Sudah sejak tadi Javas duduk di beranda di rumahnya. Ia tidak sendiri, tapi ditemani oleh berbatang-batang rokok yang menjadi puntung dan menumpuk di dalam asbak. Pikirannya kacau, hatinya galau. Bagaimana tidak, ia gagal membujuk Zoia pulang ke rumah. Dan malangnya ia tidak tahu di mana saat ini istrinya itu berada.Javas sudah menyelidiki ke rumah Khanza. Hasilnya nihil. Zoia tidak tinggal di sana. Ya, tentu saja. Zoia pasti sudah memperhitungkan sebelumnya. Ia tidak mungkin menetap di rumah Khanza karena sudah mengira Javas akan menemukan dengan mudah.Suara mobil yang baru saja memasuki halaman rumah mengalihkan perhatian Javas. Pria itu langsung berdiri menyambut Reno yang baru saja tiba. Tadi Javas meminta Reno untuk mencari alamat Zoia sampai dapat.“Gimana, Ren?”“Maaf, Pak, belum ketemu. Saya sudah cari di mana-mana tapi Ibu Zoia nggak ada.”“Kamu sudah benar belum nyarinya?” Suara Javas meninggi. Kecewa mengetahui hasil pencarian Reno.“Sudah, Pak.”“Kalau memang sudah bena
Prilly memapah Javas ke dalam rumah dengan susah payah. Meski begitu ia merasa bahagia mendapat rezeki selarut ini. Kebahagiaannya bertambah sempurna karena di rumah itu hanya ada dirinya dan asisten rumah tangga. Jevin sudah lama kembali ke Zurich. Zach tinggal di apartemen. Sedangkan saat ini Rosella sedang menghadiri acara sosial di luar kota.Tanpa pikir panjang Prilly langsung membawa Javas ke kamar lelaki itu. Kamar yang juga ditempatinya selama berada di rumah Rosella.“Mbak Prilly, maaf saya baru bangun. Saya dengar tadi ada bunyi bel,” kata Yuka, asisten rumah tangga Rosella yang tiba-tiba muncul. “Saya udah buka pintunya, kamu tidur aja, Bi.”“Tamunya Mas Javas ya, Mbak?” tanya Yuka saat melihat Javas dalam papahan Prilly. Yuka melihat gelagat tidak enak. “Yap. Kamu kan bisa lihat sendiri. Tidur sana! Nggak ada gunanya juga kamu bangun. Udah keduluan saya.” Prilly mengusir perempuan itu agar pergi darinya.Yuka bertahan di tempat. Ia merasa ragu. “Mbak Prilly mau bawa Mas
Tidak membiarkan ponselnya berdering lebih lama, Zach segera menerima panggilan tersebut dengan sedikit perasaan khawatir. Jangan-jangan Rosella menelepon tengah malam begini karena penyakitnya kambuh. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu. Dan masih banyak lagi berbagai jangan-jangan di kepalanya.“Halo, Mami.”“Mas Zach, ini saya Bibi, bukan ibu Rosella.” Terdengar suara Yuka yang bernada panik di seberang telepon sana.“Ada apa, Bi? Mami kenapa?” Zach bertambah khawatir justru karena asisten rumah tangga ibunya yang menelepon. Ia pikir sesuatu terjadi pada Rosella. Apa Rosella betul-betul sakit sehingga tidak sanggup menelepon? Zach tidak tahu jika saat ini ibunya itu berada di luar kota.“Mas Zach, ini bukan tentang ibu Rosella, tapi Mbak Prilly.” Yuka segera memberitahu dengan nada suara yang bertambah panik.“Astaga, Bi. Bibi bikin saya jantungan aja. Saya pikir tadi ada apa. Kalau tentang dia nggak usah laporin ke saya, Bi. Mau mati, mau jungkir balik, mau masuk jurang, mau dita
Saat Javas membuka mata, ia mendapati dirinya berada di kamar rumahnya dalam keadaan pusing dan kepala berat. Javas mengerjap mencoba mengadaptasi diri dengan keadaannya saat ini. Tangannya kemudian meraba-raba permukaan kasur di sebelah, mencari keberadaan istrinya. Biasanya pagi begini ia dan Zoia masih berpagutan membagi kehangatan. Panggilan untuk bekerjalah yang memisahkan mereka.“Zoiang …,” gumaman itu meluncur dari bibir Javas. Tidak menemukan sang istri di sebelahnya membuat Javas merasa ada yang hilang dari hidupnya.‘Zoiang kok nggak ada?’ tanyanya di dalam hati.“Zoiang, kamu di mana?” Javas berseru dengan suara yang lebih keras sambil memandang ke arah pintu kamar. Barangkali Zoia sedang berada di ruang belakang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Javas tersenyum sambil membayangkan makanan apa yang sedang diolah istrinya untuk asupan pagi ini.Sesaat kemudian kesadaran menamparnya. Tidak ada Zoia bersamanya di kamar atau di bagian lain rumah itu. Zoia sudah pergi ent
Zoia tidak menganggap serius celetukan Zach tadi. Lagi pula ia tahu jika adik iparnya itu memiliki selera humor yang tinggi. Setidaknya saat bersama dengannya. Jadi Zoia hanya tersenyum dan tidak menanggapi. Lagipula setahu Zoia Zach juga sering bercanda dengan anak-anak kantor, seperti Khanza misalnya.Setelah dari tempat itu mereka langsung ke kantor. Sambil menyetir sesekali Zach melirik ke arah Zoia. Ia masih tidak habis pikir bagaimana mungkin Javas menyia-nyiakan perempuan di sebelahnya ini.“Zoi, boleh aku tanya sesuatu?” ujarnya hati-hati.Zoia memutar kepala ke arah Zach. “Tanya aja,” jawabnya.“Hmm … kamu nggak berniat buat ngasih tahu Javas kalau dia bakal punya anak?”Zoia tidak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Ia langsung menggelengkan kepala. “Javas belum siap punya anak.”“Tapi bukan berarti nggak mau kan?”“Dia memang pernah bilang begitu. Dia bukan nggak mau, hanya belum siap. Dan aku udah mutusin untuk menyimpan kehamilanku sendiri.”“Tapi kamu hamilny
Zoia memandang ke sekeliling dan membalas dengan canggung senyuman para pegawainya. Fix, ia akan menjadi rumpian para pegawainya lagi gara-gara tingkah konyol suaminya.“Jav, kamu jangan kayak gini dong. Aku tuh di sini pemimpin. Nggak enak sama mereka. Para pegawai aku pasti ngomongin kita di belakang,” ucap Zoia geram dengan merendahkan nada suaranya.“Who cares? Aku kan udah bilang nggak akan berdiri apalagi pergi dari sini selama kamu nggak mau pulang ke rumah.” Javas bertahan dengan pendiriannya. Ia yakin sesaat lagi Zoia pasti akan luluh. Zoia tentu malu menjadi fokus perhatian banyak orang. Ia hanya perlu bersabar beberapa menit lagi.Menurunkan pandangannya, Zoia mendapati Javas yang kini memeluk erat kedua kakinya. Tangan laki-laki itu melingkarinya. “Jav, tolong, kamu jangan kolokan gini. Nggak cuma aku yang akan malu, tapi kamu juga.”“Makanya kamu jangan menolak biar aku segera berdiri,” jawab Javas tak peduli.‘Yes! Sebentar lagi Zoiang pasti menyerah. Gue gitu lho!’ Java
Selagi Kinar keluar Javas menghabiskan rotinya. Ia tidak menyangka jika rasanya akan senikmat ini. Padahal hanya roti tawar. Biasanya Javas mana suka makan roti tanpa olesan apa-apa. Aneh, pikirnya. Atau mungkin ini adalah efek perutnya yang lapar?Empat lembar roti tawar tanpa terasa lolos dengan mulus ke dalam perut Javas. Ia sedang menyeka mulutnya dengan tisu ketika Kinar muncul lagi.“Pak, saya sudah temui dia. Namanya Venna,” beritahu sang sekretaris.Javas hampir saja terlonjak dari kursi nyamannya ketika nama itu disebut.“Venna?” ulangnya mengonfirmasi sambil mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.“Iya, Pak, namanya Venna,” jawab Kinar meyakinkan.“Ciri-cirinya gimana?” Javas bertanya lagi agar lebih jelas.“Yang pasti orangnya cantik kayak yang saya bilang tadi. Dia tinggi, langsing, rambutnya sebahu warna coklat. Cara bicaranya ramah dan sopan.” Kinar mengurai dengan detail ciri-ciri sang tamu yang baru pertama kali datang ke kantor itu. Kinar sudah bisa menerima tamu per
Ini entah sudah untuk keberapa kalinya Zoia membaca pesan yang dikirim Javas padanya. Setelah Zoia cerna maknanya ia menyimpulkan bahwa Javas sudah lelah membujuknya. Itu berarti Zoia bisa bernapas lega untuk sesaat. Ia terhindar dari Javas dan tidak perlu lagi main kucing-kucingan dengan lelaki itu. Meski begitu di saat yang sama sudut hati Zoia berbisik, jadi cuma segini effort Javas untuk mendapatkan hatinya lagi?Zoia buru-buru meletakkan ponselnya ketika melihat Khanza datang lalu menempatkan diri duduk tepat di hadapannya.“Gimana laki lo? Udah jinak?”Zoia tersenyum samar. Aksi Javas tadi pagi sukses menjadi pembicaraan di seputar para pegawainya. “Kayaknya buat sementara gue aman. Dia barusan chat, katanya nggak bakal ngeganggu lagi.”“Bagus deh. Jadi nggak ada lagi insiden kayak tadi.”“Iya.” Zoia menggumam pelan.“Tapi, Zoi, rencananya lo berapa lama tinggal di apartemen itu?”“Belum tahu sih. Kenapa?”Khanza tidak langsung menjawab. Ia membetulkan posisi duduknya lantas ber