JEVINAku dan Zeline tiba di puncak menjelang malam. Kami langsung ke villa milik temanku.Tomi, temanku si pemilik villa hanya geleng-geleng kepala saat melihatku tiba.“Lo bener-bener ya, Jev. Mau nikah kayak orang lagi kebelet.”Aku hanya tertawa walau benar adanya. “Gimana? Udah lo atur semua? Gue bisa nikah sekarang kan?”Tomi terkekeh geli. “Buru-buru amat, baru juga nyampe. Lo nggak mau minum atau istirahat dulu?”“Minum dan istirahat bisa nanti-nanti, yang penting nikah dulu,” kataku tidak sabar yang membuat Tomi kembali tertawa.“Jadi itu calon lo?” bisiknya memaksudkan Zeline yang berdiri di belakangku.“Yup. Namanya Zeline.” Aku mengenalkan sambil menarik tangan Zeline agar berdiri di sebelahku.Tomi terdiam tak berkedip menatap Zeline hitungan detik lamanya. Anjir juga nih orang.“Woi, jangan kelamaan ngeliatnya. Calon bini gue nih.”Tomi tertawa, sedang Zeline tersenyum sambil mengangguk sopan.Nggak pake lama, aku dan Zeline lalu bersiap-siap.“Aku pake baju apa ya, Jev
ZELINEJevin merengkuhku lalu mempertemukan bibir kami. Tubuhku gemetar. Bertahun-tahun berlalu sejak dia menyentuhku, tapi efeknya masih sedahsyat itu. Saking dahsyatnya aku jadi tidak bisa membalas ciumannya. Aku hanya bisa terpaku merasakan lidahnya menelusupi rongga mulutku yang basah.“Kenapa nggak dibalas?” tanyanya melepas pagutan bibir kami karena aku diam saja.“Aku agak nervous, Jev,” kataku jujur. Dan dia pun terkekeh.Sekarang hal yang aku syukuri adalah karena aku tidak pernah mengizinkan Dimas mencium bibirku. No french kiss. Skinship di antara kami hanya sebatas kecupan di pipi atau sebuah pelukan ringan.“Jadi gimana caranya biar kamu nggak nervous?” tanya Jevin lagi.Aku menggaruk leher belakang, bingung. Sejujurnya efek Jevin pada diriku tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang. Berdekatan dengannya apalagi dengan kondisi seintim ini membuat dengkulku lemas.“Aku lupa nanya, aku belum tahu selain kuliah, selama di NY kegiatan kamu apa saja?” Jevin merengkuhku l
ZELINEIni adalah hari kedua aku menjadi istri Jevin. Kami masih berada di villa dan berencana kembali hari ini ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan Pak Ariq dan Mbak Niken. Padahal aku masih ingin lama-lama di sini menyegarkan otak yang masih kusut akibat kemelut dengan keluarga kami berdua. Aku belum tahu bagaimana ceritanya Pak Ariq berjodoh dengan Mbak Niken. Aku belum sempat menanyakannya pada Jevin. Kami terlalu asyik menikmati indahnya romansa pengantin baru.Pagi ini aku bangun lebih awal, sedangkan Jevin masih meringkuk di bawah selimut. Tadinya aku ingin membangunkannya. Tapi saat melihat gurat-gurat lelah di wajahnya aku jadi tidak tega. Dan aku tahu dia akan kecewa setelah mendengar kabar yang akan kusampaikan.Aku melihat Jevin sudah bangun saat aku keluar dari kamar mandi. Dia melempar senyumnya yang khas. Senyum yang selalu hadir di dalam mimpiku setiap kali aku merindukannya.“Kenapa mandi duluan? Kok nggak ngebangunin aku? Curang banget, pasti takut aku serang lag
ZELINEKami benar-benar pulang ke Jakarta hari ini dengan status baru sebagai suami istri. Ya, walaupun cara kami menikah tidak selayaknya namun tidak mengurangi kadar kebahagiaanku satu persen pun.Keadaan membuatku harus menyingkirkan jauh-jauh impian menikah dengan konsep beach party dengan sapuan ombak dan sunset sebagai background-nya.“Jev, nanti kalo udah nyampe kita bakal stay di mana?” tanyaku pada Jevin yang sedang menyetir di sebelahku sambil bersiul mengikuti Eminem di audio yang menyala.Jevin memandang ke arahku, siulannya terhenti. “Di hotel lah, mau di mana lagi?”Ya, satu-satunya pilihan yang memungkinkan bagi kami untuk berlabuh adalah hotel. Kami nggak mungkin kembali ke rumah Mbak Zoi atau rumah orang tuanya Jevin.“Kenapa memangnya? Kamu mau kita menginap di mana?” tanya Jevin balik setelah aku diam.“Terserah kamu. Aku cuma nanya. Kamu nggak berniat buat ngasih tahu tentang pernikahan kita sama Mami dan Papi?”“Mereka pasti sudah tahu dari Javas,” ucap Jevin yak
ZELINEAku nggak berani bicara apa pun pada Jevin. Sejak menghajar Dimas tadi dia diam membisu tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibirnya.Tadi setelah Dimas tersungkur Jevin langsung mengajakku pergi.“Lama-lama di sini aku bisa bikin dia mati,” ucapnya sambil menarik tanganku.Dari rumah Dimas Jevin membawaku ke hotel. Aku tidak banyak tanya. Menurut pada hotel apa pun pilihannya.Sesampai di hotel kami beristirahat. Aku berbaring di sebelah Jevin sambil memerhatikan keasyikannya nge-game di ponsel. Jevin tampak begitu santai sedangkan pikiranku tidak bisa lepas dari kejadian tadi. Aku khawatir Dimas akan memperkarakannya lalu melaporkan Jevin ke polisi atas tindakan penganiayaan. “Jev …,” panggilku pelan. Ini adalah suara pertamaku setelah kami tiba di hotel.“Ya, Sayang?” Jevin menyahut tanpa menoleh. Matanya terfokus pada layar gawai.“Aku takut.”“Takut kenapa?”“Gimana kalo Dimas nggak terima terus ngelaporin kamu ke polisi atas dugaan penganiayaan?” ucapku mengemukakan
ZELINEDengan refleks aku mengaitkan tanganku ke lengan Jevin.Mbak Zoi serta Mas Javas yang menggendong Arimbi melangkah ke arah kami. Sedangkan Tante Rosella tetap di tempat sambil melempar tatapan tajamnya.Aku bingung harus melakukan apa. Seharusnya sebagai menantu yang baik aku langsung mendekatinya lalu menjabat dan mencium punggung tangannya. Tapi kondisinya berbeda. Dia tidak menganggapku sebagai menantunya. Dia membenciku. Dia menganggapku tidak layak untuk mendampingi anaknya. Sebagus apa pun aku, sebesar apapun usaha yang kulakukan untuk menaklukkan hatinya, predikatku di matanya tidak akan berubah. ZELINE TIDAK LAYAK UNTUK MENDAMPINGI JEVIN.Setiap kali mengingat tudingannya bahwa aku menginginkan anaknya hanya karena mengincar hartanya hatiku sakit. Aku juga bisa mencari uang sendiri.“Zel … kamu nggak apa-apa, Dek?” Mbak Zoi memelukku seakan aku baru saja lolos dari maut.“Nggak apa-apa, Mbak.”Mbak Zoi lalu menarikku pergi meninggalkan Jevin dan Mas Javas. Kami menjau
ZELINEAku dan Jevin masih berada di ballroom hotel tempat pernikahan terselenggara. Semakin malam suasana semakin ramai. Para tamu memadati ballroom. Mereka mengisi setiap tempat yang ada. Sepertinya Pak Ariq dan Mbak Niken mengundang banyak orang. Aku tidak tahu berapa pastinya.Seharusnya aku turut berbahagia karena akhirnya orang yang kukenal dan pernah berinteraksi banyak denganku, terutama Pak Ariq, pada akhirnya menemukan pasangan hidup. Nyatanya setelah pertemuan dengan Tante Rosella tadi semua terasa hampa. Termasuk zuppa soup yang saat ini berada di hadapanku. Tante Rosella sudah keterlaluan. Dia boleh membenciku, tapi tidak sepatutnya mengutuki agar Jevin tidak memiliki anak dariku.“Lemes amat? Nggak enak zuppa soup-nya?” tegur Jevin mengusap pundakku.“Enak,” jawabku singkat.“Terus kenapa nggak dihabisin?”Aku diam saja. Aku harap Jevin peka pada perasaanku, apa yang menyebabkanku begini.Karena aku tidak menjawab, Jevin menghela napasnya. Mulai paham apa yang terjadi.
ZELINEAku dan Jevin keluar dari salon dengan tubuh dan pikiran jauh lebih rileks.Bukan hanya aku yang nyalon, tapi Jevin juga. Kami melakukan beberapa treatment seperti spa dan body massage. Jevin tidak putus memuji rambut baruku. Aku mengikuti sarannya. Mengubah warna rambutku yang hitam menjadi mahogany brown. Potongannya yang biasa lurus aku ubah jadi bervolume. Apalagi dengan ujungnya yang sengaja di-curly kata Jevin membuatku terlihat lebih dewasa bagai seorang girl boss.“Zel, temenin aku nge-gym dulu ya?”Aku menurut tanpa protes saat Jevin membawaku ke pusat kebugaran. Aku nggak akan pernah lupa kalau Jevin selalu rutin menjaga kesehatannya. Hobinya nge-gym dan berenang. Itulah sebabnya tubuhnya begitu atletis.“Nggak ikut sekalian?” tanya Jevin menawarkan. Dia sudah membuka baju dan hanya mengenakan celana pendek.Aku nggak suka olahraga. Ini adalah pertama kalinya aku ke tempat beginian.“Males ah.” Aku menolak dan lebih memilih menjadi penonton.“Ayolah sekali-sekali.” J