ZELINEAku sontak memandang ke arah Mbak Zoi setelah mendengar perintahnya. Apa-apaan Mbak Zoi pake nyuruh aku? Aku ingin menolak tapi pasti dia akan curiga. Alhasil, aku terpaksa menurut.“Ayo, Ka!” Aku bermaksud menggandeng tangan Bjorka, tapi anak itu lebih dulu mengaitkan tangannya ke lengan Jevin. “Nggak mau sama onti,” sungutnya.Aku menahan geli di dalam hati. Dia masih saja dendam padaku hanya karena aku mengganggunya sekali. Dasar bocil. Aku nggak tahu dari mana Bjorka mewarisi sifat itu karena setahuku Mbak Zoi bukanlah tipe pendendam.Aku membuntuti Jevin yang berjalan di depanku sambil menggandeng tangan Bjorka menuju mobil. Seharusnya Mbak Zoi nggak usah menyuruhku. Tanpa ditemani pun Jevin pasti tahu di mana tempat jualan es krim.Jevin membukakan pintu mobil, lalu mengangkat tubuh mungil Bjorka ke sana.“Zel, kamu di sini sama Bjorka,” suruh Jevin saat aku membuka pintu belakang dan bermaksud duduk sendiri.“Aku di sini aja, Jev.” Kutolak tawaran Jevin yang memintaku d
JEVINZeline menghentikan suapannya setelah mendengar kata-kataku. Selama hitungan detik dia terdiam. Namun sesaat kemudian wajahnya mengeras, sementara tangannya menelungkupkan sendok dan garpu di dalam piring.“Gimana, Jev?” tanyanya dengan dahi berkerut menatapku.Aku berdeham guna menjernihkan tenggorokan yang tiba-tiba keruh. Aku nggak bermaksud mempermainkan Niken ataupun Zeline.“Mumpung masih rencana aku masih bisa membatalkan pernikahan itu, Zel,” jawabku.“Kenapa dibatalkan?”Banyak kata yang ingin kuucapkan pada Zeline tapi seperti ada yang menahan hingga akhirnya hanya mengendap di dasar lidah. Aku ingin Zeline mengerti dengan sendirinya tanpa perlu kuterangkan. Bukankah perempuan jauh lebih peka dari laki-laki?“Jev, kenapa dibatalkan?” Zeline mengulangi pertanyaannya karena aku tidak menjawab.Mungkin aku memang pecundang, pengecut, dan entah apa lagi sebutan yang pantas untukku. Tapi hanya ini kesempatan terakhir untukku sebelum aku benar-benar menikah dengan Niken. In
JEVIN“Hentikan ide gila kamu itu, Jev. Apa yang akan kamu lakukan bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah bikin semua jadi makin sulit.” Zeline mengoceh tanpa spasi untuk menghalangi rencanaku.Mulutnya yang komat-kamit, bola matanya yang melebar, membuatnya tampak semakin menggemaskan. Kalau di sini bukan ruang publik sudah kulumat bibirnya.“Aku lebih suka mendengar desahan kamu dari pada kamu ngomel kayak gini, Zel,” jawabku menghentikannya, dan berhasil.Zeline sontak membisu dan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sementara matanya menyorotku penuh amarah.Apapun ekspresinya Zeline tetap memesona. Semakin dewasa dia semakin membuatku jatuh cinta. Aku sudah sering bertemu perempuan yang jauh lebih segalanya dari Zeline, tapi dia berbeda. Entah apa yang dimilikinya sampai aku nggak bisa melupakannya.Aku menatapnya lurus-lurus, mencoba untuk memberi pengertian padanya walaupun aku yakin dia belum tentu bisa menerimanya.“Semua ini akan semakin kacau kalau aku tetap melanjutkan pe
JEVINJavas menarik tanganku dengan kasar lalu menyeretku keluar dari ruangan agar tidak seorang pun bisa mendengar pembicaraan kami. Dari caranya aku tahu apa yang akan terjadi.“Jev, gue lagi nggak pengen becanda sama lo. Nggak lucu, Jev!” desisnya menahan emosi.Aku berusaha tidak terpancing menghadapinya dan tetap tenang menghadapi Javas.“Nggak ada yang bilang sama lo kalo gue lagi becanda. Lo orang pertama yang gue kasih tahu tentang semua ini.”Alih-alih akan mencair, Javas makin meradang.“Berani-beraninya lo cinta sama adek ipar sendiri. Lo lupa kalo dia udah jadi saudara kita?”“Wait!” Aku mengernyit heran. “Kalo Zach boleh mencintai Zola kenapa gue enggak?”Jawabanku membungkam mulut Javas, namun hanya beberapa detik karena setelahnya dia kembali mencecarku.“Kenapa lo jadi ikut-ikutan Zach? Memangnya nggak ada yang lain? Cewek nggak hanya dari keluarga Shannon."“Yang lain banyak, tapi hati gue cuma buat Zeline. Kalo nyatanya yang bikin gue jatuh cinta cuma dari keluarga S
ZELINEKasihan Jevin. Dia menahan rasa sakitnya di pangkuanku. Sementara tanganku masih mengusap kepalanya. Aku nggak akan menyalahkan Mas Javas, tapi kali ini dia sudah kelewatan. Nggak seharusnya main fisik pada Jevin. Selain Jevin adalah kakak yang harus dihargai, memangnya dia nggak ingat apa kalau dulu sendirinya gimana?Jevin memejamkan matanya sambil memeluk pinggangku. Ia menekuk lututnya. Jok mobil ini terlalu pendek untuk kakinya yang panjang.“Selain kepala apa lagi yang sakit, Jev?”Jevin membuka mata mendengarku bicara.“Tadinya perut sama dada aku, tapi udah nggak lagi karena ada kamu.” Jevin ngegombal lagi. Tapi aku tahu dia menahannya agar aku nggak khawatir.“Maafin Mas Javas ya, Jev. Kata Mbak Zoi dia orangnya memang emosian.”“I know, aku kakaknya kalau kamu lupa.” Jevin memeluk pinggangku lebih erat lalu kembali memejamkan matanya. Aku membiarkan. Kupandangi wajahnya dalam-dalam. Dia masih saja tampak rupawan walau babak belur begini. Dan satu lagi, wanginya menga
JEVINMami dan Papi sama-sama terperangah mendengar pengakuanku. Aku sangat paham apa yang saat ini ada di dalam pikiran mereka. Usia Zeline saat itu masih terlalu dini. Bahkan dia belum merayakan sweet seventeen. Tiba-tiba Papi berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke arahku.PLAK!!! Tamparan keras itu bersarang di pipiku. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Rasanya panas, perih, dan sakit. Namun, aku hanya diam dan membiarkan Papi menghajarku sepuasnya.Mami yang terkejut atas aksi brutal Papi juga tidak bisa melakukan apa-apa, termasuk mencegah agar Papi menghentikan amukannya. Sedangkan Zeline duduk membeku di tempatnya. Dia terpaksa menyaksikan kekerasan ini.“Papi nggak pernah mengajarkan kamu menjadi pedofil, Jev. Sebrengsek-brengseknya keturunan Papi tapi nggak ada yang seperti kamu!” Papi menumpahkan amarahnya setelah puas menghajarku sana-sini.Kepalaku pusing tujuh keliling, telingaku berdengung, pun dengan pandanganku yang terasa nanar. Belum hilang rasa sakit da
JEVINAku nggak menemukan Zeline setelah keluar dari kamar mandi. Tasnya juga sudah lenyap dari tempatnya.“Zel! Zeline! Kamu di mana, Zel?" kupanggil namanya sambil mencari Zeline, tapi tidak ada sahutan apa pun.Dengan badan lemah bekas dihajar aku mencari Zeline sampai keluar dari kamar dan terus menggaungkan namanya, tapi Zeline tetap nggak ada di manapun.Mungkin Zeline lagi di ruang belakang, pikirku. Menarik langkah ke sana, aku berpapasan dengan Mami.“Mi, Zeline tadi mana?” tanyaku.“Dia udah pulang,” jawab Mami datar. Suaranya yang terdengar dingin memberitahu padaku bahwa Mami masih marah.“Pulang? Kok dia nggak bilang sama aku dulu, Mi?” ujarku heran.“Tadi kamu lagi di kamar mandi. Dia udah pamit sama Mami.”Aku terdiam. Seharusnya Zeline bisa menungguku dulu baru pergi. Tapi kenapa dia pergi tiba-tiba? Aneh.Tanpa berkata apa-apa lagi aku kembali ke kamar. Aku akan menelepon Zeline. Aku harus tahu apa alasannya pergi begitu saja.Ternyata Mami mengikutiku. Dia ikut mas
Flashback ZELINE “Mamaaaa! Maaaa!” Baru saja memarkirkan motor di halaman rumah aku langsung berteriak-teriak memanggil Mama dengan heboh. Mama keluar dengan tergopoh-gopoh dari arah dalam. Alih-alih akan marah, senyum mengembang di bibirnya saat melihat baju seragamku yang berwarna putih penuh dengan coretan spidol dan cat pylox. Mama tahu itu artinya apa. Hari itu adalah hari kelulusanku dari Sekolah Menengah Pertama. “Aku lulus, Ma. Nilaiku paling tinggi di antara semuanya!” Aku meloncat-loncat kegirangan lalu memeluk Mama. “Kamu hebat, Zel, kamu udah bikin Mama bangga,” bisik Mama terharu. “Semuanya berkat doa Mama dan Papa juga. Kalau bukan karena Mama dan Papa aku nggak akan jadi apa-apa,” ujarku sambil melepas pelukan. Kulihat mata Mama berkaca-kaca saat mendengar kata-kataku. Dari pertama masuk sekolah sampai tamat aku selalu menjadi juara yang membuat kedua orang tuaku bahagia. “Ma, berarti aku udah boleh liburan kan?” Aku langsung menagih janji pada