“Mau makan apa?”
Aiden muncul dari balik pintu. Dia menyalakan lampu yang tombolnya menempel di dekat kepalanya.
“Samain aja,” jawabku malas. Lalu kembali menarik selimut motif batman milik Aiden. Jika bukan karena aku yang cuci sendiri selimut ini, aku tidak akan sudi pakai selimut yang bentuknya saja sudah tidak karuan.
“Enak aja disamain. Gue nasi goreng kambing, lo nasi goreng biasa aja,” ucapnya sambil berbalik meninggalkanku.
“Gue juga mau nasi goreng kambing.” Aku berteriak. Sepertinya, enak juga malam-malam dingin begini makan sesuatu yang berlemak.
Namun, itu hanyalah anganku saja. Aiden kembali setengah jam kemudian dan hanya memberiku nasi goreng biasa. Saking biasanya, bahkan telur saja tidak ditambahkan ke dalamnya.
Aku merengut pada tiga bocah cowok yang sedang terkikik geli, menertawakan candaan yang hanya mereka saja yang mengerti.
“Tega banget sih, gue enggak dikasih topping sama sekali.”
Aiden
Tidak ada percakapan yang terjadi lagi antara aku dengan Sheryl sampai kami akhirnya menyelesaikan pelajaran hari ini. Sheryl tertangkap menangis ketika aku kembali ke kelas setelah menenangkan diri di toilet. Shafira dan Briya tidak bertanya tentang yang telah terjadi. Jadi aku bisa leluasa untuk segera pergi dari kelas dan pulang. Dari gerbang sekolah, aku harus berjalan cukup jauh menuju pertigaan tempat Aiden nanti menjemputku. Katanya, dia malas kalau harus masuk ke dalam komplek menuju gerbang sekolah. Selain karena jalanannya sempit, dia juga sedang menhindari salah satu mantannya yang ternyata adik kelasku. ‘Kat, tunggu dulu, ya. Gue harus anter Clara pulang dulu. Dia sakit perut. Lagi dateng bulan.’ Aku berdecak kesal membaca pesan yang Aiden kirim. Giliran diberi pinjam mobil, malah dipakai pacaran. Langit menggelap. Udara dingin bercampur titik air yang terbawa angin menerpa pipiku. Aku terus melangkah melewati perti
“Zoey, cium gue.” Untuk beberapa detik bola mata kelabu di depanku ini bergerak dengan ragu. Kelopak yang menaungi matanya melunglai dan bibirnya malah menyunggingkan senyum yang tidak sampai ke mata. Keterkejutan di wajahnya berangsur menjadi tatapan kecewa. “Kat, lo tahu? Ini kenak-kanakan,” bisiknya tanpa melepaskan telapaknya di pipiku. Aku mengerjap. Zoey menolakku. “Sorry.” Malah aku yang melepaskan diri. Menunduk dalam karena merasa malu. “Gue enggak bisa marah sama lo. Walau gue sadar keberadaan gue di sisi lo selama ini cuma dijadikan alat.” Aku menggerakan rahang. Menahan ekspresi wajah supaya tidak terlihat menyedihkan. “Enggak gitu, Zoey. Gue memang salah, tapi lo bukan alat.” “Enggak apa-apa, Kat. Gue tetap senang kita pernah punya waktu bersama.” Zoey mundur sebelum melepaskan tatapannya padaku. Dia sempat menyapa Jace di seberang dengan mengangkat tangannya ke udara. Lalu berbalik dan masuk kemba
“Saya walinya. Adik dari Pak Atreya.” Om Aldrin menjulurkan tangan pada sosok gempal yang menatapku dengan pandangan bimbang. “Jadi keputusannya sudah bulat ya?” Lelaki yang selalu menjadi sosok paling menakutkan di sekolah ini kembali menghela napas. Entah untuk yang keberapa kali semenjak kami bertiga duduk di ruangan. “Iya, Pak,” jawabku pelan. Tidak berani menatap matanya. “Sayang sekali, Kat. Padahal tidak perlu sampai mengundurkan diri. Kesalahanmu tidak sefatal itu.” Pria yang sudah dua tahun aku kenal sebagai Kepala Sekolah ini mundurkan punggungnya. “Keputusan ini enggak ada kaitannya sama kasus uang pensi kemarin kok, Pak.” Aku meluruskan. “Ada masalah internal keluarga, Pak. Itu membuat saya harus membawa Katy dan Adiknya bersama saya ke Bandung,” imbuh Om Aldrin menjelaskan maksud perkataanku sebelumnya. Pak Walid –Kepala Sekolahku– mengangkat kedua alisnya. Sepertinya dia belum paham, tetapi tidak membahasnya lebih l
“Mereka pelakunya.” Ada kelegaan di mata Shafira ketika aku melihat netra hitam miliknya. Jadi dia melakukannya? Dia benar-benar mencari pelaku sesungguhnya demi aku? “Sha?” Aku masih memandangnya tidak percaya. Merasa lega dan terharu di saat bersamaan. Shafira mengangguk. Menjawab tatapan terkejut yang aku tujukan padanya. “Bicara, Don,” geram Pak Badrun. Doni tergugu. Dia masih belum berani mengangkat kepalanya ketika akhirnya dia bicara. “Maafin saya, Pak. Saya lagi kesulitan ekonomi.” “Tapi ini tindakan kriminal. Kamu mau saya laporkan ke polisi?” ancam Kepala Sekolah geram. Doni semakin tertunduk. Bahkan aku melihat titik bening jatuh ke pahanya. Begitu pun gadis SPG dealer di sampingnya. Dia sudah terisak semenjak dokumen kwitansi palsu yang menjadi bukti itu di hadirkan ke hadapannya. Persidangan untuk Doni masih berlanjut. Keadaan semakin sulit untuk Doni ketika Kepala Dealer tempat kwitansi itu di buat, ikut hadir di
“Jadi kapan berangkat ke Bandung?” Jace memantulkan bola basket di tangannya ke lantai semen beberapa kali. Memasang ancang-ancang untuk menembak lalu melambungkan bola ke dalam keranjang. Bola masuk tepat sasaran. Sempat memantul dan menggelinding jauh. “Besok,” jawabku. Mataku masih memperhatikan gerakannya saat mengejar bola yang bergulir ke sisi kiri lapangan. Jace menoleh sebentar dan kembali dengan bola di tangannya. Kemudian melakukan hal yang sudah tiga kali di lakukan semenjak dia mengajakku ke lapangan basket milik apartemen di belakangku. Berdiri di belakang garis three point, memasang kuda-kuda dan melempar bola. Seperti katanya tadi, dia memang mengajakku ke tempat sepi. Inilah tempat sepi yang dia maksud. Kami menerobos pagar kawat tinggi menuju belakang sebuah apartemen dan berakhir di lapangan basket. Tidak terlalu sepi juga, karena di seberang lapangan basket, ada skate park untuk umum. Berbeda dengan lapangan basket,
Dua tahun kemudianDering telepon memenuhi ruangan empat kali lima meter yang menjadi tempat tinggalku sekarang. Aku melenguh sambil mengucek pelan kedua mataku. Mataku menyipit, berusaha menyesuaikan dengan cahaya dari sinar matahari yang menyelusup masuk lewat celah gordin.Handphone kembali mengumandangkan suara merdunya Raisa yang sudah satu tahun ini menjadi penanda adanya panggilan masuk.“Siapa, sih?” gerutuku pada diri sendiri.Tanganku bergerilya ke samping bantal tempat aku terakhir meletakan handphone sebelum tidur semalam. Nama ibuku tertera di layar ketika handphone sudah aku hadapkan pada wajah.“Halo?” sapaku.“Katy? Baru bangun?” Suara ibuku terdengar nyaring di telepon.Di belakangnya terdengar keributan khas dapur di Saung Geulis. Suara detingan piring, cacahan pisau, dan alat-alat dapur yang saling beradu. Beberapa kali
Aiden akhirnya setuju pada rumah kos yang menjadi rekomendasiku. Sebelumnya, aku juga sudah melalui pencarian panjang tentang rumah-rumah kos yang berada tidak terlalu jauh dari tempat kosanku. Jadi, Aiden hanya memilih dua rekomendasi paling atas dan tidak lama dia sudah bisa langsung memutuskan.“Oke, gue mau yang ini,” putus Aiden.Aku mengedarkan padangan ke segala penjuru ruangan. Ukurannya sedikit lebih kecil dari kamarku. Tidak ada dapur dan pendingin ruangan. Lagi pula aku sendiri jarang menyalakan pendingin ruangan untuk udara Bandung yang sudah dingin ini. Selebihnya cukup bagus dan pas di kantong.“Tapi kosan ini campur. Lo enggak apa-apa?” tanyaku memastikan. Karena rumah kos tempatku tinggal memang khusus untuk wanita saja.Aiden menyeringai mendengar pertanyaanku. “Enggak apa-apa. Bagus malah.”“Heh, berani macem-macem gue gantung lo di pohon mangga,” ancamku begitu menyadari isi dari ke
Suasana festival seni empat tahunan ini sangat meriah. Banyak instalasi seni yang di pajang menyambut kehadiran para pengunjung. Yang paling menarik perhatian adalah instalasi replika dinosaurus yang terbuat dari lempengan seng. Tingginya saja bisa sampai tiga meter. Membuat replika dinosaurus itu menjadi pojok favorit untuk berfoto. Selain itu, ada juga arena pasar karya, tempat para seniman menjual karya mereka. Juga wahana-wahana menarik yang bisa kami nikmati di sini.“Rame banget,” gumam Hugo ketika kami mulai berkeliling.Dia tidak salah. Hari pertama pembukaan pasar seni ini memang menargetkan ratusan ribu pengunjung. Apalagi acara ini di buka oleh Pak Gubernur sendiri. Juga sederet artis yang ikut tampil memeriahkan suasana di dua panggung sekaligus. Membuat kawasan pasar seni semakin padat dan sesak.“Harusnya jangan datang di hari pertama. Biar enggak terlalu berjubel,” ungkapku. Aku sendiri sebenarnya ingin datang pada
“Kaitlyn,” Om Khalid menyapa ketika dia sudah berjarak satu meter di depanku. “Boleh saya bicara denganmu?” Aku mengerjap beberapa saat. Namun buru-buru mengangguk dan menjawab. “Iya, Om. Boleh.” Dengan gerakan pelan nan berwibawa, Om Khalid duduk di kursi bekas Sheryl. Satu kaki ditumpangkan pada kaki lainnya mencoba membuat dirinya nyaman di kursi yang sebetulnya terlalu kecil untuk tubuhnya yang besar. Tak lama, tangannya bergerak merogoh saku dibalik jasnya, kemudian mengeluarkan amplop putih dari sana Dia mengangsurkan amplop itu padaku sambil berucap, “hadiah kecil dariku.” Sempat mengerutkan dahi karena keheranan, tetapi segera aku terima uluran amplop dari tangan Om Khalid dengan canggung. “Terima kasih.” Mataku menangkap sosok Jace di seberang meja jamuan utama sedang memandang ke arahku penuh curiga. Dahi yang berkerut dengan alis yang menukik tajam memperlihatkan sikap waspada. Mungkin dia khawatir karena melihaku bicara dengan ayahnya tanpa ada yang mendampingi. Dia se
Rencana Tuhan sangat tidak bisa aku tebak. Segala hal menyangkut takdir memang selalu menjadi misteri yang pada akhirnya akan ditunjukan dengan cara-Nya yang paling indah. Hanya tinggal menunggu waktu. Kelahiran, kematian, dan cinta. Itu yang aku yakini sekarang. Ketika dengan sangat mengejutkan, pria yang selalu menjadi pujaan hatiku dari semenjak aku baru mengenal cinta, mempersembahkan cincin bertahtakan berlian ke hadapanku. “Kejutan,” ucapnya dengan senyum yang terukir di bibir. Detak jantungku mungkin sempat berhenti beberapa saat. Mataku tidak bisa lepas dari wajah penuh senyum yang semakin membuat aliran darahku berdesir kecang. Gerakan pelan dari kursi roda yang di dorong ibuku membuat jiwaku kembali ke raga. Setelah beberapa saat terlepas dan berkelana mencari jawaban, apakah ini nyata, atau hanya khayalanku saja? Seperti halnya aku, semua yang hadir pun menunjukan wajah penuh tanya. Yang mereka tahu, malam ini adalah malam pertunangan Khalid Ashad dengan ibuku. Bukan ac
Dengan bantuan Sheryl, aku menjalankan kursi roda menuju barisan kursi paling kanan. Ada panggung kecil setinggi lima belas sentimeter yang nampak cantik, dihiasi bunga chamomile dan hortensia di sepanjang garis tepiannya. Di kiri panggung disediakan jalur khusus kursi roda untuk naik. Mungkin ibuku menginginkan aku menemaninya di sana. Namun, aku rasa itu tidak bisa aku wujudkan Untuk bisa hadir di sini saja, aku harus menarik napas berkali-kali. Melepaskan segala perasaan sesak agar bisa tersenyum lebar untuk ibuku secara tulus. Aku senang jika ibuku bisa berbahagia. Seberat apa pun nanti, aku pasti bisa menerima keluargaku yang baru dengan dada seluas samudera. “Lo udah siap?” Suara serak adikku terdengar dari arah belakang. