WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca.
***
“Din, aku udah masakin omelet nih. Ayo bangun,” aku melangkah masuk ke kamar Andina setelah mengetuk dua kali. Kebetulan pintunya tidak ditutup rapat, sehingga aku yakin ia sedang tidak berganti baju atau melakukan sesuatu yang privat.
Saat aku masuk, jantungku mencelus melihatnya tengah merapikan barang-barang yang semula tertata di meja. Ia bahkan mengeluarkan kembali pakaian yang sudah dikapstok di lemari.
“Din … kamu mau ke mana?”
Otomatis ia menoleh. Sekilas kulihat bahunya berjengit mendengar suaraku, seolah ia tengah mengendap-endap akan kabur dari sini. Matanya menatapku sejenak, kemudian kembali mengemasi kosmetik yang berjajar di meja rias.
“Aku harus balik ke Jakarta, Rad. Ini nggak bener. Aku nggak harusnya pergi.”
Aku mendelik. Secepat ini ia berubah pikiran? Aku sudah tahu, kemarin hanyalah tindakan impulsif Andina yang jarang ia lakukan. Pernah sekali ia seperti itu ketika menemaniku ke Mahameru, dan ia menyesal karena lelah luar biasa meski cuma pergi ke Ranu Kumbolo, tidak sampai puncaknya. Selain itu, keputusannya selalu didasarkan pada rencana yang sudah disusun, atau paling tidak ia telah memiliki tekad kuat untuk melaksanakannya meski tidak terstruktur aplikasinya.
Langkah kakiku mendekat, sementara tanganku bergerak menyentuh bahunya, meminta ia berbalik. Gerakan tangan Dina berhenti, sementara pandangannya tampak penuh tanda tanya.
“Ada apa? Kenapa tiba-tiba?” tanyaku, berpindah menggenggam tangannya.
Perlahan ia menegakkan tubuh, berhadapan denganku. Ia melepas tanganku, kemudian mengambil ponsel yang tergeletak di dekat bantal. Semalam aku sengaja menyalakan ponsel itu dan memasangkan alarm untuknya agar tidak terlambat bangun. Kami harus berangkat pagi jika ingin mendapatkan view yang cukup bagus di salah satu pulau di Lombok Timur.
Namun, tak kusangka tindakanku itu justru menjadi bumerang untuk diriku sendiri. Dina menggeser-geser layar, lalu menyerahkan ponsel itu padaku. Di sana, aku melihat fotonya bersama Riza dengan headline yang mengejutkan.
“Lho, bukannya kamu di sini?” gumamku spontan.
Dina duduk di pinggiran ranjangnya, menghela napas keras. “Justru itu. Aku harus beresin ini. Semuanya salahku karena kabur, jadi kembaranku gantiin aku di acara lamaran kemarin.”
Nyaris aku menjatuhkan ponsel. Mataku memastikan bahwa Andina tidak sedang bercanda. “Maksudnya … kamu punya kembaran?”
“Iya,” sahut Dina lirih. Ia menoleh, melihatku dengan pandangan sendu. “Kita nggak bisa nerusin ini, Rad. Aku harus balik. Aku bakal pesen tiket paling awal hari ini.” Ia nyaris menarik ponselnya dari tanganku, tapi aku lebih dulu mengeratkan genggaman dan menjauhkan benda itu dari jangkauannya.
“Nggak, nggak bisa. Kamu nggak bisa pergi gitu aja.” Aku agak terkejut dengan nada suaraku yang memaksa, tapi ekspresi Dina lebih menarik perhatianku. Ia mengerutkan kening, berjinjit-jinjit untuk meraih ponsel yang tengah kuangkat tinggi-tinggi.
“Rad, kamu ngapain, sih? Ke siniin hapeku! Aku mau pesen tiket!”
Secara refleks, aku melempar ponsel itu ke arah jendela. Saking kencangnya, sampai terdengar suara berdebum yang cukup keras. Aku berharap layar ponsel itu sudah hancur berkeping-keping dan tidak bisa dinyalakan lagi saat akhirnya jatuh ke lantai marmer.
“Radi! Kamu yang ngapain?!” jerit Dina histeris. Ia bergegas memungut ponsel, dan aku bisa melihat layarnya yang retak. Ia menekan tombol di sisi ponsel beberapa kali, tapi benda itu tetap gelap. Aku menyeringai puas.
Aku maju mendekat, dan saat berada di hadapannya langsung, Dina memundurkan tubuhnya. Aku tetap nekat mendekat, hingga ia jatuh di atas kasur. Aku tersenyum tipis.
“Ka-kamu mau apa? Jangan mendekat!” serunya, beringsut mundur hingga ke ujung kepala ranjang.
Semakin dia menjauh, semakin aku ingin mendekat. Seperti ada suatu hasrat yang meledak di dalam dadaku, ingin memilikinya lagi. Ingin menyentuhnya dan mengambil semua yang ada di dirinya hanya untukku. Perasaan itu bercampur dengan rasa kesal karena ia berencana meninggalkanku. Ia tidak boleh pergi lagi. Ia milikku, tidak untuk diambil alih orang lain, apalagi ketika aku belum berusaha apa-apa untuk mengubah pikirannya.
Namun, melihatnya tampak ketakutan dan mencengkeram sprei dengan tangannya yang ringkih, aku berpindah ke sisi ranjang dan mengelus rambutnya lembut. “Kamu jangan ke mana-mana, dan aku akan tetep baik. Kalo kamu coba-coba kabur, aku bisa seret kamu balik.” Wajahku mendekat, dan dengan lembut aku mengecup keningnya. “Ini kan pilihanmu. Kamu nggak bisa mundur lagi kalo udah milih, Sayang,” bisikku di telinganya, menyisipkan helai rambut ke sisi wajahnya.
“Rad, jangan gini, please. You’re so scary,” sahutnya, lirih sekali, tapi karena kami sangat dekat, aku tetap dengar.
“Nggak akan begini kalo kamu nggak mulai duluan, Din,” kataku. Aku mundur selangkah. “Ayo makan, terus kita jalan-jalan. Aku udah nyiapin penyamaran buat kamu.”
Setelahnya, aku beranjak ke pintu, mengambil kunci yang menggantung di dalam, dan menguncinya dari luar. Dalam beberapa detik, aku mendengar gedoran disertai teriakan memanggil namaku.
Aku menatap pintu itu dengan gamang. Aku terlalu mencintainya. Susah untuk melepaskan apa yang baru saja kugenggam. Kalau aku menahannya sedikit lebih lama, mungkin saja ia akan kembali ke pelukanku, dan takdir akan berubah, bukan?
***
Mengenai kembaran, sebelumnya aku sama sekali tidak tahu soal itu. Sepuluh menit menunggu Dina siap-siap, aku sudah mencari-cari berita mengenai itu, tapi tidak menemukan apa-apa. Bukankah seharusnya mencolok karena wajah mereka sama? Atau memang Dina sengaja menyembunyikan kembarannya di pelosok agar tidak ketahuan orang? Tapi apa motifnya?
Aku terus berspekulasi, mengira-ngira alasan Dina sampai tidak memberitahuku hal ini. Aku sudah pernah mengunjungi rumah ibunya dulu, dan kurasa ia tinggal sendiri. Aku kembali membaca berita yang baru diunggah kemarin sore oleh awak berita, serta menonton live streaming lamaran Dina yang dikira berjalan lancar, padahal aku sudah membawanya sejauh ini kabur dari Jakarta.
Gadis di layar itu benar-benar persis dengan Dina. Kalau saja Dina berjilbab, pasti rupanya akan sama persis dengan foto-foto itu. Aku pernah punya teman yang kembar dan bentuk wajahnya berbeda, satunya lebih oval, sedangkan satunya bulat. Namun, jika ini memang kembaran Dina, bentuk wajah, mata, hidung, dan bibir mereka terlalu mirip. Susah sekali membedakan keduanya. Jelas saja semua awak media tertipu dan tidak tahu kenyataan bahwa orang yang mereka potret bukan Dina.
Brak!
“Radi! Bukain pintunya!”
Suara gedoran pintu kamar membuatku terlonjak. Sejak tadi sudah hening, mungkin Dina menurut dan sudah bersiap-siap seperti yang kuminta. Kuletakkan ponsel di meja makan dan berjalan ke sana untuk membukakan pintu. Kudapati Dina sudah memakai celana jin dan kemeja kasual. Rambutnya diikat rapi setelah dikepang jadi satu. Aku tersenyum melihatnya.
“Cantik.” Aku tidak bisa menahan diri untuk maju dan mengecup keningnya, meski ia langsung mundur setelahnya.
“Rad, kamu sayang kan, sama aku?” tanyanya mendadak, setelah menunduk sambil memainkan ujung kemejanya.
Aku menatapnya lekat. “Kamu tahu itu, Din. Nggak sehari pun aku pindah ke lain hati.”
“Kalo kamu sayang, kasih aku waktu tiga hari. Dan kalau pendirianku nggak berubah, izinin aku balik,” sahutnya kemudian. Matanya tampak berkaca-kaca, dan seketika hasrat liar yang membakar otakku tadi meleleh hilang. Aku tidak pernah membuatnya menangis selama kami bersama, jadi kenapa aku melakukan itu semua tadi?
