JEVINAku nggak menemukan Zeline setelah keluar dari kamar mandi. Tasnya juga sudah lenyap dari tempatnya.“Zel! Zeline! Kamu di mana, Zel?" kupanggil namanya sambil mencari Zeline, tapi tidak ada sahutan apa pun.Dengan badan lemah bekas dihajar aku mencari Zeline sampai keluar dari kamar dan terus menggaungkan namanya, tapi Zeline tetap nggak ada di manapun.Mungkin Zeline lagi di ruang belakang, pikirku. Menarik langkah ke sana, aku berpapasan dengan Mami.“Mi, Zeline tadi mana?” tanyaku.“Dia udah pulang,” jawab Mami datar. Suaranya yang terdengar dingin memberitahu padaku bahwa Mami masih marah.“Pulang? Kok dia nggak bilang sama aku dulu, Mi?” ujarku heran.“Tadi kamu lagi di kamar mandi. Dia udah pamit sama Mami.”Aku terdiam. Seharusnya Zeline bisa menungguku dulu baru pergi. Tapi kenapa dia pergi tiba-tiba? Aneh.Tanpa berkata apa-apa lagi aku kembali ke kamar. Aku akan menelepon Zeline. Aku harus tahu apa alasannya pergi begitu saja.Ternyata Mami mengikutiku. Dia ikut mas
Flashback ZELINE “Mamaaaa! Maaaa!” Baru saja memarkirkan motor di halaman rumah aku langsung berteriak-teriak memanggil Mama dengan heboh. Mama keluar dengan tergopoh-gopoh dari arah dalam. Alih-alih akan marah, senyum mengembang di bibirnya saat melihat baju seragamku yang berwarna putih penuh dengan coretan spidol dan cat pylox. Mama tahu itu artinya apa. Hari itu adalah hari kelulusanku dari Sekolah Menengah Pertama. “Aku lulus, Ma. Nilaiku paling tinggi di antara semuanya!” Aku meloncat-loncat kegirangan lalu memeluk Mama. “Kamu hebat, Zel, kamu udah bikin Mama bangga,” bisik Mama terharu. “Semuanya berkat doa Mama dan Papa juga. Kalau bukan karena Mama dan Papa aku nggak akan jadi apa-apa,” ujarku sambil melepas pelukan. Kulihat mata Mama berkaca-kaca saat mendengar kata-kataku. Dari pertama masuk sekolah sampai tamat aku selalu menjadi juara yang membuat kedua orang tuaku bahagia. “Ma, berarti aku udah boleh liburan kan?” Aku langsung menagih janji pada
ZELINEKaget dong aku. Tadinya kupikir tamu di kamar ini adalah salah satu dari para bule itu. Ternyata dugaanku salah.Aku masih membeku di tempatku berdiri saat selanjutnya dia kembali bicara.“Sorry, apa kamu pegawai resort ini?” herannya. Mungkin dia baru menyadari bahwa penampilanku berbeda dengan yang lain. Saat itu aku mengenakan skinny jeans, kemeja biru langit ngepas body dan mini scarf navy yang kusimpul menyamping.“Bukan, tapi saudara temanku yang punya resort ini, kebetulan aku yang mengantar makanan ini untuk kamu,” jawabku meluruskan.“Oh, thank you.” Dia menerima wadah makanan yang kuberikan. Aku hendak beranjak pergi, tapi dia menahanku. “Nama kamu siapa?”“Zeline,” jawabku pelan.“Aku Jevin.” Dia balas menyebutkan namanya.Aku sedikit kaget saat mendengar namanya. Aku pikir dia sengaja memirip-miripkan nama kami untuk menggodaku.“Beneran?” pandangku tak percaya.“Apanya?”“Nama kamu. Itu nama sungguhan?”“Menurutmu?” Dia balas bertanya.“Yeee, ditanya malah balik
ZELINEBerikutnya, seharian aku bersama Jevin. Dia mengajariku surfing seperti yang dijanjikannya.Ucapan Jevin terbukti benar. Awalnya memang ngeri tapi lama kelamaan keseruannya mulai terasa. Apalagi coach-nya segagah Jevin.Tanpa terasa matahari mulai turun ke barat. Kami kembali ke resort dengan membawa selaksa kenangan.“Mau ke mana?” Jevin menahan tanganku saat aku akan berbelok menuju kamar.“Ke kamar, mau siap-siap.” Setelah ini kami akan dinner merayakan pertambahan usianya yang kedua puluh enam tahun.“Di kamarku aja.”“Apanya?”“Siap-siap.”“Tapi bajuku masih di kamar.”“Kita ke kamar sekarang ambil baju kamu terus ke kamarku.”Aku menggigit bibir, merasa ragu untuk sesaat. Namun kemudian aku mengikuti kemauannya. Jevin mengawalku ke kamar. Setelah mengambil baju dan perlengkapan lain aku ikut ke kamarnya.Entah mengapa walau baru bertemu tapi aku merasa sudah sangat dekat dengannya, seakan kami sudah saling mengenal bertahun-tahun lamanya. Jevin dengan segala pesona dan
ZELINEAku mengakhiri cerita panjang itu dengan mata berkaca-kaca. Perasaanku semakin kacau. Dulu aku memang bodoh, ceroboh, dan mudah terbuai. Tapi sekali lagi, aku nggak menyesal karena memberikannya pada orang yang kucintai walau mungkin bukan orang yang tepat.Sementara di hadapanku wajah Mbak Zoi mengeras. Emosinya mulai ke-trigger mendengar pengalaman kelamku yang suram.“Zel, Mbak jadi pengen ikut nonjok Mas Jevin sekarang,” ujar Mbak Zoi geram. “Udah, Mbak, tadi udah diwakilin Mas Javas dan Om Joe.”“Itu aja nggak akan cukup. Dia nggak hanya ngerusak kamu, tapi juga mempermainkan kamu. Dia bajingan!” Mbak Zoi memaki Jevin melampiaskan emosinya.Dia memang bajingan. Makian saja tidak akan pernah cukup untuknya. Tapi kenapa aku merasa kasihan melihat Jevin dipukuli?“Mama sama Papa harus tahu ini.”“Jangan, Mbak!” Aku mencekal pergelangan Mbak Zoi yang akan mengambil ponsel, menahannya agar tidak menghubungi orang tua kami. “Kenapa nggak boleh? Mama sama Papa harus tahu tentan
ZELINEAku mengembalikan ponsel ke dalam saku rok dengan lesu setelah memutus panggilan dari Jevin. Tadi, lima menit sebelumnya Mama lebih dulu menelepon. Mama memintaku pulang. Mama dan Papa sudah tahu semuanya. Dan itu gara-gara Mbak Zoi. Aku pikir setelah percakapan kami kemarin kakakku itu bisa diajak berkompromi. Nyatanya dia langsung menghubungi Mama.Mama marah dan mengomeliku habis-habisan. Aku nggak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Papa. Mungkin Papa akan memukulku atau mengubur hidup-hidup karena nggak mampu menjaga diri. Aku nggak punya kekuatan untuk berhadapan dengan keduanya. Aku kehilangan muka untuk bertemu dengan mereka. Tapi aku tetap harus pulang.Pak Ariq sedang fokus dengan laptop di hadapannya ketika aku masuk ke ruangan dia.“Pak …”“Ada apa, Zel?” tanyanya tanpa mengalihkan atensi dari benda di meja.“Saya mau bicara sebentar, Pak.”“Silakan.” Pak Ariq menyuruhku duduk lalu memindahkan perhatian menatapku.“Pak, saya mau cuti buat nyiapin wisuda.”“Ma
ZELINEGelap mulai menyapa saat aku menginjakkan kaki di kota kelahiranku. Seharusnya aku sudah tiba sejak satu jam yang lalu. Tapi karena delay mengakibatkan kedatanganku pun tertunda.Detak jantungku semakin cepat seiring dengan taksi yang semakin mendekati rumah. Pasti Mama sudah menyiapkan ruang sidang untukku dengan Papa sebagai hakimnya.Nggak ada yang berubah dari rumah masa kecilku itu. Meskipun sederhana tapi setidaknya aku dan kedua kakakku dibesarkan di sana dengan penuh kasih sayang. Namun, aku yang nggak tahu diri ini membalas semua itu dengan memberi orangtuaku masalah besar.Lututku terasa goyah saat aku turun dari taksi. Persendianku seakan tidak berfungsi yang membuat sekujur tubuhku lemah. Di sana, di balik pintu di depanku Mama dan Papa pasti sudah menunggu.Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki kulangkahkan kaki, lalu berhenti tepat di depan pintu. Tanganku begitu gemetar ketika memutar gagang pintu.Seperti yang sudah kuduga Mama dan Papa sedang duduk menunggu. M
JEVINAku tahu nggak sopan namanya bertamu malam-malam begini. Tapi aku nggak bisa menunggu sampai besok. Percuma juga ditunda. Aku tetap nggak akan bisa tidur malam ini.Turun dari mobil, kuketuk pintu rumah Zeline dengan perasaan tidak karuan. Ingin rasanya mundur membayangkan apa yang akan kuterima nanti. Tapi aku sudah bertekad masalah ini harus selesai malam ini juga.Tidak ada tanda pintu akan dibuka setelah berkali-kali ketukan yang membuatku berpikir untuk pulang saja. Kedatanganku pasti mengganggu. Mungkin ada baiknya aku datang besok. Selain waktunya lebih tepat, kondisi fisikku juga jauh lebih baik.Baru saja akan menarik langkah, daun pintu tiba-tiba terbuka. Sesosok pria menyembul. Dari perawakannya yang kukira seumuran dengan Papi membuatku yakin jika laki-laki di hadapanku adalah papanya Zeline. Dia tidak berkata apa-apa, namun sorot dinginnya membuat nyaliku menciut.Om Dion menatapku penuh tanda tanya. Tidak ingin membuatnya penasaran lebih lama, aku menjawab keherana
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.