Baru saja aku akan buka mulut untuk menjawab omongan Riza, pintu kembali terbuka dan orang-orang yang tidak kukenal berbondong-bondong masuk. Salah satunya cewek berambut mengombak tadi, disusul wanita berhijab yang tampak dewasa, dan ada satu laki-laki yang berjalan dengan gemulai.
“Nggak ada banyak waktu lagi, Za. Harus mulai make up sekarang. Lo juga keliatan kacau gini, touch up lagi ya, di ruang sebelah.” Cewek itu mulai bicara. Riza langsung berdiri, mengangguk setuju. Ia sempat menoleh padaku, memberiku tatapan hangat, lantas berlalu menuju pintu.
“Mbak, aku ….” Lagi-lagi ucapanku terpotong dengan suara derap langkah seseorang yang masuk ruangan. Aku menoleh untuk mendapati Papa menatapku serius.
“Saya mau bicara berdua dulu dengan anak saya,” kata Papa. Matanya sempat berganti menatap orang-orang di situ yang kuduga adalah stylist dan make up artist yang sudah disewa oleh Dini dan Riza.
Cewek berambut ombak itu tersenyum maklum. “Silakan, Om. Tapi jangan lama-lama, ya. Waktu kita terbatas.” Ia menengok arlojinya sejenak, lantas kembali tersenyum tipis saat mendapati anggukan Papa.
Usai semua orang itu keluar, Papa menarik kursi dan duduk di hadapanku. Tanpa kusadari, tanganku mendingin karena gugup. Sejak perceraian Mama dan Papa, aku jarang sekali bicara dengannya. Auranya yang kaku itu menjadi salah satu alasan aku sulit mengakrabkan diri, apalagi dengan jarak terentang antara kami.
“Dini, Papa mau minta tolong sama kamu,” katanya setelah beberapa saat tampak berpikir.
Aku yang semula menunduk saja sambil memainkan jemari, mendongak meneliti parasnya. Kalau aku tidak salah, ia tampak sedikit cemas. “Kamu bisa … pura-pura jadi Dina sehari ini saja?”
Napasku seperti diambil paksa, tersekat di tenggorokan.
“Papa tahu ini agak kurang etis. Tapi orang-orang itu juga nggak tahu kalau kamu kembaran Dina. Kalian sangat mirip, nyaris nggak ada beda. Dini juga rencananya bakal pakai jilbab hari ini, jadi nggak ada masalah, kan?” Papa mengulurkan tangan, membuatku spontan menarik jemari dari pangkuan. Netranya sekilas terlihat kecewa, tapi aku tak bisa mengendalikan tubuhku sendiri yang secara impulsif menjauh darinya.
“Me-memangnya Kak Dina ke mana?” tanyaku, baru menemukan suara.
Papa membuang muka saat menjawab, “Dia kabur dini hari tadi sepertinya. Kopernya nggak ada. Cuma ninggal chat ke Papa kalau mau pergi liburan dan nggak bisa nikah. Bayangkan betapa paniknya Papa. Sekarang orang suruhan Papa lagi nyari dia, tapi belum ada kabar. Sedangkan acara udah mau mulai, Dini.”
“Ta-tapi ini bukan tanggung jawabku, Pa. Kalo Kak Dina kabur, berarti dia nggak mau nikah, kan?” sahutku. Dalam hati aku takut setengah mati, tapi aku harus mengemukakan kebenaran. Mana mungkin aku menggantikan pengantin wanita seolah hari ini adalah drama teatrikal yang akan berakhir dalam durasi dua jam?
Tangan Papa menyentuh bahuku, meremasnya. “Kamu lihat berapa banyak wartawan di luar sana. Ini bukan acara biasa, Dini. Televisi nasional meliput. Satu Indonesia akan melihat. Bukan pernikahan di kampung yang bisa asal dibatalkan!” Nadanya semakin meninggi setiap kalimat.
Aku menekuri tas kecil di pangkuan, berharap dengan irasional bahwa Andina akan menelepon dan berkata ia hanya sedang terjebak macet. Ia tidak kabur dari prosesi yang sudah direncanakan berbulan-bulan sebelumnya.
Saat aku hanya sanggup bergeming, pintu kembali terbuka. Aku begitu lega menemukan sosok Mama saat menoleh. Dengan tatapan mata, aku memohon pertolongannya.
“Gimana, Din? Kamu … bisa, kan, bantuin Dina sekali ini? Mama yakin dia hanya main-main. Seperti dulu waktu dia kabur dari sekolah, pasti nanti dia akan kembali sebelum akadnya dilakukan. Kamu hanya perlu menggantikan peran sementara hari ini.” Omongan penuh persuasi Mama yang lebih lembut ketimbang milik Papa langsung menjatuhkan harapanku ke dasar bumi.
Aku menatap keduanya bergantian. Jadi, mereka yang sudah berseteru selama ini, bisa tiba-tiba kompak dan bekerja sama demi seorang Andina? Tiba-tiba aku merasa ulu hatiku nyeri.
“Setidaknya kamu kasihani Riza. Dia tadi sangat lega melihat kamu. Kamu tega matahin hati laki-laki setulus dia? Dina mungkin nggak akan dapat yang lebih baik dari dia,” sambung Mama.
Aku menoleh ke kanan, mendapati cermin meja rias tengah memantulkan sosok diriku. Biasanya, aku sama sekali tidak keberatan dengan wajah itu. Aku terbiasa dikatakan ‘mirip’ dengan sosok Andina, si penyanyi ibu kota. Terbiasa menyendiri dan menyepi, bahkan memilih pekerjaan yang bisa dikerjakan dari rumah karena enggan disama-samakan dengan Andina. Baru hari ini, aku merasa benci dan ingin mengelupas kulit wajah, menggantinya dengan yang benar-benar berbeda dari kakak kembarku itu.
Namun, aku hanya bisa mengangguk pasrah. “Papa harus janji, temuin Kak Dina,” pintaku lirih, yang disambut anggukan Papa.
Mama tampak begitu lega, lantas mengecup keningku pelan. “Mama selalu bisa mengandalkanmu, Dini.”
Kata-kata yang biasanya membuatku bangga, kini menyakitiku dalam-dalam. Mengandalkanku saat Andina sibuk meraih impiannya? Mengandalkanku ketika Andina meninggalkan kami demi cita-citanya? Dan, sekarang, mengandalkanku saat dia kembali membuat ulah atas nama keegoisan di hari lamarannya?
Aku hanya bisa menekan kuat-kuat emosiku dan pura-pura tersenyum ketika stylist datang dan mulai merias wajahku.
Seandainya saja, aku lebih gemuk daripada Andina, atau wajahku lebih bulat darinya. Sayang sekali, kami begitu identik sejak kecil, sampai orang-orang selalu kesulitan membedakan. Kalau main bersama, sering kali teman-teman Andina mengira aku adalah dia, dan sebaliknya. Wajah kami yang oval dengan rahang cekung, mata bulat dengan bulu yang lentik, juga tulang pipi yang tinggi, benar-benar persis. Bibirku dan Andina juga sama, sama-sama tipis berbentuk hati. Namun, Tuhan tidak mungkin menciptakan makhluk-Nya benar-benar sama persis.
Jadi, aku tahu apa bedanya aku dengan Andina. Ada pada rambut. Ia dengan rambut lurus, dan aku agak ikal. Namun, ketika kini rambutku tertutup ciput berbentuk kerudung, sembari wajahku dilumuri alas bedak, aku tidak melihat beda sama sekali.
“Lo telat ke sini karena ke rumah nyokap dulu, Din?” tanya cewek berambut ombak yang masih bingung harus kusapa apa. Beruntung make up artist yang tengah menekan-nekan pipiku dengan bedak menjawab duluan.
“Mbak Diandra kayak nggak tahu psikis calon pengantin aja, deh. Emang biasanya suka kangen orang tuanya, apalagi cewek,” kata wanita yang suaranya keibuan itu. Usianya juga sepertinya jauh di atasku.
Diandra terkekeh. “Iya sih. Apalagi lo kan tinggalnya jauhan sama nyokap.”
Aku diam saja.
“Tadi Riza udah keliatan bingung banget. Mbak Lelita juga bolak-balik nelepon gue, sampe gue ngebut. Pas udah di sini, untunglah nggak lama lo dateng. Bisa pingsan mungkin si Riza kalo lo batal dateng. Dia kan udah pernah batal nikah,” cerocos Diandra. Dari caranya bicara, kuduga ia cukup cerewet.
Aku meliriknya dari cermin. “Jalanan macet, hapeku juga kehabisan baterai,” alibiku akhirnya, saat bertemu mata dengannya, dan ia terlihat menuntut jawaban. Aku juga agak syok mendengar penuturannya bahwa Riza sudah pernah batal menikah.
“Tapi seru juga sih, buat diceritain ke anak cucu lo, kalo lamaran lo hampir batal gara-gara urusan kangen nyokap.”
Diandra dan wanita yang meriasku tertawa renyah, tapi aku hanya bisa memaksakan senyum tipis. Bagaimana kalau mereka tahu kenyataannya jauh lebih mengerikan daripada itu? Bahwa calon pengantin wanita telah dipalsukan karena calon yang asli kabur sebelum hari lamaran tiba?
Proses rias itu akhirnya selesai setelah aku tidak lagi mengenali wajahku. Wanita itu memasangkan lensa kontak, membubuhkan eyeliner, dan menempelkan bulu mata palsu meski milikku sudah tebal. Ya ampun, mataku memang jadi cantik, tapi rasanya jadi berat sekali. Belum lagi bedak dua lapis ditambah blush on dan glitter di sekitar hidung dan mata. Aku persis Barbie berjalan.
“Cantik bangeeet! Ayo, buruan pakai gaunnya!” Diandra menyahut gaun yang dibawakan oleh lelaki gemulai di dekat rak.
Aku memakainya di ruang pas dibantu Diandra. Begitu keluar, aku mematung menatap pantulan diriku di cermin berdiri yang memperlihatkan fitur tubuhku dari atas sampai bawah. Mataku mengerjap-ngerjap, masih berharap semua ini hanya mimpi.
Namun, saat akhirnya jilbab selesai dipasang—dengan peniti dan jarum pentul di sana-sini—aku mulai bisa menerima bahwa ini kenyataan. Aku tidak akan menikah, tapi harus menjalani prosesi seperti akan menikah.
Diandra tersenyum, meneliti penampilanku dari atas sampai bawah. Ia mengerjap, ekspresinya berubah saat melihat kakiku. “Hmm, perasaan kemarin gaunnya sampai bawah banget ya, agak kepanjangan gitu. Kok jadi pas semata kaki, ya?” gumamnya.
Jantungku berdebar lebih cepat. Mendadak aku ingat bahwa aku lebih tinggi dua senti ketimbang Andina. Aku memutar otak, mencari alasan. Namun, sebelum menemukan jawaban, Diandra sudah kembali bicara.
“Tapi bagus begini, daripada lo jatuh soalnya kepanjangan. Lo nggak minum obat peninggi badan kan, Din?” Diandra terkekeh. Ia mengambilkan wedges yang warnanya lebih cocok dengan gaun warna hijau yang kupakai.
Usai memakainya, ia menggamit lenganku. “Ayo, pergi ke pangantin laki-laki. Dia pasti pangling banget sama lo.”
Aku berjalan perlahan, merasa seperti akan pergi ke negeri dongeng. Dalam hati hanya terus berdoa agar Andina segera ditemukan dan bisa pulang secepatnya. Aku ingin segera mengakhiri kebohongan ini.
***
Untuk melihat daftar karya author dan jadwal update-nya, cek IG: @sayapsenja
“Gimana kalau kamu berjilbab, Say?” Aku mencoba mendapatkan atensinya saat ia tengah sibuk mengambil selfie di kafe tempat kami berkunjung. Itu kafe yang mengundangnya untuk urusan endorsement, jadi sejak tadi ia berkutat mencari angle yang bagus untuk mengambil foto.Saat mendengar tawaranku, ia langsung menoleh dengan wajah seperti tak percaya. “Apa? Jilbab?” Ia mengulang, seolah khawatir salah dengar.Aku mengambil alih ponselnya, menunjuk salah satu sudut, lantas memotretnya. Saat kutunjukkan hasilnya, ia melonjak senang. “Kalo kamu yang foto, selalu cantik! Makasih, ya, Za.”“Itu maksudku,” sahutku, “akan lebih cantik lagi kalau kamu berjilbab.”Ia mengerutkan kening. “Kamu tahu kan, Za, karierku lagi tinggi-tingginya ….”Aku angkat bahu. “Bukannya kamu dulu juga berjilbab, waktu masih sekolah? Justru sekarang, kamu udah punya banyak
Ini keputusan paling nekatku seumur hidup. Mungkin kalian akan bilang aku bodoh, menyia-nyiakan sebuah pernikahan yang sudah ada di ambang mata hanya demi mengejar ekstase semu, tapi … ingat, kalian bukan aku, dan tak pernah tahu rasanya jadi aku.Sebulan sebelum hari lamaran, persiapan pernikahan mencapai lima puluh persen. Aku tidak berhenti mendapatkan teror melalui media sosial, mulai dari orang yang kenal sampai yang tak pernah bertemu sama sekali.Riza itu playboy, ngapain mau sama dia?Yakin mau nikah sama Riza? Dulunya tukang bully di sekolahAh, panjat sosial aja sih? Nikah demi uang?Nggak bakal langgeng! Gue sumpahin cerai!Isi direct message di Instagram dan Twitter-ku seperti itu. Setiap aku ingin mengunggah sesuatu, jika terpencet ke kotak masuk, amarahku langsung mendidih. Terakhir, aku membanting ponsel sampai pecah karena membaca komentar kasar saat sedang
“Ada bocoran mengenai tanggal pernikahan?”Riza di sebelahku menggeleng. “Itu masih kami rahasiakan. Yang pasti, tidak lama lagi.”Para wartawan semakin semangat mengajukan pertanyaan. Sementara aku juga semakin tidak nyaman. Khawatir penyamaran ini ketahuan karena aku kesulitan mengatur mimik muka. Akhirnya, dengan terpaksa, tanganku memberikan kode ke Riza, meremas lengan bawahnya yang harus kugandeng sedari tadi.Ia menoleh padaku dengan alis menukik, dan aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, berharap ia paham maksudku—sekalipun aku bukanlah calon istrinya. Tak lama, ia kembali fokus ke kamera dan … syukurlah, ia memahami maksudku.“Maaf ya Mas, Mbak, kita ngobrol-ngobrol lagi nanti. Saya dan Dina capek banget, perlu istirahat,” ujarnya luwes. Nada suaranya lembut, tapi mendominasi dan mengontrol. Ada kekuatan khas di dalamnya, yang membuat sebagian besar wartawan itu memutuskan mundur. Hanya beberapa
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca.***“Din, aku udah masakin omelet nih. Ayo bangun,” aku melangkah masuk ke kamar Andina setelah mengetuk dua kali. Kebetulan pintunya tidak ditutup rapat, sehingga aku yakin ia sedang tidak berganti baju atau melakukan sesuatu yang privat.Saat aku masuk, jantungku mencelus melihatnya tengah merapikan barang-barang yang semula tertata di meja. Ia bahkan mengeluarkan kembali pakaian yang sudah dikapstok di lemari.“Din … kamu mau ke mana?”Otomatis ia menoleh. Sekilas kulihat bahunya berjengit mendengar suaraku, seolah ia tengah mengendap-endap akan kabur dari sini. Matanya menatapku sejenak, kemudian kembali mengemasi kosmetik yang berjajar di meja rias.“Aku harus balik ke Jakarta, Rad. Ini nggak bener. Aku nggak harusnya pergi.”Aku mendelik. Secepat ini
Pintu rumah itu megah sekaligus asing di mataku. Berapa lama sejak aku terakhir menginjakkan kaki di rumah Papa? Dalam setahun, mungkin bisa dihitung jari aku mengunjunginya. Selain karena ia selalu sibuk dengan urusan perusahaan, aku juga tidak merasa dekat untuk sering-sering datang. Dari Bandung ke Bogor tidak jauh, tapi bagiku, terasa seperti ujung dunia. Aku hanya enggan untuk terlalu banyak ikut campur dengan hidup orang yang telah menggoreskan luka di hati Mama.Jadi, ketika aku harus berjalan sendirian dari gerbang depan tadi, sudah kelima kalinya aku berpikir untuk kembali dan memesan taksi online untuk pergi ke stasiun, lalu pulang ke Bandung. Aku bahkan sudah mengetik chat ke Mama, bertanya posisinya di mana. Kalau ia masih belum jauh, aku bisa minta dijemput saja. Namun, mungkin Mama sudah sampai rumah, atau entahlah. Riza tidak mengebut, tapi juga tidak pelan dalam menyetir. Sisa perjalanan aku terpaksa pura-pura tidur karena enggan diinterogasi
Sulit untuk bisa berpikir jernih di situasi sekarang. Aku baru saja merasa begitu lega bahwa acara hari ini berjalan lancar. Bapak dan Ibu juga tampak begitu terharu selama prosesi tadi. Akhirnya, aku berhasil menikah. Semua kata-kata orang yang meragukan cintaku dan Andina itu salah. Aku membungkam mereka semua dengan langsung menunjukkan di depan mata mereka, lewat televisi dan media sosial, bahwa kami memang definisi cinta sejati. Tinggal tunggu sebulan, dan aku bisa menunjukkan pada mereka semua yang nyinyir bahwa hidupku baik-baik saja meski mereka mengutuk dan menyumpahiku yang buruk-buruk hanya karena iri.Namun, begitu Andini—benarkah itu namanya? Aku tak fokus saat melihat kartu tanda pengenalnya tadi—mengatakan yang sesungguhnya, seperti ada sesuatu tak kasat mata yang menamparku. Membuang semua angan-angan dan kebahagiaan dalam sekejap.Rasa syok membuatku linglung dan tidak bisa bicara apa-apa sepanjang perjalanan. Hanya bisa membodoh-bodohkan d
Tidak ada waktu untuk memikirkan mengenai lamaran yang jadi dihadiri Andini, bukannya aku. Juga aku tidak lagi berpikir untuk kembali ke Jakarta meski sadar Riza telah meninggalkan berpuluh-puluh panggilan saat tadi aku sempat mengecek ponsel. Ini karena Radi sudah membawaku naik Range Rover menuju destinasi pertama yang akan kami kunjungi, yaitu pantai. Sepanjang jalan, dengan kaca mobil dibuka, aku bisa merasakan angin bertiup sepoi-sepoi menerbangkan helai rambut yang mencuat meski sudah kuikat rapi. Jalanan di sini tergolong sepi, dan langitnya begitu biru.“Kamu tahu nggak, kenapa harus pakai Range Rover ini?” Radi memecah fokusku yang tengah memejamkan mata, menikmati angin. Sedikit lebih lama, mungkin aku tertidur.Aku menoleh, kemudian menggeleng padanya.“Karena nanti jalannya nggak bagus. Banyak kerikilnya,” jawab Radi. “O ya, kamu bisa tidur dulu soalnya masih agak jauh perjalanan. Sekitar sejam lagi.”Aku me
Pagi akhirnya tiba. Begitu membuka mata, aku langsung meraba nakas untuk memeriksa ponsel. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Pesan yang kukirim ke Andina tetap tidak dibalas. Centang satu, pula. Aku menghela napas, meletakkan benda pipih itu dan bersegera salat Subuh saat mendengar azan berkumandang. Usai salat, aku menuju dapur. Daripada kepikiran mengenai pekerjaan yang kemungkinan harus kutinggalkan jika memang Andina nekat tidak pulang, lebih baik aku memasakkan Mama sesuatu. Kudengar, Papa mempekerjakan pembantu, tapi baru datang siang hari. Pagi-pagi Papa tidak terbiasa sarapan, jadi pembantu itu hanya memasak untuk makan malam dan membersihkan rumah saja. Tidak terbayang seperti apa asupan gizi Papa dan Andina selama ini. Makan di luar terus, tentu tidak bisa mengatur seberapa banyak kandungan protein, vitamin, dan karbo yang ada di situ. Apalagi kalau makanan siap saji. Meski hanya disiapkan untuk memasak makan malam, tapi kulkas di dapur penuh dengan bah
WARNING: Part ini mengandung konten sensitif yang hanya diperuntukkan pembaca berusia 18 tahun ke atas. Diharapkan kebijakan dari pembaca.“Gimana? Cantik nggak?” Ini sudah ketiga kalinya aku berganti outfit. Yang pertama aku merasa tidak cocok, yang kedua Radian yang tidak cocok.Lelaki yang duduk di sofa depan ruang pas itu terlihat mengamati sejenak, kemudian menggeleng. “Terlalu … macho. Yang agak girly dikit, lah, Din. Jangan terlalu panjang, dan kalo bisa rok.”Aku menghela napas. Seorang pegawai wanita yang melayani kami sebagai tamu VVIP menunjukkan lagi beberapa kapstok berisi pakaian dengan beragam warna. Mulai dari yang mencolok hingga yang lembut. Warna-warna cerah seperti pastel, baby pink, blue sea, sampai warna gelap seperti dark blue, gray, dan hitam pekat dipadu cokelat tua.“Sebenarnya Mbak Andina cantik pakai apa saja,”
“Aduuh, diem dong! Berisik banget sih, dasar anak nggak berguna!” gerutuku kesal melihat bayi dalam gendonganku yang terus saja menangis. Sejak hari kelahirannya, aku sama sekali tidak tenang.Pertama, Radian yang seharusnya bersikap sebagai ayah yang baik, justru tidak datang waktu persalinan dan baru menampakkan batang hidung saat aku pulang dari rumah sakit. Untunglah aku tidak harus dioperasi. Sebab ia sama sekali tidak membantuku mengurus bayi baru lahir itu, sedangkan perawat bayi yang dibayarnya tidak bisa menginap, sehingga sore hari sampai pagi aku harus mengurus bayi itu sendirian. Keluarga kami tinggal di rumah yang berbeda, apalagi keluargaku yang memang beda kota.Aku membetulkan tali gendongan, kemudian mengikat cepol rambut. Usai itu, aku beranjak menuju rak dapur untuk mengambil dot dan membersihkannya. Masalah kedua adalah ASI-ku jadi macet sejak Radian tidak pulang sama sekali sampai sekarang. Kalau tidak salah, ia hanya melihat bayi ini d
Itu bukan ucapan yang jelas mengiyakan. Aku ingin Riza menjawab, “Iya, ini yang terakhir. Kamu nggak perlu ikut campur apa-apa lagi setelah ini.” Namun, aku juga tahu setelah tiga hari ini bersama dengannya, ia orang yang jujur. Kalau ia mengatakan kebohongan hanya untuk menghiburku pun, aku juga tidak akan suka. Jadi, aku menghargai usahanya dan menguatkan hati.Pagi tadi, Mama berpesan untuk mengabari kalau ada apa-apa terkait Andina. Jadi, dalam perjalanan pulang ke Bandung—Riza lagi-lagi bersikeras mengantarku—aku menghubungi Mama.“Dini? Mama sudah lihat beritanya. Papa tadi juga telepon, kedengarannya agak marah karena Andina belum bisa juga dihubungi.” Mama langsung menyahut tanpa menungguku bicara lebih dulu. Nada suara panik sekaligus bingung.“Papa udah nemu lokasi akuratnya Kak Dina?”Kulirik Riza yang tengah menoleh padaku.“Katanya sudah coba ke beberapa vila dan cottag
Sudah ketiga kalinya aku menghubungi Radian, tapi panggilanku selalu ditolak. Terakhir malah tidak ada jawaban. Padahal jelas beberapa kali aku melihat Whatsapp-nya online. Aku mengusap wajah frustrasi. Sementara di hadapanku, Andini tengah mengaduk-aduk nasi padang dengan tidak berselera.“Kenapa? Itu kan makanan kesukaanmu?” Aku ingat ia sangat lahap makan saat kami mampir ke restoran padang selepas acara lamaran itu.Ia mendongak, lalu menggeleng pelan. “Bukan, Kak, bukan itu. Aku cuma capek aja.”“Gara-gara kebanyakan teriak ya, kemarin?” Aku memastikan. Memang sih, ide gilaku itu membuat Andini terpaksa berakting jadi orang cerewet dan galak yang memarahi semua kesalahan kru, sekecil apa pun, tapi tak mau disalahkan kalau ia yang keliru. Akibatnya, di akhir syuting, ia batuk-batuk dan kehilangan suara.Lagi-lagi, ia menggeleng. “Gimana ya, Kak? Tiba-tiba Rere-Rere itu nyebarin hal kayak gitu, dan sek
Pagi itu adalah pagi paling indah dalam hidupku. Wajah Andina berada tepat di hadapanku, dan aroma napasnya beradu dengan deru napasku sendiri. Gadis cantik ini … sekarang sempurna menjadi milikku.Ia bergerak sesaat, mengernyit, tapi lalu tertidur kembali. Baru aku akan ikut melanjutkan tidur, ponselku berdering keras. Ah, sial. Kenapa tidak aku silent saja kemarin?Terpaksa aku bangkit, memakai kaos asal, dan turun dari ranjang saat mendapati nomor manajerku tertera di layar.“Halo, apa? Ganggu suasana aja lo.”“Suasana apa, geblek? Lo pulang sekarang juga ke Jakarta. Beresin masalah yang udah lo buat.” Suara manajerku terdengar garang dari seberang sana.“Males, ah. Gue kan udah bilang, cuti sebulan. Gue udah persiapin semuanya dari jauh-jauh hari. Lo gila, ya?”“Elo yang gila! Gue kira lo mau liburan, jadi gue izinin. Tapi lo nyolong calon istri orang, lo kira itu ngg
WARNING: Mengandung konten sensitif, hanya untuk usia 18 tahun ke atas. Dimohon kebijakan dari pembaca. *** Radi menghampiriku yang tengah menatap pemandangan malam di luar cottage. Di tangannya, ada sebuah botol dan dua gelas kaca. Ia meletakkannya di gazebo tempatku duduk. Aku mengernyit. “Itu apa?” Ia tersenyum. “Anggur. Dikit kok, alkoholnya. Udara lagi dingin, nih.” Lelaki itu tampak meneliti padaku, sebelum kemudian berkata, “Bajumu nggak terlalu tipis? Aku ambilin jaket, ya?” Memang, aku tidak bersiap-siap untuk cuaca dingin di daerah dekat pantai begini. Jadi hanya membawa baju seadanya, tidak ada mantel maupun jaket. Yang ada hanya kardigan dan blazer nonformal. Radi baru akan beranjak ketika aku menahan tangannya. Alisnya naik menatapku. “Aku nggak dingin, kok. Nggak papa, kardigan ini aja cukup,” kataku, lalu melirik pada botol anggur yang tergeletak di sebelahku. “Tapi kamu … sejak kapan k
“Uhuk! Uhuk! Iya, nih, tiba-tiba gue nggak enak badan pas bangun tidur. Maaf ya, Mbak. Iya, iya, gue kirimin brief buat unggahan hari ini. Udah gue siapin semalem.”“Eh? Nggak. Gue nggak bisa tidur semalem, jadi daripada bingung mau ngapain, mending gue kerjain aja, kan?”Aku menahan senyum mendengar alibi yang dituturkan Andini pada rekan kerjanya. Ia masih meminta maaf dua kali lagi sebelum akhirnya menutup telepon. Kudengar helaan napas beratnya. Kami ada di dalam mobil yang kukemudikan sendiri. Gusti kusuruh langsung datang ke lokasi shooting dengan alasan aku ingin berduaan saja dengan Andina, padahal sebenarnya aku hanya ingin menjaga rahasia ini.“Kak, aku nggak bisa jadi orang galak.” Tiba-tiba Andini bicara, membuatku menoleh dan mendapati wajahnya terlipat. Terlihat jelas bahwa ia khawatir sekaligus bimbang. Perasaannya pasti campur aduk karena urusan hilangnya saudari kembarnya ini.“D
Pekerjaanku selesai tepat ketika asar tiba. Aku meregangkan tangan lega. Mbak Aldila tampak sudah mematikan perangkatnya juga, sementara Andre masih berkutat dengan eror di website.“Gue pulang duluan ya,” kataku setelah memastikan semua data tersimpan dan mematikan komputer.Mbak Aldila menoleh, lalu mengangguk. “Lo naik mobil, kan?” tanyanya.“Iya. Mau bareng?”Ia menengok sejenak pada Andre, kemudian menjawab, “Nggak, deh. Gue nemenin Andre dulu aja. Kesian tuh anak ntar dilalerin kalo nggak ada yang nungguin.”Aku tertawa kecil. “Ndre, lo denger gak?”Andre yang sedari tadi sangat fokus dengan komputernya langsung mengangkat kepala dengan wajah bingung. “Hah? Kenapa? Sori, gue fokus banget. Banyak bug-nya nih.”Geleng-geleng kepala, aku menyahut, “Ya udah. Gue mau balik dulu. Lo nggak usah buru-buru, Mbak Aldila mau nungguin katanya.&rd
“Riza! Riza!” Suara teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku spontan berpindah menatap orang-orang di sekelilingku, yang ternyata kini tengah memperhatikanku.Saat menatap kamerawan yang mengambil gambarku kali ini, ia tampak frustrasi. “Lo kenapa, sih? Nggak kayak biasanya lho. Nggak fokus banget.” Sementara kru lighting yang kukenal bernama Mas Anjar tertawa meledek, “Paling kepikiran calon istrinya, tuh, masih pengen uwu-uwu!”Aku mengusap rambut, membuat stylist cewek yang berdiri tak jauh dari kamerawan berseru. “Jangan dipegang-pegang lagi! Nanti kacau tatanannya!”Menghela napas pelan, akhirnya aku memanggil manajerku. Ia mendekat, membawakan minum. Usai menenggak beberapa tegukan, aku kembali berdiri di depan kamera yang sudah menunggu untuk merekam video iklan.“Oke, siap ya?”Aku mengacungkan jempol.“Satu … dua … tiga.” Kamerawan