"Mas Indra!" suara Tia, terdengar makin kuat. Aku yakin pasti Tia, sedang mencari keseluruh ruangan. Aku langsung menyuruh Mas Indra lewat jendela. Kebetulan sekali kamarku jendelanya langsung kearah belakang. Mas Indra bisa langsung bersembuyi di dapur.
"Ada apa sih, Tia? Pagi-pagi udah kaya sempritan aja. Kenceng bener" cecarku sok asyik.
"Tumben udah bangun kamu, Meg. Biasanya masih molor." ledeknya, sepertinya Tia tak menaruh curiga. 'Selamet-Selamet'.
"Kamu lihat Mas Indra, enggak, Meg" tanya Tia.
"Lah, mana aku tau. Dia kan suamimu" ucapku sok cool.
"Yeh, orang aku cuma tanya. Kok, gitu sih" Tia nampak kesal.
"He-he-he. Aku enggak liat, Tia" ucapku cengengesan. Aku tidak ingin kelihatan gugup agar Tia tidak curiga.
"Hai, Dek" sapa Mas Indra, muncul membawa cangkir.
"Mas Indra, kamu habis ngapain" Tanya Tia,
"Bikin susu buat kamu. Boleh, kan sekali-kali" rayu Mas indra, merangkul Tia.
"Cie, pagi-pagi udah romantis amat" ledekku. Akupun berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. Hampir saja kami katahuan. Untung Tia orangnya gampang dirayu gitu aja langsung kesemsem.
----------------------------
Janji Mas Indra memang selalu tepat. Aku dibelikan sebuah Apartement. daripada selalu hawatir dan cemas tinggal satu rumah dengan Tia.
Aku membayangkan betapa indahnya malam-malamku bersama Mas Indra dengan bebas, melepaskan hasrat mau dimanapun tidak ada yang menganggu.
"Kamu suka, Apartement ini, Sayang"
"Suka banget Mas" Aku langsung berguling-guling dikasur ketika melihat kamar kami.
"Makasih ya, Mas" ucapku manja
"Peluk, dong" ucap Mas Indra, membuka tangannya hendak memeluk. Tak berlangsung lama aku langsung datang ke pelukannya.
"Tapi, nanti bagaimana dengan Tia, Mas"
"Tenang saja, perusahaanku ada lowongan. Kamu berkerja saja disana. Nanti kamu pulang ke kontrakan biasa supaya Tia, tidak tau apartment ini" jelasnya
"Jadi, aku kerja di perusahaan kamu. Posisi apa. Sekertaris atau apa? Kita bakal ketemu terus dong" ucapku girang.
"Kamu dibagian gudang dipengawasan. Gak papa kan, kita pura-pura enggak kenal."
"Kirain bakal disamping kamu terus, Mas" Aku kecewa. Masak aku ditempatkan dibagian pengawas.
"Sayang, jangan sedih dong. Semua demi rahasia kita"
Aku iyakan saja. Masa bodoh. Lagian, aku berkerja hanya kedok untuk Tia
Teryata menjadi simpanan lelaki beristri sangat asyik. Apalagi lelaki itu suami dari sahabat sendiri. Menyenangkan sekaligus mendebarkan.
Aku telah bekerja menjadi kepala bagian pengawas. Tidak pernah bertemu dengan Mas Indra sekalipun. Bagaimana mau ketemu, aku di gudang dia di kantor! Hadeuh.
Eits... Tapi, setiap sore Mas Indra menemuiku walau sebentar. Kita bertemu sembunyi-sembuyi, berada dikantornya malah menjadi tantangan tersendiri. Kita harus lebih ekstra kucing-kucingan menghindari dari orang yang dikenal. Kalau ketahuan kan, bisa Kacau!
--------------
Minggu ini Mas Indra akan datang. Seperti yang dikatakan tiap minggu, dia akan menemuiku. aku memakai gaun sexy serta dandan cetar membahana dengan olesan bibir berwarna merah ranum, yang bisa membuat siapapun memandangnya tak akan tahan.
"Hai, Sayang" tiba-tiba saja Mas Indra, sudah dibelakangku melingkar tangannya kepinggangku.
"Kamu kok, bisa masuk enggak bilang-bilang" ucapku kaget.
"Kejutan! ini rumah Istriku. Aku punya kuncinya" ucapnya berbisik ditelingaku. Memperlihatkan kunci serep ditangannya.
"Ah, Mas" ucapku malu-malu
Tara... Mas Indra memberikanku seikat bunga mawar merah. So sweet. Bunga ini adalah bunga favoritku. Seketika hatiku meleleh. Rona dipipiku makin kelihatan.
"Malam ini, kita makan malam diluar" ajak Mas Indra.
"Ayo," aku mengambil tas masuk kekamar lagi, menatap diriku dicermin agar tak ada yang kurang. Tak lupa ku oleskan lip cream biar makin Pede.
Mas Indra yang melihat tingkahku justru tersenyum melipat tangan. Aku yang melihatnya dikaca langsung menunduk malu. Aku hanya ingin terlihat sempurna. Itu saja.
Mas Indra mendekat kearahku. Lalu membelai rambutku.
"Aku tidak suka ada orang melihat leher sexy istriku" bisiknya sambil menggeraikan rambutku.
"Hanya ingin menata rambut aja, segitu romantisnya Mas!" jeritku dalam hati.
Lalu Mas Indra juga menutup bajuku dengan jaket.
"Kita akan dinner, kalau kamu berpakaian seperti ini aku tak tahan" ujarnya penuh romantis.
Aku dan Mas Indra memilih Lestoran agak jauh dari tempat kita, guna menghindari orang yang dikenal.
Hawa makan malam terasa begitu romantis, jauh dari orang yang dikenal, jauh dari kota, jauh dari kebisingan. Setiap orang yang berada disini semuanya makan dengan tenang. Seperti orang-orang kelas elit.
Aku benar-benar bersyukur memliki Mas Indra. dia sempurna dimataku. Sampai aku lupa dan buta. Kalau Mas Indra milik sahabatku.
Mas Indra juga sepertinya lupa kalau dia memiliki istri yang harus ia jaga. Entah bagaimana ia berpaling. Aku kadang berfikir, bertanya pada hatiku. Orang seperti itukah Mas Indra? ia baik dan sempurna sampai Tia tak mengenali busuknya. Begitupun aku. Aku melihat Mas Indra begitu baik, tetapi nyatanya ia berpaling?
Semakin berfikir semakin membuatku tak bisa menebak seperti apa orang seperti Mas Indra. Entah berapa banyak juga wanitanya. Mungkin bukan cuma aku atau Tia.
Yang terpenting sekarang aku menikmati hidup. Mas Indra butuh nafsu aku butuh kehidupan. Seperti sekarang perutku lapar butuh makan. Lebih baik ku nikmati saja makanan mahal ini dengan santai.
"Mega..." suara perempuan yang sangat familiar memanggilku.
"Tia..." aku tersentak kaget. Tia tahu tempat ini! Apakah ia membututiku dan akan melabrakku!
Seketika keringat dingin membasahi tubuhku. Meski tadi Mas Indra pamit ke Toilet. Aku takut Tia sudah membuntuti kita.
"Kamu sama siapa kesini?" Tia langsung duduk dibekas kursi Mas Indra.
"Sama pacar, ya. Cie, yang udah punya pacar diem-diem bae" candanya lagi.
"Bukan, kok" Aku sudah sangat gugup takut Mas Indra datang.
"Terus sendiri gitu. Mana dandan cantik banget. Terus kamu pesen dua porsi gitu, Meg" Tia masih bercanda saja. Tidak tau aku gugup setengah mati.
"Mana, pacar kamu. Aku mau liat dong, jangan sembuyi" goda Tia.
"A--ku"
"Jangan ngelak, Mega. Aku tau kamu datang sama orang yang menurut kamu spesial" belum sempat aku menjawab alasan, Tia memotong ucapanku. Kalau begini Tia pasti akan lama. Aku sudah hafal kebiasaannya.
Langkah kaki Mas Indra makin dekat menuju meja kami. Aku mengeskpresikan muka gugup agar menghindar. Tapi, Mas Indra malah semakin mendekat.
"Mas Indra..." ucap Tia kaget.
Aku bingung harus bagaimana. Aku gugup dan bahkan belum sanggup dilabrak. Apalagi ditempat umum. Aku takut viral, takut terkenal menjadi pelakor. Karena kenyataanya aku adalah Istri sah Mas Indra juga.
