Sampai menjelang dini hari, aku masih terjaga. Aku tidak bodoh dengan selalu menutup mata pada potongan-potongan kenyataan yang datang padaku secara tidak utuh. Aku mencoba merangkai semuanya. Dan kesimpulan yang aku dapat selalu membuatku bergidik. Merasa mustahil jika memang apa yang aku pikirkan itu adalah jawabannya.
Ibuku adalah wanita sempurna. Dia selalu menomor-satukan keluarganya. Dia rela bekerja di restoran sepanjang hari. Walau begitu, kami tetap mendapat semua pelayanan dan kasih sayang darinya.
Perut kami tetap terisi makanan enak buatannya. Baju kami tetap wangi dan bersih. Dan rumah kami tetap nyaman untuk di tinggali. Tidak ada yang ibuku lewatkan walau dia harus pulang hampir larut malam demi mencari uang tambahan untuk membantu ayahku.
Lalu hal-hal aneh ini terjadi. Aiden berkali-kali mengatakan ibuku bermasalah. Aku pun berkali-kali menemukan kejanggalan pada aktifitasnya. Haruskah aku kembali menutup mata dan telinga? Demi menjaga nama ib
Cukup dua kata itu saja sudah membuatku membeku. Aku sudah mempersiapkan hati untuk mendengar informasi tidak menyenangkan ini dari jauh-jauh hari. Karena sebenarnya, dugaan-dugaan yang timbul akibat sikap janggal ibuku memang mengarah ke sana. Namun, mendengarnya langsung dari mulut Aiden tetap membuatku terpukul.“Sejak kapan lo tahu?” tanyaku dengan dada bergemuruh. Mungkin Aiden bisa menyadari itu karena suaraku mulai bergetar.“Udah lama. Lebih dari setahun yang lalu.”Aku menunduk dan memutar kembali kejadian aneh pada tahun awal aku masuk SMA. Yang aku ingat hanya perubahan drastis sikap Aiden menjadi pemurung.“Itu yang bikin lo jadi sering ngunci diri di kamar?”Aiden mengangguk. Aku tidak berani bertanya lebih lanjut. Karena semakin banyak aku tahu, semakin keras pula kebenaran menghantamku. Namun, aku harus benar-benar mengerti yang terjadi secara rinci. Agar aku bisa menentukan langkahku selanjutnya.
‘Mah, aku sama Aiden enggak pulang malam ini. Kami baik-baik aja. Enggak usah khawatir.’ Aku tekan ikon kirim pada layar handphone di tanganku. Aku harap pesanku itu menghentikan panggilan ibuku yang berkali-kali masuk ke handphone-ku. “Susu coklat?” tawar Jace setelah dia kembali dari kamarnya. Iya, kami tidak jadi ke hotel. Jace menawarkan rumahnya untuk menjadi tempat pelarianku malam ini. Dia bilang di rumahnya ada banyak kamar. Dan tentu saja gratis. Rumah yang dia maksud adalah kondominium mewah di atas sebuah mal. Yup, ini adalah tempat tinggal ibunya. Sangat cocok untuk dirinya yang bisa langsung pergi ke lantai dasar gedung jika tiba-tiba saat bangun tidur ingin menggunakan pakaian baru. Kondominium ini tidak terlalu besar. Hanya satu setengah lantai, dengan lantai dasar yang dibuat tanpa sekat. Semua terlihat dari tempatku duduk di kitchen land. Dari mulai foyer, sampai tangga pendek menuju lantai
“Gue mau seks.” Permintaan itu muncul begitu saja. Aku pikir, aku juga butuh sesuatu yang bisa mendistraksi kesakitanku sekarang. Namun, reaksi Jace malah membuatku mengerutkan kening. Dia malah tertawa. Cukup terlihat geli dan lama. “Jace?” Aku sampai harus mengingatkan bahwa aku bukan Sule, komedian paling terkenal di Indonesia. Kami sedang berbicara teramat serius. Jantungku saja sampai bertalu kencang saking seriusnya ucapanku tadi. “Enggak gitu cara mainnya,” tukas Jace dengan sisa tawa. Aku menunduk dalam. Bukan kecewa. Lebih kepada rasa malu. “Lupain aja. Gue mau tidur.” Aku merengut sambil menarik selimut sampai menutupi setengah wajahku. “Kat, seks itu bukan mainan. Lo enggak bisa asal minta hal begituan hanya gara-gara lagi sedih,” Jace menarik selimut yang menutupi sebagian wajahku. Aku tidak menjawab. Aku pura-pura mengabaikannya dengan memejamkan mata. Tidak sepenuhnya menyesal dengan permintaanku itu. Aku
