Ini keputusan paling nekatku seumur hidup. Mungkin kalian akan bilang aku bodoh, menyia-nyiakan sebuah pernikahan yang sudah ada di ambang mata hanya demi mengejar ekstase semu, tapi … ingat, kalian bukan aku, dan tak pernah tahu rasanya jadi aku.
Sebulan sebelum hari lamaran, persiapan pernikahan mencapai lima puluh persen. Aku tidak berhenti mendapatkan teror melalui media sosial, mulai dari orang yang kenal sampai yang tak pernah bertemu sama sekali.
Riza itu playboy, ngapain mau sama dia?
Yakin mau nikah sama Riza? Dulunya tukang bully di sekolah
Ah, panjat sosial aja sih? Nikah demi uang?
Nggak bakal langgeng! Gue sumpahin cerai!
Isi direct message di I*******m dan Twitter-ku seperti itu. Setiap aku ingin mengunggah sesuatu, jika terpencet ke kotak masuk, amarahku langsung mendidih. Terakhir, aku membanting ponsel sampai pecah karena membaca komentar kasar saat sedang datang bulan.
Sekarang, di pinggir pantai dekat cottage milik Radian, nyaris tidak ada orang sama sekali. Sudah sekitar delapan jam sejak aku terakhir kali memeriksa ponsel. Usai mengirimkan Riza pesan singkat, aku mematikan ponsel, sebelum menikmati penerbangan singkat kelas eksekutif dengan Radian di kursi sebelah.
Aku menerawang ke langit yang membiru, menatap kelepak burung menghiasi angkasa. Kapan terakhir kali aku menghirup udara sebebas ini? Ombak berkejaran di jemari kakiku, sementara tanganku hangat dalam genggaman Radi.
“Mau naik ayunan itu, Din?” Pertanyaan Radi membuyarkan lamunanku. Pandanganku yang sebelumnya mengira-ngira di mana ujung air laut yang warnanya menyatu dengan langit, langsung teralihkan pada senyum lembut berlesung pipi itu.
Aku mengangguk, mengayun-ayunkan tangannya pelan seperti anak kecil. Saat tiba di sana, aku duduk di ayunan bertali karet itu, ia berdiri di belakangku dan mendorongku hingga melayang pelan. Meski aku dan dia seumuran, aku selalu merasa berhak bermanja dengannya dari dulu. Ia sosok yang hangat, tidak keberatan dengan sikapku yang kekanak-kanakan, tidak juga berusaha mengatur bagaimana aku harus bertingkah.
“Belakangan ini … job sepi, Rad?” tanyaku sembari menikmati semilir angin membelai wajah.
“Justru lagi banjir sejak itu anak lahir,” sahut Radi, “tapi pada aku tolak.”
Aku manggut-manggut, menengok sekilas ke atas untuk menemukan wajahnya. “Kenapa? Bukannya bagus banyak iklan masuk?”
Ia menghentikan gerak ayunan itu, lalu melangkah ke hadapanku dan berjongkok. Tangannya menyentuh lututku. “Bener kata ibuku dulu, uang nggak bisa membeli kebahagiaan. Aku nggak pernah bahagia selama pernikahan. Yang ada nyesel tiap hari. Dan … waktu lihat berita kamu mulai deket sama Riza … aku lebih nyesel lagi.”
Mata kami beradu, dan aku menemukan riak-riak di dalamnya. Sesuatu seakan telah lama terpendam, dan kini meluap-luap di sana. Tiba-tiba aku teringat binar di mata Riza saat memintaku secara privat di hadapan Papa. Saat itu Papa terlihat semringah. Bagaimana ekspresinya kini, jika mengetahui aku memilih kondisi yang tidak masuk akal, hanya demi bersama lelaki yang dulu meninggalkanku?
“Kamu inget nggak, Rad, aku punya mimpi … nikah di usia 22?” Tanganku memainkan rambutnya yang berantakan dipermainkan angin pantai.
Radian mengangguk antusias. “Kamu ngulang itu lebih dari lima puluh kali kayaknya. Aku udah hafal, dan aku diem-diem udah nyiapin semuanya.”
Gerakan tanganku terhenti. Mataku berusaha mencari kesungguhan dari rautnya. Bibirnya tersenyum, memberiku keyakinan. “Beneran. Aku udah beli cincin buat ngelamar kamu. Waktu itu aku juga beli apartemen di Bogor demi bisa nyamperin ibu kamu tanpa bolak-balik.”
“Jadi … apartemen itu?” gumamku.
Ia mengelus pipiku. “Kamu kira cuma karena kebetulan aku perlu view yang bagus buat syuting video musik? Aku punya rencana, Din.”
