Sulit untuk bisa berpikir jernih di situasi sekarang. Aku baru saja merasa begitu lega bahwa acara hari ini berjalan lancar. Bapak dan Ibu juga tampak begitu terharu selama prosesi tadi. Akhirnya, aku berhasil menikah. Semua kata-kata orang yang meragukan cintaku dan Andina itu salah. Aku membungkam mereka semua dengan langsung menunjukkan di depan mata mereka, lewat televisi dan media sosial, bahwa kami memang definisi cinta sejati. Tinggal tunggu sebulan, dan aku bisa menunjukkan pada mereka semua yang nyinyir bahwa hidupku baik-baik saja meski mereka mengutuk dan menyumpahiku yang buruk-buruk hanya karena iri.
Namun, begitu Andini—benarkah itu namanya? Aku tak fokus saat melihat kartu tanda pengenalnya tadi—mengatakan yang sesungguhnya, seperti ada sesuatu tak kasat mata yang menamparku. Membuang semua angan-angan dan kebahagiaan dalam sekejap.
Rasa syok membuatku linglung dan tidak bisa bicara apa-apa sepanjang perjalanan. Hanya bisa membodoh-bodohkan diri sendiri, kenapa tidak mengenali bahwa wanita di sebelahku bukan Andina? Dan kenapa Andina tidak memberitahuku bahwa ia punya kembaran? Lebih dari itu, bisa-bisanya selama ini media tidak pernah memberitakan hal ini? Apa Andina sengaja menyembunyikan itu?
Kemudian, mulai terputar kilas balik acara lamaran tadi di kepalaku.
Pantas saja.
Terbayang bagaimana wanita itu tidak mau kusentuh, menjauh ketika aku berusaha mendekatinya, menjawab dengan jawaban yang sangat-tidak-Andina, dan tidak banyak bicara. Secara fisik, ia sama persis dengan calon istriku. Bukan hanya aku yang tertipu, tapi semua kru tadi tidak ada yang menyadarinya. Namun, secara sikap, ia memang sangat berbeda.
Belum lagi bayangan ketika ia makan masakan padang di warung yang tak begitu mewah tadi. Ia pasti punya selera yang berbeda dengan Andina, makanya sangat menikmati itu. Aku menepis rasa kecewa bahwa mungkin Andina tidak akan memberi respons yang sama seperti itu kalau kuajak ke sana.
Di jalan, gadis itu menyandarkan diri di kaca mobil dan akhirnya tertidur. Aku sesekali mencuri pandang, mencoba mencari perbedaan fisiknya dengan Andina. Sulit sekali menemukannya karena memang tidak ada. Bentuk tubuhnya pun selangsing Andina. Tingginya juga sepertinya sama. Bedanya mungkin hanya gadis ini sudah berjilbab lebih dulu daripada kembarannya.
Aku menghela napas. Perjalanan dari Jakarta ke Bogor yang biasanya penuh canda tawa antara aku dan Andina, diseling dengan bergantian memindah saluran radio, kini menjadi sangat hening. Saat tiba di depan rumah megah di kawasan elite yang sudah sering kusambangi itu, Andini segera turun setelah sekali lagi meminta maaf.
Sebenarnya, aku agak kasihan dengan wajahnya yang tampak benar-benar merasa bersalah. Namun, karena perasaanku masih kacau, aku hanya bisa menatapnya tanpa bilang apa-apa. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, pikiranku semakin berbelit.
Bagaimana cara menjelaskan ke Bapak dan Ibu mengenai tragedi ini? Kalau begitu, lamaran tadi tidak benar-benar dihadiri calon pengantin perempuan? Jadi, apa Andina benar-benar ingin membatalkan pernikahan?
“Insya Allah, Andina bersedia.” Ah, pantas saja ia menjawab begitu, karena sejatinya bukan ia yang memberi jawaban. Namun, sekarang jika dipikir lagi, jawaban itu tidak sepenuhnya bohong. Sesaat aku merasa terkesan dengan sikap Andini.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku, meletakkannya di sandaran ponsel di dekat pendingin mobil. Sambil menyetir, aku membuka W******p dan melihat ruang chat-ku dengan Andina. Pesan-pesan terakhirku belum dibaca. Aku mencoba meneleponnya lagi, tapi tetap tidak ada jawaban.
“Where the hell are you, Ndin?” Kuembuskan napas kasar, sementara kakiku menekan pedal gas lebih kencang untuk meningkatkan kecepatan.
Sampai di rumah, aku langsung mandi air dingin demi mendapatkan kesegaran. Amarah, kalut, dan sedih bercampur jadi satu dalam kepala. Pertanyaan “kenapa” terus berputar-putar.
Kenapa Andina tega melakukan ini padaku setelah dia tahu semua ceritaku?
Kenapa keluarga Andina harus menutupi ini dan malah menyuruh kembarannya berbohong?
Kenapa juga Andina tidak pernah menceritakan, setidaknya padaku jika memang tak mau media tahu, tentang kembarannya? Apa aku tidak sepenting itu baginya?
Usai mandi dan melaksanakan salat asar, aku menekuri ponsel, teringat bahwa tadi sebelum Andini turun, aku sempat meminta nomornya.
“Kalo kamu memang niat minta maaf, saya minta nomormu,” kataku padanya.
Ia menatap sejenak ponsel yang kusodorkan, sebelum memberikan nomor tanpa banyak tanya. Sekarang, aku menatap nama kontak ‘Andini’, menimbang beberapa kali sebelum mengirim pesan padanya.
Kalau memang Andina kabur, setidaknya aku harus tahu alasannya dan di mana keberadaannya kini. Dan, kalau pun ia menginginkan hubungan ini berakhir, aku juga ingin menyelesaikannya baik-baik.
***
“Kamu kenapa, Riz? Kok dari pulang tadi, Ibu lihat muka kamu keruh banget?” Pertanyaan Ibu mengembalikanku dari lamunan. Pikiranku porak poranda, lari ke mana-mana. Pekerjaan yang masih menumpuk harus dikerjakan kembali mulai besok, tapi urusan dengan Andina belum ketemu titik terang.
Aku menatap Ibu, kemudian berpindah ke Bapak yang tengah mengunyah makanan. Ia menaikkan alis, pertanda memiliki pertanyaan yang sama.
“Ndak ada apa-apa, Pak, Bu. Cuma lagi mikir kerjaan,” sahutku.
Ibu meneguk air putih, kemudian kembali mengamati wajahku. Ia tidak mudah percaya. “Ngapain kerjaan dipikir? Biasanya juga kamu have fun aja. Kamu itu kerja rasa main.”
Mau tak mau, aku tertawa melihat gestur Ibu. Teringat dulu Bapak selalu ngomel-ngomel kalau aku hanya sibuk main di depan komputer dan ponsel. Sekalinya keluar rumah nggak pulang-pulang, bahkan sampai menginap di rumah teman segala. Namun, sebenarnya saat itu aku tengah memperjuangkan banyak hal, mencoba berbagai bidang baru. Mulai dari modelling, akting, belajar fotografi, sampai menulis lagu segala.
Sampai dari semua itu, aku bisa menekuni modelling dan pengembangan sosial media. Istilahnya sekarang adalah influencer. Sejak itu, aku mulai menemukan angin segar untuk karierku. Mulai berdatangan tawaran untuk mempromosikan barang maupun jasa dari brand kecil, lalu merambat ke brand-brand besar.
“Ya, capek aja Bu, abis lamaran kayak gitu, masih harus kerja lagi.” Aku mencoba menenangkan Ibu, tersenyum lebih lebar.
Bapak manggut-manggut. “Memang calon istri ko tuh, yang bikin ribet. Nikah sederhana saja Bapak bilang, tapi dia tak mau.”
Ibu membela, “Ya jangan sampe nikahnya sama sederhana kayak kita, Pak. Kan itu momen sekali seumur hidup. Walau itu agak terlalu mewah, tapi yang penting Andina seneng.” Dari awal bertemu, Ibu sangat respek dengan Andina. Ia menyayangi gadis itu seperti putrinya sendiri.
“Semua perempuan memang sama saja. Tak Andina, tak ibumu. Kita yang harus sabar-sabar, Riz.” Bapak mengerling padaku, tapi lantas mengaduh saat Ibu mencubit lengannya. “Bercanda, Ros.” Ia nyengir pada Ibu. Meski tampangnya garang, hati Bapak seperti Hello Kitty. Lembut, apalagi kalau sudah sama Ibu, tapi memang jarang menyatakan cinta langsung lewat kata-kata.
Aku hanya tersenyum tipis, lalu melanjutkan makan dengan cepat. Biarpun terasa hambar di lidah, tetap aku harus habiskan agar Ibu tidak khawatir. Setelah makan, aku membalas beberapa pesan dari manajer mengenai jadwal kerjaku besok. Ada beberapa pemotretan dan pengambilan video untuk promosi produk. Jadwal yang mulanya kutunda karena persiapan lamaran, sekarang menerjang bagai air bah. Belum lagi beberapa brand yang mensponsori pernikahanku juga akan meminta imbal balik.
Satu pesan terakhir dari manajer membuatku tercenung.
Gusti (Manajer)
Jangan lupa, lusa ada promo yang bareng Andina. Ingetin dia juga, kali aja lupa
Sontak dadaku berdebar. Bagaimana ini? Aku benar-benar lupa kalau ada beberapa tawaran promosi yang sempat masuk dan memintaku membawa Andina ikut serta. Jempolku otomatis memencet panggilan lagi ke gadis itu, tapi masih sama. Belum ada jawaban, masih di luar jangkauan.
Akhirnya, aku hanya bisa merebahkan tubuh ke kasur. Apa aku harus jujur saja? Namun, jemariku yang masih menggulir layar ponsel, mendapati beberapa notifikasi dari trending Twitter dan I*******m. Betapa banyak yang memberikan selamat pada kami. Foto-foto lamaran hari ini membanjiri beranda, belum lagi berbagai potongan video yang memenuhi TikTok dan Reels I*******m. Akan jadi bencana kalau sampai orang-orang tahu.
Belum usai pusing memikirkan ini, tiba-tiba ponselku berdering. Nama ‘Papa Mertua’ muncul di layar, membuatku spontan duduk kembali, menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.
“Assalamualaikum, Pa,” sapaku, sementara pikiranku bingung bagaimana harus bersikap di hadapan calon mertua. Lebih bingung daripada hari aku melamar Andina langsung di hadapannya.
“Waalaikumsalam. Riza, Papa langsung saja. Papa minta maaf untuk hari ini. Andina benar-benar mengecewakan Papa.”
Mendengarnya, aku merasa seperti dijatuhi bom. Benar pengakuan Andini, semua ini jelas bukan keinginannya semata. Ini suruhan orang tuanya. Saking kagetnya, aku benar-benar tak merespons apa-apa pada perkataannya.
Dengan suara tenang, Papa melanjutkan, “Tapi kamu tenang saja. Papa akan segera temukan Andina. Sementara ini, semua pekerjaan Andina biar di-handle Andini. Mereka kembar.”
Apa? Kupingku tidak salah dengar, kan? Aku tak habis pikir mendengarnya. Dan, kenapa pula suara lelaki di seberang ini terdengar sangat tenang, seolah tak terjadi sesuatu yang serius? Ini benar-benar aneh.
Tidak ada waktu untuk memikirkan mengenai lamaran yang jadi dihadiri Andini, bukannya aku. Juga aku tidak lagi berpikir untuk kembali ke Jakarta meski sadar Riza telah meninggalkan berpuluh-puluh panggilan saat tadi aku sempat mengecek ponsel. Ini karena Radi sudah membawaku naik Range Rover menuju destinasi pertama yang akan kami kunjungi, yaitu pantai. Sepanjang jalan, dengan kaca mobil dibuka, aku bisa merasakan angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan helai rambut yang mencuat meski sudah kuikat rapi. Jalanan di sini tergolong sepi, dan langitnya begitu biru.“Kamu tahu nggak, kenapa harus pakai Range Rover ini?” Radi memecah fokusku yang tengah memejamkan mata, menikmati angin. Sedikit lebih lama, mungkin aku tertidur.Aku menoleh, kemudian menggeleng padanya.“Karena nanti jalannya nggak bagus. Banyak kerikilnya,” jawab Radi. “O ya, kamu bisa tidur dulu soalnya masih agak jauh perjalanan. Sekitar sejam lagi.”Aku me
Pagi akhirnya tiba. Begitu membuka mata, aku langsung meraba nakas untuk memeriksa ponsel. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Pesan yang kukirim ke Andina tetap tidak dibalas. Centang satu, pula. Aku menghela napas, meletakkan benda pipih itu dan bersegera salat Subuh saat mendengar azan berkumandang. Usai salat, aku menuju dapur. Daripada kepikiran mengenai pekerjaan yang kemungkinan harus kutinggalkan jika memang Andina nekat tidak pulang, lebih baik aku memasakkan Mama sesuatu. Kudengar, Papa mempekerjakan pembantu, tapi baru datang siang hari. Pagi-pagi Papa tidak terbiasa sarapan, jadi pembantu itu hanya memasak untuk makan malam dan membersihkan rumah saja. Tidak terbayang seperti apa asupan gizi Papa dan Andina selama ini. Makan di luar terus, tentu tidak bisa mengatur seberapa banyak kandungan protein, vitamin, dan karbo yang ada di situ. Apalagi kalau makanan siap saji. Meski hanya disiapkan untuk memasak makan malam, tapi kulkas di dapur penuh dengan bah
“Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan
Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd
“Uhuk! Uhuk! Iya, nih, tiba-tiba gue nggak enak badan pas bangun tidur. Maaf ya, Mbak. Iya, iya, gue kirimin brief buat unggahan hari ini. Udah gue siapin semalem.”“Eh? Nggak. Gue nggak bisa tidur semalem, jadi daripada bingung mau ngapain, mending gue kerjain aja, kan?”Aku menahan senyum mendengar alibi yang dituturkan Andini pada rekan kerjanya. Ia masih meminta maaf dua kali lagi sebelum akhirnya menutup telepon. Kudengar helaan napas beratnya. Kami ada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Gusti kusuruh langsung datang ke lokasi shooting dengan alasan aku ingin berduaan saja dengan Andina, padahal sebenarnya aku hanya ingin menjaga rahasia ini.“Kak, aku nggak bisa jadi orang galak.” Tiba-tiba Andini bicara, membuatku menoleh dan mendapati wajahnya terlipat. Terlihat jelas bahwa ia khawatir sekaligus bimbang. Perasaannya pasti campur aduk karena urusan hilangnya saudari kembarnya ini.“D
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k
Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg
Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek
WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”
“Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d
Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag
Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek
Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k
“Uhuk! Uhuk! Iya, nih, tiba-tiba gue nggak enak badan pas bangun tidur. Maaf ya, Mbak. Iya, iya, gue kirimin brief buat unggahan hari ini. Udah gue siapin semalem.”“Eh? Nggak. Gue nggak bisa tidur semalem, jadi daripada bingung mau ngapain, mending gue kerjain aja, kan?”Aku menahan senyum mendengar alibi yang dituturkan Andini pada rekan kerjanya. Ia masih meminta maaf dua kali lagi sebelum akhirnya menutup telepon. Kudengar helaan napas beratnya. Kami ada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Gusti kusuruh langsung datang ke lokasi shooting dengan alasan aku ingin berduaan saja dengan Andina, padahal sebenarnya aku hanya ingin menjaga rahasia ini.“Kak, aku nggak bisa jadi orang galak.” Tiba-tiba Andini bicara, membuatku menoleh dan mendapati wajahnya terlipat. Terlihat jelas bahwa ia khawatir sekaligus bimbang. Perasaannya pasti campur aduk karena urusan hilangnya saudari kembarnya ini.“D
Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd
“Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan