Pesawat yang membawa Javas dan Zoia baru saja mendarat dengan selamat. Setelah penerbangan panjang akhirnya mereka tiba di Berlin dalam rangka mengisi momen bulan madu yang sebelumnya masih sebatas wacana.Javas dan Zoia menjatuhkan pilihan pada negara Jerman setelah mempertimbangkan beberapa hal. Di antaranya adalah karena Javas sekalian ingin bertemu dengan mitra kerjanya di sana.“Capek banget …” Gumaman meluncur keluar dari bibir Zoia begitu merebahkan tubuh ke kasur di kamar hotel.“Mau kubikin capek lagi?” Javas yang juga berbaring di sebelahnya mengangkat alis menggoda Zoia yang langsung mendapat balasan cubitan di lengannya.Pria itu terkekeh pelan sembari mengingat perjuangannya agar sampai ke tempat ini. Sempat ada drama dengan pihak kedutaan saat Javas mengurus visa Schengen untuk Zoia. Sedangkan visa Javas sudah ada sebelumnya. Tapi syukurlah semua teratasi.“Zoiang, tidur bentar yuk, nanti baru jalan-jalan.” Javas mengajak Zoia untuk memejamkan mata.“Kepalaku pusing, Jav
Javas kembali ke kamarnya setelah berterima kasih pada Venna. Ia dilepas oleh senyum manis perempuan itu.Shit! Kenapa perasaannya jadi aneh begini?Nope. Ini bukan tentang cinta lama yang bersemi kembali. Ini hanya luapan rasa karena bertemu kembali dengan orang yang pernah sangat berarti di hatinya.Tiba di kamar, ia mendapati Zoia masih berbaring di tempat yang sama. Muka istrinya itu masih selesu tadi.“Kenapa cepat? Kamu dapat obatnya di mana?” Zoia memandang heran pada suaminya.“Memangnya mau berapa lama?” Javas menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.“Aku kan cuma nanya. Aku pikir tokonya jauh.”“Aku nggak ke toko tapi tadi obatnya dapat di bawah.” Javas tidak berbohong kan? Ia tidak pergi ke toko dan dapat obat itu setelah bertemu dengan Venna di lantai dasar.Zoia tidak bertanya lagi. Ia pikir petugas hotellah yang memberi obat itu pada Javas. Menjeda obrolan mereka untuk sesaat, Javas menyiapkan obat untuk Zoia serta air mineral. Javas memastikan bahwa butiran pil itu lolos
Javas tidak langsung menjawab pertanyaan Zoia. Sebuah dialog dengan Kinar tempo hari terngiang dengan jelas di telinganya.“Pak Javas, boleh saya tanya sesuatu?” tanya sang sekretaris saat melihat Javas sedang senggang.“Mau tanya apa? Mau tanya kapan naik gaji?” balas Javas asal.“Bukan, Pak. Tapi kalau boleh saya tahu bagaimana hubungan Bapak dengan ibu Zoia?” tanya Kinar hati-hati.Javas yang tadi mendengarkan pertanyaan Kinar sambil memainkan ponsel mengalihkan perhatiannya dari layar gawai pada perempuan itu.“Maksud kamu apa nanya begitu?” ujarnya tidak suka. Kinar semakin lama bertambah kelewatan. Javas tidak suka urusan pribadinya dicampuri.“Bapak jangan marah dulu. Saya nanya begini karena mau bilang sesuatu dan ini penting, Pak.”“Kalau memang ada yang penting langsung saja bicara, nggak usah mutar-mutar dulu.”“Tapi Bapak janji jangan kasih tahu Bu Zoia kalau saya bilang rahasia ini ke Bapak.” Kinar berucap bimbang.“Rahasia? Rahasia apa, Kin?” Alis laki-laki itu menukik t
Zoia termangu di sisi pintu cafe. Sebenarnya keadaan Zoia belum terlalu baik. Perasaan mual dan ingin muntah masih melingkupinya. Namun, perutnya yang lapar membuat langkahnya tiba di café itu.Dan apa yang disaksikan tepat di depan matanya membuat Zoia tidak mampu berkedip selama hitungan detik.Di salah satu spot café tersebut tampak suami tercintanya sedang berdua dengan seorang perempuan. Mereka terkesan begitu akrab. Terbukti dari senda gurau keduanya.Zoia menyipit. Ia merasa perempuan itu tidak asing lagi dengannya. Zoia sudah pernah melihat perempuan dengan rambut coklat sebahu itu. Tapi entah di mana.Ah, iya. Zoia tahu sekarang. Ia berhasil mengingatnya. Perempuan itu adalah pramugari di pesawat yang sempat mengobrol dengan Javas. Tapi, bagaimana mungkin mereka sampai seakrab itu? Apa Javas dan pramugari tersebut saling mengenal satu sama lain? Jika iya kenapa Javas tidak menceritakan pada Zoia sebelumnya?“Zoiang, kamu kenapa di sini? Kamu udah baikan?” Javas berjalan terbu
Hari kedua di Berlin kondisi tubuh Zoia tidak mengalami kemajuan. Alih-alih akan membaik, pagi ini perempuan itu malah terserang demam.“Sorry, Jav, kita udah jauh-jauh ke sini tapi aku malah sakit.”“Nggak apa-apa, Zoiang. Kamu nggak usah ngerasa bersalah kayak gitu. Mungkin karena tubuhmu emang lagi nggak fit.” Javas membelai kepala Zoia dan meyakinkan sang istri bahwa semua akan baik-baik saja.“Tapi kalau aku sakit jadinya kamu nggak bisa ke mana-mana.”Zoia ingat daftar itinerary yang sudah mereka berdua susun tidak satu pun yang mereka wujudkan hingga sejauh ini.“Tapi nggak apa-apa sih kalau kamu mau keluar. Kamu jalan-jalannya sendiri aja.” Zoia tidak ingin kedaannya membuat Javas jadi terhalang. Apalagi Javas juga sudah berjanji akan bertemu dengan partner kerjanya.Javas menimbang-nimbang di dalam hati. Apa mungkin ia tinggalkan Zoia dalam keadaan seperti ini? Mungkin ia bisa mengesampingkan urusan yang lain, namun tidak bertemu dengan mitranya.“Beneran nggak apa-apa kalau
Dalam jarak sedekat ini Javas dapat mencium dengan jelas bau alkohol yang bercampur dengan Chanel No. 5 yang menguar dari tubuh Venna. Sementara itu iris mata coklat gelapnya bertemu dengan iris kelam perempuan itu.Maybe first love never ever diesThat’s why I’m still in love with youHold me close and look into my eyesAnd tell me you don’t feel it tooThe way it used to be when you told meIt would be forever, you and me togetherSuara-suara itu menggema di telinga Javas.‘Nggak, nggak, gue udah nggak cinta dia lagi. Gue udah punya Zoia.’ Javas membantah suara-suara yang membuat keributan dalam dirinya.“Ven, aku sudah menikah, aku sudah punya istri.” Javas menjauhkan mukanya dari Venna.“Mulutmu bisa saja mengingkari semuanya. Tapi matamu nggak bisa bohong, Jav. Aku tahu kamu masih mencintaiku. Buktinya waktu kita ke supermarket dan ketahuan sama istrimu kamu bohong dengan mengatakan nggak sengaja ketemu di sana. Kedua, kita sering bertemu tanpa sengaja. Apa menurutmu itu han
Zoia menggeliat. Lantas dengan cepat memeriksa ponsel yang berada di genggamannya. Semalam, karena menunggu Javas ia ketiduran sambil menggenggam benda itu.Desahan lelah meluncur dari bibirnya ketika melihat pesannya masih belum terkirim hingga saat ini. Dan seperti yang sudah diduga, nomor seluler Javas masih belum berubah keadaannya. Dia tidak bisa dihubungi.Panik, Zoia bangkit dari tempat tidur detik juga. Perasaan cemas dan ingin muntah sama-sama menyerang dan ingin mengalahkannya di saat yang sama.Zoia mencuci muka dengan terburu-buru. Dengan penampilan seadanya ia bergegas keluar dari kamar. Tidak dihiraukannya rasa pusing dan sakit kepala yang menjadi penyakit langganannya beberapa hari ini. Yang terlintas di pikiran Zoia saat ini adalah sesegera mungkin bertemu dengan petugas hotel dan mengatakan soal Javas yang hilang.Hilang?Langkah Zoia tertahan di depan lift. Apa benar Javas hilang? Walau negara ini terasa begitu asing namun Javas terlalu dewasa untuk dikatakan hilang.
Zoia langsung menyentak dengan keras tangan Javas dan merebut ponselnya kembali dari laki-laki itu.“Aku nggak bisa lagi di sini. Aku udah nggak sanggup bersama kamu, Jav!” ucap perempuan itu tegas.“Sebelum kamu marah dan mengambil keputusan dengan emosi tolong dengarkan penjelasanku dulu, Yang.”Yang katanya. Dulu Zoia suka dipanggil dengan sebutan itu. Ia merasa Javas benar-benar menyayanginya. Tapi setelah peristiwa yang menyakitkan ini Zoia menjadi muak. Ia benci pada laki-laki itu. Javas tidak lebih dari buaya yang menjerat mangsa di sana-sini. Zoia tidak menggubris kata-kata Javas. Ia melanjutkan kegiatannya mengemasi barang-barang. Ia harap Khanza bisa membantunya agar bisa pergi secepatnya dari tempat itu.“Yang, tolong kasih aku kesempatan buat jelasin ini semua sama kamu." Javas bersimpuh tepat di dekat Zoia yang hampir selesai memasukkan barang-barangnya.Menghela napas panjang, Zoia pikir apa salahnya memberi orang ini kesempatan untuk bicara. Walaupun penjelasannya tida
True Love Never DiesZELINESudah beberapa hari ini aku meninggalkan apartemen. Jevin menitipkanku di rumah Mbak Zola karena harus mengikuti event surfing kelas dunia di California.Sebenarnya Jevin tidak tega meninggalkanku apalagi saat ini kandunganku sudah tua. Hanya tinggal hitungan hari maka si kembar akan launching ke dunia. Hanya saja Jevin wajib pergi karena karena mengikuti acara itu adalah impiannya sejak lama.“Masih sakit?” tanya Mbak Zola melihatku meringis ketika masuk ke kamar.Tadi aku mengeluhkan punggung yang terasa ditusuk-tusuk serta pinggang yang pegal. Rasanya ingin menangis saking tidak kuat menahan sakit. Biasanya kalau ada Jevin dia akan mengusap-usap punggung maupun pinggangku. Walau tidak meredakan sakit itu tapi setidaknya kehadiran Jevin membuatku merasa tenang. Ada dia yang melindungiku. Menyatakan bahwa aku tidak sendiri sehingga aku kuat menghadapinya.“Masih, Mbak, sakit banget …” Aku merintih perih. Pinggangku rasanya mau patah. Sementara anak dalam ka
JEVINHari-hariku berubah setelah Zeline dinyatakan hamil. Aku lebih protektif padanya (tapi bukan posesif), karena kami begitu sulit untuk berada di titik ini. Sedangkan Zeline tampak sangat bahagia, walau kadang uring-uringan dikarenakan hormon kehamilan yang mulai memengaruhinya.Saat ini aku dan Zeline sedang berada di rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Zeline. By the way, ini adalah rumah sakit ketiga yang kami kunjungi saking excited, syok, bahagia, kolokan, whatever you name it. Aku dan Zeline khawatir kalau ternyata Zeline tidak benar-benar hamil dan hasil test pack itu salah. Untuk itulah kami mencari second hingga third opinion.Rumah sakit ketiga yang kami kunjungi merupakan milik orang Indonesia yang sudah menetap bertahun-tahun dan berganti kewarganegaraan menjadi warga Amerika. Oleh sebab itulah dia lancar berbahasa Indonesia. Bahkan tadi saat tahu kami orang Indonesia dia sangat excited.“Langsung kita periksa saja ya, Zel, silakan berbaring di sana,” suruh dokter
JEVIN“Om Jep, Kaka udah sekolah sekalang …” Kaka tersenyum bangga menceritakan aktivitasnya. Masih dengan mengenakan seragam putih biru dia memamerkan tubuhnya dengan bergerak-gerak mengayunkan kaki serta merentangkan tangannya di hadapanku. Aku tertawa geli melihat Kaka yang begitu menggemaskan. Andai saja saat ini aku dan dia berhadapan langsung maka aku akan menggendong dan menciumnya bertubi-tubi. Sayangnya jarak yang memisahkan membuatku dan Kaka hanya bisa saling menatap melalui layar gawai.“Wah, berarti Kaka udah gede dong, kan udah sekolah. Tadi belajar apa di sekolah?”“Banyak, Om.”“Salah satunya?”“Menggambal, mewalnai, sama lipat keltas.”“Origami maksudnya?”“Apa, Jev? Siapa yang poligami?” Suara lain penuh antusias tiba-tiba terdengar menyela. Zeline muncul dari belakangku lalu duduk di sebelahku dan menatapku dengan mata melebar.“Nggak ada yang poligami, tadi aku bilang origami bukan poligami. Tanya deh sama Kaka.”“Ontiii … Kaka lindu sama Ontiiii …” Kaka berteria
JEVINZeline memucat di hadapanku. Bibirnya bergetar. Sementara aku memandanginya dengan tidak mengerti.“Menggugurkan anak kita?” Aku mengulangi ucapannya tadi.Bagaimana mungkin dia menggugurkan anak kami sedangkan dia belum pernah hamil?“Aku beneran nggak ngerti kamu lagi ngomong apa. Bisa jelasin ke aku?”Zeline tidak menjawabku. Aku melihat mata indahnya berkaca-kaca yang membuatku semakin bingung.Aku memegang tangannya, meminta padanya sekali lagi untuk menjelaskan padaku. Tapi yang terjadi adalah dia berurai air mata.“Ayang, please, ini ada apa? Kamu kok nangis gini?” Aku memeluknya. Bukan diam, isaknya semakin keras.Aku benar-benar tidak habis pikir apa yang sesungguhnya terjadi.“Kita pulang dulu yuk.” Aku mengajaknya kembali ke hotel yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Selama di dalam perjalanan Zeline tidak bersuara. Aku tidak memaksanya bicara. Aku memberinya waktu sampai dia siap untuk memberitahu.Setiba di hotel aku memberinya air minum. Lalu menanti beberapa
ZELINE“Gimana, Yang? Kamu suka?”Aku memandang Jevin lalu menganggukkan kepala setelah puas melihat-lihat. Saat ini kami sedang berada di sebuah apartemen yang terletak di Downtown. Kami memutuskan untuk membeli apartemen karena nggak mungkin tinggal selamanya di rumah Mbak Zola.“Jadi fix kita ambil yang ini?” tanya Jevin lagi, padahal kami sudah resmi membelinya.“Fix, Jev,” jawabku memutuskan yang membuat broker properti yang mendampingi kami mengembangkan senyum lebar.Lalu Jevin bicara dengannya sedangkan aku berjalan ke tepi jendela lalu mengamati lalu lintas yang terhampar di luar sana. Dari ketinggian lantai delapan belas mobil-mobil yang melintas tampak seperti kotak-kotak kecil dalam temaram cahaya malam.Aku mengembuskan napas lega. Ini adalah bulan keempat kami di USA. Dan syukurnya kehidupanku berjalan dengan baik di sini.Setelah interview waktu itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan teknologi dan informasi. Sejauh ini aku enjoy kerja di sana. Selain sesuai den
ZELINE“Kebetulan banget kamu ke sini, jadi aku nggak perlu cari orang lagi buat benerin laptop.”Aku mendelik mendengar ucapan Zach sedangkan dia terkekeh geli.“Jauh-jauh ke sini cuma buat benerin laptop.” Aku pura-pura merajuk namun tak urung menerima MacBook yang diberikan Zach.Meski Zach tahu betul apa spesialisasiku, tapi orang-orang sering salah kaprah. Mereka menganggap anak IT hanya tukang memperbaiki komputer rusak. Padahal lebih dari itu. Teknologi informasi bukan perkara hardware, tapi lebih ke software, seperti bidang yang kutekuni.Aku menyalakan MacBook milik Zach yang katanya rusak. Sambil menunggu booting aku mendengar obrolan Zach dan Jevin.“Hari ini Zeline bakal nyoba apply beberapa job vacancy. Tapi di kantor lo kira-kira lagi butuh programmer nggak?” tanya Jevin pada adiknya.Zach tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir sesaat. “Seingat gue belum. Paling kalo ada bakal diumumin di official website. Tapi nanti deh gue tanya HR buat lebih jelasnya,” kata Zach
ZELINE“Auntyyyy ...”Suara halus anak kecil laki-laki mengisi pendengaranku. Fai berlari kecil lalu menghambur memelukku saat aku tiba.“How are you, Boy?”“I’m fine, and you?” Bibir mungilnya bergerak-gerak lucu menanyakan kabarku. Tanpa sengaja aku jadi ingat Kaka.Tatapan Fai lantas pindah pada Jevin. Anak itu mengerutkan dahi mencoba mencari tahu siapa laki-laki bertubuh atletis di sebelahku.“Hai, Fai, ini Om Jevin, masih ingat nggak?” Jevin menanyakannya saat menemukan tatapan heran anak itu.Fai terlihat bingung. Mungkin karena jarang bertemu dengan Jevin sehingga ia harus memulihkan lagi ingatannya.“Mamaaaa!” Fai berlari menuju Mbak Zola yang baru muncul dari arah dalam rumah. Lalu Mbak Zola berbicara menerangkan sesuatu pada anaknya.Aku dan Jevin datang berdua dan memang sengaja meminta tidak dijemput ke bandara.“Fai nanya katanya itu siapa. Dia agak lupa itu Om Jevin yang mana.” Mbak Zola menerangkan pada kami.Jevin tertawa pelan. Jevin memang lebih dekat dengan Kaka ke
JEVINSudah sejak tadi aku berorasi membujuk Zeline, meyakinkan padanya bahwa hanya dialah yang aku cintai. Apapun yang terjadi di masa lalu, sebanyak apapun perempuan yang pernah singgah di kehidupanku (jika memang benar), tapi hanya dialah satu-satunya wanita yang kujadikan pendamping hidup sampai akhir usia.Berjam-jam aku membujuknya. Mulai dari bandara tadi sampai pesawat mengudara. Zeline tidak merespon satu kali pun kata-kataku. Kendati begitu aku yakin dia mendengar apa yang aku sampaikan. Hanya saja dia masih dikuasai emosinya, egonya, rasa cemburunya.“Dia bukan tipeku, lihat aja bibirnya tipis,” ucapku di ujung keputus asaan.Aku pikir Zeline masih tidak merespon. Siapa sangka dia bereaksi dengan cepat.“Maksud kamu?” terjangnya. Dan itu membuatku bersemangat.“Aku nggak suka cewek berbibir tipis.”Dia menantangku dengan matanya.“Kamu mau tahu nggak, Yang? Kenapa?”Tatapannya semakin lekat di wajahku. Aku tahu dia butuh jawabanku tapi gengsi untuk bertanya. Dia sangat pena
ZELINEWhat does she say? Pacarnya Jevin?Aku menatap Jevin lekat dengan sorot meminta konfirmasi mengenai apa yang baru saja kami dengar.Jevin balas menatapku dengan kebingungan yang semakin menjadi. Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.“Aku nggak kenal dia,” bantahnya tegas.“Tapi dia bilang pacar kamu, Jev.”“Pacar gimana? Aku udah punya kamu begini. Udahlah, Yang, nggak usah pedulikan gangguan dari luar yang akan bikin hubungan kita jadi rusak. Aku kan udah bilang itu sebelumnya.”“Apa, Jev? Jadi karena kamu udah punya yang baru makanya mengingkari hubungan kita dulu?” sela Calista tidak terima.Jevin mengalihkan pandangan ke arah Calista. “Sorry, tapi aku nggak pernah kenal sama kamu apalagi menjalin hubungan seperti yang kamu sebutkan.”“Kamu bisa bilang begitu sekarang karena kamu udah punya yang lain. Tapi buat aku, hubungan kita dulu adalah segalanya. Kita udah sejauh itu. Apa kamu lupa, Jev?”“Sejauh apa?” tanyaku cepat. Mulutku tidak bisa direm mendengar pengakuannya.