Dadaku menghangat mendengarnya. Aku baru tersadar bahwa cintaku pada Radi tidak pernah hilang. Hanya surut sejenak karena kekecewaanku padanya dan akibat kehadiran Riza yang memahami lukaku. Cinta itu membuncah lagi sekarang. Ingatan bahwa hari ini adalah hari lamaranku menepi jauh ketika ia menceritakan itu semua.
“Seandainya Rere nggak pernah ada, aku pasti udah ada di posisi Riza hari ini,” ujarnya.
Aku menggeleng. “Posisimu nggak pernah kegeser. Riza hanya menggantikan sebentar, tapi kamu nggak pernah pergi dari sini.” Kutepuk dadaku.
“But … will you leave him?”
Pertanyaan itu membuatku tersekat. Itu terlalu cepat untuk diputuskan. Jadi, aku memilih mengalihkan pandang. Kuharap Radi paham, bagi wanita, cinta saja tidak pernah cukup.
***
Malam itu, usai makan malam di resto dekat cottage, yang sebenarnya sempat kutolak karena khawatir kami tertangkap mata orang yang mengenali kami—dan untungnya kecemasanku tidak terbukti—aku duduk di sebelah Radian di sofa depan televisi, sementara tangannya memegang papan dada dan bolpoin.
“Rencana nginep di sini berapa hari?” Radi menunjuk check list pertama di kertas yang terjepit di atas papan dada tersebut.
Aku mengeratkan jaket di tubuh, sembari menghitung-hitung dalam hati jumlah baju yang kubawa. “Seminggu, mungkin.”
Ia tersenyum. “Setuju.” Tangannya cekatan menuliskan angka tujuh di sebelah tulisan ‘rencana waktu menginap’. “Kalo gitu, kita mulai bikin to do list. Kamu mau pergi ke mana aja?”
Menghela napas, aku memilih mengistirahatkan kepala di bahunya. Malam merambat hening, diselingi suara jangkrik bernyanyi. Belum pernah duniaku sedamai ini sebelumnya.
“Emang harus pergi, ya? Kayaknya agak berisiko, Rad,” sahutku.
Radi merangkul bahuku. “Bener juga, sih. Tapi bosen kalo cuma di sini aja, kan? Kita nyamar aja, pasti nggak bakal ketahuan. Kamu inget, nggak, webseries yang pernah kita mainin?”
Aku spontan tertawa, mengerti arah pemikirannya. Film seri pendek itu menceritakan tentang seorang artis yang ingin hidup jadi orang biasa, kemudian memutuskan menyamar menjadi orang jelek. Saking jeleknya, tidak ada yang mengenalinya. Suatu hari di tempat pelarian, ia bertemu cewek sederhana yang tulus, dan ternyata cewek itu juga sedang menyamar—sesungguhnya ia penerus takhta keluarga konglomerat, tapi tengah menyeleksi jodoh terbaik yang tidak memandang dari hartanya.
Klise, tapi drama itu merekatkan hubungan kami, hingga aku dan Radi tahu latar belakang masing-masing lebih dalam dan memutuskan jadian.
“Kamu mau pake tompel, gitu? Kumis palsu?” Aku masih terkekeh membayangkan penampilan Radi di webseries itu.
Tanpa kuduga, ia mengangguk. “Kalo kamu … pake masker dan wig kayaknya nggak bakal keliatan, kok.”
“Seriusan ini?”
“Iya, masa bohong?” Radi menuliskan beberapa tempat yang menjadi ikon Lombok. Pulau kecil ini adalah surganya Indonesia. Pantai dan lautnya belum banyak terjamah oleh turis, sehingga masih banyak yang asri. Tak seperti Bali yang sudah terkena pencemaran sana-sini.
“Kamu mau coba snorkeling, paralayang, atau apa?” Radi memberikan opsi di kertas putih itu, menuliskan beberapa destinasi yang ia ketahui seperti tebing, pantai, sampai… vila hantu? Aku mengernyit membaca nama-nama asing itu.
“Kamu ini orang Jawa Barat, tapi kok ngerti Lombok banget kayaknya?”
Ia menoleh, mengacak rambutku dengan sebelah tangan. “Lupa ya? Aku kan dulu punya kakek di sini, tapi udah meninggal. Makanya ada cottage ini, warisannya beliau. Aku rajin ke sini dari kecil, mana mungkin nggak tau medannya?”
“Ya nggak tau, lah, kan ini Lombok, bukan Medan,” sahutku asal, memicu tawa Radi.
Akhirnya, setelah berdiskusi beberapa hal, kantuk mulai menyerangku. Radi membiarkanku lebih dulu ke kamar. Ia tidur di kamar depan, dan aku di belakang. Ada pembantu yang datang setiap pagi untuk membereskan cottage dan pulang saat sore tiba. Ada juga satpam yang berjaga di pos depan. Kurasa cukup aman, lagi pula di sini dilengkapi CCTV.
Tanpa memeriksa ponsel, aku tertidur lelap malam itu. Paginya, aku terbangun karena bunyi alarm yang cukup keras. Kusadari itu berasal dari ponselku. Tapi bukankah aku belum menyalakannya? Tanganku meraba-raba meja di sebelah kasur tempatku tidur, dan menemukan asal suara.
Benar, ponselku. Layar depan masih terisi wallpaper fotoku dan Riza. Aku mematikan alarm, kemudian mendapati beberapa notifikasi muncul di layar. Salah satunya terbaca olehku dan membuat saraf-saraf mata yang tadinya tertelan kantuk langsung membelalak lebar.
Berita dari G****e yang muncul di slot notifikasi itu benar-benar aneh.
Lamaran Berjalan Lancar, Riza & Andina Berencana Bulan Madu di Lombok
Bagaimana bisa lamaran itu berjalan? Bukankah aku meninggalkan semuanya dan kabur ke sini? Saat jempolku menekan layar untuk membaca berita itu, jantungku berdebar dua kali lebih cepat. Aku sangat mengenali wajah yang terpampang di layar, berdiri dengan senyum anggun di sebelah Riza, memamerkan cincin. Pastinya, dia bukan aku.
***
Untuk melihat daftar karya author dan jadwal update, silakan menuju IG: @sayapsenja
“Ada bocoran mengenai tanggal pernikahan?”Riza di sebelahku menggeleng. “Itu masih kami rahasiakan. Yang pasti, tidak lama lagi.”Para wartawan semakin semangat mengajukan pertanyaan. Sementara aku juga semakin tidak nyaman. Khawatir penyamaran ini ketahuan karena aku kesulitan mengatur mimik muka. Akhirnya, dengan terpaksa, tanganku memberikan kode ke Riza, meremas lengan bawahnya yang harus kugandeng sedari tadi.Ia menoleh padaku dengan alis menukik, dan aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berharap ia paham maksudku—sekalipun aku bukanlah calon istrinya. Tak lama, ia kembali fokus ke kamera dan … syukurlah, ia memahami maksudku.“Maaf ya Mas, Mbak, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti. Saya dan Dina capek banget, perlu istirahat,” ujarnya luwes. Nada suaranya lembut, tapi mendominasi dan mengontrol. Ada kekuatan khas di dalamnya, yang membuat sebagian besar wartawan itu memutuskan mundur. Hanya beberapa
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca.***“Din, aku udah masakin omelet nih. Ayo bangun,” aku melangkah masuk ke kamar Andina setelah mengetuk dua kali. Kebetulan pintunya tidak ditutup rapat, sehingga aku yakin ia sedang tidak berganti baju atau melakukan sesuatu yang privat.Saat aku masuk, jantungku mencelus melihatnya tengah merapikan barang-barang yang semula tertata di meja. Ia bahkan mengeluarkan kembali pakaian yang sudah dikapstok di lemari.“Din … kamu mau ke mana?”Otomatis ia menoleh. Sekilas kulihat bahunya berjengit mendengar suaraku, seolah ia tengah mengendap-endap akan kabur dari sini. Matanya menatapku sejenak, kemudian kembali mengemasi kosmetik yang berjajar di meja rias.“Aku harus balik ke Jakarta, Rad. Ini nggak bener. Aku nggak harusnya pergi.”Aku mendelik. Secepat ini
Pintu rumah itu megah sekaligus asing di mataku. Berapa lama sejak aku terakhir menginjakkan kaki di rumah Papa? Dalam setahun, mungkin bisa dihitung jari aku mengunjunginya. Selain karena ia selalu sibuk dengan urusan perusahaan, aku juga tidak merasa dekat untuk sering-sering datang. Dari Bandung ke Bogor tidak jauh, tapi bagiku, terasa seperti ujung dunia. Aku hanya enggan untuk terlalu banyak ikut campur dengan hidup orang yang telah menggoreskan luka di hati Mama.Jadi, ketika aku harus berjalan sendirian dari gerbang depan tadi, sudah kelima kalinya aku berpikir untuk kembali dan memesan taksi online untuk pergi ke stasiun, lalu pulang ke Bandung. Aku bahkan sudah mengetik chat ke Mama, bertanya posisinya di mana. Kalau ia masih belum jauh, aku bisa minta dijemput saja. Namun, mungkin Mama sudah sampai rumah, atau entahlah. Riza tidak mengebut, tapi juga tidak pelan dalam menyetir. Sisa perjalanan aku terpaksa pura-pura tidur karena enggan diinterogasi
Sulit untuk bisa berpikir jernih di situasi sekarang. Aku baru saja merasa begitu lega bahwa acara hari ini berjalan lancar. Bapak dan Ibu juga tampak begitu terharu selama prosesi tadi. Akhirnya, aku berhasil menikah. Semua kata-kata orang yang meragukan cintaku dan Andina itu salah. Aku membungkam mereka semua dengan langsung menunjukkan di depan mata mereka, lewat televisi dan media sosial, bahwa kami memang definisi cinta sejati. Tinggal tunggu sebulan, dan aku bisa menunjukkan pada mereka semua yang nyinyir bahwa hidupku baik-baik saja meski mereka mengutuk dan menyumpahiku yang buruk-buruk hanya karena iri.Namun, begitu Andini—benarkah itu namanya? Aku tak fokus saat melihat kartu tanda pengenalnya tadi—mengatakan yang sesungguhnya, seperti ada sesuatu tak kasat mata yang menamparku. Membuang semua angan-angan dan kebahagiaan dalam sekejap.Rasa syok membuatku linglung dan tidak bisa bicara apa-apa sepanjang perjalanan. Hanya bisa membodoh-bodohkan d
Tidak ada waktu untuk memikirkan mengenai lamaran yang jadi dihadiri Andini, bukannya aku. Juga aku tidak lagi berpikir untuk kembali ke Jakarta meski sadar Riza telah meninggalkan berpuluh-puluh panggilan saat tadi aku sempat mengecek ponsel. Ini karena Radi sudah membawaku naik Range Rover menuju destinasi pertama yang akan kami kunjungi, yaitu pantai. Sepanjang jalan, dengan kaca mobil dibuka, aku bisa merasakan angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan helai rambut yang mencuat meski sudah kuikat rapi. Jalanan di sini tergolong sepi, dan langitnya begitu biru.“Kamu tahu nggak, kenapa harus pakai Range Rover ini?” Radi memecah fokusku yang tengah memejamkan mata, menikmati angin. Sedikit lebih lama, mungkin aku tertidur.Aku menoleh, kemudian menggeleng padanya.“Karena nanti jalannya nggak bagus. Banyak kerikilnya,” jawab Radi. “O ya, kamu bisa tidur dulu soalnya masih agak jauh perjalanan. Sekitar sejam lagi.”Aku me
Pagi akhirnya tiba. Begitu membuka mata, aku langsung meraba nakas untuk memeriksa ponsel. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Pesan yang kukirim ke Andina tetap tidak dibalas. Centang satu, pula. Aku menghela napas, meletakkan benda pipih itu dan bersegera salat Subuh saat mendengar azan berkumandang. Usai salat, aku menuju dapur. Daripada kepikiran mengenai pekerjaan yang kemungkinan harus kutinggalkan jika memang Andina nekat tidak pulang, lebih baik aku memasakkan Mama sesuatu. Kudengar, Papa mempekerjakan pembantu, tapi baru datang siang hari. Pagi-pagi Papa tidak terbiasa sarapan, jadi pembantu itu hanya memasak untuk makan malam dan membersihkan rumah saja. Tidak terbayang seperti apa asupan gizi Papa dan Andina selama ini. Makan di luar terus, tentu tidak bisa mengatur seberapa banyak kandungan protein, vitamin, dan karbo yang ada di situ. Apalagi kalau makanan siap saji. Meski hanya disiapkan untuk memasak makan malam, tapi kulkas di dapur penuh dengan bah
“Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan
Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd
WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”
“Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d
Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag
Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek
Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k
“Uhuk! Uhuk! Iya, nih, tiba-tiba gue nggak enak badan pas bangun tidur. Maaf ya, Mbak. Iya, iya, gue kirimin brief buat unggahan hari ini. Udah gue siapin semalem.”“Eh? Nggak. Gue nggak bisa tidur semalem, jadi daripada bingung mau ngapain, mending gue kerjain aja, kan?”Aku menahan senyum mendengar alibi yang dituturkan Andini pada rekan kerjanya. Ia masih meminta maaf dua kali lagi sebelum akhirnya menutup telepon. Kudengar helaan napas beratnya. Kami ada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Gusti kusuruh langsung datang ke lokasi shooting dengan alasan aku ingin berduaan saja dengan Andina, padahal sebenarnya aku hanya ingin menjaga rahasia ini.“Kak, aku nggak bisa jadi orang galak.” Tiba-tiba Andini bicara, membuatku menoleh dan mendapati wajahnya terlipat. Terlihat jelas bahwa ia khawatir sekaligus bimbang. Perasaannya pasti campur aduk karena urusan hilangnya saudari kembarnya ini.“D
Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd
“Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan