Setelah pagi yang menggairahkan adalah waktu untuk merilekskan tubuh. Gita dan Rangga berendam di Jacuzzi dan merasakan air hangat yang seakan-akan memijat pelan tubuh mereka. Itu akan menghilangkan lelah dan memberi kesegaran ke tubuh mereka untuk mempersiapkan diri melalui hari. Ini memang sedikit terlambat sebab sudah jam sepuluh dan mereka baru saja sarapan. Pagi ini memang membuat mereka lupa waktu. "Pesawatmu nanti malam, kan?" Tanya Gita sembari mengalirkan air hangat ke pundaknya. Rangga berdecak lalu menggelengkan kepalanya. "Gita, ini hari Sabtu. Pesawatku hari Minggu malam, seperti biasanya." Oops, Gita lupa. Pesta ulang tahun Kirana adalah di hari Jumat malam, dan setelah Jumat adalah Sabtu. Apa yang ada di pikirannya hingga salah menghitung hari? Gita memperlihatkan cengiran lebarnya dan berucap, "Aku lupa." "Kamu pasti senang. Kita masih punya besok untuk menghabiskan waktu bersama. Mungkin aku bisa mengajarimu soal bisnis sembari kita melakukannya," ucap Rangga en
Gita mengatur napasnya agar teratur walaupun itu sulit sebab kegugupan telah melanda dan mengambil alih fokusnya. Ini merupakan makan siang pertamanya dengan keluarga Rangga setelah hari pernikahan mereka. Dan juga dengan keluarga Kirana. Mereka memutuskan makan siang bersama karena kebetulan kedua orang tua Kirana berada di Jakarta. Pasti sulit bagi para pebisnis seperti mereka untuk berkumpul bersama sehingga ketika kesempatan itu ada, mereka akan menggunakannya sebaik mungkin, termasuk mengundangnya. "Kamu gugup?" tanya Rangga di sebelahnya. Gita masih menatap ke depan seraya melemaskan jarinya untuk mengendorkan ketegangannya. "Apa yang kamu lihat dariku?" tanyanya balik. Seharusnya jawabannya sudah jelas, bukan? Dia..."Kamu gugup," tukas Rangga. Benar. Dia gugup. Tiba-tiba Rangga meletakkan tangannya di atas tangannya lalu meremasnya pelan. "Kamu sudah pernah ketemu mereka, dan kamu tahu mereka menyukaimu." Gita menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Dia berusa
"Gita." Dela memanggil namanya begitu panggilan telepon tersambung. Itu terjadi sekitar waktu makan malam. Seketika kedua alis Gita berkerut. Cara Dela bicara seperti menunjukkan rasa kecewa. Tapi, apa salahnya? "Kenapa?" tanya Gita, memilih untuk berakting tak tahu apa-apa. Dia tak mau terlalu jelas memperlihatkan jika dia bisa membaca emosi wanita itu. "Aku telepon kamu berkali-kali, dan juga chat supaya kamu telepon aku. Tapi kenapa kamu nggak melakukannya?" Oh, Gita ingat. Dia melupakan pesan-pesannya. "Maaf. Aku lupa." Itu adalah kebenarannya. Dia tiba-tiba menjadi sibuk sejak insiden malam ini. Dia bahkan hanya sekali membalas pesan dari adiknya. "Farah punya schedule di Sabtu-Minggu ini?" "Begitulah." Bagian ini adalah kebohongan. Dia selalu menggunakannya sejak Rangga rutin mengunjunginya di akhir pekan. Maaf, Del. "Kenapa telepon?" "Aku mau ajak kamu shopping. Sebentar lagi akan ada pesta anniversary perusahaan Lukman, dan aku butuh dress baru." Kerutan kembali muncul
"Aku lihat loh." Seketika kerutan tercetak di dahi Gita begitu mendengar kalimat pertama Dela. Dia baru saja sampai dan langsung mendapati wanita itu berkata demikian. Itu jelas membingungkannya. "Apa yang kamu lihat?" "Kamu barusan keluar dari mobil hitam tapi itu bukan mobilmu." Dan kerutan Gita menghilang seiring kelegaan yang dirasakannya. Ternyata Dela melihatnya turun dari mobil Rangga. Atau lebih tepatnya, mobil Kirana yang Rangga pinjam untuk mengantarkannya ke sini. Untungnya, dia meminta Rangga menurunkannya agak jauh jadi Dela tidak bisa melihat siapa yang mengendarainya. "Kamu ingat Kirana? Dia yang anterin aku ke sini." Kenapa bukan nama Rangga yang keluar dari bibirnya?"Kamu sering ketemu dia?" "Nggak juga. Kita beberapa kali ketemu untuk membahas soal rekomendasiku." Dan kebohongan Gita terus berlanjut. "Rekomendasi apa?" "Pesta ulang tahunnya." Dan lagi-lagi terus berlanjut. Betapa bodoh Gita yang tak berani mengungkapkan kebenarannya padahal ini hanya sesimpel
Gita dan Dela sedang mengobrol dan bercanda ketika Lukman dan Dewa tiba-tiba datang. Dela juga terkejut melihat kehadiran mereka. Meski mereka semua berjanji makan malam bersama, dia tidak pernah tahu Dewa akan datang. "Kamu nggak bilang Dewa akan ikut ke sini?" Tanya Gita--protes--kepada Dela dengan berbisik-bisik. "Aku juga nggak tahu. Lukman nggak ngomong apa-apa soalnya." Dela membalas Gita dengan cara yang sama. Gita menaikkan satu alisnya, antara percaya dan tidak percaya. Dela sudah melakukan banyak hal seperti ini di masa lalu. Merencanakan makan siang atau makan malam sambil membawa seorang pria tanpa memberitahukannya terlebih dahulu. Ya, Dela sering menjebaknya. Tapi oke, dia akan mencoba untuk percaya. Toh, dia tidak bisa apa-apa lagi karena Dewa sudah terlanjur berada di sini. Sedangkan Lukman tidak mungkin dengan sengaja melakukannya, bukan? Lukman tahu siapa laki-laki yang disukainya. "Hai, girls," sapa Dewa ketika sampai di depan Gita dan Dela. "Boleh aku duduk di
"Makasih ya sudah nganterin aku," ucap Gita setelah Dewa menurunkannya di tempat tujuannya.Dewa menatap bangunan megah di hadapan mereka. Adiwijaya Hotel. "Siapa yang mau kamu temui di sini?" "Teman." Balas Gita singkat. Ya, dia meminta Dewa menurunkannya di Adiwijaya Hotel setelah penolakannya ditolak. Dia awalnya hendak pulang sendiri. Namun Dela mengatakan soal seorang pria tidak boleh membiarkan wanita pulang sendiri, dan alasan random lainnya sehingga dia berakhir menerimanya. Itu pun setelah tawaran Lukman yang juga berniat mengantarkannya pulang ditolak oleh Dela. Intinya, Dela menginginkannya bersama Dewa. Dewa tidak merespon. Matanya masih tertuju pada bangunan tinggi itu dan menebak-teman teman seperti apa yang akan Gita temui di sana. "Dia dari Jogja ya?" Seseorang yang menginap di hotel biasanya berasal dari luar kota. "Begitulah." Gita memilih jawaban yang aman dengan membiarkan semuanya tetap rahasia. "Lalu kita-" Dewa berhenti di tengah-tengah kalimanya dan menguba
Gita sengaja mengambil jarak selangkah di belakang Rangga ketika mereka berjalan kembali ke kamar mereka. Entah kenapa dia merasa Rangga sedang kesal. Pria itu lebih diam daripada biasanya, dan itu membuatnya bertanya-tanya. Apakah itu karena dirinya? Rangga terus diam bahkan setelah mereka sampai di dalam kamar. Namun, tatapan mata Gita tak lepas dari sang suami yang kini berada di dapur dan menenggak habis minumannya seolah-olah mencoba untuk mendinginkan sesuatu yang membara di dalam tubuhnya. Dan ketika Rangga tengah mengisi kembali gelasnya, Gita berjalan pelan menghampirinya. "Kamu marah sama aku?" tanya Gita begitu sampai di samping Rangga. "Nggak," jawab Rangga singkat lalu kembali menenggak gelasnya. Gita kembali diam dan mengamati setiap pergerakan pria itu. Barulah setelah Rangga meletakkan gelasnya ke atas meja, Gita meraih tangannya lalu menggengamnya untuk dia bawa mengikutinya menuju sofa.Rangga tidak berkata apa pun, begitu pun Gita. Dan sesampainya mereka di sofa
Rangga sedang bekerja dengan tabletnya sambil menikmati angin laut yang menyapu kulitnya. Itu memberikan ketenangan seiring bunyi ombak yang datang bergantian, memberikan suasana alam yang natural, dan menenangkan benaknya sehingga dia dapat lebih berfokus pada apa yang dikerjakannya. Membaca laporan. Ya, dia bekerja sembari menikmati ketenangan laut. Dan tentu saja, dia tidak datang seorang diri. Ada dua wanita yang paling berharga di hidupnya bersamanya. Seulas senyum tercetak di bibirnya memikirkan hal tersebut. Dia akhirnya menambahkan seseorang baru dalam hidupnya, istrinya, dan sebutan itu mungkin akan bertambah seiring perjalanan pernikahan mereka. Kemudian dia mengalihkan pandangannya sejenak pada hamparan pasir, laut, serta dua orang yang menjadi tokoh utama hari ini. Gita dan ibunya berdiri saling bersisian di tepi laut dan merasakan sisa ombak yang merendam kaki mereka. Tampaknya mereka tak berniat pergi lebih jauh dan menggunakan kesempatan tersebut untuk mengobrol sant