“Minum dulu, Zoi.” Zoia memandang kosong segelas air putih dan obat-obatan yang disodorkan Khanza padanya. Itu adalah obat-obatan yang diberikan dokter.Perlahan ia kembali mengurai kejadian beberapa jam yang lalu …Zoia tentu saja terkejut mendengar diagnosa dokter. Bagaimana mungkin ia dinyatakan hamil sedangkan beberapa waktu belakangan Zoia masih mengonsumsi pil KB.“Tapi saya minum pil KB, Dok. Saya nggak mungkin hamil,” kata Zoia menyanggah diagnosa yang ditujukan padanya.“Bisa jadi Ibu pernah lupa, coba Ibu ingat-ingat lagi.”Zoia mengernyit, mengerahkan pikirannya. Sepanjang ingatan yang berhasil dikumpulkannya tidak sekali pun Zoia absen mengonsumsi pil itu. “Nggak pernah, Dok, saya selalu minum dengan rutin.”“Baik. Supaya lebih jelas Ibu langsung kunjungi dokter kandungan ya, Bu. Mau saya rekomendasikan dokter yang bagus?”“Boleh, Dok,” jawab Zoia setuju. Mendatangi ahlinya adalah langkah yang paling tepat.“Dia teman baik saya, namanya dokter Gatra. Nanti Ibu langsung
Zach menurunkan pandangan tepat pada tangan Javas yang mencekal krah kemejanya. Seulas senyum asimetris turut terselip di bibir lelaki itu.“Lo mau apa? Mau bunuh gue? Lakuin aja. Tapi sekarang, jangan besok.”“Lo pikir gue nggak serius? Gue nggak pernah main-main sama kata-kata yang gue ucapin. Gue bisa lakuin itu sekarang kalo gue mau.” Javas mendesis menahan amarah yang semakin meraja. Tangannya yang tadi berada di krah baju Zach kini pindah ke leher lelaki itu, siap-siap untuk mencekiknya.Zach masih bersikap sama seperti sebelumya. Tersenyum santai menghadapi Javas.“Kenapa nggak cekik gue sekarang? Katanya nggak main-main.” Zach menantang melihat tangan Javas masih berada di lehernya tanpa melakukan apa-apa.“Lo pikir gue nggak berani, hah? Selama ini gue mungkin masih ngelepasin lo. Tapi apa pun yang berhubungan dengan Zoia nggak akan bikin gue tetap tinggal diam. Zoia is mine! Jangan sekali pun coba-coba mengganggu dia,” kecam Javas keras. Sementara tangannya juga semakin kua
Sudah sejak tadi Javas duduk di beranda di rumahnya. Ia tidak sendiri, tapi ditemani oleh berbatang-batang rokok yang menjadi puntung dan menumpuk di dalam asbak. Pikirannya kacau, hatinya galau. Bagaimana tidak, ia gagal membujuk Zoia pulang ke rumah. Dan malangnya ia tidak tahu di mana saat ini istrinya itu berada.Javas sudah menyelidiki ke rumah Khanza. Hasilnya nihil. Zoia tidak tinggal di sana. Ya, tentu saja. Zoia pasti sudah memperhitungkan sebelumnya. Ia tidak mungkin menetap di rumah Khanza karena sudah mengira Javas akan menemukan dengan mudah.Suara mobil yang baru saja memasuki halaman rumah mengalihkan perhatian Javas. Pria itu langsung berdiri menyambut Reno yang baru saja tiba. Tadi Javas meminta Reno untuk mencari alamat Zoia sampai dapat.“Gimana, Ren?”“Maaf, Pak, belum ketemu. Saya sudah cari di mana-mana tapi Ibu Zoia nggak ada.”“Kamu sudah benar belum nyarinya?” Suara Javas meninggi. Kecewa mengetahui hasil pencarian Reno.“Sudah, Pak.”“Kalau memang sudah bena
Prilly memapah Javas ke dalam rumah dengan susah payah. Meski begitu ia merasa bahagia mendapat rezeki selarut ini. Kebahagiaannya bertambah sempurna karena di rumah itu hanya ada dirinya dan asisten rumah tangga. Jevin sudah lama kembali ke Zurich. Zach tinggal di apartemen. Sedangkan saat ini Rosella sedang menghadiri acara sosial di luar kota.Tanpa pikir panjang Prilly langsung membawa Javas ke kamar lelaki itu. Kamar yang juga ditempatinya selama berada di rumah Rosella.“Mbak Prilly, maaf saya baru bangun. Saya dengar tadi ada bunyi bel,” kata Yuka, asisten rumah tangga Rosella yang tiba-tiba muncul. “Saya udah buka pintunya, kamu tidur aja, Bi.”“Tamunya Mas Javas ya, Mbak?” tanya Yuka saat melihat Javas dalam papahan Prilly. Yuka melihat gelagat tidak enak. “Yap. Kamu kan bisa lihat sendiri. Tidur sana! Nggak ada gunanya juga kamu bangun. Udah keduluan saya.” Prilly mengusir perempuan itu agar pergi darinya.Yuka bertahan di tempat. Ia merasa ragu. “Mbak Prilly mau bawa Mas
Tidak membiarkan ponselnya berdering lebih lama, Zach segera menerima panggilan tersebut dengan sedikit perasaan khawatir. Jangan-jangan Rosella menelepon tengah malam begini karena penyakitnya kambuh. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu. Dan masih banyak lagi berbagai jangan-jangan di kepalanya.“Halo, Mami.”“Mas Zach, ini saya Bibi, bukan ibu Rosella.” Terdengar suara Yuka yang bernada panik di seberang telepon sana.“Ada apa, Bi? Mami kenapa?” Zach bertambah khawatir justru karena asisten rumah tangga ibunya yang menelepon. Ia pikir sesuatu terjadi pada Rosella. Apa Rosella betul-betul sakit sehingga tidak sanggup menelepon? Zach tidak tahu jika saat ini ibunya itu berada di luar kota.“Mas Zach, ini bukan tentang ibu Rosella, tapi Mbak Prilly.” Yuka segera memberitahu dengan nada suara yang bertambah panik.“Astaga, Bi. Bibi bikin saya jantungan aja. Saya pikir tadi ada apa. Kalau tentang dia nggak usah laporin ke saya, Bi. Mau mati, mau jungkir balik, mau masuk jurang, mau dita
Saat Javas membuka mata, ia mendapati dirinya berada di kamar rumahnya dalam keadaan pusing dan kepala berat. Javas mengerjap mencoba mengadaptasi diri dengan keadaannya saat ini. Tangannya kemudian meraba-raba permukaan kasur di sebelah, mencari keberadaan istrinya. Biasanya pagi begini ia dan Zoia masih berpagutan membagi kehangatan. Panggilan untuk bekerjalah yang memisahkan mereka.“Zoiang …,” gumaman itu meluncur dari bibir Javas. Tidak menemukan sang istri di sebelahnya membuat Javas merasa ada yang hilang dari hidupnya.‘Zoiang kok nggak ada?’ tanyanya di dalam hati.“Zoiang, kamu di mana?” Javas berseru dengan suara yang lebih keras sambil memandang ke arah pintu kamar. Barangkali Zoia sedang berada di ruang belakang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Javas tersenyum sambil membayangkan makanan apa yang sedang diolah istrinya untuk asupan pagi ini.Sesaat kemudian kesadaran menamparnya. Tidak ada Zoia bersamanya di kamar atau di bagian lain rumah itu. Zoia sudah pergi ent
Zoia tidak menganggap serius celetukan Zach tadi. Lagi pula ia tahu jika adik iparnya itu memiliki selera humor yang tinggi. Setidaknya saat bersama dengannya. Jadi Zoia hanya tersenyum dan tidak menanggapi. Lagipula setahu Zoia Zach juga sering bercanda dengan anak-anak kantor, seperti Khanza misalnya.Setelah dari tempat itu mereka langsung ke kantor. Sambil menyetir sesekali Zach melirik ke arah Zoia. Ia masih tidak habis pikir bagaimana mungkin Javas menyia-nyiakan perempuan di sebelahnya ini.“Zoi, boleh aku tanya sesuatu?” ujarnya hati-hati.Zoia memutar kepala ke arah Zach. “Tanya aja,” jawabnya.“Hmm … kamu nggak berniat buat ngasih tahu Javas kalau dia bakal punya anak?”Zoia tidak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Ia langsung menggelengkan kepala. “Javas belum siap punya anak.”“Tapi bukan berarti nggak mau kan?”“Dia memang pernah bilang begitu. Dia bukan nggak mau, hanya belum siap. Dan aku udah mutusin untuk menyimpan kehamilanku sendiri.”“Tapi kamu hamilny
Zoia memandang ke sekeliling dan membalas dengan canggung senyuman para pegawainya. Fix, ia akan menjadi rumpian para pegawainya lagi gara-gara tingkah konyol suaminya.“Jav, kamu jangan kayak gini dong. Aku tuh di sini pemimpin. Nggak enak sama mereka. Para pegawai aku pasti ngomongin kita di belakang,” ucap Zoia geram dengan merendahkan nada suaranya.“Who cares? Aku kan udah bilang nggak akan berdiri apalagi pergi dari sini selama kamu nggak mau pulang ke rumah.” Javas bertahan dengan pendiriannya. Ia yakin sesaat lagi Zoia pasti akan luluh. Zoia tentu malu menjadi fokus perhatian banyak orang. Ia hanya perlu bersabar beberapa menit lagi.Menurunkan pandangannya, Zoia mendapati Javas yang kini memeluk erat kedua kakinya. Tangan laki-laki itu melingkarinya. “Jav, tolong, kamu jangan kolokan gini. Nggak cuma aku yang akan malu, tapi kamu juga.”“Makanya kamu jangan menolak biar aku segera berdiri,” jawab Javas tak peduli.‘Yes! Sebentar lagi Zoiang pasti menyerah. Gue gitu lho!’ Java
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.