Zoia menggeliat. Lantas dengan cepat memeriksa ponsel yang berada di genggamannya. Semalam, karena menunggu Javas ia ketiduran sambil menggenggam benda itu.Desahan lelah meluncur dari bibirnya ketika melihat pesannya masih belum terkirim hingga saat ini. Dan seperti yang sudah diduga, nomor seluler Javas masih belum berubah keadaannya. Dia tidak bisa dihubungi.Panik, Zoia bangkit dari tempat tidur detik juga. Perasaan cemas dan ingin muntah sama-sama menyerang dan ingin mengalahkannya di saat yang sama.Zoia mencuci muka dengan terburu-buru. Dengan penampilan seadanya ia bergegas keluar dari kamar. Tidak dihiraukannya rasa pusing dan sakit kepala yang menjadi penyakit langganannya beberapa hari ini. Yang terlintas di pikiran Zoia saat ini adalah sesegera mungkin bertemu dengan petugas hotel dan mengatakan soal Javas yang hilang.Hilang?Langkah Zoia tertahan di depan lift. Apa benar Javas hilang? Walau negara ini terasa begitu asing namun Javas terlalu dewasa untuk dikatakan hilang.
Zoia langsung menyentak dengan keras tangan Javas dan merebut ponselnya kembali dari laki-laki itu.“Aku nggak bisa lagi di sini. Aku udah nggak sanggup bersama kamu, Jav!” ucap perempuan itu tegas.“Sebelum kamu marah dan mengambil keputusan dengan emosi tolong dengarkan penjelasanku dulu, Yang.”Yang katanya. Dulu Zoia suka dipanggil dengan sebutan itu. Ia merasa Javas benar-benar menyayanginya. Tapi setelah peristiwa yang menyakitkan ini Zoia menjadi muak. Ia benci pada laki-laki itu. Javas tidak lebih dari buaya yang menjerat mangsa di sana-sini. Zoia tidak menggubris kata-kata Javas. Ia melanjutkan kegiatannya mengemasi barang-barang. Ia harap Khanza bisa membantunya agar bisa pergi secepatnya dari tempat itu.“Yang, tolong kasih aku kesempatan buat jelasin ini semua sama kamu." Javas bersimpuh tepat di dekat Zoia yang hampir selesai memasukkan barang-barangnya.Menghela napas panjang, Zoia pikir apa salahnya memberi orang ini kesempatan untuk bicara. Walaupun penjelasannya tida
Gerimis kecil menyambut kepulangan Zoia saat pesawat yang ditumpanginya mendarat dengan selamat. Langit seakan ikut merayakan kesedihan perempuan itu.Setelah berbicara dengan Javas dan laki-laki itu mati-matian menahannya agar tidak pergi tapi keinginan Zoia tidak tergoyahkan. Thanks to Khanza yang sigap dan berhasil mengurus penerbangannya dengan cepat.Nyaris di sepanjang penerbangan Zoia menitikkan air mata. Ia menangis tanpa henti sehingga mengundang tanya orang-orang di sekitarnya. Namun, Zoia tidak peduli. Ia berjanji setelah puas menumpahkan kesedihannya ia tidak akan menangis lagi.Turun dari pesawat, Zoia melangkah pelan sambil menghela napas dalam-dalam menghirup udara di sekelilingnya. Ia merasa lebih baik sekarang. Tidak hanya karena sudah berada di tanah kelahirannya, namun juga karena terbebas dari penerbangan panjang yang sangat menyiksa. Seakan penderitaannya tidak cukup dengan semua kejadian di Berlin, di sepanjang penerbangan Zoia juga harus melawan kondisi fisiknya
Kamar yang ditempati Zoia di apartemen Zach terasa begitu nyaman. Suhu ruangannya pas, aromanya wangi dan segar, tempatnya juga sangat tenang. Namun sayangnya kondisi tubuh Zoia membuat segala kenyamanan itu terasa tidak sempurna.Masih sepagi ini, di mana ia masih ingin leye-leye di tempat tidur, tapi rasa mual yang menyerangnya membuat Zoia harus meninggalkan ranjangnya dan tergesa-gesa ke kamar mandi.Sambil membasuh muka dan mulutnya dari sisa-sisa muntahan, Zoia berkaca di cermin wastafel. Pikirannya dipenuhi oleh tanda tanya besar yang tidak mau pergi. Sudah sekian hari berlalu tapi kondisi fisiknya tak berubah. Ini pasti bukan jet lag. Tapi ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya.‘Nanti aku bakalan ke dokter,’ batin Zoia untuk memastikan keadaannya.Kembali ke kamar, Zoia bermaksud untuk menyambung tidur sekitar sepuluh atau lima belas menit lagi. Namun ketukan di pintu yang disusul oleh suara Zach mengurungkan niatnya.“Kamu nggak apa-apa? Tadi aku dengar suara muntah,” kat
“Minum dulu, Zoi.” Zoia memandang kosong segelas air putih dan obat-obatan yang disodorkan Khanza padanya. Itu adalah obat-obatan yang diberikan dokter.Perlahan ia kembali mengurai kejadian beberapa jam yang lalu …Zoia tentu saja terkejut mendengar diagnosa dokter. Bagaimana mungkin ia dinyatakan hamil sedangkan beberapa waktu belakangan Zoia masih mengonsumsi pil KB.“Tapi saya minum pil KB, Dok. Saya nggak mungkin hamil,” kata Zoia menyanggah diagnosa yang ditujukan padanya.“Bisa jadi Ibu pernah lupa, coba Ibu ingat-ingat lagi.”Zoia mengernyit, mengerahkan pikirannya. Sepanjang ingatan yang berhasil dikumpulkannya tidak sekali pun Zoia absen mengonsumsi pil itu. “Nggak pernah, Dok, saya selalu minum dengan rutin.”“Baik. Supaya lebih jelas Ibu langsung kunjungi dokter kandungan ya, Bu. Mau saya rekomendasikan dokter yang bagus?”“Boleh, Dok,” jawab Zoia setuju. Mendatangi ahlinya adalah langkah yang paling tepat.“Dia teman baik saya, namanya dokter Gatra. Nanti Ibu langsung
Zach menurunkan pandangan tepat pada tangan Javas yang mencekal krah kemejanya. Seulas senyum asimetris turut terselip di bibir lelaki itu.“Lo mau apa? Mau bunuh gue? Lakuin aja. Tapi sekarang, jangan besok.”“Lo pikir gue nggak serius? Gue nggak pernah main-main sama kata-kata yang gue ucapin. Gue bisa lakuin itu sekarang kalo gue mau.” Javas mendesis menahan amarah yang semakin meraja. Tangannya yang tadi berada di krah baju Zach kini pindah ke leher lelaki itu, siap-siap untuk mencekiknya.Zach masih bersikap sama seperti sebelumya. Tersenyum santai menghadapi Javas.“Kenapa nggak cekik gue sekarang? Katanya nggak main-main.” Zach menantang melihat tangan Javas masih berada di lehernya tanpa melakukan apa-apa.“Lo pikir gue nggak berani, hah? Selama ini gue mungkin masih ngelepasin lo. Tapi apa pun yang berhubungan dengan Zoia nggak akan bikin gue tetap tinggal diam. Zoia is mine! Jangan sekali pun coba-coba mengganggu dia,” kecam Javas keras. Sementara tangannya juga semakin kua
Sudah sejak tadi Javas duduk di beranda di rumahnya. Ia tidak sendiri, tapi ditemani oleh berbatang-batang rokok yang menjadi puntung dan menumpuk di dalam asbak. Pikirannya kacau, hatinya galau. Bagaimana tidak, ia gagal membujuk Zoia pulang ke rumah. Dan malangnya ia tidak tahu di mana saat ini istrinya itu berada.Javas sudah menyelidiki ke rumah Khanza. Hasilnya nihil. Zoia tidak tinggal di sana. Ya, tentu saja. Zoia pasti sudah memperhitungkan sebelumnya. Ia tidak mungkin menetap di rumah Khanza karena sudah mengira Javas akan menemukan dengan mudah.Suara mobil yang baru saja memasuki halaman rumah mengalihkan perhatian Javas. Pria itu langsung berdiri menyambut Reno yang baru saja tiba. Tadi Javas meminta Reno untuk mencari alamat Zoia sampai dapat.“Gimana, Ren?”“Maaf, Pak, belum ketemu. Saya sudah cari di mana-mana tapi Ibu Zoia nggak ada.”“Kamu sudah benar belum nyarinya?” Suara Javas meninggi. Kecewa mengetahui hasil pencarian Reno.“Sudah, Pak.”“Kalau memang sudah bena
Prilly memapah Javas ke dalam rumah dengan susah payah. Meski begitu ia merasa bahagia mendapat rezeki selarut ini. Kebahagiaannya bertambah sempurna karena di rumah itu hanya ada dirinya dan asisten rumah tangga. Jevin sudah lama kembali ke Zurich. Zach tinggal di apartemen. Sedangkan saat ini Rosella sedang menghadiri acara sosial di luar kota.Tanpa pikir panjang Prilly langsung membawa Javas ke kamar lelaki itu. Kamar yang juga ditempatinya selama berada di rumah Rosella.“Mbak Prilly, maaf saya baru bangun. Saya dengar tadi ada bunyi bel,” kata Yuka, asisten rumah tangga Rosella yang tiba-tiba muncul. “Saya udah buka pintunya, kamu tidur aja, Bi.”“Tamunya Mas Javas ya, Mbak?” tanya Yuka saat melihat Javas dalam papahan Prilly. Yuka melihat gelagat tidak enak. “Yap. Kamu kan bisa lihat sendiri. Tidur sana! Nggak ada gunanya juga kamu bangun. Udah keduluan saya.” Prilly mengusir perempuan itu agar pergi darinya.Yuka bertahan di tempat. Ia merasa ragu. “Mbak Prilly mau bawa Mas