Kamar yang ditempati Zoia di apartemen Zach terasa begitu nyaman. Suhu ruangannya pas, aromanya wangi dan segar, tempatnya juga sangat tenang. Namun sayangnya kondisi tubuh Zoia membuat segala kenyamanan itu terasa tidak sempurna.Masih sepagi ini, di mana ia masih ingin leye-leye di tempat tidur, tapi rasa mual yang menyerangnya membuat Zoia harus meninggalkan ranjangnya dan tergesa-gesa ke kamar mandi.Sambil membasuh muka dan mulutnya dari sisa-sisa muntahan, Zoia berkaca di cermin wastafel. Pikirannya dipenuhi oleh tanda tanya besar yang tidak mau pergi. Sudah sekian hari berlalu tapi kondisi fisiknya tak berubah. Ini pasti bukan jet lag. Tapi ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya.‘Nanti aku bakalan ke dokter,’ batin Zoia untuk memastikan keadaannya.Kembali ke kamar, Zoia bermaksud untuk menyambung tidur sekitar sepuluh atau lima belas menit lagi. Namun ketukan di pintu yang disusul oleh suara Zach mengurungkan niatnya.“Kamu nggak apa-apa? Tadi aku dengar suara muntah,” kat
“Minum dulu, Zoi.” Zoia memandang kosong segelas air putih dan obat-obatan yang disodorkan Khanza padanya. Itu adalah obat-obatan yang diberikan dokter.Perlahan ia kembali mengurai kejadian beberapa jam yang lalu …Zoia tentu saja terkejut mendengar diagnosa dokter. Bagaimana mungkin ia dinyatakan hamil sedangkan beberapa waktu belakangan Zoia masih mengonsumsi pil KB.“Tapi saya minum pil KB, Dok. Saya nggak mungkin hamil,” kata Zoia menyanggah diagnosa yang ditujukan padanya.“Bisa jadi Ibu pernah lupa, coba Ibu ingat-ingat lagi.”Zoia mengernyit, mengerahkan pikirannya. Sepanjang ingatan yang berhasil dikumpulkannya tidak sekali pun Zoia absen mengonsumsi pil itu. “Nggak pernah, Dok, saya selalu minum dengan rutin.”“Baik. Supaya lebih jelas Ibu langsung kunjungi dokter kandungan ya, Bu. Mau saya rekomendasikan dokter yang bagus?”“Boleh, Dok,” jawab Zoia setuju. Mendatangi ahlinya adalah langkah yang paling tepat.“Dia teman baik saya, namanya dokter Gatra. Nanti Ibu langsung
Zach menurunkan pandangan tepat pada tangan Javas yang mencekal krah kemejanya. Seulas senyum asimetris turut terselip di bibir lelaki itu.“Lo mau apa? Mau bunuh gue? Lakuin aja. Tapi sekarang, jangan besok.”“Lo pikir gue nggak serius? Gue nggak pernah main-main sama kata-kata yang gue ucapin. Gue bisa lakuin itu sekarang kalo gue mau.” Javas mendesis menahan amarah yang semakin meraja. Tangannya yang tadi berada di krah baju Zach kini pindah ke leher lelaki itu, siap-siap untuk mencekiknya.Zach masih bersikap sama seperti sebelumya. Tersenyum santai menghadapi Javas.“Kenapa nggak cekik gue sekarang? Katanya nggak main-main.” Zach menantang melihat tangan Javas masih berada di lehernya tanpa melakukan apa-apa.“Lo pikir gue nggak berani, hah? Selama ini gue mungkin masih ngelepasin lo. Tapi apa pun yang berhubungan dengan Zoia nggak akan bikin gue tetap tinggal diam. Zoia is mine! Jangan sekali pun coba-coba mengganggu dia,” kecam Javas keras. Sementara tangannya juga semakin kua
Sudah sejak tadi Javas duduk di beranda di rumahnya. Ia tidak sendiri, tapi ditemani oleh berbatang-batang rokok yang menjadi puntung dan menumpuk di dalam asbak. Pikirannya kacau, hatinya galau. Bagaimana tidak, ia gagal membujuk Zoia pulang ke rumah. Dan malangnya ia tidak tahu di mana saat ini istrinya itu berada.Javas sudah menyelidiki ke rumah Khanza. Hasilnya nihil. Zoia tidak tinggal di sana. Ya, tentu saja. Zoia pasti sudah memperhitungkan sebelumnya. Ia tidak mungkin menetap di rumah Khanza karena sudah mengira Javas akan menemukan dengan mudah.Suara mobil yang baru saja memasuki halaman rumah mengalihkan perhatian Javas. Pria itu langsung berdiri menyambut Reno yang baru saja tiba. Tadi Javas meminta Reno untuk mencari alamat Zoia sampai dapat.“Gimana, Ren?”“Maaf, Pak, belum ketemu. Saya sudah cari di mana-mana tapi Ibu Zoia nggak ada.”“Kamu sudah benar belum nyarinya?” Suara Javas meninggi. Kecewa mengetahui hasil pencarian Reno.“Sudah, Pak.”“Kalau memang sudah bena
Prilly memapah Javas ke dalam rumah dengan susah payah. Meski begitu ia merasa bahagia mendapat rezeki selarut ini. Kebahagiaannya bertambah sempurna karena di rumah itu hanya ada dirinya dan asisten rumah tangga. Jevin sudah lama kembali ke Zurich. Zach tinggal di apartemen. Sedangkan saat ini Rosella sedang menghadiri acara sosial di luar kota.Tanpa pikir panjang Prilly langsung membawa Javas ke kamar lelaki itu. Kamar yang juga ditempatinya selama berada di rumah Rosella.“Mbak Prilly, maaf saya baru bangun. Saya dengar tadi ada bunyi bel,” kata Yuka, asisten rumah tangga Rosella yang tiba-tiba muncul. “Saya udah buka pintunya, kamu tidur aja, Bi.”“Tamunya Mas Javas ya, Mbak?” tanya Yuka saat melihat Javas dalam papahan Prilly. Yuka melihat gelagat tidak enak. “Yap. Kamu kan bisa lihat sendiri. Tidur sana! Nggak ada gunanya juga kamu bangun. Udah keduluan saya.” Prilly mengusir perempuan itu agar pergi darinya.Yuka bertahan di tempat. Ia merasa ragu. “Mbak Prilly mau bawa Mas
Tidak membiarkan ponselnya berdering lebih lama, Zach segera menerima panggilan tersebut dengan sedikit perasaan khawatir. Jangan-jangan Rosella menelepon tengah malam begini karena penyakitnya kambuh. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu. Dan masih banyak lagi berbagai jangan-jangan di kepalanya.“Halo, Mami.”“Mas Zach, ini saya Bibi, bukan ibu Rosella.” Terdengar suara Yuka yang bernada panik di seberang telepon sana.“Ada apa, Bi? Mami kenapa?” Zach bertambah khawatir justru karena asisten rumah tangga ibunya yang menelepon. Ia pikir sesuatu terjadi pada Rosella. Apa Rosella betul-betul sakit sehingga tidak sanggup menelepon? Zach tidak tahu jika saat ini ibunya itu berada di luar kota.“Mas Zach, ini bukan tentang ibu Rosella, tapi Mbak Prilly.” Yuka segera memberitahu dengan nada suara yang bertambah panik.“Astaga, Bi. Bibi bikin saya jantungan aja. Saya pikir tadi ada apa. Kalau tentang dia nggak usah laporin ke saya, Bi. Mau mati, mau jungkir balik, mau masuk jurang, mau dita
Saat Javas membuka mata, ia mendapati dirinya berada di kamar rumahnya dalam keadaan pusing dan kepala berat. Javas mengerjap mencoba mengadaptasi diri dengan keadaannya saat ini. Tangannya kemudian meraba-raba permukaan kasur di sebelah, mencari keberadaan istrinya. Biasanya pagi begini ia dan Zoia masih berpagutan membagi kehangatan. Panggilan untuk bekerjalah yang memisahkan mereka.“Zoiang …,” gumaman itu meluncur dari bibir Javas. Tidak menemukan sang istri di sebelahnya membuat Javas merasa ada yang hilang dari hidupnya.‘Zoiang kok nggak ada?’ tanyanya di dalam hati.“Zoiang, kamu di mana?” Javas berseru dengan suara yang lebih keras sambil memandang ke arah pintu kamar. Barangkali Zoia sedang berada di ruang belakang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Javas tersenyum sambil membayangkan makanan apa yang sedang diolah istrinya untuk asupan pagi ini.Sesaat kemudian kesadaran menamparnya. Tidak ada Zoia bersamanya di kamar atau di bagian lain rumah itu. Zoia sudah pergi ent
Zoia tidak menganggap serius celetukan Zach tadi. Lagi pula ia tahu jika adik iparnya itu memiliki selera humor yang tinggi. Setidaknya saat bersama dengannya. Jadi Zoia hanya tersenyum dan tidak menanggapi. Lagipula setahu Zoia Zach juga sering bercanda dengan anak-anak kantor, seperti Khanza misalnya.Setelah dari tempat itu mereka langsung ke kantor. Sambil menyetir sesekali Zach melirik ke arah Zoia. Ia masih tidak habis pikir bagaimana mungkin Javas menyia-nyiakan perempuan di sebelahnya ini.“Zoi, boleh aku tanya sesuatu?” ujarnya hati-hati.Zoia memutar kepala ke arah Zach. “Tanya aja,” jawabnya.“Hmm … kamu nggak berniat buat ngasih tahu Javas kalau dia bakal punya anak?”Zoia tidak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Ia langsung menggelengkan kepala. “Javas belum siap punya anak.”“Tapi bukan berarti nggak mau kan?”“Dia memang pernah bilang begitu. Dia bukan nggak mau, hanya belum siap. Dan aku udah mutusin untuk menyimpan kehamilanku sendiri.”“Tapi kamu hamilny