“Mahal-mahal,” bisikku setelah mengintari rak pajang yang menampilkan beberapa potong atasan berbahan satin di sebuah toko baju dengan brand terkenal. “Enggak di department store aja?” “Di sana enggak ada tempat duduk buat gue nungguin lo milih-milih.” Telunjuk Jace berjalan pada baju-baju yang tergantung di depannya. “Ini bagus.” Aku mengernyit pada terusan selutut yang dia angkat di depan dadanya. Warna hitam dengan banyak stud melingkari pergelangan tangannya. “Kayak mau konser rock.” Jace mengembalikan terusan yang dipegang ke tempatnya semula. Lalu mengikutiku berputar di dekat baju-baju yang bergantung dengan tulisan diskon. “Mau ke toko selanjutnya?” tawarnya. Sepertinya dia memperhatikan keningku yang terus berkerut setiap melihat tag harga pada setiap pakaian yang aku incar. “Enggak usah. Ini ada kok, yang murah,” jawabku setelah menemukan kaos polos tipis dengan coretan besar pada label harganya. D
Tanah ini bahkan masih basah. Wangi bunga yang aku tabur lima hari yang lalu masih terhidu pada ujung indera penciumanku. Aku merangkum tanah merah di depanku dan meremasnya dengan kuat. Merasa tidak cukup satu genggaman, tanganku yang lain ikut meraup tanah. Jika perlu, aku akan melakukannya berkali-kali, sampai tanah yang menutupi jasad ayahku ini bisa tersingkir dari atasnya. Namun urung kulakukan. Bukan karena aku takut. Namun, karena aku tidak membawa sekop untuk mengerjakannya. Butuh waktu berhari-hari jika aku lakukan hanya dengan kedua tanganku ini. Apa sih, yang aku pikirkkan? Bisa-bisanya punya niatan menggali kuburan ayah sendiri. “Mbak, udah malam. Sebentar lagi gerbang depan mau saya tutup.” Penjaga komplek pemakaman mengingatkan. Sudah gelap. Sudah tidak ada orang lain lagi di pemakaman ini selain aku dan pria berkumis tebal yang sedang melipat tangannya di dada. Aku mengembuskan napas lalu bangkit menghadapnya. “Saya mau tidur d
“Mau makan apa?” Aiden muncul dari balik pintu. Dia menyalakan lampu yang tombolnya menempel di dekat kepalanya. “Samain aja,” jawabku malas. Lalu kembali menarik selimut motif batman milik Aiden. Jika bukan karena aku yang cuci sendiri selimut ini, aku tidak akan sudi pakai selimut yang bentuknya saja sudah tidak karuan. “Enak aja disamain. Gue nasi goreng kambing, lo nasi goreng biasa aja,” ucapnya sambil berbalik meninggalkanku. “Gue juga mau nasi goreng kambing.” Aku berteriak. Sepertinya, enak juga malam-malam dingin begini makan sesuatu yang berlemak. Namun, itu hanyalah anganku saja. Aiden kembali setengah jam kemudian dan hanya memberiku nasi goreng biasa. Saking biasanya, bahkan telur saja tidak ditambahkan ke dalamnya. Aku merengut pada tiga bocah cowok yang sedang terkikik geli, menertawakan candaan yang hanya mereka saja yang mengerti. “Tega banget sih, gue enggak dikasih topping sama sekali.” Aiden
Tidak ada percakapan yang terjadi lagi antara aku dengan Sheryl sampai kami akhirnya menyelesaikan pelajaran hari ini. Sheryl tertangkap menangis ketika aku kembali ke kelas setelah menenangkan diri di toilet. Shafira dan Briya tidak bertanya tentang yang telah terjadi. Jadi aku bisa leluasa untuk segera pergi dari kelas dan pulang. Dari gerbang sekolah, aku harus berjalan cukup jauh menuju pertigaan tempat Aiden nanti menjemputku. Katanya, dia malas kalau harus masuk ke dalam komplek menuju gerbang sekolah. Selain karena jalanannya sempit, dia juga sedang menhindari salah satu mantannya yang ternyata adik kelasku. ‘Kat, tunggu dulu, ya. Gue harus anter Clara pulang dulu. Dia sakit perut. Lagi dateng bulan.’ Aku berdecak kesal membaca pesan yang Aiden kirim. Giliran diberi pinjam mobil, malah dipakai pacaran. Langit menggelap. Udara dingin bercampur titik air yang terbawa angin menerpa pipiku. Aku terus melangkah melewati perti
“Zoey, cium gue.” Untuk beberapa detik bola mata kelabu di depanku ini bergerak dengan ragu. Kelopak yang menaungi matanya melunglai dan bibirnya malah menyunggingkan senyum yang tidak sampai ke mata. Keterkejutan di wajahnya berangsur menjadi tatapan kecewa. “Kat, lo tahu? Ini kenak-kanakan,” bisiknya tanpa melepaskan telapaknya di pipiku. Aku mengerjap. Zoey menolakku. “Sorry.” Malah aku yang melepaskan diri. Menunduk dalam karena merasa malu. “Gue enggak bisa marah sama lo. Walau gue sadar keberadaan gue di sisi lo selama ini cuma dijadikan alat.” Aku menggerakan rahang. Menahan ekspresi wajah supaya tidak terlihat menyedihkan. “Enggak gitu, Zoey. Gue memang salah, tapi lo bukan alat.” “Enggak apa-apa, Kat. Gue tetap senang kita pernah punya waktu bersama.” Zoey mundur sebelum melepaskan tatapannya padaku. Dia sempat menyapa Jace di seberang dengan mengangkat tangannya ke udara. Lalu berbalik dan masuk kemba
Bunyi bip terdengar seiring kartu akses apartemen yang aku tempelkan di sensor lift terbaca oleh sistem. Kemudian kotak besi itu bergerak naik membawaku ke lantai yang mau aku tuju. Ketukan sepatu terdengar menggema di sepanjang koridor yang sepi, membuatku mempercepat langkah menuju unit apartemen milik Jace.Keadaan apartemen yang gelap menyambut kedatanganku, menandakan si pemilik hunian ini sedang tidak berada di sini. Dengan langkah pelan, aku menyusuri ruangan untuk menyalakan semua lampu.Lampu terakhir yang aku nyalakan adalah kamar Jace. Kemudian menghidupkan pendingin udara dan membuka tirai yang sebelumnya menutupi pemandangan kota yang indah. Aku paling suka pemandangan dari sini. Lampu kota yang gemerlap selalu bisa membuatku lebih tenang.Sambil duduk di bench panjang yang empuk. Aku keluarkan handphone dan mengetikan sebuah pesan untuk Jace.Saya: “Aku di apartemenmu.”Aku tidak berharap dia cepat membalas pesanku tadi, tapi ternyata Jace langsung membalasnya.Jace: “Ka
“Teman-teman, ini anggota baru klub kita. Titipan Pak Tedy. Ada yang mau tanya-tanya?”Kalimat yang terdengar setengah hati keluar dari mulut Hiro membuatku ragu untuk memperkenalkan diri. Padahal, rekan-rekannya sudah antusias melingkariku dan Hiro dari semenjak aku masuk ke ruangan ini.“Namanya siapa, teh?” tanya seorang cowok dengan kacamata tebal yang duduk barisan paling kiri.Aku melirik ragu pada Hiro. Maksudnya, mau bertanya apakah aku sudah diijinkan untuk membuka mulut?“Jawab. Kenapa malah liat gue?” ketusnya membuatku gemas ingin menjambak rambut gondrongnya itu.Aku berdehem beberapa kali sebelum membuka suara, “Saya Kaitlyn, dari jurusan Matematika. Panggil aja Katy.”“Hai, Katy. Selamat datang di klub Teknik Digital,” sapa seorang cewek mungil dari barisan paling depan. Padahal aku merasa tidak cukup tinggi dibanding teman-temanku, tetapi ternyata cewek di depanku ini lebih pendek lagi dariku.Mataku mulai memindai sekeliling. Perkiraan, ada sekitar dua puluh orang yan
Aku mendengar suara Jace dari arah kamar ketika pintu depan sudah aku tutup rapat. Pelan-pelan aku melepas jaket dan sepatu, kemudian menggantungnya di tempat biasa aku menaruhnya. Aku mengendap menyebrangi ruang tengah menuju kamar di mana asal dari suara Jace terdengar. Aroma khas Jace langsung menguar bahkan ketika orangnya belum terlihat sama sekali.Punggung Jace yang pertama kali menyambutku. Dia bicara pada sosok yang berada di layar laptop dengan kalimat-kalimat formal. Dari judul berkas yang dia pegang, sepertinya dia sedang ada presentasi bisnis untuk kelas online-nya. Makanya, aku memilih untuk mundur pelan-pelan dan berniat menunggunya selesai di ruang terpisah.Namun aku mendengar Jace memanggil namaku, membuatku menoleh ke arahnya.“Apa?” Aku berbisik, takut lelaki tanpa rambut yang sedang bicara pakai bahasa inggris di seberang sana mendengar suaraku.“Udah aku mute. Enggak perlu bisik-bisik.” Jace terkekeh. Tangan kanannya terangkat dan hendak menggapaiku.Aku belum p
Aku melambaikan tangan pada laki-laki yang sedang berjalan masuk area restoran. Butuh beberapa saat untuk dia menyadari posisiku yang tertutup beberapa pengunjung restoran. Berbanding terbalik jika aku yang harus mencari dia di tengah kerumunan, badannya yang tinggi membuat dia gampang untuk ditemukan.“Nunggu lama?” tayanya ketika sudah berhasil membelah kerumunan dan duduk di seberangku.“Enggak juga. Ini baru mau pesen makan,” jawabku sambil memindai tanda batang yang di pasang di samping meja untuk segera melakukan pemesanan lewat aplikasi.Sambil memilih menu di layar handphone, aku juga sekalian memberi dia waktu untuk diam sejenak sebelum aku tanya kemana saja dia hari ini sampai harus melewatkan beberapa kelas wajib.“Aku udah makan. Pesanin cemilan sama minuman aja, ya,” ujarnya membuatku menaikan satu alis.“Makan di mana?” tanyaku.“Aku abis ketemu Papa, dan makan bareng dia,” jawabnya singkat.Kalimat barusan membuat kedua alisku bersatu. Jace mau menemui ayahnya adalah se
Suara gemericik air dari kamar mandi perlahan membuatku membuka mata. Sesekali terdengar siulan ringan membuatku sedikit tersenyum. Dia pasti sedang dalam suasana hati yang bagus pagi ini.Aku mengedarkan tangan mencari handphone di sepanjang nakas. Setelah menemukannya, aku mengetuk layarnya dan melihat tampilan penanda waktu.“Masih jam enam pagi,” lirihku dengan dahi mengkerut. Kenapa dia sudah bangun bahkan sudah mandi sepagi ini?Tidak berselang lama, pintu kamar mandi terbuka. Sosok cowok tampan yang sudah membuat jari manisku tersemat cincin cantik, melangkah keluar dari kamar mandi. Dia menoleh ke arahku ketika dia sadar aku juga sudah terbangun pagi ini.“Lho? Kamu bangun?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil berwarna pink milikku.Aku mengangguk. Menarik badanku supaya duduk lebih tinggi dan bersandar pada kepala ranjang. Kamu kenapa udah mandi jam segini? Ini masih jam enam pagi.”Cowok tinggi dengan senyuman paling sempurna i
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta