Home / Romansa / Dia yang Menghilang di Hari Lamaran / 4. RADIAN: Kabur ke Lombok

Share

4. RADIAN: Kabur ke Lombok

Author: Niswahikmah
last update Last Updated: 2021-07-26 12:19:47

Sembilan bulan yang lalu, aku meninggalkan Andina untuk menikah dengan seorang gadis yang belum lama kukenal. Dia adalah Rere, anak teman mamaku yang beberapa kali minta tolong padaku untuk mengantarnya ke sana-sini. Cewek itu bukan tipe idealku sama sekali. Badannya memang bagus, seperti gitar spanyol kata para lelaki, tapi sikapnya terlalu manja. Sangat anak mama. Tidak punya keahlian apa-apa selain merengek, dan tidak punya mimpi lain selain menikah dengan lelaki kaya. Jadi, sejak awal Mama memperkenalkannya padaku, aku tidak tertarik, apalagi sejak aku memiliki Andina.

Dina, panggilan akrabnya, sangat mandiri dan pekerja keras. Ia memiliki banyak impian dan selalu semangat mewujudkannya. Kalau ia tengah bercerita tentang mimpi-mimpinya, aku selalu terpukau dengan binar di mata serta tekad di dalam suaranya. Seperti ketika akhirnya Dina bisa meraih juara satu di kompetisi menyanyi nasional yang diadakan televisi, ia memang dengan gigih berusaha meraih mimpinya. Pelan tapi pasti.

Ia memiliki tujuan yang tidak kecil dan tidak sedikit, dan aku senang bisa menjadi tempatnya membagikan mimpi-mimpi. Hingga pada suatu hari, aku juga berhasil mendapat tempat untuk mimpinya. Menikah di usia 22. Kalau saja semua itu tidak tercuri dariku karena ulah konyol Rere.

Pada pagi hari saat usiaku baru saja bertambah menjadi 22, ia muncul di depan pintu rumah dengan para wartawan, mengatakan bahwa ia hamil anakku. Bukan saja heboh karena aku juga baru naik daun sebagai penyanyi dan hitku bersama Dina baru naik ke pasaran, juga karena Rere mengunggah semua itu ke platform media sosial dan memanggil para wartawan nasional—entah dengan cara apa.

Tidak bisa tes DNA sebelum anak itu lahir, pula bukti-bukti terpampang jelas di media. Foto yang tidak sesuai konteksnya. Memang, aku pernah mengatarkannya ke kelab dan terpaksa juga mengeluarkannya dari sana karena mabuk berat, tapi kami tidak melakukan apa-apa. Entah juga siapa yang mengambil foto-foto kontroversial, seolah aku tengah mengambil keuntungan darinya. Mungkin ia meletakkan kamera pengintai di kelab itu, atau ada temannya yang dengan iseng mengambil foto. Yang jelas, gosip yang terus-terusan tersebar, bahkan ia sengaja mengekspos diri di channel Youtube khusus gosip, membuat mamaku ambruk.

Begitu melihatnya kolaps di rumah sakit, aku tak tahan lagi. Dengan menikahi Rere, aku yakin semua berita akan segera reda. Aku tidak ingin menuntutnya karena Mama pasti akan sungkan pada ibu Rere yang merupakan temannya. Lagi pula, ibunya Rere terlalu baik. Beliau datang dengan air mata bercucuran, memintaku bertanggung jawab mengenai anak di dalam rahim Rere—yang entah anak siapa. Aku yakin seribu persen dia bukan anakku, tapi bagaimana kalau ingatanku salah?

Situasinya kacau dan tidak memungkinkan untukku berpikir jernih mengenai apa yang benar-benar terjadi malam itu. Jadi, di antara semua kegamangan, aku memutuskan Dina dan menahan perih melihatnya menangis di hadapanku.

“Maaf, Din, kamu pasti akan dapat yang lebih baik,” kataku saat mengakhiri semuanya. Yang sakit malam itu bukan hanya Dina, aku juga merasa hancur.

Persiapan pernikahan tidak memakan waktu lama. Hanya dalam sebulan, aku sudah menjadi suami dari gadis yang sama sekali tidak kucintai. Gadis yang menyebut namanya saja aku benci. Meski begitu, aku belajar merelakan masa lalu dan mencoba menghadapi masa depan bersama Rere. Sampai aku mendengar pembicaraannya dengan sang ibu di telepon.

“Lho, emangnya aku pernah bilang kalo anak itu anaknya Radi? Aku cuma bilang, aku bakal nikah sama Radi, gitu aja kan, Ma?”

“….”

“Ya, anaknya cowokku yang dulu itu. Dia kabur gitu aja. Kebetulan waktu itu Radi sempet nolongin aku pas pingsan di kafe, dan sejak saat itu aku suka sama dia.”

“….”

“Udah lah, Ma. Selama Mama diem aja, nggak bakal ketahuan. Mama juga udah dapet uang banyak dari Radi, mau dikembaliin? Pake apa?”

“Jadi selama ini kamu bohong?!” gertakku langsung, memotong percakapannya dengan sang ibu di telepon.

Hari itu juga, meski ia memohon-mohon dengan air mata buaya, aku bertekad melakukan tes DNA dan menceraikannya selepas kelahiran sang anak. Rere mungkin cantik, tapi ia adalah wanita penuh tipu daya.

***

Aku bertemu Dina tiga tahun lalu, di gedung tempat karantina para calon penyanyi sebuah kompetisi. Kami mengikuti kompetisi menyanyi di channel televisi yang berbeda, tapi karena gedungnya dekat, maka tempat karantinanya disatukan. Dina di lantai sepuluh, aku di lantai dua belas gedung tersebut. Meski beda dua tingkat, banyak di antara kontestan kedua kompetisi berteman satu sama lain, termasuk aku dan Dina.

Setelah tiga tahun berlalu, kecantikan Dina justru semakin terpancar. Seperti pagi ini, ketika aku mengamatinya tengah tertidur di salah satu kamar di cottage-ku. Malam tadi benar-benar penuh adrenalin. Bayangkan, calon pengantin wanita minta dibawa kabur oleh mantan kekasihnya. Itu sungguh kenekatan paling nekat yang pernah kulakukan seumur hidup. Namun, melihat wajah Dina semalam, rasanya seperti melihatnya setahun yang lalu, memohonku untuk tidak menikahi gadis licik itu. Aku sudah pernah menolak permohonannya sekali, jadi tak sanggup menolaknya sekali lagi.

Saat aku mengantarnya kembali ke rumah, dan ia mengendap-endap di pukul dua belas malam untuk mengepak baju di koper, sebenarnya aku ingin membatalkan rencana.

“Kamu yakin, Din? Tapi hari ini harusnya kamu ….”

Dina memasukkan kopernya ke bagasi, kemudian menutupnya. Ia menatapku, berkata, “Pernikahannya masih sebulan lagi. Aku butuh relaks dan mikirin semuanya. Kamu … sepertinya juga butuh hal yang sama, kan, sebelum perceraianmu?”

Mengerjap dua kali, aku akhirnya mengangguk. Ia lebih dulu masuk mobil, dan saat aku akhirnya masuk juga, ia tersenyum. Tangannya mulai mengutak-atik radio untuk menemukan saluran yang cocok. Dan, senyum itu memberiku sebuah energi untuk menentukan destinasi.

“Kamu pasti punya ide, kan, kita mau ke mana?” tanya Dina, setengah menguap, setelah menemukan saluran radio yang memperdengarkan lagu-lagu jazz Barat. Kebiasaan kecil yang mengingatkanku pada hari-hari penuh warna bersamanya dulu.

Aku menekan gas, berputar balik untuk menuju bandara. “Masih mungkin buat naik penerbangan terakhir ke Lombok.”

“Lombok?!” jeritnya kaget, melotot padaku.

Menyeringai, aku menyahut, “Kamu sendiri yang minta aku ajak pergi, kan? Chill, Dina.” Mobil meluncur mulus, dan Dina tidak bicara apa-apa lagi sampai kami mendapat tiket dan masuk ke ruang pesawat itu setelah menyimpan kopernya di bagasi pesawat.

Morning, Radi.” Suara serak itu membuyarkan kilas balik semalam di kepalaku. Mataku mendapati ia baru terbangun, mengerjap dan mengucek matanya, lalu tersenyum.

Aku yang tengah duduk di lantai sebelah kasurnya, mengusap kepalanya sekilas, balas tersenyum. “Morning, Dina.” Pikiranku berkelana, membayangkan seandainya ini hari pertama usai pesta pernikahan kami. Namun, anganku terbentur oleh realita bahwa aku justru tengah menculik seseorang yang harusnya akan dilamar hari ini.