"Kok kamu ada disini" tanya Tia. "Bukannya kamu ke luar kota" lanjutnya lagi. Tia terlihat kesal dan curiga memandangku.
"Kejutan, Sayang. Aku mengikutimu" ucap Mas Indra. Mas Indra nampak santai.
Tak terlihat gugup"Tia Asmarani. Aku mencintaimu" Mas Indra berlutut dihadapan Tia. Layaknya orang sedang melamar, mengeluarkan sebuah cincin berlian.
Para pengunjung yang ada di restoran ini, semua bersorak. Memberi tepuk tangan kemeriahan. Aku yang melihat hanya bisa ikut tersenyum. Hatiku menjerit. Kenapa Tia ada disini? Cincin itu juga pasti kejutan untukku bukan untuk Tia. Rasa dongkol menyelimuti hatiku. Ingin marah, tapi tak bisa.
Tia yang melihat suaminya melakukan keromantisan itu, matanya berkaca-kaca. Bahagianya diiringi tangisan. Lalu, memeluk Mas Indra. Mereka nampak pasangan yang sempurna tanpa kecacatan.
Semua orang tenggelam dalam iri hati, begitupun aku. "So sweet. Kalian romantis" hanya ini yang mampu aku ucapkan.
Tia begitu bahagia, Sedangkan aku yang harusnya dalam suasana bahagia. Malah menderita. Ada yang sakit, menyaksikan mereka. Tapi, pantaskah aku?
Siapakah aku?
Bab 4Aku hanya kekasih yang disimpan. dikeluarkan jika perlu, disembuyikan bila tak dibutuhkan. Lantas, sekarang aku cemburu menyaksikan dua insan saling bahagia, meski ku tahu Mas Indra melakukan itu agar Tia tak curiga. Aku tahu cincin berlian yang indah itu di peruntukan aku.Mereka berpelukan dalam bahagia. Tia terlihat begitu mencintai Mas Indra. Sedangkan tatapan Mas Indra terus mencuri pandang terhadapku."Kamu bener-bener romantis banget, Mas." ucap Tia. Terlihat begitu bahagia memandang terus cincin yang diberikan suaminya."Aku jadi iri deh, sama kalian" Aku berusaha tersenyum meski sebenarnya kesal."Aku yakin kamu bakal nemu pasangan seperti Mas Indra. Kamu yakin aja, ya" timpal Tia dia terlihat bahagia, aku iri padanya yang bisa bahagia sesimpel itu."Mega, kamu sendirian aja disini" Mas Indra bertanya seolah kita tak bertemu. Ada yang mengganjal melihat perlakuan Mas Indra. Ah, sepertinya aku telah dirudung asmara.
Bab 5Aku keluar dari kamar. Ada rasa gemetaran dalam hati, namun saat keluar yang ku lihat Mas Indra sedang menyantap pizza.Oh, rupanya hanya kurir. Hampir membuat jantungku copot saja, dan Mas Indra. Kelaparan ia kah? sampai disaat seperti ini sanggup makan.Akupun ikut makan bersama Mas Indra, dengan duduk dipangkuannya. Aku bisa romantis bukan, makanpun penuh dengan kemanjaan. Kapan lagi? Kalau tidak sekarang. Beginilah nasib menjadi Istri kedua, diutamakan tapi nunggu giliran.------------------Aku dan Mas indra menikmati angin pantai Bali, hari-hariku terasa indah, bila boleh diminta aku ingin lebih lama lagi, tetapi tuntutan pekerjaan Mas Indra tak bisa lama.Ting... Sebuah pesan masuk[ Mega, kamu dimana? Katanya kamu cuti. Dikontrakan enggak ada. Kamu pulang kampung kah? ]Pesan dari Tia berurutan disertai puluhan panggilan telepon.'Tia, Tia. Tak bisakah kamu tak mengangguku saat ini. Aku ingin bersama Mas
Bab 6Meski kami kembali berbaikan, aku dan Mas Indra sepakat tak bertemu beberapa minggu. Kami takut Remon memata-matai kami. Sekaligus sebagai pelajaran supaya lebih berhati-hati lagi.Sampai suatu hari aku mendapat panggilan telfon misterius, setiap hari mengirim pesan. Mas Indra menyuruhku memblokir nomer tersebut, tetapi nomer tersebut mengirim sebuah foto, bahkan foto kami di Bali. Lalu sebuah pesan ancaman bermunculan.[ Temui aku, lok. Gedung Jaya xxx no.1xxx ]Aku tak pernah membalasnya, namun kali ini terpaksa aku membalas. Siapa dia? Apakah Remon?[ Siapa kamu? ][ Aku pelacur! ] jawaban pesan ini membuat otakku mendidih. Aku langsung pencet tombol call, tapi herannya peneror tak mengangkat.[ Angkat telfonmu pecundang! ] pesan makian pun terkirim.[ Datang ke sini atau ku kirim foto ini ke madumu ]Aku tak membalasnya, aku langsung menghubungi Mas Indra. Aku hampir stres diteror terus menerus.
Bab7Remon kebingungan, melihat aku menembak Mas Indra. Lalu, suara sirine polisi terdengar nyaring."Kurang ajar!" maki Remon, terjawab sudah kebingungannya."Sialan!" Remon menamparku lalu, merebut pistol dari tanganku."Daripada aku di tangkap polisi Karena dijebak. Aku lebih memilih pembunuhan" Remon menodongkan pistol ke arah kami.Remon menarik pelatuk pistol, tapi sangat di sayangkan pelurunya kosong. Aku sudah hapal akal bulus Remon. Sengaja aku mengosongkannya.Pucuk dicinta ulampun tiba, momen Remon seperti seorang penjahat disitu polisi datang."Jangan bergerak! Angkat tangan!" seru seorang polisi. Akhirnya Remon hanya bisa pasrah. Dia tak bisa menyangkal tuduhan. Polisi melihat sendiri adegannya. Aku ditodong pistol, Mas Indra tertembak serta tas berisi uang ada di tangan Remon.----------"Ini Rencana kamu, Meg?" Mas Indra bertanya melalui bisikan telinga"Kamu gila! Kamu mau membunuhku!"
Bab 8Sebelum ke pengadilan aku sengaja mendatangi Remon. Aku ingin melihat betapa sengsaranya ia berada di jeruji besi."Mau apa kamu ke sini, jalang!" sapaan Remon terdengar mengerikan layaknya bajingan."Aku hanya ingin memberimu selamat. Congrolation..." aku memberi kejutan sebuah kue. Kue yang mengingatkanku setiap saat, aku pernah di ambang kematian saat ulang tahunku Remon memberikan kue itu."Selamat menikmati. Aaaaaa" Aku ingin Remon menikmati. Sengaja kusodorkan tanganku ingin menyuapinya, belum sempat sampai ke mulut, Remon menampel tanganku."Kenapa? Kamu takut" Aku tersenyum miris."Aku tak licik sepertimu Remon," Lalu, aku sengaja memakan kue di hadapannya.Tatapan Remon begitu sengit memadangku seolah ingin melahapku hidup-hidup."Lihat aku tak mati, bahkan jika ini beracun pun aku takkan mati" sindirku mengingatkan dengan kejadian dulu."Katakan apa maumu pe-la-cur" Remon bertanya seraya
Bab 9Virus cinta datang menyerangku, aku demam menggigil karena rindu. Sungguh aku tak percaya telah jatuh cinta saat itu, pertemuan lima menit membuat aku selalu terbayang.Kerap kali malam tak bisa tidur, menanti pagi dan sore. Ketika orang lain ingin kemacetan segera berlalu, aku malah ingin berlama-lama, berharap menemukannya ditengah keramaian lalu lintas.Dari kejauhan aku melihat orang berseragam sama seperti orang yang menggugah hatiku. Hatiku berbunga-bunga melihat kejauhan. Aku segera menyela motor-motor di depanku.Akhirnya aku sampai di samping pria berseragam pizza. Pipiku bersemu merah takut dan malu menyapa duluan, lalu aku memberanikan diri."Hai, Remon" aku menepuk bahu pria itu, saat menoleh aku kaget, dia bukan orang yang kucari."Alamak salah orang! Mukanya kaya anoman pula," aku bergumam lirih menahan malu. Orang bergigi berantakan itu malah menunjukan senyum tak indahnya."Apa neng?" Oran
Bab 10Usia kandunganku sudah berusia empat bulan, Remon selalu menjagaku, ia berubah 360 drajat. Berbanding terbalik dengan sifatnya, selalu mengalah padaku, saat aku menginginkan sesuatu pun ia langsung menurutinya.Sore hari Remon pulang dengan wajah lesu. Pasti ia sangat capek berkerja. Aku pun langsung menyiapkan air hangat untuknya. JRemon segera mandi.Ada yang aneh darinya, ia tak menyambutku seperti biasanya, ia seperti banyak menyimpan beban."Kamu kenapa? Sayang." Aku memberanikan diri bertanya"Mega... " Remon tak mengatakan apapun, tapi menyerahkan amplop berwarna coklat."Apa ini?" Aku membuka amplop tersebut, berisikan uang satu bulan gaji. Aku masih belum mengerti maksudnya."Aku di PHK. Itu pesangonnya" Aku syok mendengarnya, mau makan apa kami kalau pesangon hanya sebulan gaji, tabunganku juga sudah menipis untuk menutupi kekurangan biaya hidup kami." Tapi aku janji. Aku akan cari kerja lainny
Bab 11"Kenapa menutup mata?" Bos gendut bertanya, suaranya terdengar sangat dekat."Jangan menutup mata. Apa yang kamu takutkan" Aku masih tidak mau mmembuka mataku, atau pun menjawabnya."Baiklah, pisau ini kuletakkan. Aku tidak akan menyakitimu" Sebuah benda seperti dari almunium dilempar. Bunyi klentingnya sangat jelas. Aku mulai membuka mata perlahan.Aku masih tak mau melihat mereka kuarahakan penglihatanku ke bawah menunduk."Lihat aku, apa yang kamu takutkan?" Bos gendut malah menayaiku, aku bahkan tak bisa menjawab."Kamu sudah membaca perjanjiannya bukan? Remon sudah menandatanganinya, tapi ia tak bertanggung jawab. Dia pergi, dan bisa di gantikan orang lain. Kurasa kamu penggantinya" meski nada bicaranya halus aku dapat merasakan aura kejam pria gendut ini,Aku langsung berlutut berharap masih ada ampun. Semua salah Remon bukan aku."Aku mohon lepaskan aku. Aku sungguh tak tau masala
○Bab 49"Sedang apa kamu di sini?" tanya Andrian, nadanya mengisyaratkan ketidaksukaan. "A-ku, aku" aku bingung dengan keadaanku, naman sayanyanya kalimat ini tercekat dalam hati. "Belum puaskah? Uruasanku denganmu selesai!" tekannya. "Aku minta maaf" akhirnya kalimat ini tersampaikan. "Mudah bagi kami memaafkan. Silahkan pergi dari sini" ucapnya sambal menunjuk pintu terbuka. "Kakak, jangan usir tante mega. Lihat sekarang keadaanya?" Putri memohon. "Putri, dengarkan Kakak. Dia pernah membuat kita berantakan, dia menjadikan kita tawanan tidakkah kamu ingat perlakuan jahatnya?" ujar Adrian menjelaskan. Sebenarnya aku ingin pergi, namun aku tidak punya tempat lagi. "Tapi dia baik, tidak pernah sekali pun aku atau ibu di perlakukan buruk, Kak" ujar putri"Putri bagaimana pun dia tetap orang asing yang pernah menaruh kejahatan pada kita" tukas Andrian. "Tolong jangan berdebat karena aku. Aku akan pergi. Aku berjalan berbulan-bulan demi bisa menemui Kalian hanya berharap kalian me
○Bab 48Sepasang sepatu hitam mengkilat memijakkan kakinya di sini, serta beberapa pengawalnya. Siapa lagi? Ya, dia, Pak Burhan lelaki tua yang menjebakku di sini. "Bagaimana kabarmu wanita rendah?" sapa Pak Burhan. Kali ini aku tidak marah malah aku ngrasa benar menjadi perempuan rendah. "Apa kamu betah tinggal di sini?" tanyanya, aku juga melihat matanya tanpa ingin menjawab. Tetiba saja terlintas dibenakku tentang keluarga si kembar. "Ardi dan Andrian tidak salah. Kuharap Pak Burhan masih punya hati tidak menerlibatkan mereka dalam permainanmu" ucapku. Aku sungguh kasian jika melihat nasib mereka sepertiku, sebab terlepas ini semua mereka tidak bersalah. "Tentu saja saya punya hati tidak seperti kamu yang begitu tega dalam segala hal. Mereka telah hidup dengan damai tanpa ada kalian menjalani hari-hari seperti sebelumnya" perkataan Pak Burhan, biarpun menusuk namun membuatku merasa sangat lega. "Keluarkan dia" titah Pak Burhan pada bawahannya. Akhirnya aku bisa menghela naf
○Bab 47"Tia, aku mohon maafkan aku. Aku janji bakal ninggalin suamimu. Tapi tolong bebaskan aku, bukankah selama ini kamu mengejarku dengan selalu mengancam nyawaku" ujarku. "Iya. Aku selalu menghantuimu dengan rasa takut, bahkan resep obat untuk membuat gila, serta aku yang menggurkan bayimu. Ada yang lebih penting lagi dari ini" ungkap Tia."Apa? Bisakah kita berbicara dengan baik seperti biasanya?" tukasku. " Kamu itu ular mana mungkin aku mau berbicara baik denganmu. Semakin dibaikin malah mematokku" ujar Tia. "Mega, jika Andrian tidak melakukan kesalah di masalalu apa kamu akan tetap merebut suamiku?" tanya Tia. "Tentu saja tidak. Aku sangat mencintainya" jawabku. "Sudah kuduga. Kamu sangat mencintainya. Kamu tahu cara dia mati" ungkap tia. "Jangan-jangan kamu ..." aku menggantungkan kalimat. Berfikir bahwa Tia. "Aku yang menyuruh bekas suruhanmu untuk menghajarnya kemudian membawanya padaku. Sebenarnya dia masih hidup dan menceritakan tentang kalian. Perdunganku di pen
○Bab 46"Ya, kamu meninggalkan putriku saat dia mengandung anakmu. Dasar lelaki biadab!" maki Pak Burhan. "Siapa sebenarnya putri, Bapak?" "Laras dia putri saya" air mata lelaki iti luruh begitu saja. "Laras. Jadi dia... Sekarang dimana dia, Pak. Saya ingin bertemu kenapa tidak dia katakan kalau sedang hamil" ucap Mas Indra. "Dia bunuh diri setelah melahirkan anakmu" lelaki tua itu tak membendung lagi tangisnya bercampur emosi."Apa... " Raut wajah Mas Indra penuh penyesalan. Entah ada apa dibalik cerita ini. Sedangkan aku masih mencari tahu siapa selama ini yang ingin membunuhku. Belum sempat terbesit. Seorang wanita berpaikan dokter datang menghampiri lelaki tua itu. Dia adalah sahabatku, sekaligus istri sah Mas Indra. "Tia... Kamu" ucapku tak mengerti. "Iya aku, Meg. Aku tahu semuanya apa yang telah kamu sembunyikan dariku. Sungguh kamu sahabat paling jahat, tega merebut Mas Indra" ucapan tia menyambar hatiku, tia yabg manis dan lembut kini datar mukanya tak bermimik.
Bab 45"Kamu gak papa, Sayang," ucapku sambil mengelus bahu Andrian, lebih tepatnya aku meremasnya sebagai tanda jangan kaget."Ng ... Gak papa, kok" ucapnya sambil tersenyum ramah.Mereka saling berjabat tangan seolah tidak saling kenal."Ya, udah aku kembali ke kamar" Mas Indra berpamitan, sambil berjalan menjauh."Ya, kita juga belum selesai beberes" ucap Andrian berjalan masuk ke kamar sok sibuk. "Eh, besok kalian harus bangun pagi, ya. Kita kliling puncak" ucap Tia, berlalu pergi menyusul suaminya. Aku menutup pintu, dadaku yang tadinya berdegup kencang ada kelegaan, aku mendeprok depan pintu. "Gila kamu!" maki Andrian menghampiriku."Apaan sih?" Aku risih, suara Andrian mengejutkanku."Jadi ini alasan kamu, nyuruh aku buat jadi suami kamu" lantang Andrian sambil menggelengkan kepala. Aku tak mampu mengelak pasrah atas ucapan A
Bab 44.Perlengkapan dengan segala tetek bengeknya sudah disiapkan."Kita satu mobil atau gimana?" tanya Andrian sambil menenteng tas besar."Gak lah, kita ketemu di pos""Memangnya alamatnya mana sih?""Nih," aku menyodorkan handphone dengan mode gps."Jadi nanti kita ngikutin alamat ini. Udah berangkat belum mereka?" tanya Andrian."Sudah. Kita agak belakangan aja. Santai" Aku membuka bagasi mobil, sedangkan Andrian membawa koper.Aku dan Andrian, memasuki mobil aku menyuruh Andrian menyetir seseuai arah gps, sambil memberikan beberapa peraturan."Kamu nanti harus bisa acting. Tidak boleh ada mukamu yang mencurigakan. Kita harus terlihat seolah kita itu pasangan" ucapku disela-sela kesibukan Andrian."Soal acting gampang! Cuma kamu udah bilang belum sama suami aslimu?" balas Andrian."Dia tahu" ucapku acuh."Oh, iya. Yang
Bab 43."Kamu diapakan? Kenapa menangis seperti ini?" Andrian mengguncang bahu sang adik."Kamu jangan mengarang cerita yang tidak-tidak ya, aku tak melakukan kekerasan seksual" ancam Mas indra terang-terangan."Mas!" Aku melirik gemas."Cerita, Dik. Jangan bikin aku hawatir" ucap Andrian pada adiknya."Atau aku saja yang cerita?" tawar Mas Indra."Kami ingin mendengar dari mulut adiknya, Mas. Kamu bisa saja berkilah!" ucapku."Mega, please! Percaya aku. Aku memang menyiksanya tapi itu di alam bawah sadarku!" elak Mas Indra."Sudahlah, Mas. Sebaiknya kamu minta maaf. Agar adik Andrian tidak takut untuk menceritakan" nasehatku.Huh! Mas Indra mendengkus kesal. "Hei! Gadis kecil, Om, minta maaf atas perlakuan Om tempo hari. Om, melakukannya tanpa sadar. Lagian kamu yang cari masalah!" Mas Indra meminta maaf dengan kasar sambil menyalahkan. Entah apa yang terjadi sebenarnya?
Bab 42.Samar-samar terdengar suara Mas Indra, aku tidak dapat mendengar dengan jelas. Tetapi, aku yakin itu suaranya.Aku membuka mataku "Mas" kata yang pertama kuucapkan."Sayang, kamu harus istirahat dulu. Maafkan aku" ucapnya"Tidak papa, mungkin aku juga salah tidak membiarkanmu menjelaskan" tukasku."Jam berapa ini" aku menyibakkan tirai yang menutupi ruangan."Ya ampun, ini sudah siang. Kita ada perlu yang harus diselesaikan. Urusanmu dengan Andrian" aku mendengkus."Sayang, jangan terlalu memaksakan diri. Minum obatnya dulu" Mas Indra menyodorkan segelas air putih serta beberapa butir obat."Obat? Obat apa? Aku tidak sakit" tolakku."Kamu tadi pingsan, dokter baru saja pergi memeriksamu" jelas Mas Indra."Maafkan aku ini salahku" lanjutnya."Lalu, apa kata dokter" tanyaku."Kamu masih mengalami trauma, mungkin apa yang dilakukan mant
Bab 41Kluntang, buk, bak, gedabak, gedebuk...Suara mengagetkan rundingan kami, kami bertiga menoleh ke arah suara."Suara apa itu?" tanya Mas Indra."Ardi!" Andrian mengucapkan nama kembarannya."Saudaramu! Ayo, kita ke sana" tukasku.Kami bertiga berlari menuju tempat dimana Ardi di sekap.Klek... Pintu tidak langsung terbuka begitu saja, banyak tindihan di belakang sana, sangat sulit terbuka."Kenapa susah sekali" Andrian mendorong pintu susah payah."Mas, bantuin dong" pintaku. Mas Indra langsung menuruti. Dua lelaki itu saling berusaha, mengeluarkan segenap tenaga mereka.Brak...Bruk. barang-barang yang menghimpit pintu mulai terjatuh satu persatu sampai di akhirnya pintu dengan mudah di buka.Kaki Ardi bergelatung kebingungan, sedangkan mata dan lidahnya mencolot, tangannya menahan sebuah tali. Ini adalah pemandangan aksi bunuh diri.Andria