“Katy.”
Suara Zoey mengembalikanku dari lamunan panjang. Aku menoleh dan memperhatikan jari-jari tangannya yang memegang kemudi dengan erat.
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengajukan pertanyaan yang semenjak kami duduk berdua di dalam mobil, pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. “Kenapa lo mau?”
Zoey mengerutkan keningnya. “Apa?”
“Ini semua.” Aku melirik tajam ke arahnya. “Lo diminta Jace untuk datang. Dan lo datang dengan senang hati.”
“Jace bilang lo dalam masalah dan dia butuh bantuan gue.”
“Lo terlalu jauh mencampuri urusan gue.” Nada suaraku meninggi.
“Lo itu menantang bahaya, Kat!”
“Tapi ini semua enggak ada hubungannya sama lo. Lo bukan siapa-siapa gue lagi.”
Zoey menggelengkan kepala. Seolah kecewa dengan apa yang telah aku ucapkan. “Kat, sadar! Lo terlalu tergila-gila sama cowok itu. Sikap lo udah enggak wajar.”
Aku membuang pandanganku ke samping. Mencoba menyembunyikan bulir beni
“Gue bisa pulang sendiri,” ucapku pada cowok yang sudah menjinjing tasku di tangannya. “Jangan keras kepala. Pulang sama gue.” Jace berbalik memunggungiku dan mulai melangkah. Aku tidak punya pilihan selain mengkutinya dari belakang. Aku menyerahkan kunci mobil dengan tangan bergetar. Kini aku bersyukur Jace mau mengantarku. Karena dengan keadaan seperti ini, aku tidak akan mampu berkendara dengan benar. Pikiranku melayang pada semua kemungkinan yang bisa saja terjadi pada ayahku. Apa dia mengalami kecelakaan? Atau dia jatuh sakit? Separah apa keadaan ayahku sampai ibuku terdengar histeris di telepon tadi? Semakin aku berpikir, semakin aku kesulitas bernapas. Leherku seperti tercekik sesuatu. Sampai napasku sekarang terdengar tersenggal-senggal. Apalagi ketika bayangan paling buruk tentang ayahku tiba-tiba menghinggapi pikiranku. Aku buru-buru mengerjap dan menarik napas dalam-dalam. Demi menenangkan hatiku yang sudah tidak menentu rasanya.
Hari kedua setelah ayahku tiada, rumah menjadi sangat sepi. Om Aldrin terbang ke Palembang tadi siang. Tante Lisa –Istri om Aldrin, dan Maura sudah kembali ke Bandung. Hanya sesekali Tante Yanti menjenguk ibuku sambil membawakan makanan untuk kami bertiga. Malam menjadi semakin hening ketika kami bertiga sama-sama mengurung diri di kamar masing-masing. Ibuku masih sering terlihat di dapur dan di meja makan. Namun, Aiden sama sekali belum aku temui semenjak kemarin. Aku melintasi ruang keluarga yang sepi. Memandangi poto-poto ayahku yang terpampang di dinding ruangan. Di sudut ruangan ada miniatur bola dunia. Di pajang di atas meja kecil samping televisi. Itu bola dunia pemberian ayahku waktu aku berulang tahun kesepuluh. Aku mengatakan padanya bahwa aku ingin menjadi astronot. Aku ingin menjelajahi ruang angkasa. Namun, dia bilang berkeliling dunia saja terlebih dahulu. Bisa jadi bumi yang selama ini aku pijak lebih menarik ketimbang langit di atas sana. Seperti hidu
“Keuangan pensi?” Aku mengulang perkataan Vania tadi. Dia mengangguk padaku dan menyuruhku untuk segera mengikutinya ke ruangan Kepala Sekolah. Aku menurut dan mengekor di belakangnya. Di ruangan Kepala Sekolah, sudah berkumpul beberapa panitia pensi, anggota OSIS, Pak Badrun dan wali kelasku. “Duduk, Kaitlyn.” Kepala sekolah memepersilakanku dengan senyuman di bibirnya, berbeda dengan yang lain. Mereka terlihat serius dan nampak sedikit cemas. “Eh, Kat. Begini ...,” Pak Badrun memulai pembicaraan dengan sedikit senyuman yang dipaksakan. “Kami sebelumnya meminta maaf sudah memanggilmu saat kamu masih dalam masa berkabung. Tapi ada hal yang harus segera diluruskan sebelum ini semua menjadi berlarut-larut.” Firasatku mulai tidak enak mendengar kalimat pembuka dari Pak Badrun ini. “Iya, Pak. Enggak apa-apa.” “Jadi, kemarin setelah acara pensi selesai, kepanitian pensi me-review ulang masalah laporan keuangan. Doni menggantikan ka
“Jadi ada apa sama keuangan pensi?” tanya Jace ketika aku sudah duduk di sampingnya yang sedang memegang kemudi. Aku terpaksa pulang bersama SUV milik Jace yang masih sangat baru. Bahkan aku masih bisa mencium aroma kulit yang baru keluar dari pabrik begitu aku masuk ke dalamnya. Aku pikir dia sedang mencoba pamer padaku yang sebetulnya tidak perlu dia lakukan. Aku tahu dia kaya dan mampu membeli mobil sejenis ini jika dia mengumpulkan uang jajannya selama beberapa bulan saja. “Ada selisih sama laporan pengeluarannya,” jawabku tanpa menoleh ke arahnya. “Selisih berapa?” Aku menelan ludahku dan bilang padanya. “Sepuluh juta.” Jace menganggukan kepala lalu mengusap dagunya seperti sedang berpikir. “Gue bisa bantuin lo gantiin uang itu.” “Andai bisa segampang itu. Selama ada uang, masalah langsung selesai,” ucapku sarkastik. “Gue cuma berniat bantu lo doang, Kat.” Jace melirik sebentar ke arahku sebelum kembali memandang jalan di
Sampai menjelang dini hari, aku masih terjaga. Aku tidak bodoh dengan selalu menutup mata pada potongan-potongan kenyataan yang datang padaku secara tidak utuh. Aku mencoba merangkai semuanya. Dan kesimpulan yang aku dapat selalu membuatku bergidik. Merasa mustahil jika memang apa yang aku pikirkan itu adalah jawabannya. Ibuku adalah wanita sempurna. Dia selalu menomor-satukan keluarganya. Dia rela bekerja di restoran sepanjang hari. Walau begitu, kami tetap mendapat semua pelayanan dan kasih sayang darinya. Perut kami tetap terisi makanan enak buatannya. Baju kami tetap wangi dan bersih. Dan rumah kami tetap nyaman untuk di tinggali. Tidak ada yang ibuku lewatkan walau dia harus pulang hampir larut malam demi mencari uang tambahan untuk membantu ayahku. Lalu hal-hal aneh ini terjadi. Aiden berkali-kali mengatakan ibuku bermasalah. Aku pun berkali-kali menemukan kejanggalan pada aktifitasnya. Haruskah aku kembali menutup mata dan telinga? Demi menjaga nama ib
Cukup dua kata itu saja sudah membuatku membeku. Aku sudah mempersiapkan hati untuk mendengar informasi tidak menyenangkan ini dari jauh-jauh hari. Karena sebenarnya, dugaan-dugaan yang timbul akibat sikap janggal ibuku memang mengarah ke sana. Namun, mendengarnya langsung dari mulut Aiden tetap membuatku terpukul.“Sejak kapan lo tahu?” tanyaku dengan dada bergemuruh. Mungkin Aiden bisa menyadari itu karena suaraku mulai bergetar.“Udah lama. Lebih dari setahun yang lalu.”Aku menunduk dan memutar kembali kejadian aneh pada tahun awal aku masuk SMA. Yang aku ingat hanya perubahan drastis sikap Aiden menjadi pemurung.“Itu yang bikin lo jadi sering ngunci diri di kamar?”Aiden mengangguk. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut. Karena semakin banyak aku tahu, semakin keras pula kebenaran menghantamku. Namun, aku harus benar-benar mengerti yang terjadi secara rinci. Agar aku bisa menentukan langkahku selanjutnya.
‘Mah, aku sama Aiden enggak pulang malam ini. Kami baik-baik aja. Enggak usah khawatir.’ Aku tekan ikon kirim pada layar handphone di tanganku. Aku harap pesanku itu menghentikan panggilan ibuku yang berkali-kali masuk ke handphone-ku. “Susu coklat?” tawar Jace setelah dia kembali dari kamarnya. Iya, kami tidak jadi ke hotel. Jace menawarkan rumahnya untuk menjadi tempat pelarianku malam ini. Dia bilang di rumahnya ada banyak kamar. Dan tentu saja gratis. Rumah yang dia maksud adalah kondominium mewah di atas sebuah mal. Yup, ini adalah tempat tinggal ibunya. Sangat cocok untuk dirinya yang bisa langsung pergi ke lantai dasar gedung jika tiba-tiba saat bangun tidur ingin menggunakan pakaian baru. Kondominium ini tidak terlalu besar. Hanya satu setengah lantai, dengan lantai dasar yang dibuat tanpa sekat. Semua terlihat dari tempatku duduk di kitchen land. Dari mulai foyer, sampai tangga pendek menuju lantai
“Gue mau seks.” Permintaan itu muncul begitu saja. Aku pikir, aku juga butuh sesuatu yang bisa mendistraksi kesakitanku sekarang. Namun, reaksi Jace malah membuatku mengerutkan kening. Dia malah tertawa. Cukup terlihat geli dan lama. “Jace?” Aku sampai harus mengingatkan bahwa aku bukan Sule, komedian paling terkenal di Indonesia. Kami sedang berbicara teramat serius. Jantungku saja sampai bertalu kencang saking seriusnya ucapanku tadi. “Enggak gitu cara mainnya,” tukas Jace dengan sisa tawa. Aku menunduk dalam. Bukan kecewa. Lebih kepada rasa malu. “Lupain aja. Gue mau tidur.” Aku merengut sambil menarik selimut sampai menutupi setengah wajahku. “Kat, seks itu bukan mainan. Lo enggak bisa asal minta hal begituan hanya gara-gara lagi sedih,” Jace menarik selimut yang menutupi sebagian wajahku. Aku tidak menjawab. Aku pura-pura mengabaikannya dengan memejamkan mata. Tidak sepenuhnya menyesal dengan permintaanku itu. Aku
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta
Aku mengerjap. Gejolak menyakitkan dari bagian atas perut memaksaku untuk membuka mata. Namun, terlalu silau. Sinar-sinar itu terlalu menyakiti mataku. Lalu dorongan kuat itu kembali mendera perutku. Seolah isinya sedang diaduk dan sebentar lagi akan meledak melewati kerongkongan.Aku mengerang dengan lemah sambil mencoba membuka mataku lagi. Semoga kali ini sinar itu tidak terlalu menusuk bola mata.“Kat?”Ah, suara Aiden. Untunglah ada orang di sampingku. Cahaya putih yang menyelusup melewati bulu mataku menampilkan siluet sosok yang familar. Aku kembali mengerjap berharap bayangan buram itu bisa segera menjadi jelas.Bau antiseptik, cairan infus yang menggantung, dan selang oksigen di hidung menjelaskan bahwa aku sedang di rumah sakit. Tentu saja. Aku habis tertabrak mobil.Ingatan tentang bagaimana aku harus berakhir di rumah sakit ini membuat kepalaku diserang rasa nyeri yang hebat. Jeritan klakson dan decitan ban yang kencang kembali berdengung di telinga. Duniaku berputar kenca
Jace's POV Suara orang berdebat di luar ruangan membuatku jengah. Pertengkaran konyol, saling tuduh dan menyalahkan tak berkesudahan. Beberapa kali suster mengingatkan untuk mereka tetap tenang, tetapi para manusia yang rata-rata berumur hampir setengah abad itu tetap saja bersitegang. Di ujung ruangan, pria muda dengan wajah dan raut serupa dengan kakaknya sedang tertunduk lesu. Sama denganku yang tengah di rundung gelisah, dia pun tampak terganggu dengan ucapan-ucapan tidak masuk akal yang selalu menjadi perdebatan para orang tua di luar sana. “Nyokap lo bikin rusuh,” ucapnya ketika pria muda itu mendongak ke arahku. Aku terkekeh pelan. Tidak ada yang lucu. Hanya kekehan pengganti rasa getir yang sedang menggelayuti dadaku sekarang. “Sorry enggak ngabarin lo semalam. Gue terlalu ketakutan dan lupa ngasi tahu keluarganya,” sesalku mengingat Aiden yang baru mengetahui berita ini saat Katy sudah selesai menjalani operasi darurat. Aiden menegakkan punggung. Melepaskan napas panjang
“Katy!” Aku mendengar Alex berteriak, menghentikan langkahku yang masih saja mengejar mobil Jace tanpa melihat keadaan sekeliling. “Lo mau ngapain?” Tanganku di tarik dengan kencang membuatku tersentak ke bahu jalan. Aku menoleh dan baru menyadari aku berlari terlalu ke tengah. Membuatku hampir tersenggol mobil yang sedang melaju dari arah belakang. “Alex, tolongin gue. Susul dia.” Aku merengek. Entahlah, hanya ini yang bisa aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut dia kembali menghilang. Alex mengembuskan napas dengan kasar lalu menggerakan kepalanya ke belakang. Memintaku untuk segera naik ke atas skuternya. “Naik.” Tidak sulit untuk mengejar mobil Jace yang tidak mungkin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba di persimpangan, dia harus berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. “Jace!!” Aku mengetuk kaca mobilnya ketika posisiku sudah berada tepat di samping mobilnya. Sekilas, aku melihat raut terkejut dari wajah Jace. Namun, Dia tidak sempat membuka kaca mobil
Aku mematung memandangi mobil Jace yang menjauh. Meninggalkanku dengan kebingungan atas tuduhan yang di layangkan padaku, tanpa pernah menanyakan kebenarannya terlebih dahulu.Aku mengerjap demi menahan butiran air yang hendak meluncur dari sudut mata. Menghela napas beberapa kali, lalu segera membuka layar handphone. Mencoba mencari tahu penyebab sikap Jace yang berubah drastis seperti ini.Sebuah pesan dari nomor baru dengan waktu kirim paling kini telah terbuka. Aku usap layar demi menampilkan isi pesan itu.‘Kat, ini gue Alex. Gue dapet nomor lo dari Arula. Makasi ya udah nemenin gue malam tadi. Maaf gue enggak anterin lo pulang. Istirahat yang cukup. Lo pasti kelelahan.’Aku menelan ludah sambil meremas handphone dalam gegaman. Pantas saja Jace semarah ini. Siapa pun yang membaca kalimat di dalam teks tadi tentu akan berpikir negatif tentang apa yang telah terjadi semalam.Aku harus segera menjelaskan semuanya sebelum dia memutuskan untuk menjauhiku lagi. Aku tidak bisa membiarka
“I love you, Kat.” Tunggu, apa itu? Badanku menegang. Terkejut dan sedikit ragu dengan apa yang baru saja aku dengar. Apa Jace baru saja mengucapkannya? Tiga kata yang selalu aku tunggu itu benar-benar keluar dari mulutnya? Aku menegakan punggung dan melepas penyatuan bibir kami. Berbalik dengan cepat dan menatap netranya yang sendu. “Apa Jace?” Jace tidak menjawab. Dia masih memandangku seolah aku adalah barang berharga yang baru saja dia dapatkan setelah sekian lama mencari. Mata itu jelas menyorotkan kekagumannya padaku. “I love you,” ulangnya dengan suara yang dalam. Jauh lebih seksi dari suara mana pun yang pernah di dengar telingaku “You said that?” Jace mengangguk. Jarinya menyentuh daguku dan mengusap pelan di sana. Matanya yang terbiasa menyorotkan ambisi sekarang berubah teduh. Sendu dan mendamba. Sekali lagi, dia menyatukan kembali dua bibir yang terlalu lama merindu. Keharuan memenuhi dadaku. Aku seperti sedang disiram air pegunungan yang segar setelah sekian lama t