Tetap update walaupun lambat wkwk Btw makasih yang udah kasih dukungan :P
Suasana meja makan terasa hening, hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar. Luna mencuri pandang ke arah Jacob beberapa kali, ragu-ragu untuk memulai pembicaraan. Tapi akhirnya, Jacob yang membuka suara lebih dulu."Besok, jadwalmu untuk terapi," ucap Jacob tanpa menoleh dari makanannya. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Jadi, aku sudah meminta Hazel untuk membawamu ke sana."Luna mengangguk pelan, meski ada sedikit rasa kecewa yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Jacob menatapnya sejenak, memastikan bahwa Luna tidak keberatan, sebelum kembali fokus pada makanannya.Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Ponsel Jacob yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Jacob menghela napas, meletakkan sendoknya, lalu bangkit untuk menjawab panggilan tersebut.Suara tegasnya segera menggema di ruang tamu saat ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Tanpa sadar, Jacob berjalan menuju ruang kerjanya, meninggalkan Luna sendi
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Hazel dan Luna tiba di klinik tempat Luna akan menjalani terapi. Mereka disambut oleh seorang wanita dengan senyum ramah, yang langsung mengarahkan mereka ke ruangan yang sudah disiapkan. Namun, Hazel diberitahu bahwa ia tidak diperbolehkan ikut masuk."Kalau begitu, aku menunggu di luar," ujar Hazel sambil tersenyum kepada Luna, mencoba memberikan semangat sebelum gadis itu masuk ke dalam ruangan.Setelah pintu ruangan tertutup, Hazel duduk di bangku luar. Ia menghela nafas panjang, pikirannya mulai melayang-layang. 'Ibu kejam macam apa yang tega membunuh putrinya sendiri?' batinnya.Kalau memang wanita itu tidak menginginkan anaknya, kenapa membiarkan dia lahir?"Jadi ini alasan Jacob begitu protektif terhadap Luna," gumam Hazel pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Kini, ia memahami betapa seriusnya Jacob saat memperingatkannya agar menjaga Luna jauh dari ibunya. Namun, Hazel tetap merasa kebingungan karena ia bahkan tidak tahu seperti
“Selidiki Leah Hamilton dan cari tahu keberadaan Luna. Pastikan kau menemukannya. Aku ingin tahu dimana putriku berada,” ujar Russel dengan nada dingin namun tegas.Anak buahnya mengangguk patuh, keluar dari ruang kerja tanpa sepatah kata. Setelah pintu tertutup rapat, keheningan melingkupi ruangan mewah yang dihiasi rak penuh buku dan perabot kayu mahal. Russel menghela nafas pelan, lalu tangannya terulur ke foto kecil yang terletak di mejanya.Foto itu memperlihatkan seorang gadis kecil berusia tujuh tahun dengan senyuman manis dan mata penuh keceriaan. Foto itu adalah satu-satunya kenangan yang masih tersisa. Ia memandanginya dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Kau pasti sudah tumbuh menjadi wanita cantik sekarang. Aku sangat merindukanmu, Luna,” gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam kesunyian ruangan.Pikirannya melayang ke masa lalu. Ia pernah mencoba memperjuangkan hak asuh Luna, tetapi Leah terlalu licik dan gesit, dia berhasil melarikan diri bersama putri mereka. Ia
Pagi itu, Jacob kembali terbangun di kamar yang terhubung dengan ruang kerjanya. Semalaman, ia bekerja tanpa henti, mencoba menyelamatkan proyek besar yang hampir lolos dari tangannya. Matahari sudah mulai meninggi, dan ruang kerjanya dipenuhi oleh sisa-sisa lembur, dokumen-dokumen yang berserakan di meja, secangkir kopi yang sudah dingin, dan lampu meja yang masih menyala.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Dari kamar kecil yang terhubung dengan ruang kerjanya, Jacob muncul dengan wajah lelah. Di dekat meja, asistennya sudah berdiri dengan ekspresi tenang namun penuh urgensi.“Tuan, ini sarapan Anda,” kata sang asisten sambil meletakkan nampan di atas meja. “Hari ini adalah hari penting. Sidang untuk memutuskan siapa yang akan mengelola proyek itu akan segera dimulai.”Jacob menyisir rambutnya dengan jari, mencoba mengusir rasa lelah. “Aku memang terlalu ceroboh...” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Dalam hati, ia mengutuk kelalaiannya. Russel benar-benar memanfaatkan momen ini
Suasana ruang sidang perlahan memudar, menyisakan rasa kekalahan yang membekas di wajah Jacob. Keputusan telah dijatuhkan, dan proyek besar yang seharusnya menjadi miliknya kini jatuh ke tangan Russel Calderon. Jacob berdiri mematung, menyaksikan Russel berjalan mendekat dengan langkah penuh kemenangan.“Aku sudah bilang, anak muda sepertimu tidak akan pernah bisa menandingi orang berpengalaman aku,” Russel berkata dengan nada lirih, namun sarat dengan ejekan. “Siapa yang akan bersulang malam ini? Tentu saja aku.”Jacob menatap Russel tanpa berkata sepatah kata pun. Senyum mengejek pria tua itu terasa seperti duri yang menghujam, semakin menyakitkan ketika Russel berjalan pergi dengan punggung yang tegak, diiringi para pengikutnya.Di luar ruang sidang, Jacob menghela nafas panjang, mencoba menahan rasa frustasi. “Pak tua ini benar-benar cari masalah,” gumamnya dalam hati.Asistennya yang setia mendekat. “Tuan, kekalahan ini bisa mempengaruhi saham perusahaan. Kita perlu segera bertind
Hari yang sudah direncanakan sebelumnya akhirnya tiba, Leah sengaja mendandani Keith sesederhana mungkin dengan penampilan yang tidak terlalu berlebihan. Mereka berjalan melewati koridor panjang menuju sebuah ruang vip yang sudah di pesan oleh Russel sebelumnya, sepanjang jalan, Keith tampak gugup karena imajinasinya yang terlalu besar."Bu, apa aku sudah cukup baik untuk melakukan sandiwara ini?" tanya Keith.Leah menoleh cepat, menatap Keith dengan sorot tajam, seolah mengingatkan agar gadis itu tetap fokus. "Percaya padaku. Kau hanya perlu mengikuti instruksiku, Russel tidak akan tahu kau sedang bersandiwara."Keith mengangguk ragu, namun mencoba menenangkan dirinya. Di dalam benaknya, ia memikirkan kehidupan yang akan ia nikmati jika rencana ini berhasil.Pintu kayu besar di ujung koridor perlahan dibuka oleh seorang pelayan. Leah masuk lebih dulu dengan Keith mengikuti di belakangnya. Ruangan itu megah, tetapi atmosfernya terasa tegang. Russel sudah duduk di sana, dengan wajah ya
Apartemen luas itu begitu sunyi hingga suara detak jam dinding terdengar jelas. Luna duduk di sofa, menatap Jacob yang duduk di seberang dengan mata terfokus pada layar iPad-nya. Pria itu tampak sangat serius, tenggelam dalam pekerjaan, meskipun sepanjang hari sudah dihabiskannya di kantor. Kini, di apartemen pun Jacob justru tetap asyik bekerja.Luna memperhatikannya cukup lama, berharap Jacob sadar akan kehadirannya. Hingga akhirnya, pria itu menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Luna.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, tapi ada sedikit rasa bersalah di wajahnya.“Kau terlihat begitu sibuk,” jawab Luna pelan.Jacob menurunkan iPad-nya dan menghela nafas, menyadari dirinya telah mengabaikan Luna terlalu lama. Ia tahu gadis itu pasti merasa bosan, mungkin juga tidak nyaman, hanya duduk diam tanpa tahu harus melakukan apa.Jacob tersenyum tipis. “Mau jalan-jalan keluar?” tawarnya, mencoba memperbaiki suasana.Rona cerah langsung menghiasi wajah Luna. Senyumnya melebar, matanya be
Leah memaksakan sebuah senyum saat matanya bertemu dengan Hazel. “Oh, Nona Dawson, mengapa Anda di sini?” tanyanya dengan nada ringan, meskipun ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.Hazel mengerutkan kening, pandangannya berpindah ke Luna yang tampak cemas. Dengan tenang, Hazel menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Luna. Dan Anda sendiri, Nyonya Hamilton? Apa urusan Anda di sini? Bukankah tempat ini cukup jauh dari kediaman Anda?”Leah menyipitkan mata, pandangannya bergantian antara Hazel dan Luna. “Anda mengenal gadis ini?” tanyanya sambil menunjuk Luna dengan nada sinis.Dan tanpa ragu, Hazel pun merangkul bahu Luna. Perasaan tegang yang sempat Luna rasakan tadi seketika terasa jauh lebih baik saat merasakan keakraban yang ditunjukkan Hazel dengan terang terangan di depan Leah.“Tentu saja,” jawab Hazel tegas. “Aku mengenalnya dengan baik. Itulah mengapa aku datang menemuinya.”Tatapan Leah berubah dingin dan tajam, menghunus ke arah Luna. Di balik sikapnya yang tampak santai,
Setengah jam berlalu, akhirnya Luna menikmati sepiring spageti buatan Jacob. Aroma tomat segar dan taburan keju menciptakan suasana hangat di antara mereka, meski ketegangan beberapa saat lalu hampir saja membuat masakan itu batal tersaji.Mereka makan dalam keheningan, hanya suara garpu yang beradu dengan piring terdengar di ruangan. Namun, mata Luna sesekali melirik Jacob, tampak ada sesuatu yang ingin ia tanyakan.“Kapan kita akan kembali ke pulau?” tanya Luna akhirnya, memecah keheningan.Jacob berhenti mengunyah, menatapnya sambil menyesap air minum. “Aku belum tahu,” jawabnya tenang. “Kau ingin kembali ke sana?”Luna mengangguk kecil. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Jacob melanjutkan, “Sayangnya, untuk seka
Mobil hitam Jacob berhenti di pinggir jalan, tapi bukan di depan apartemen seperti yang Luna kira. Supir membuka pintu, membiarkan Jacob dan Luna turun, sebelum melajukan mobil kembali ke tengah keramaian kota. Luna mengernyitkan dahi, kebingungan.“Ada apa? Kita belum sampai rumah,” tanya Luna, menatap Jacob dengan pandangan ingin tahu.Jacob hanya tersenyum tipis, menggenggam tangan Luna dengan lembut. “Aku memang tidak berniat langsung pulang. Aku ingin kita menikmati malam ini lebih lama. Kau tidak keberatan, kan?”Luna menatapnya sebentar, lalu bibirnya melengkung dalam senyuman kecil. “Tentu saja tidak. Tapi, apa yang kau rencanakan?”“Rahasia,” balas Jacob dengan nada menggoda, matanya berbinar penuh rahasia.Mereka berjalan menyusuri trotoar kota New York yang diterangi oleh lampu jalan dan kilauan neon gedung-gedung tinggi. Setelah beberapa menit, mereka sampai di salah satu gedung pencakar langit yang terkenal. Jacob membawa Luna naik ke puncak gedung, ke sebuah dek observas
Hazel menarik Luna ke sudut ruangan pesta, menjauhi keramaian para pria yang sedang sibuk bercakap-cakap dengan orang-orang penting. Dengan elegan, Hazel meraih segelas sampanye dari pelayan terdekat dan menyerahkannya kepada Luna."Pesta ini cukup ramai. Kau tidak merasa terganggu dengan keramaian seperti ini?" tanya Hazel sambil melirik sekilas ke arah kerumunan yang semakin ramai.Luna menggeleng pelan, lalu menyesap sampanye miliknya sedikit. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan nada ringan.Namun, Hazel tampaknya belum puas. Dia menoleh, menatap Luna dengan penasaran. "Aku masih penasaran, apa yang membuatmu takut dengan keramaian seperti ini sebelumnya? Apakah itu karena ibumu? Atau mungkin sesuatu yang lain?" tanyanya lagi, nada suaranya terdengar lembut namun penuh perhatian.Luna menghela nafas pelan, ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku... aku tidak tahu harus memulainya dari mana, tapi dulu aku pernah mengalami kejadian yang sangat tidak menyenangkan saat tampil di atas pan
Jacob masih berada di ruang acara saat Luna berpamitan ke toilet, satu menit pertama saat Luna pergi sendirian mendadak saja membuatnya cemas. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu sendirian, karena Jacob belum memastikan sepenuhnya apakah trauma Luna sudah sembuh atau belum.Jacob menghela nafas berat, berusaha menenangkan dirinya. Namun, setiap detik yang berlalu hanya membuat kegelisahannya semakin menjadi. Akhirnya, ia memutuskan bangkit dari kursinya dan berjalan menuju arah toilet. Ia tak akan tenang sampai memastikan Luna baik-baik saja."Bahkan satu menit pun aku tak bisa membiarkannya jauh dariku," gumam Jacob lirih, tangannya mengepal seolah memarahi dirinya sendiri karena merasa terlalu protektif.Ia melewati koridor panjang menuju ke arah toilet, ketika langkahnya sudah cukup dekat ke toilet wanita, Jacob berhenti sejenak saat ia mendengar suara seorang perempuan berseru."Dasar pencuri!" ucap seseorang yang kemudian dengan jelas ada suara Luna membalas tuduhan tersebut. Jaco
Jacob menatap Nico dengan tidak senang karena ia sadar Nico memperhatikan Luna, lantas dengan terang terangan Jacob melingkarkan tangannya di pinggang Luna dengan tatapan tajam penuh peringatan."Kau salah orang, wanitaku tidak mengenal remaja arogan sepertimu." setelah berkata demikian, Jacob mengajak Luna ke tempat duduk mereka.Sejenak Nico merasa tidak puas, ia menatap Jacob dan Luna yang pergi menjauh. Ia yakin kalau sebelumnya pernah melihat Luna di suatu tempat, tapi ia benar-benar tidak ingat dimana. "Sepertinya dia punya wajah yang pasaran," Nico pun menggelengkan kepala dan ia menoleh ke arah pintu, seketika wajah tidak senangnya menjadi penuh kebencian saat melihat ayahnya datang bersama Keith, yang saat ini status dikenal sebagai bagian keluarga Calderon. Disisi lain, Keith tampak penuh percaya diri saat ia melangkah masuk ke dalam pesta tersebut. Pada akhirnya ia bisa punya status sebagai anak konglomerat yang disegani, dan hadir di pesta seperti ini dengan barang-baran
Fajar baru saja menyingsing ketika Luna terbangun dari tidurnya. Kamar itu terasa sunyi, hanya menyisakan jejak kehangatan dari orang yang sebelumnya berbaring di sampingnya sementara di atas meja, ada sepasang pakaian yang pasti di siapkan oleh Jacob. Dengan gerakan lambat, Luna bangkit dari tempat tidur dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Mungkin Jacob sudah berangkat kerja seperti biasanya, pikirnya. Tapi begitu ia selesai mengenakan pakaian dan keluar dari kamar, ia mendengar suara ritmis dari mesin treadmill di ruang olahraga. Jacob masih di sana. Pria itu terlihat fokus, tubuhnya bergerak mantap di atas treadmill, dengan headphone terpasang di telinganya. Wajahnya penuh konsentrasi, tidak menyadari keberadaan Luna yang berdiri di ambang pintu memperhatikannya sejenak. Tak ingin mengganggu, Luna segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Aroma masakan yang menggoda akhirnya menyadarkan Jacob dari kesibukannya. Pria itu menoleh, melepas headphone dan mengalihkan
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Luna masih terjaga. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara pikirannya penuh dengan bayangan tatapan dingin Leah. Walaupun ibunya tidak mengucapkan ancaman secara langsung, tatapan wanita itu sudah cukup untuk membuat Luna yakin, Leah akan kembali untuk membawanya. "Bagaimana caranya aku bisa melarikan diri darinya? Dia pasti mengawasi setiap langkahku sekarang," gumamnya pelan. "Mimpi buruk saat bersamanya tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku." Kenangan buruk itu kembali menghantamnya seperti gelombang. Bayangan tongkat baseball yang diangkat tinggi-tinggi lalu menghantam kakinya membuat tubuh Luna refleks tersentak. Ia mencengkram selimut erat-erat, sementara nafasnya menjadi lebih cepat. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba menenangkan diri, ketakutan itu tetap bertahan seperti hantu yang menolak pergi. Akhirnya, setelah beberapa lama bergelut dengan pikirannya sendiri, Luna memutuskan untuk turun dari t
Leah memaksakan sebuah senyum saat matanya bertemu dengan Hazel. “Oh, Nona Dawson, mengapa Anda di sini?” tanyanya dengan nada ringan, meskipun ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.Hazel mengerutkan kening, pandangannya berpindah ke Luna yang tampak cemas. Dengan tenang, Hazel menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Luna. Dan Anda sendiri, Nyonya Hamilton? Apa urusan Anda di sini? Bukankah tempat ini cukup jauh dari kediaman Anda?”Leah menyipitkan mata, pandangannya bergantian antara Hazel dan Luna. “Anda mengenal gadis ini?” tanyanya sambil menunjuk Luna dengan nada sinis.Dan tanpa ragu, Hazel pun merangkul bahu Luna. Perasaan tegang yang sempat Luna rasakan tadi seketika terasa jauh lebih baik saat merasakan keakraban yang ditunjukkan Hazel dengan terang terangan di depan Leah.“Tentu saja,” jawab Hazel tegas. “Aku mengenalnya dengan baik. Itulah mengapa aku datang menemuinya.”Tatapan Leah berubah dingin dan tajam, menghunus ke arah Luna. Di balik sikapnya yang tampak santai,
Apartemen luas itu begitu sunyi hingga suara detak jam dinding terdengar jelas. Luna duduk di sofa, menatap Jacob yang duduk di seberang dengan mata terfokus pada layar iPad-nya. Pria itu tampak sangat serius, tenggelam dalam pekerjaan, meskipun sepanjang hari sudah dihabiskannya di kantor. Kini, di apartemen pun Jacob justru tetap asyik bekerja.Luna memperhatikannya cukup lama, berharap Jacob sadar akan kehadirannya. Hingga akhirnya, pria itu menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Luna.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, tapi ada sedikit rasa bersalah di wajahnya.“Kau terlihat begitu sibuk,” jawab Luna pelan.Jacob menurunkan iPad-nya dan menghela nafas, menyadari dirinya telah mengabaikan Luna terlalu lama. Ia tahu gadis itu pasti merasa bosan, mungkin juga tidak nyaman, hanya duduk diam tanpa tahu harus melakukan apa.Jacob tersenyum tipis. “Mau jalan-jalan keluar?” tawarnya, mencoba memperbaiki suasana.Rona cerah langsung menghiasi wajah Luna. Senyumnya melebar, matanya be