ZELINEKami benar-benar pulang ke Jakarta hari ini dengan status baru sebagai suami istri. Ya, walaupun cara kami menikah tidak selayaknya namun tidak mengurangi kadar kebahagiaanku satu persen pun.Keadaan membuatku harus menyingkirkan jauh-jauh impian menikah dengan konsep beach party dengan sapuan ombak dan sunset sebagai background-nya.“Jev, nanti kalo udah nyampe kita bakal stay di mana?” tanyaku pada Jevin yang sedang menyetir di sebelahku sambil bersiul mengikuti Eminem di audio yang menyala.Jevin memandang ke arahku, siulannya terhenti. “Di hotel lah, mau di mana lagi?”Ya, satu-satunya pilihan yang memungkinkan bagi kami untuk berlabuh adalah hotel. Kami nggak mungkin kembali ke rumah Mbak Zoi atau rumah orang tuanya Jevin.“Kenapa memangnya? Kamu mau kita menginap di mana?” tanya Jevin balik setelah aku diam.“Terserah kamu. Aku cuma nanya. Kamu nggak berniat buat ngasih tahu tentang pernikahan kita sama Mami dan Papi?”“Mereka pasti sudah tahu dari Javas,” ucap Jevin yak
ZELINEAku nggak berani bicara apa pun pada Jevin. Sejak menghajar Dimas tadi dia diam membisu tanpa sepatah kata pun terlontar dari bibirnya.Tadi setelah Dimas tersungkur Jevin langsung mengajakku pergi.“Lama-lama di sini aku bisa bikin dia mati,” ucapnya sambil menarik tanganku.Dari rumah Dimas Jevin membawaku ke hotel. Aku tidak banyak tanya. Menurut pada hotel apa pun pilihannya.Sesampai di hotel kami beristirahat. Aku berbaring di sebelah Jevin sambil memerhatikan keasyikannya nge-game di ponsel. Jevin tampak begitu santai sedangkan pikiranku tidak bisa lepas dari kejadian tadi. Aku khawatir Dimas akan memperkarakannya lalu melaporkan Jevin ke polisi atas tindakan penganiayaan. “Jev …,” panggilku pelan. Ini adalah suara pertamaku setelah kami tiba di hotel.“Ya, Sayang?” Jevin menyahut tanpa menoleh. Matanya terfokus pada layar gawai.“Aku takut.”“Takut kenapa?”“Gimana kalo Dimas nggak terima terus ngelaporin kamu ke polisi atas dugaan penganiayaan?” ucapku mengemukakan
ZELINEDengan refleks aku mengaitkan tanganku ke lengan Jevin.Mbak Zoi serta Mas Javas yang menggendong Arimbi melangkah ke arah kami. Sedangkan Tante Rosella tetap di tempat sambil melempar tatapan tajamnya.Aku bingung harus melakukan apa. Seharusnya sebagai menantu yang baik aku langsung mendekatinya lalu menjabat dan mencium punggung tangannya. Tapi kondisinya berbeda. Dia tidak menganggapku sebagai menantunya. Dia membenciku. Dia menganggapku tidak layak untuk mendampingi anaknya. Sebagus apa pun aku, sebesar apapun usaha yang kulakukan untuk menaklukkan hatinya, predikatku di matanya tidak akan berubah. ZELINE TIDAK LAYAK UNTUK MENDAMPINGI JEVIN.Setiap kali mengingat tudingannya bahwa aku menginginkan anaknya hanya karena mengincar hartanya hatiku sakit. Aku juga bisa mencari uang sendiri.“Zel … kamu nggak apa-apa, Dek?” Mbak Zoi memelukku seakan aku baru saja lolos dari maut.“Nggak apa-apa, Mbak.”Mbak Zoi lalu menarikku pergi meninggalkan Jevin dan Mas Javas. Kami menjau
ZELINEAku dan Jevin masih berada di ballroom hotel tempat pernikahan terselenggara. Semakin malam suasana semakin ramai. Para tamu memadati ballroom. Mereka mengisi setiap tempat yang ada. Sepertinya Pak Ariq dan Mbak Niken mengundang banyak orang. Aku tidak tahu berapa pastinya.Seharusnya aku turut berbahagia karena akhirnya orang yang kukenal dan pernah berinteraksi banyak denganku, terutama Pak Ariq, pada akhirnya menemukan pasangan hidup. Nyatanya setelah pertemuan dengan Tante Rosella tadi semua terasa hampa. Termasuk zuppa soup yang saat ini berada di hadapanku. Tante Rosella sudah keterlaluan. Dia boleh membenciku, tapi tidak sepatutnya mengutuki agar Jevin tidak memiliki anak dariku.“Lemes amat? Nggak enak zuppa soup-nya?” tegur Jevin mengusap pundakku.“Enak,” jawabku singkat.“Terus kenapa nggak dihabisin?”Aku diam saja. Aku harap Jevin peka pada perasaanku, apa yang menyebabkanku begini.Karena aku tidak menjawab, Jevin menghela napasnya. Mulai paham apa yang terjadi.
ZELINEAku dan Jevin keluar dari salon dengan tubuh dan pikiran jauh lebih rileks.Bukan hanya aku yang nyalon, tapi Jevin juga. Kami melakukan beberapa treatment seperti spa dan body massage. Jevin tidak putus memuji rambut baruku. Aku mengikuti sarannya. Mengubah warna rambutku yang hitam menjadi mahogany brown. Potongannya yang biasa lurus aku ubah jadi bervolume. Apalagi dengan ujungnya yang sengaja di-curly kata Jevin membuatku terlihat lebih dewasa bagai seorang girl boss.“Zel, temenin aku nge-gym dulu ya?”Aku menurut tanpa protes saat Jevin membawaku ke pusat kebugaran. Aku nggak akan pernah lupa kalau Jevin selalu rutin menjaga kesehatannya. Hobinya nge-gym dan berenang. Itulah sebabnya tubuhnya begitu atletis.“Nggak ikut sekalian?” tanya Jevin menawarkan. Dia sudah membuka baju dan hanya mengenakan celana pendek.Aku nggak suka olahraga. Ini adalah pertama kalinya aku ke tempat beginian.“Males ah.” Aku menolak dan lebih memilih menjadi penonton.“Ayolah sekali-sekali.” J
ZELINE“Can’t wait to see you, Aunty …” Fai melambaikan tangan sebelum mengakhiri panggilan video yang berlangsung di antara kami sejak lima belas menit yang dulu.Sebelumnya aku mengobrol dengan Mbak Zola, mengabarkan tentang jadwal keberangkatanku dan Jevin besok. Dan tentunya aku juga bercerita mengenai pernikahanku dengan Jevin. Sejauh ini para kakakku memberi dukungan mereka. Mungkin karena mereka juga mengalami perjalanan cinta yang begitu berliku dengan pasangan masing-masing.Bahuku dikecup dari belakang bersama aroma khas Jevin yang terhirup oleh hidungku.“Udah nelfonnya?”“Udah.”“Cerita apa aja tadi?”“Aku cuma ngabarin kalau kita berangkat besok sama nyeritain nikahan kita.”“Tanggapan Zola gimana?”“Sama kayak Zach,” jawabku. Pada awalnya kakak tengahku itu memang tidak menerima keputusanku yang memilih kabur dari rumah untuk memperjuangkan cinta dengan Jevin. Tapi pada akhirnya dia berdiri di kubuku. Aku yakin Zach memiliki peran yang cukup besar untuk meyakinkannya aga
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena