"Fikar adalah adikmu!" teriak Liana.
Fikar yang sudah babak belur pun tak bisa begitu jelas melihat siapa pria yang memukulinya brutal. semuanya terasa gelap kecuali wajah ibunya yang tampak sedang menangis menyaksikan perkelahian dirinya, dan seorang pria yang ibunya sebutkan sebagai kakaknya.
Fikar menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, mulutnya terus berteriak mengatakan tidak.
"Tidaaaakkk!!" teriaknya terbangun.
Ia menatap ke sekeliling, seketika ia tersadar jika yang ia alami barusan hanyalah mimpi. ia menoleh ke samping ranjang, tampak Sekar yang tengah tertidur pulas tanpa sedikit pun terganggu dengan suara teriakannya.
"Cuma mimpi." ucapnya meremas kuat rambutnya.
"Mimpi apa tadi itu?" tanyanya pada diri sendiri.
Tak mau memikirkan arti mimpi yang barusan ia alami, Fikar kembali memutuskan untuk tidur. memeluk tubuh Sekar dari belakang dengan sangat erat, ia hirup aroma wangi yang menguar dari tubuh mulus Sekar.
Sekar mengg
Gavin dan Fikar kembali bertatap muka, terlihat sekali raut tak bersahabat yang terpancar dari keduanya."Kau lagi! untuk apa kau kemari lagi?" tanya Gavin ketus, pria itu keluar dan menutup pintu rumahnya."Tentu saja untuk bertemu dengan Tisha, tidak mungkin untuk bertemu dengan mu kan." jawab Fikar tak kalah ketus."Pergi dari rumah ku!" usir Gavin."Tidak mau." ucap Fikar mengejek."Kau!" Gavin mencengkram kerah kemeja yang Fikar kenakan."Apa kau tidak mengerti, jika aku tidak suka kalau kau mendekati adikku.""Adik? adik kau bilang." tanya Fikar."Adik yang seperti apa yang kau maksudkan.""Apa maksudmu?" tanya Gavin pura-pura tak mengerti."Kau mencintai adik mu sendiri."Skakmat.Gavin terdiam mendengar ucapan Fikar, bagaimana mungkin pria di hadapannya ini tahu mengenai perasaannya pada Tisha."Kenapa? kau kaget ya?" tanya Fikar mengejek.Cengkeraman tangan Gavin di kerah k
Fikar terus memandangi Liana yang tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wanita itu sudah sadar dari pingsannya, namun kondisinya masih sangat lemah.Tangan Fikar terulur memegang tangan ibunya, ia terluka melihat kondisi kesehatan Liana.Sungguh ia tak menyangka dengan semua ucapan yang keluar dari mulut sang ibu."Mama, aku butuh penjelasan darimu. tidak mungkin jika pria itu--, adalah kakak ku." kepala Fikar menggeleng kuat.Cklek...Pintu terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya yang masih terlihat awet muda. Darma mendekati ranjang sang istri, terkejut melihat keadaan putranya yang babak belur."Kenapa dengan wajahmu?" tanya Darma tajam, tapi Fikar hanya diam."Kau habis berkelahi ya? dan pasti mama mu melihat kau yang berkelahi, makanya dia jadi seperti ini?!" selidik Darma penuh curiga."Ya, aku memang habis berkelahi. berkelahi dengan kakak ku." jawab Fikar membalas tatapan tajam Darma."Apa maksudmu
Liana membuka kedua matanya yang terasa berat, kepalanya berdenyut pusing. ia berusaha mencoba bangun dari berbaringnya, susah payah ia lakukan hal itu.Setelah berhasil duduk nyaman di ranjang, ia melihat Fikar anaknya yang tengah berbaring di sofa. namun tak melihat keberadaan sang suami tercinta, Darma. pria itu tak terlihat ada di ruangan tempat ia di rawat."Fikar...." panggil Liana pelan.Fikar tak bergeming dengan panggilan Liana, Liana coba kembali memanggil Fikar, hingga akhirnya pria itu pun terbangun dari tidurnya."Mama," gumamnya seraya mengucek kedua matanya."Mama ingin bertemu Gavin, nak." ucap Liana.Fikar yang mendengar permintaan sang mama tercinta pun, seketika membeku. hal yang sangat Liana inginkan adalah bertemu dengan Gavin, sedangkan Fikar yang menunggunya seharian ini di rumah sakit, tapi bukan nama Fikar lah yang ia sebut pertama kali."Gavin?" tanya Fikar menatap sang ibunda.Mata Liana kembali basah karena
"Fikar, jam berapa Gavin akan datang ke rumah? ini sudah jam 10, bukankah dia berjanji akan datang pagi?" tanya Liana cemas, Gavin tak kunjung datang ke rumahnya.Fikar menepuk jidatnya membuat Liana heran. "kenapa sayang?""Fikar lupa ma, Gavin kan tidak tahu alamat rumah kita." jawab Fikar polos."Ya ampun! pantas saja dia tidak datang. di telepon saja nak.""Tidak punya nomor teleponnya, mama punya?" Liana menggeleng."Mama hanya memberikan Gavin kartu alamat perusahaan.""Aissh, ya sudah kalau gitu, Fikar jemput Gavin dulu ya." pamit Fikar mengecup pipi Liana."Ya, hati-hati sayang." Fikar mengangguk sebelum keluar dari rumahnya.Fikar mengendarai mobilnya dengan santai sambil bersenandung mendengarkan lagu dari radio di mobilnya.Sejujurnya pikiran Fikar masih terfokus pada Sekar yang kabur darinya, hanya saja ia tak mau menunjukkan kesedihannya. ia bukan pria lemah di hadapan orang lain, meskipun sebenarny
"Ada apa dengan rona wajahmu ini ma?" tanya Darma menoel pipi istrinya yang tampak merona bahagia.Liana tersenyum manis ke arah suaminya, seraya bangkit berdiri berjalan menuju ke arah lemari yang ada di kamarnya. ia buka lemari itu, lemari yang hanya boleh mereka saja yang menyentuh.Liana mengambil sebuah album foto yang sudah usang, namun tidak berdebu karena setiap hari selalu Liana bersihkan.Darma memperhatikan dengan heran gerakan istrinya sedari membuka lemari tersebut, ia berpikir apa yang akan di lakukan istrinya itu.Kemudian Liana berjalan kembali ke arah ranjang, dan menyerahkan album foto usang itu pada Darma."Apa ini?" tanya Darma bingung."Album foto lama kita.""Iya, aku tahu. lalu untuk apa?""Bukalah mas." titah Liana menyuruh Darma membukanya.Darma menurutinya, ia buka perlahan album foto itu
"Jika Tisha atau pun kau yang sakit, maka hubungi dokter, bukan malah menelpon ku." dengus Fikar sebal.Baru kemarin Fikar memberikan nomor ponselnya pada Gavin, dan Gavin pun mencoba menghubungi adiknya itu dengan menyuruhnya datang bersama dokter langganannya.Alhasil, Fikar yang ingin tenang pun terganggu dengan suara ponsel yang terus berbunyi.Dengan gerakan cepat Fikar menghubungi dokter pribadi keluarganya menuju ke rumah Gavin. dan di sinilah ia sekarang bersama dokter tersebut yang sedang memeriksa keadaan Tisha."Bagaimana Dok keadaan Tisha?" tanya Gavin pada dokter setelah selesai memeriksa keadaan Tisha.Gavin menunggu jawaban dokter dengan harap-harap cemas."Nona Tisha hanya masuk angin saja tuan Gavin." Gavin menghela nafas lega mendengarnya.Fikar memperhatikan ekspresi wajah Gavin, ada rasa curiga yang terselip saat melihat ekspresi
"Apa kak? Operasi penyembuhan mata Tisha?" tanya Tisha kaget mendengar permintaan kakaknya itu."Iya, kamu mau kan sayang?" bujuk Gavin penuh harap jika Tisha mau melakukan operasi pada matanya.Tisha tak menjawab, wanita itu tengah berpikir dengan permintaan kakaknya. sejujurnya, ia memang sangat ingin sembuh, ingin kembali melihat dunia."Baiklah kak, Tisha mau." akhirnya Tisha menyetujui."Ah, syukurlah, kakak bahagia dengarnya." Gavin merangkul tubuh mungil itu."Eehmm, tapi apa uang kakak ada untuk biaya operasi ku?" tanya Tisha."Kalau tidak ada, ngapain coba kakak bujuk kamu untuk operasi penyembuhan mata.""Tisha hanya penasaran saja kak.""Ya sudah, kamu gak perlu mikirin tentang itu, yang terpenting adalah kesembuhan kamu dulu,itu yang nomor satu. Ok!" Tisha mengangguk."Aku harus pinjam uang pada Fikar se
"Tisha," ulang Gavin memanggil namanya."Aku bilang jangan sebut namaku, sialan!" lagi Tisha memperingati Gavin agar tak memanggil namanya. bahkan kali ini di tambah dengan umpatan di akhir kalimatnya."Sayang, kamu kenapa?" Gavin berhasil mendekati Tisha dan menyentuh bahunya."Lepas!" rontah Tisha.Fikar yang sedari tadi melihat hal itu pun maju, berusaha mencairkan keadaan."Tisha!" Fikar mencoba memanggil nama Tisha, siapa tahu saja wanita itu melemah dengannya."Diam kau penjahat!" lagi Tisha berteriak."Gavin, sepertinya Tisha sudah mengetahui dan mendengar pembicaraan kita tadi. sekarang bagaimana ini?" tanya Fikar cemas dan kalut."Aku akan mencoba bicara lagi dengannya, dan tugasmu bersihkan kaca yang pecah di lantai ini." Fikar mengangguk.Tanpa aba-aba Gavin langsung menggendong Tisha, membuat wanita itu menjerit-jerit me