Menghilangkan bayangan buruk, aku beranjak berdiri dan mengulurkan tangan. “Mau jalan-jalan bentar? Pemandangan pagi di sini bagus banget, lho.”

Ia memercayakan tangannya padaku, minta kutarik hingga bisa berdiri tegak. Dengan suara serak, ia bertanya, “Jam berapa?”

Aku menunjuk jam dinding, dan ia mengikuti arah telunjukku. “Jam enam pagi. Kamu nggak ngecek hape?”

“Aku matiin. Kamu tahu, kan, notifnya bisa jebol kalau aku buka sekarang.”

Nyaris saja rahangku jatuh melihat betapa santainya ia mengatakan itu. Tidakkah ia menyesali keputusannya? Saat kami baru keluar dari kamar dan menyambut sinar mentari pagi di luar cottage dengan tangan saling bertaut, aku mulai bertanya padanya.

“Kamu … nggak nyesel? Pengen balik, mungkin?”

Dina menerawang di ujung tangga cottage, menyandarkan sebelah tangan pada kayu pegangan di teras. Lalu, menggeleng sederhana. “Kamu tahu, ini yang aku bayangin akan aku lakuin di hari pernikahanmu. Tapi nggak pernah kesampean.” Perlahan, ia maju dan dadaku serasa akan meledak ketika ia memelukku. Aroma khas parfumnya masih tertinggal di kardigan yang ia kenakan, bercampur dengan aroma embun pagi.

“Dina, I love you,” bisikku saat membalas pelukannya.

Ini salah. Tapi aku akan memanfaatkan kesalahan ini sebaik mungkin, sebelum Dina kembali waras.

***

Untuk melihat daftar karya author dan jadwal update, cek di IG: @sayapsenja

Related chapters

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   5. ANDINI: Penyamaran

    Baru saja aku akan buka mulut untuk menjawab omongan Riza, pintu kembali terbuka dan orang-orang yang tidak kukenal berbondong-bondong masuk. Salah satunya cewek berambut mengombak tadi, disusul wanita berhijab yang tampak dewasa, dan ada satu laki-laki yang berjalan dengan gemulai.“Nggak ada banyak waktu lagi, Za. Harus mulai make up sekarang. Lo juga keliatan kacau gini, touch up lagi ya, di ruang sebelah.” Cewek itu mulai bicara. Riza langsung berdiri, mengangguk setuju. Ia sempat menoleh padaku, memberiku tatapan hangat, lantas berlalu menuju pintu.“Mbak, aku ….” Lagi-lagi ucapanku terpotong dengan suara derap langkah seseorang yang masuk ruangan. Aku menoleh untuk mendapati Papa menatapku serius.“Saya mau bicara berdua dulu dengan anak saya,” kata Papa. Matanya sempat berganti menatap orang-orang di situ yang kuduga adalah stylist dan make up artist yang sudah disewa oleh Dini

    Last Updated : 2021-07-27
  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   6. RIZA: Sikap yang Berbeda

    “Gimana kalau kamu berjilbab, Say?” Aku mencoba mendapatkan atensinya saat ia tengah sibuk mengambil selfie di kafe tempat kami berkunjung. Itu kafe yang mengundangnya untuk urusan endorsement, jadi sejak tadi ia berkutat mencari angle yang bagus untuk mengambil foto.Saat mendengar tawaranku, ia langsung menoleh dengan wajah seperti tak percaya. “Apa? Jilbab?” Ia mengulang, seolah khawatir salah dengar.Aku mengambil alih ponselnya, menunjuk salah satu sudut, lantas memotretnya. Saat kutunjukkan hasilnya, ia melonjak senang. “Kalo kamu yang foto, selalu cantik! Makasih, ya, Za.”“Itu maksudku,” sahutku, “akan lebih cantik lagi kalau kamu berjilbab.”Ia mengerutkan kening. “Kamu tahu kan, Za, karierku lagi tinggi-tingginya ….”Aku angkat bahu. “Bukannya kamu dulu juga berjilbab, waktu masih sekolah? Justru sekarang, kamu udah punya banyak

    Last Updated : 2021-07-29
  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   7. ANDINA: To Do List

    Ini keputusan paling nekatku seumur hidup. Mungkin kalian akan bilang aku bodoh, menyia-nyiakan sebuah pernikahan yang sudah ada di ambang mata hanya demi mengejar ekstase semu, tapi … ingat, kalian bukan aku, dan tak pernah tahu rasanya jadi aku.Sebulan sebelum hari lamaran, persiapan pernikahan mencapai lima puluh persen. Aku tidak berhenti mendapatkan teror melalui media sosial, mulai dari orang yang kenal sampai yang tak pernah bertemu sama sekali.Riza itu playboy, ngapain mau sama dia?Yakin mau nikah sama Riza? Dulunya tukang bully di sekolahAh, panjat sosial aja sih? Nikah demi uang?Nggak bakal langgeng! Gue sumpahin cerai!Isi direct message di Instagram dan Twitter-ku seperti itu. Setiap aku ingin mengunggah sesuatu, jika terpencet ke kotak masuk, amarahku langsung mendidih. Terakhir, aku membanting ponsel sampai pecah karena membaca komentar kasar saat sedang

    Last Updated : 2021-07-31
  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   8. ANDINI: Memilih Jujur

    “Ada bocoran mengenai tanggal pernikahan?”Riza di sebelahku menggeleng. “Itu masih kami rahasiakan. Yang pasti, tidak lama lagi.”Para wartawan semakin semangat mengajukan pertanyaan. Sementara aku juga semakin tidak nyaman. Khawatir penyamaran ini ketahuan karena aku kesulitan mengatur mimik muka. Akhirnya, dengan terpaksa, tanganku memberikan kode ke Riza, meremas lengan bawahnya yang harus kugandeng sedari tadi.Ia menoleh padaku dengan alis menukik, dan aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berharap ia paham maksudku—sekalipun aku bukanlah calon istrinya. Tak lama, ia kembali fokus ke kamera dan … syukurlah, ia memahami maksudku.“Maaf ya Mas, Mbak, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti. Saya dan Dina capek banget, perlu istirahat,” ujarnya luwes. Nada suaranya lembut, tapi mendominasi dan mengontrol. Ada kekuatan khas di dalamnya, yang membuat sebagian besar wartawan itu memutuskan mundur. Hanya beberapa

    Last Updated : 2021-08-01
  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   9. RADIAN: Mempertahankan Jodoh

    WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca.***“Din, aku udah masakin omelet nih. Ayo bangun,” aku melangkah masuk ke kamar Andina setelah mengetuk dua kali. Kebetulan pintunya tidak ditutup rapat, sehingga aku yakin ia sedang tidak berganti baju atau melakukan sesuatu yang privat.Saat aku masuk, jantungku mencelus melihatnya tengah merapikan barang-barang yang semula tertata di meja. Ia bahkan mengeluarkan kembali pakaian yang sudah dikapstok di lemari.“Din … kamu mau ke mana?”Otomatis ia menoleh. Sekilas kulihat bahunya berjengit mendengar suaraku, seolah ia tengah mengendap-endap akan kabur dari sini. Matanya menatapku sejenak, kemudian kembali mengemasi kosmetik yang berjajar di meja rias.“Aku harus balik ke Jakarta, Rad. Ini nggak bener. Aku nggak harusnya pergi.”Aku mendelik. Secepat ini

    Last Updated : 2021-08-03
  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   10. ANDINI: Masalah Belum Selesai

    Pintu rumah itu megah sekaligus asing di mataku. Berapa lama sejak aku terakhir menginjakkan kaki di rumah Papa? Dalam setahun, mungkin bisa dihitung jari aku mengunjunginya. Selain karena ia selalu sibuk dengan urusan perusahaan, aku juga tidak merasa dekat untuk sering-sering datang. Dari Bandung ke Bogor tidak jauh, tapi bagiku, terasa seperti ujung dunia. Aku hanya enggan untuk terlalu banyak ikut campur dengan hidup orang yang telah menggoreskan luka di hati Mama.Jadi, ketika aku harus berjalan sendirian dari gerbang depan tadi, sudah kelima kalinya aku berpikir untuk kembali dan memesan taksi online untuk pergi ke stasiun, lalu pulang ke Bandung. Aku bahkan sudah mengetik chat ke Mama, bertanya posisinya di mana. Kalau ia masih belum jauh, aku bisa minta dijemput saja. Namun, mungkin Mama sudah sampai rumah, atau entahlah. Riza tidak mengebut, tapi juga tidak pelan dalam menyetir. Sisa perjalanan aku terpaksa pura-pura tidur karena enggan diinterogasi

    Last Updated : 2021-08-04
  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   11. RIZA: Dia Bukan Andina

    Sulit untuk bisa berpikir jernih di situasi sekarang. Aku baru saja merasa begitu lega bahwa acara hari ini berjalan lancar. Bapak dan Ibu juga tampak begitu terharu selama prosesi tadi. Akhirnya, aku berhasil menikah. Semua kata-kata orang yang meragukan cintaku dan Andina itu salah. Aku membungkam mereka semua dengan langsung menunjukkan di depan mata mereka, lewat televisi dan media sosial, bahwa kami memang definisi cinta sejati. Tinggal tunggu sebulan, dan aku bisa menunjukkan pada mereka semua yang nyinyir bahwa hidupku baik-baik saja meski mereka mengutuk dan menyumpahiku yang buruk-buruk hanya karena iri.Namun, begitu Andini—benarkah itu namanya? Aku tak fokus saat melihat kartu tanda pengenalnya tadi—mengatakan yang sesungguhnya, seperti ada sesuatu tak kasat mata yang menamparku. Membuang semua angan-angan dan kebahagiaan dalam sekejap.Rasa syok membuatku linglung dan tidak bisa bicara apa-apa sepanjang perjalanan. Hanya bisa membodoh-bodohkan d

    Last Updated : 2021-08-05
  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   12. ANDINA: I Still Love You

    Tidak ada waktu untuk memikirkan mengenai lamaran yang jadi dihadiri Andini, bukannya aku. Juga aku tidak lagi berpikir untuk kembali ke Jakarta meski sadar Riza telah meninggalkan berpuluh-puluh panggilan saat tadi aku sempat mengecek ponsel. Ini karena Radi sudah membawaku naik Range Rover menuju destinasi pertama yang akan kami kunjungi, yaitu pantai. Sepanjang jalan, dengan kaca mobil dibuka, aku bisa merasakan angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan helai rambut yang mencuat meski sudah kuikat rapi. Jalanan di sini tergolong sepi, dan langitnya begitu biru.“Kamu tahu nggak, kenapa harus pakai Range Rover ini?” Radi memecah fokusku yang tengah memejamkan mata, menikmati angin. Sedikit lebih lama, mungkin aku tertidur.Aku menoleh, kemudian menggeleng padanya.“Karena nanti jalannya nggak bagus. Banyak kerikilnya,” jawab Radi. “O ya, kamu bisa tidur dulu soalnya masih agak jauh perjalanan. Sekitar sejam lagi.”Aku me

    Last Updated : 2021-08-11

Latest chapter

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   22. ANDINA: Terungkap

    WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   21. RERE: Dia Anakmu

    “Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   20. ANDINA: Rumor Nyata

    Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   19. RIZA: Lagi-Lagi Skenario

    Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   18. RADIAN: Sisi Lain Andina

    Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   17. ANDINA: Malam Tak Terduga

    WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   16. RIZA: Sandiwara

    “Uhuk! Uhuk! Iya, nih, tiba-tiba gue nggak enak badan pas bangun tidur. Maaf ya, Mbak. Iya, iya, gue kirimin brief buat unggahan hari ini. Udah gue siapin semalem.”“Eh? Nggak. Gue nggak bisa tidur semalem, jadi daripada bingung mau ngapain, mending gue kerjain aja, kan?”Aku menahan senyum mendengar alibi yang dituturkan Andini pada rekan kerjanya. Ia masih meminta maaf dua kali lagi sebelum akhirnya menutup telepon. Kudengar helaan napas beratnya. Kami ada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Gusti kusuruh langsung datang ke lokasi shooting dengan alasan aku ingin berduaan saja dengan Andina, padahal sebenarnya aku hanya ingin menjaga rahasia ini.“Kak, aku nggak bisa jadi orang galak.” Tiba-tiba Andini bicara, membuatku menoleh dan mendapati wajahnya terlipat. Terlihat jelas bahwa ia khawatir sekaligus bimbang. Perasaannya pasti campur aduk karena urusan hilangnya saudari kembarnya ini.“D

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   15. ANDINI: Kebohongan Kedua

    Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd

  • Dia yang Menghilang di Hari Lamaran   14. RIZA: Pernikahan yang Gagal

    “Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan

DMCA.com Protection Status