah meminta Hazel untuk membawamu ke sana."Luna mengangguk pelan, meski ada sedikit rasa kecewa yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Jacob menatapnya sejenak, memastikan bahwa Luna tidak keberatan, sebelum kembali fokus pada makanannya.Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Ponsel Jacob yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Jacob menghela napas, meletakkan sendoknya, lalu bangkit untuk menjawab panggilan tersebut.Suara tegasnya segera menggema di ruang tamu saat ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Tanpa sadar, Jacob berjalan menuju ruang kerjanya, meninggalkan Luna sendi
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Hazel dan Luna tiba di klinik tempat Luna akan menjalani terapi. Mereka disambut oleh seorang wanita dengan senyum ramah, yang langsung mengarahkan mereka ke ruangan yang sudah disiapkan. Namun, Hazel diberitahu bahwa ia tidak diperbolehkan ikut masuk."Kalau begitu, aku menunggu di luar," ujar Hazel sambil tersenyum kepada Luna, mencoba memberikan semangat sebelum gadis itu masuk ke dalam ruangan.Setelah pintu ruangan tertutup, Hazel duduk di bangku luar. Ia menghela nafas panjang, pikirannya mulai melayang-layang. 'Ibu kejam macam apa yang tega membunuh putrinya sendiri?' batinnya.Kalau memang wanita itu tidak menginginkan anaknya, kenapa membiarkan dia lahir?"Jadi ini alasan Jacob begitu protektif terhadap Luna," gumam Hazel pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Kini, ia memahami betapa seriusnya Jacob saat memperingatkannya agar menjaga Luna jauh dari ibunya. Namun, Hazel tetap merasa kebingungan karena ia bahkan tidak tahu seperti
“Selidiki Leah Hamilton dan cari tahu keberadaan Luna. Pastikan kau menemukannya. Aku ingin tahu dimana putriku berada,” ujar Russel dengan nada dingin namun tegas.Anak buahnya mengangguk patuh, keluar dari ruang kerja tanpa sepatah kata. Setelah pintu tertutup rapat, keheningan melingkupi ruangan mewah yang dihiasi rak penuh buku dan perabot kayu mahal. Russel menghela nafas pelan, lalu tangannya terulur ke foto kecil yang terletak di mejanya.Foto itu memperlihatkan seorang gadis kecil berusia tujuh tahun dengan senyuman manis dan mata penuh keceriaan. Foto itu adalah satu-satunya kenangan yang masih tersisa. Ia memandanginya dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Kau pasti sudah tumbuh menjadi wanita cantik sekarang. Aku sangat merindukanmu, Luna,” gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian ruangan.Pikirannya melayang ke masa lalu. Ia pernah mencoba memperjuangkan hak asuh Luna, tetapi Leah terlalu licik dan gesit, dia berhasil melarikan diri bersama putri mereka. Ia
Pagi itu, Jacob kembali terbangun di kamar yang terhubung dengan ruang kerjanya. Semalaman, ia bekerja tanpa henti, mencoba menyelamatkan proyek besar yang hampir lolos dari tangannya. Matahari sudah mulai meninggi, dan ruang kerjanya dipenuhi oleh sisa-sisa lembur, dokumen-dokumen yang berserakan di meja, secangkir kopi yang sudah dingin, dan lampu meja yang masih menyala.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Dari kamar kecil yang terhubung dengan ruang kerjanya, Jacob muncul dengan wajah lelah. Di dekat meja, asistennya sudah berdiri dengan ekspresi tenang namun penuh urgensi.“Tuan, ini sarapan Anda,” kata sang asisten sambil meletakkan nampan di atas meja. “Hari ini adalah hari penting. Sidang untuk memutuskan siapa yang akan mengelola proyek itu akan segera dimulai.”Jacob menyisir rambutnya dengan jari, mencoba mengusir rasa lelah. “Aku memang terlalu ceroboh...” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Dalam hati, ia mengutuk kelalaiannya. Russel benar-benar memanfaatkan momen ini
Suasana ruang sidang perlahan memudar, menyisakan rasa kekalahan yang membekas di wajah Jacob. Keputusan telah dijatuhkan, dan proyek besar yang seharusnya menjadi miliknya kini jatuh ke tangan Russel Calderon. Jacob berdiri mematung, menyaksikan Russel berjalan mendekat dengan langkah penuh kemenangan. “Aku sudah bilang, anak muda sepertimu tidak akan pernah bisa menandingi orang berpengalaman seperti aku,” Russel berkata dengan nada lirih, namun sarat dengan ejekan. “Siapa yang akan bersulang malam ini? Tentu saja aku.” Jacob menatap Russel tanpa berkata sepatah kata pun. Senyum mengejek pria tua itu terasa seperti duri yang menghujam, semakin menyakitkan ketika Russel berjalan pergi dengan punggung yang tegak, diiringi para pengikutnya. Di luar ruang sidang, Jacob menghela nafas panjang, mencoba menahan rasa frustasi. “Pak tua ini benar-benar cari masalah,” gumamnya dalam hati. Asistennya yang setia mendekat. “Tuan, kekalahan ini bisa mempengaruhi saham perusahaan. Kita perlu se
Hari yang sudah direncanakan sebelumnya akhirnya tiba, Leah sengaja mendandani Keith sesederhana mungkin dengan penampilan yang tidak terlalu berlebihan. Mereka berjalan melewati koridor panjang menuju sebuah ruang vip yang sudah di pesan oleh Russel sebelumnya, sepanjang jalan, Keith tampak gugup karena imajinasinya yang terlalu besar."Bu, apa aku sudah cukup baik untuk melakukan sandiwara ini?" tanya Keith.Leah menoleh cepat, menatap Keith dengan sorot tajam, seolah mengingatkan agar gadis itu tetap fokus. "Percaya padaku. Kau hanya perlu mengikuti instruksiku, Russel tidak akan tahu kau sedang bersandiwara."Keith mengangguk ragu, namun mencoba menenangkan dirinya. Di dalam benaknya, ia memikirkan kehidupan yang akan ia nikmati jika rencana ini berhasil.Pintu kayu besar di ujung koridor perlahan dibuka oleh seorang pelayan. Leah masuk lebih dulu dengan Keith mengikuti di belakangnya. Ruangan itu megah, tetapi atmosfernya terasa tegang. Russel sudah duduk di sana, dengan wajah ya
Apartemen luas itu begitu sunyi hingga suara detak jam dinding terdengar jelas. Luna duduk di sofa, menatap Jacob yang duduk di seberang dengan mata terfokus pada layar iPad-nya. Pria itu tampak sangat serius, tenggelam dalam pekerjaan, meskipun sepanjang hari sudah dihabiskannya di kantor. Kini, di apartemen pun Jacob justru tetap asyik bekerja.Luna memperhatikannya cukup lama, berharap Jacob sadar akan kehadirannya. Hingga akhirnya, pria itu menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Luna.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, tapi ada sedikit rasa bersalah di wajahnya.“Kau terlihat begitu sibuk,” jawab Luna pelan.Jacob menurunkan iPad-nya dan menghela nafas, menyadari dirinya telah mengabaikan Luna terlalu lama. Ia tahu gadis itu pasti merasa bosan, mungkin juga tidak nyaman, hanya duduk diam tanpa tahu harus melakukan apa.Jacob tersenyum tipis. “Mau jalan-jalan keluar?” tawarnya, mencoba memperbaiki suasana.Rona cerah langsung menghiasi wajah Luna. Senyumnya melebar, matanya be
Setengah jam berlalu, Xavier dan Diego masih mengobrol seperti dua teman lama yang sedang menikmati waktu santai. Gelas demi gelas minuman mereka habiskan, sesekali tawa kecil terdengar, meski lebih terasa seperti suara dua predator yang merencanakan sesuatu.Akhirnya, setelah puas berbicara, Xavier berdiri. "Ada hal yang perlu aku lakukan," ucapnya. Diego mengangguk, menepuk bahu Xavier sebelum ikut beranjak pergi.Begitu langkah mereka menghilang di balik pintu, bartender yang sejak tadi menyajikan minuman untuk kedua pria itu melirik ke bawah meja. Dengan nada tenang, ia berbisik, "Mereka sudah pergi. Kau bisa keluar dari persembunyianmu sekarang."Perlahan, seorang wanita muncul dari tempatnya berjongkok. Hazel menarik nafas dalam-dalam, mengamati sekeliling untuk memastikan benar-benar aman.Awalnya, ia tidak menyangka bisa bertemu dengan Xavier di dalam kapal ini, dan lebih dari itu, mendengar pembicaraan pria itu yang membuat amarahnya mendidih."Kenapa setiap orang yang dekat
Suara deru mesin mobil memecah keheningan malam saat kendaraan hitam berhenti di dermaga. Xavier turun lebih dulu, langkahnya tegas dan tanpa ragu, langsung berbicara dengan seseorang yang sudah menunggunya. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi, seakan kehadirannya saja sudah cukup untuk membuat orang lain merasa terintimidasi.Dari sisi lain, Luna turun dengan sedikit ragu. Begitu kakinya menginjak dermaga, matanya langsung tertuju pada dua kapal pesiar megah yang bersandar tak jauh dari tempatnya berdiri. Cahaya lampu dari kapal itu memantul di permukaan air laut, menciptakan pemandangan yang begitu menakjubkan, namun sekaligus membuatnya merasa kecil.Jantungnya berdetak lebih cepat. Selama satu minggu kedepan, ia harus berada di dalam kapal itu bersama pria yang ... jujur saja ... menakutkan. Ditambah lagi, ini pertama kalinya ia berada di kapal sebesar itu, yang tingginya nyaris menyamai gedung lima belas lantai.Tanpa memperdulikan keterpanaan Luna, suara dingin Xavier menginte
Teriakan penuh amarah mengguncang ruangan, menggema hingga ke dinding-dinding yang seolah ikut bergetar karena kemarahan Russel. Dengan gerakan kasar, ia meraih vas bunga di atas meja dan melemparkannya ke lantai. Pecahan keramik berhamburan, nyaris mengenai kaki anak buahnya yang hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk."Brengsek!" Russel berbalik dengan mata membara, jemarinya teracung tajam ke arah pria yang berdiri membeku di hadapannya. "Bukankah aku sudah menyuruhmu memastikan bahwa Jacob ada di dalam mobil itu?! Tapi lihat apa yang terjadi! Dia masih hidup! Itu berarti yang kalian ledakkan tadi hanyalah mobil kosong! Kegagalan macam apa ini?!"Anak buahnya tetap diam, tahu betul bahwa berdebat hanya akan memperparah situasi. Russel tidak butuh alasan, yang ia inginkan hanyalah hasil.Pria itu semakin murka. Rahangnya mengeras, pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin Jacob bisa lolos? Apakah dia sudah mengetahui rencananya sejak awal? Mungkinkah ini semua adalah jebakan y
Kekacauan masih belum mereda. Kabar pertunangan itu terus bergulir, menyebar bagaikan api yang disiram bensin. Namun, yang lebih menggemparkan adalah terbongkarnya identitas Xavier sebagai cucu George Davis, sebuah fakta yang selama ini terkubur rapi dalam bayang-bayang. Dan kini, untuk pertama kalinya, Xavier tidak punya pilihan selain berdiri di hadapan publik dengan gelar yang selama ini ia hindari.Konferensi pers pun digelar.Di tengah kilatan kamera dan suara gemuruh wartawan yang berlomba mendapatkan sudut terbaik, Xavier melangkah masuk ke ruangan. Setelan hitamnya yang sempurna, sorot mata tajamnya, dan aura dominan yang terpancar dari dirinya membuat suasana seketika terasa lebih tegang.Ia duduk dengan tenang di kursi yang disediakan, sementara wartawan sudah tak sabar melontarkan pertanyaan."Sir, mengapa Anda menyembunyikan identitas sebagai cucu George Davis?""Apa benar transaksi ilegal yang muncul beberapa hari lalu melibatkan Anda?""Kapan pernikahan Anda dengan putri
Rumor seperti api yang membakar reputasi Russel Calderon. Kontrak-kontrak penting mulai dibatalkan satu per satu, saham Zenith merosot tajam, dan ruang kerjanya yang biasanya megah kini terasa seperti sel isolasi. Teleponnya berdering tanpa henti karena pada investor yang panik, rekan bisnis yang curiga, bahkan media yang haus sensasi.Tidak terasa tiga hari berlalu semenjak rumor itu muncul, beberapa pihak kepolisian datang untuk memeriksa dirinya terlibat dalam transaksi pengiriman senjata. Penyelidikan terus dilakukan, saham perusahaan mengalami masalah karena rumor yang terus membesar.Di saat Xavier dan Russel terlibat perselisihan, semua orang tidak ada yang memperhatikan Luna. Hal ini menjadi kesempatan untuk Luna menikmati waktu yang ia punya, karena semenjak Xavier pergi sehari setelah pertunangan, sejak itu pula Luna tak melihat pria itu pulang."Hei, kau dimana?" tanya Luna pada seseorang di sambungan telepon.Begitu seseorang di telepon itu menjawab, Luna langsung pergi me
Pukul tujuh pagi, Luna membuka pintu kamarnya dengan perlahan, udara dingin apartemen mewah Xavier menyergap kulitnya. Namun, sebelum ia sempat mengambil langkah pertama, suara kasar memecah kesunyian pagi."Brengsek! Dia berani melakukannya?!"Suara Xavier yang bergema di ruangan membuat Luna membeku. Dadanya berdegup kencang, apakah kemarahan itu ditujukan padanya?Dengan hati berdebar, ia melihat Xavier berdiri di ruang tamu, wajahnya merah padam, tangan mencengkeram ponsel seolah ingin menghancurkannya. Matanya yang biasanya dingin kini membara seperti api neraka."Siapa yang membuatnya marah seperti ini?" batin Luna.Xavier menoleh tiba-tiba, dan tatapan mereka bertemu. Luna nyaris mundur, ada sesuatu yang mengerikan dalam sorot matanya pagi ini. Tapi sebelum sempat berkata apapun, Xavier mendengus keras, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya.Beberapa detik kemudian, ia keluar lagi, kini mengenakan jas hitam yang membuatnya terlihat seperti malaikat maut. Tanpa sepata
Pada akhirnya, hari yang tidak diinginkan itu tiba. Yaitu pesta pertunangan, walaupun bukan pesta besar, tapi kabar mengenai hal ini kemungkinan besar akan dengan cepat didengar oleh publik bahwa putri dari Russel Calderon telah bertunangan.Luna menatap keluar jendela kaca besar, pemandangan kota terlihat dari tempat ia berdiri. Langit gelap dan lampu-lampu di gedung tinggi tampak bersinar, ia seperti seekor hewan peliharaan yang berharap untuk bisa mendapatkan kebebasan."Kau terjebak, dan tidak ada cara untuk melarikan diri." ucap Nico yang berdiri tak jauh di belakang Luna.Perlahan Luna berbalik, menatap adik tirinya yang beberapa waktu terakhir sikapnya lebih baik, terlihat dari sorot matanya kalau Nico itu sebenarnya peduli padanya, tapi pria muda itu enggan untuk mengakui hal itu."Kamu benar, aku terjebak. Bagaikan seekor hewan yang terjerat oleh perangkap seorang pemburu," ucap Luna sambil melewati Nico menuju meja dan meraih sepasang anting untuk ia pakai.Nico memperhatika
Luna baru saja keluar dari bandara sambil membawa koper, tapi matanya langsung melihat dua orang bodyguard yang siap menjemput. Salah satu mendekat, meraih koper dan membawanya pergi sementara satu yang lainnya seakan memastikan Luna tak tersentuh oleh para pendatang di bandara tersebut.Tak ada kebahagiaan yang terpancar di wajah Luna, hanya tekanan batin yang ia rasakan karena harus meninggalkan Jacob tanpa satu katapun. Ia ingin bertahan, hidup bahagia seperti apa yang Jacob tawarkan, tapi itu berat bagi Luna kalau pilihannya itu malah membuat Jacob celaka di kemudian hari."Silakan, Nona," ucap salah satu bodyguard dengan suara datar, membukakan pintu mobil hitam mengkilap yang sudah menunggu. Luna masuk tanpa protes, jendela mobil yang gelap seakan memantulkan bayangannya yang hampa.Kediaman Calderon menyambutnya dengan kemewahan yang tiba-tiba terasa menusuk. Russel tersenyum ramah, tapi sorot matanya tajam, seperti pedagang yang baru saja menutup transaksi menguntungkan."Baga
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Luna bergegas dari dapur saat dering ponselnya memecah kesunyian. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat nama "Xavier" berkedip di layar. Tangannya gemetar saat mencoba mengatur nafas, memastikan suaranya tak akan terdengar mencurigakan saat menjawab."Baik, tenang," bisiknya pada diri sendiri sebelum akhirnya mengangkat telepon. "Halo?"Suara Xavier langsung memenuhi telinganya, dingin dan penuh ancaman. "Ingat baik-baik, Luna. Kau tidak boleh terlambat satu menit pun untuk acara pertunangan kita. Tiga hari lagi. Liburanmu tersisa satu hari. Jika kau berani melawan..." Ada jeda yang sengaja dibuat dramatis. "Aku tidak akan tinggal diam."Luna memejamkan mata erat-erat, mencoba menahan getar di suaranya. "Aku mengerti. Besok aku akan kembali.""Dan ingat ini," sambung Xavier, suaranya tiba-tiba lebih rendah namun sepuluh kali lebih mengerikan. "Aku benci mengulangi kalimat yang sama. Kalau kau berulah..." Ancaman itu menggantung di udara. "Jangan