Aku menghela napas, lalu mengangguk. “Selama itu, aku nggak mau kita bahas apa pun tentang Riza atau kembaranmu itu. Just the two of us, please?” pintaku.
Ia terlihat lebih lega kini, ikut mengangguk. “Just the two of us.”
Perlahan aku maju lagi, dan saat ia tidak melangkah menjauh, tanganku melingkar di sekeliling tubuhnya, memberinya pelukan erat. “Maaf. Aku lepas kendali tadi. I’m so sorry.”
Aku pasti bisa memenangkan hatinya. Dan, aku semakin yakin saat ia membalas pelukanku, membenamkan wajahnya di dadaku. Aroma sabun mandinya tercium di hidungku. Segar dan harum.
“Jangan gitu lagi. Aku takut,” bisiknya, merasuk ke hatiku. Kubalas kata-katanya dengan usapan hangat di punggungnya.
“Hapeku rusak, servisin.” Ia merajuk setelah pelukan kami terlepas. Aku tersenyum tipis.
“Siap, Tuan Putri.”
Saat senyumannya terulas di bibir, aku merasa cukup lega. Tiga hari saja waktunya. Tapi selama tidak ada orang lain yang berjalan di tengah-tengah kami, aku yakin semua akan baik-baik saja dan berjalan sesuai harapanku. Sementara Dina berjalan ke meja makan dan mulai mengomentari omeletku, aku membuka ponsel lagi. Ada notifikasi terbaru dari nomor yang sudah kuhafal, tapi tidak pernah kusimpan di buku kontakku.
0856-7654-XXXX
Honey, kamu ke mana? Kamu seriusan nggak pulang?
Aku minta maaf buat semuanya. Kita benahin dari awal ya?
Kamu nggak percaya ini anak kamu?
Tes DNA udah keluar.
Ini anakmu, aku yang salah duga.
Setelah hanya membacanya, aku menghapus pesan itu. Tidak ada guna juga. Ia tidak akan tahu aku sudah membaca karena mode centang biru sudah kumatikan. Wanita itu benar-benar tidak ada habisnya. Mataku melirik Dina yang tengah makan pelan-pelan. Aku yakin, sejak dulu, dialah jodohku sesungguhnya.
***
Untuk daftar cerita yang ditulis author dan jadwal update, cek IG: @sayapsenja
Pintu rumah itu megah sekaligus asing di mataku. Berapa lama sejak aku terakhir menginjakkan kaki di rumah Papa? Dalam setahun, mungkin bisa dihitung jari aku mengunjunginya. Selain karena ia selalu sibuk dengan urusan perusahaan, aku juga tidak merasa dekat untuk sering-sering datang. Dari Bandung ke Bogor tidak jauh, tapi bagiku, terasa seperti ujung dunia. Aku hanya enggan untuk terlalu banyak ikut campur dengan hidup orang yang telah menggoreskan luka di hati Mama.Jadi, ketika aku harus berjalan sendirian dari gerbang depan tadi, sudah kelima kalinya aku berpikir untuk kembali dan memesan taksi online untuk pergi ke stasiun, lalu pulang ke Bandung. Aku bahkan sudah mengetik chat ke Mama, bertanya posisinya di mana. Kalau ia masih belum jauh, aku bisa minta dijemput saja. Namun, mungkin Mama sudah sampai rumah, atau entahlah. Riza tidak mengebut, tapi juga tidak pelan dalam menyetir. Sisa perjalanan aku terpaksa pura-pura tidur karena enggan diinterogasi
Sulit untuk bisa berpikir jernih di situasi sekarang. Aku baru saja merasa begitu lega bahwa acara hari ini berjalan lancar. Bapak dan Ibu juga tampak begitu terharu selama prosesi tadi. Akhirnya, aku berhasil menikah. Semua kata-kata orang yang meragukan cintaku dan Andina itu salah. Aku membungkam mereka semua dengan langsung menunjukkan di depan mata mereka, lewat televisi dan media sosial, bahwa kami memang definisi cinta sejati. Tinggal tunggu sebulan, dan aku bisa menunjukkan pada mereka semua yang nyinyir bahwa hidupku baik-baik saja meski mereka mengutuk dan menyumpahiku yang buruk-buruk hanya karena iri.Namun, begitu Andini—benarkah itu namanya? Aku tak fokus saat melihat kartu tanda pengenalnya tadi—mengatakan yang sesungguhnya, seperti ada sesuatu tak kasat mata yang menamparku. Membuang semua angan-angan dan kebahagiaan dalam sekejap.Rasa syok membuatku linglung dan tidak bisa bicara apa-apa sepanjang perjalanan. Hanya bisa membodoh-bodohkan d
Tidak ada waktu untuk memikirkan mengenai lamaran yang jadi dihadiri Andini, bukannya aku. Juga aku tidak lagi berpikir untuk kembali ke Jakarta meski sadar Riza telah meninggalkan berpuluh-puluh panggilan saat tadi aku sempat mengecek ponsel. Ini karena Radi sudah membawaku naik Range Rover menuju destinasi pertama yang akan kami kunjungi, yaitu pantai. Sepanjang jalan, dengan kaca mobil dibuka, aku bisa merasakan angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan helai rambut yang mencuat meski sudah kuikat rapi. Jalanan di sini tergolong sepi, dan langitnya begitu biru.“Kamu tahu nggak, kenapa harus pakai Range Rover ini?” Radi memecah fokusku yang tengah memejamkan mata, menikmati angin. Sedikit lebih lama, mungkin aku tertidur.Aku menoleh, kemudian menggeleng padanya.“Karena nanti jalannya nggak bagus. Banyak kerikilnya,” jawab Radi. “O ya, kamu bisa tidur dulu soalnya masih agak jauh perjalanan. Sekitar sejam lagi.”Aku me
Pagi akhirnya tiba. Begitu membuka mata, aku langsung meraba nakas untuk memeriksa ponsel. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Pesan yang kukirim ke Andina tetap tidak dibalas. Centang satu, pula. Aku menghela napas, meletakkan benda pipih itu dan bersegera salat Subuh saat mendengar azan berkumandang. Usai salat, aku menuju dapur. Daripada kepikiran mengenai pekerjaan yang kemungkinan harus kutinggalkan jika memang Andina nekat tidak pulang, lebih baik aku memasakkan Mama sesuatu. Kudengar, Papa mempekerjakan pembantu, tapi baru datang siang hari. Pagi-pagi Papa tidak terbiasa sarapan, jadi pembantu itu hanya memasak untuk makan malam dan membersihkan rumah saja. Tidak terbayang seperti apa asupan gizi Papa dan Andina selama ini. Makan di luar terus, tentu tidak bisa mengatur seberapa banyak kandungan protein, vitamin, dan karbo yang ada di situ. Apalagi kalau makanan siap saji. Meski hanya disiapkan untuk memasak makan malam, tapi kulkas di dapur penuh dengan bah
“Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan
Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd
“Uhuk! Uhuk! Iya, nih, tiba-tiba gue nggak enak badan pas bangun tidur. Maaf ya, Mbak. Iya, iya, gue kirimin brief buat unggahan hari ini. Udah gue siapin semalem.”“Eh? Nggak. Gue nggak bisa tidur semalem, jadi daripada bingung mau ngapain, mending gue kerjain aja, kan?”Aku menahan senyum mendengar alibi yang dituturkan Andini pada rekan kerjanya. Ia masih meminta maaf dua kali lagi sebelum akhirnya menutup telepon. Kudengar helaan napas beratnya. Kami ada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Gusti kusuruh langsung datang ke lokasi shooting dengan alasan aku ingin berduaan saja dengan Andina, padahal sebenarnya aku hanya ingin menjaga rahasia ini.“Kak, aku nggak bisa jadi orang galak.” Tiba-tiba Andini bicara, membuatku menoleh dan mendapati wajahnya terlipat. Terlihat jelas bahwa ia khawatir sekaligus bimbang. Perasaannya pasti campur aduk karena urusan hilangnya saudari kembarnya ini.“D
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k
WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”
“Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d
Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag
Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek
Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k
“Uhuk! Uhuk! Iya, nih, tiba-tiba gue nggak enak badan pas bangun tidur. Maaf ya, Mbak. Iya, iya, gue kirimin brief buat unggahan hari ini. Udah gue siapin semalem.”“Eh? Nggak. Gue nggak bisa tidur semalem, jadi daripada bingung mau ngapain, mending gue kerjain aja, kan?”Aku menahan senyum mendengar alibi yang dituturkan Andini pada rekan kerjanya. Ia masih meminta maaf dua kali lagi sebelum akhirnya menutup telepon. Kudengar helaan napas beratnya. Kami ada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Gusti kusuruh langsung datang ke lokasi shooting dengan alasan aku ingin berduaan saja dengan Andina, padahal sebenarnya aku hanya ingin menjaga rahasia ini.“Kak, aku nggak bisa jadi orang galak.” Tiba-tiba Andini bicara, membuatku menoleh dan mendapati wajahnya terlipat. Terlihat jelas bahwa ia khawatir sekaligus bimbang. Perasaannya pasti campur aduk karena urusan hilangnya saudari kembarnya ini.“D
Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd
“Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan