Uthornya minta maaf karena gak mau tanggung jawab, kalian aja yang tanggung masing masing ya wkwkwk KABOOR~
Saat bangun keesokan harinya, hal pertama yang Luna rasakan adalah nyeri di sekujur tubuh. Pinggangnya terasa akan patah saat ia beranjak duduk, bukti betapa brutalnya Jacob semalam membuatnya tak berdaya."Aku sudah berusaha menghindarinya, tapi dia tetap saja berhasil melakukan hal ini padaku." batin Luna sambil meringis, ia turun dari tempat tidur dan saat itu juga ia jatuh ke lantai yang dingin.Bertepatan dengan itu, pintu kamar terbuka dan Jacob masuk. "Luna, kau tidak apa-apa?" dengan cepat pria itu menghampiri, membantu Luna berdiri, namun kedua kaki Luna rasanya seperti mati rasa dan ia bahkan tak mampu untuk berdiri.Gadis itu menatap Jacob dengan pandangan tajam, "Kau tau siapa yang membuatku sampai seperti ini?!" geramnya."Harusnya kau bilang dari awal kalau membutuhkan bantuan," dengan tanpa rasa bersalah, Jacob menggendong Luna ke kamar mandi, membantu gadis itu membersihkan diri.Luna hanya diam memperhatikan, ia tak punya tenaga untuk membalas Jacob. Setelah selesai,
Di dalam sebuah apartemen dengan suasana temaram, televisi menyala menampilkan tayangan berita malam. Di sofa, seorang wanita duduk dengan anggun, memegang segelas wine di tangannya. Ia memutar gelas itu perlahan, memperhatikan cairan merah gelap yang berputar seiring pikirannya yang bergulir.Di dapur, seorang pria dengan penampilan santai sedang memilih botol minuman dingin dari lemari pendingin. Suara kaca yang bersentuhan terdengar samar di tengah keheningan apartemen."Kau sudah menerima surat panggilan dari perusahaan Lawson?" tanya Eric dengan nada datar, tanpa menoleh.Leah menghela nafas ringan, menyandarkan tubuhnya pada sofa sambil meneguk sedikit wine. "Belum," jawabnya singkat. "Tapi aku yakin mereka akan mempertimbangkanku. Lagi pula, kemampuan seperti milikku jelas tak mudah mereka temukan." Ada nada percaya diri dalam suaranya, meski matanya tampak menerawang jauh.Sejenak keheningan melingkupi ruangan. Leah menghabiskan sisa wine di gelasnya dengan satu tegukan. Namun
Sejak pukul delapan, Jacob sudah meninggalkan apartemen. Tadinya, Luna pikir ia akan menghabiskan seharian di apartemen itu dengan membosankan, namun rupanya Jacob menyuruh Hazel untuk menemani Luna bepergian."Nona, aku minta maaf. Anda sampai harus meluangkan waktu menemaniku," ucap Luna, merasa sedikit canggung.Hazel menoleh, matanya yang penuh dengan binar semangat itu tak peduli dengan kalimat Luna, bahkan dengan santai Hazel merangkul bahu Luna seakan mereka ada sahabat yang sudah sangat dekat."Kau malah menyelamatkanku, Luna! Pekerjaan menumpuk, liburan seharian pun sulit aku didapatkan. Tapi Jacob memberiku kesempatan untuk bolos demi menemanimu, bagaimana menurutmu? Itu kan luar biasa?" Hazel menyeringai, mengedipkan sebelah matanya.Luna sedikit terkejut, tapi tak bisa menahan senyum kecil yang terbit. "Aku tidak ingin merepotkanmu," jawabnya, meskipun hatinya merasa ringan.Hazel tertawa pelan, tanpa peduli dengan kekhawatiran Luna. "Nonsense! Kita kan sama-sama manusia, d
Bagaikan dihantam oleh fakta yang mengejutkan, Keith memanggil Leah dengan sebutan ibu. Jika Luna tidak mendengar langsung, ia pasti akan menganggap ini hanyalah mimpi. Namun sayangnya tidak, setelah Keith dan Leah pergi tanpa menyadari keberadaannya, saat itu Luna masih dapat melihat bahu mereka dari kejauhan.Ibu yang selalu menjadikannya sasaran kemarahan dan teman yang selalu membulinya, mengapa mereka menjadi begitu sangat akrab sampai Keith memanggil Leah sebagai ibu. Mungkinkah Leah sudah menikah dengan ayah dari Keith?Ini masih menjadi pertanyaan untuk Luna, ia sudah terlalu lama tidak mendengar kabar ibunya dan ini adalah kali pertama ia bertemu namun sebuah kejutan besar membuatnya hanya bisa diam."Hei, maaf membuatmu menunggu lama," suara Hazel membuyarkan lamunannya. Hazel berdiri dengan senyum hangat, membawa sebuah paper bag kecil di tangan. Luna mendongak, mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan senyuman kaku."Bagaimana, kau sudah mendapatkan barang yang kau mau
Hazel baru saja meninggalkan ruangan setelah berdebat singkat dengan Jacob, meninggalkan suasana yang kini terasa lebih sunyi. Jacob berdiri di dekat meja kerjanya, menghela nafas panjang, seolah berusaha meredakan amarah yang sebenarnya tak pernah ia tujukan pada Hazel. Luna sejak tadi merasa canggung, segera berdiri dan menatap Jacob dengan tatapan penuh rasa bersalah."Ini bukan salah Hazel," ucap Luna, suaranya lembut namun tegas. "Kau jangan marah padanya, dia hanya ingin aku merasa lebih percaya diri."Namun, reaksi Jacob jauh dari apa yang ia bayangkan. Alih-alih marah, pria itu melangkah mendekat, mendekap Luna dengan kehangatan yang tak ia duga. Pelukan itu tidak berlangsung lama, namun cukup untuk membuat Luna tertegun."Aku tidak marah," kata Jacob dengan suara tenang. "Aku hanya khawatir padamu. Kau belum sepenuhnya terbiasa dengan lingkungan luar, apalagi bertemu banyak orang. Bagaimana jika hal itu membuatmu kembali takut atau merasa tertekan?"Luna perlahan melepaskan di
Langit malam sudah sepenuhnya gelap, dan jarum jam mendekati pukul sebelas ketika Jacob masih terjebak di ruang kerjanya. Berkas-berkas menumpuk di mejanya, mencerminkan kekacauan pikiran yang memenuhi kepalanya.Proyek besar yang seharusnya sudah berada di bawah kendali perusahaannya tiba-tiba saja diambil alih oleh Zenith Corp tanpa pemberitahuan apa pun. Ini bukan hanya sekadar pelanggaran prosedur, ini penghinaan yang tidak bisa dibiarkan.Pintu ruang kerja terbuka tiba-tiba, mengusik konsentrasinya. Asisten pribadinya masuk dengan tergesa-gesa, membawa sebuah map di tangannya dan wajahnya penuh kecemasan."Tuan, pihak yang berkaitan akan mengadakan rapat mendadak besok pagi," katanya dengan suara tegas, meskipun nada paniknya jelas terdengar.Jacob menghela nafas panjang sambil memijat keningnya yang terasa berat. Ia mengambil map itu dari tangan asistennya dan membolak-baliknya sekilas. Informasi di dalamnya hanya membuat frustrasinya semakin memuncak."Pastikan pengacaraku hadi
Russel menghentikan langkahnya begitu suara sepatu hak tinggi itu mendekat. Ia perlahan menoleh, dan di sana, Leah Hamilton berdiri dengan seringai yang begitu familiar, seringai yang pernah memikatnya sekaligus menghancurkannya. Wajah Russel seketika berubah dingin, penuh kebencian yang tak lagi ia sembunyikan.Leah berjalan mendekat dengan langkah santai, tatapannya penuh kemenangan. "Bisa bicara sebentar?" tanyanya, suaranya manis namun sarat sindiran. Pandangannya melirik tajam pada asisten Russel, membuatnya sadar diri untuk segera menjauh.Mereka berdua pun melangkah menuju sudut terpencil, jauh dari keramaian dan bahkan dari jangkauan kamera pengawas. Tempat itu seperti diatur untuk menjadi panggung kecil bagi perasaan emosional mereka. Leah berdiri dengan sikap percaya diri, melipat tangannya di depan dada sambil menatap Russel dengan tatapan yang hanya bisa diartikan sebagai penghinaan."Sudah lama tidak bertemu, mantan kekasih gelapku," ujar Leah, nadanya licik, memancing ama
Suasana meja makan terasa hening, hanya suara denting sendok beradu dengan piring yang terdengar. Luna mencuri pandang ke arah Jacob beberapa kali, ragu-ragu untuk memulai pembicaraan. Tapi akhirnya, Jacob yang membuka suara lebih dulu."Besok, jadwalmu untuk terapi," ucap Jacob tanpa menoleh dari makanannya. "Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Jadi, aku sudah meminta Hazel untuk membawamu ke sana."Luna mengangguk pelan, meski ada sedikit rasa kecewa yang ia sembunyikan di balik senyumnya. Jacob menatapnya sejenak, memastikan bahwa Luna tidak keberatan, sebelum kembali fokus pada makanannya.Namun, kebersamaan mereka tak berlangsung lama. Ponsel Jacob yang tergeletak di meja ruang tamu tiba-tiba berdering, memecah keheningan. Jacob menghela napas, meletakkan sendoknya, lalu bangkit untuk menjawab panggilan tersebut.Suara tegasnya segera menggema di ruang tamu saat ia berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Tanpa sadar, Jacob berjalan menuju ruang kerjanya, meninggalkan Luna sendi
Setengah jam berlalu, akhirnya Luna menikmati sepiring spageti buatan Jacob. Aroma tomat segar dan taburan keju menciptakan suasana hangat di antara mereka, meski ketegangan beberapa saat lalu hampir saja membuat masakan itu batal tersaji.Mereka makan dalam keheningan, hanya suara garpu yang beradu dengan piring terdengar di ruangan. Namun, mata Luna sesekali melirik Jacob, tampak ada sesuatu yang ingin ia tanyakan.“Kapan kita akan kembali ke pulau?” tanya Luna akhirnya, memecah keheningan.Jacob berhenti mengunyah, menatapnya sambil menyesap air minum. “Aku belum tahu,” jawabnya tenang. “Kau ingin kembali ke sana?”Luna mengangguk kecil. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Jacob melanjutkan, “Sayangnya, untuk seka
Mobil hitam Jacob berhenti di pinggir jalan, tapi bukan di depan apartemen seperti yang Luna kira. Supir membuka pintu, membiarkan Jacob dan Luna turun, sebelum melajukan mobil kembali ke tengah keramaian kota. Luna mengernyitkan dahi, kebingungan.“Ada apa? Kita belum sampai rumah,” tanya Luna, menatap Jacob dengan pandangan ingin tahu.Jacob hanya tersenyum tipis, menggenggam tangan Luna dengan lembut. “Aku memang tidak berniat langsung pulang. Aku ingin kita menikmati malam ini lebih lama. Kau tidak keberatan, kan?”Luna menatapnya sebentar, lalu bibirnya melengkung dalam senyuman kecil. “Tentu saja tidak. Tapi, apa yang kau rencanakan?”“Rahasia,” balas Jacob dengan nada menggoda, matanya berbinar penuh rahasia.Mereka berjalan menyusuri trotoar kota New York yang diterangi oleh lampu jalan dan kilauan neon gedung-gedung tinggi. Setelah beberapa menit, mereka sampai di salah satu gedung pencakar langit yang terkenal. Jacob membawa Luna naik ke puncak gedung, ke sebuah dek observas
Hazel menarik Luna ke sudut ruangan pesta, menjauhi keramaian para pria yang sedang sibuk bercakap-cakap dengan orang-orang penting. Dengan elegan, Hazel meraih segelas sampanye dari pelayan terdekat dan menyerahkannya kepada Luna."Pesta ini cukup ramai. Kau tidak merasa terganggu dengan keramaian seperti ini?" tanya Hazel sambil melirik sekilas ke arah kerumunan yang semakin ramai.Luna menggeleng pelan, lalu menyesap sampanye miliknya sedikit. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan nada ringan.Namun, Hazel tampaknya belum puas. Dia menoleh, menatap Luna dengan penasaran. "Aku masih penasaran, apa yang membuatmu takut dengan keramaian seperti ini sebelumnya? Apakah itu karena ibumu? Atau mungkin sesuatu yang lain?" tanyanya lagi, nada suaranya terdengar lembut namun penuh perhatian.Luna menghela nafas pelan, ragu sejenak sebelum menjawab. "Aku... aku tidak tahu harus memulainya dari mana, tapi dulu aku pernah mengalami kejadian yang sangat tidak menyenangkan saat tampil di atas pan
Jacob masih berada di ruang acara saat Luna berpamitan ke toilet, satu menit pertama saat Luna pergi sendirian mendadak saja membuatnya cemas. Ia tak bisa meninggalkan gadis itu sendirian, karena Jacob belum memastikan sepenuhnya apakah trauma Luna sudah sembuh atau belum.Jacob menghela nafas berat, berusaha menenangkan dirinya. Namun, setiap detik yang berlalu hanya membuat kegelisahannya semakin menjadi. Akhirnya, ia memutuskan bangkit dari kursinya dan berjalan menuju arah toilet. Ia tak akan tenang sampai memastikan Luna baik-baik saja."Bahkan satu menit pun aku tak bisa membiarkannya jauh dariku," gumam Jacob lirih, tangannya mengepal seolah memarahi dirinya sendiri karena merasa terlalu protektif.Ia melewati koridor panjang menuju ke arah toilet, ketika langkahnya sudah cukup dekat ke toilet wanita, Jacob berhenti sejenak saat ia mendengar suara seorang perempuan berseru."Dasar pencuri!" ucap seseorang yang kemudian dengan jelas ada suara Luna membalas tuduhan tersebut. Jaco
Jacob menatap Nico dengan tidak senang karena ia sadar Nico memperhatikan Luna, lantas dengan terang terangan Jacob melingkarkan tangannya di pinggang Luna dengan tatapan tajam penuh peringatan."Kau salah orang, wanitaku tidak mengenal remaja arogan sepertimu." setelah berkata demikian, Jacob mengajak Luna ke tempat duduk mereka.Sejenak Nico merasa tidak puas, ia menatap Jacob dan Luna yang pergi menjauh. Ia yakin kalau sebelumnya pernah melihat Luna di suatu tempat, tapi ia benar-benar tidak ingat dimana. "Sepertinya dia punya wajah yang pasaran," Nico pun menggelengkan kepala dan ia menoleh ke arah pintu, seketika wajah tidak senangnya menjadi penuh kebencian saat melihat ayahnya datang bersama Keith, yang saat ini status dikenal sebagai bagian keluarga Calderon. Disisi lain, Keith tampak penuh percaya diri saat ia melangkah masuk ke dalam pesta tersebut. Pada akhirnya ia bisa punya status sebagai anak konglomerat yang disegani, dan hadir di pesta seperti ini dengan barang-baran
Fajar baru saja menyingsing ketika Luna terbangun dari tidurnya. Kamar itu terasa sunyi, hanya menyisakan jejak kehangatan dari orang yang sebelumnya berbaring di sampingnya sementara di atas meja, ada sepasang pakaian yang pasti di siapkan oleh Jacob. Dengan gerakan lambat, Luna bangkit dari tempat tidur dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Mungkin Jacob sudah berangkat kerja seperti biasanya, pikirnya. Tapi begitu ia selesai mengenakan pakaian dan keluar dari kamar, ia mendengar suara ritmis dari mesin treadmill di ruang olahraga. Jacob masih di sana. Pria itu terlihat fokus, tubuhnya bergerak mantap di atas treadmill, dengan headphone terpasang di telinganya. Wajahnya penuh konsentrasi, tidak menyadari keberadaan Luna yang berdiri di ambang pintu memperhatikannya sejenak. Tak ingin mengganggu, Luna segera menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Aroma masakan yang menggoda akhirnya menyadarkan Jacob dari kesibukannya. Pria itu menoleh, melepas headphone dan mengalihkan
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Luna masih terjaga. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, sementara pikirannya penuh dengan bayangan tatapan dingin Leah. Walaupun ibunya tidak mengucapkan ancaman secara langsung, tatapan wanita itu sudah cukup untuk membuat Luna yakin, Leah akan kembali untuk membawanya. "Bagaimana caranya aku bisa melarikan diri darinya? Dia pasti mengawasi setiap langkahku sekarang," gumamnya pelan. "Mimpi buruk saat bersamanya tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku." Kenangan buruk itu kembali menghantamnya seperti gelombang. Bayangan tongkat baseball yang diangkat tinggi-tinggi lalu menghantam kakinya membuat tubuh Luna refleks tersentak. Ia mencengkram selimut erat-erat, sementara nafasnya menjadi lebih cepat. Tidak peduli seberapa keras ia mencoba menenangkan diri, ketakutan itu tetap bertahan seperti hantu yang menolak pergi. Akhirnya, setelah beberapa lama bergelut dengan pikirannya sendiri, Luna memutuskan untuk turun dari t
Leah memaksakan sebuah senyum saat matanya bertemu dengan Hazel. “Oh, Nona Dawson, mengapa Anda di sini?” tanyanya dengan nada ringan, meskipun ketegangan di wajahnya sulit disembunyikan.Hazel mengerutkan kening, pandangannya berpindah ke Luna yang tampak cemas. Dengan tenang, Hazel menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Luna. Dan Anda sendiri, Nyonya Hamilton? Apa urusan Anda di sini? Bukankah tempat ini cukup jauh dari kediaman Anda?”Leah menyipitkan mata, pandangannya bergantian antara Hazel dan Luna. “Anda mengenal gadis ini?” tanyanya sambil menunjuk Luna dengan nada sinis.Dan tanpa ragu, Hazel pun merangkul bahu Luna. Perasaan tegang yang sempat Luna rasakan tadi seketika terasa jauh lebih baik saat merasakan keakraban yang ditunjukkan Hazel dengan terang terangan di depan Leah.“Tentu saja,” jawab Hazel tegas. “Aku mengenalnya dengan baik. Itulah mengapa aku datang menemuinya.”Tatapan Leah berubah dingin dan tajam, menghunus ke arah Luna. Di balik sikapnya yang tampak santai,
Apartemen luas itu begitu sunyi hingga suara detak jam dinding terdengar jelas. Luna duduk di sofa, menatap Jacob yang duduk di seberang dengan mata terfokus pada layar iPad-nya. Pria itu tampak sangat serius, tenggelam dalam pekerjaan, meskipun sepanjang hari sudah dihabiskannya di kantor. Kini, di apartemen pun Jacob justru tetap asyik bekerja.Luna memperhatikannya cukup lama, berharap Jacob sadar akan kehadirannya. Hingga akhirnya, pria itu menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Luna.“Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, tapi ada sedikit rasa bersalah di wajahnya.“Kau terlihat begitu sibuk,” jawab Luna pelan.Jacob menurunkan iPad-nya dan menghela nafas, menyadari dirinya telah mengabaikan Luna terlalu lama. Ia tahu gadis itu pasti merasa bosan, mungkin juga tidak nyaman, hanya duduk diam tanpa tahu harus melakukan apa.Jacob tersenyum tipis. “Mau jalan-jalan keluar?” tawarnya, mencoba memperbaiki suasana.Rona cerah langsung menghiasi wajah Luna. Senyumnya melebar, matanya be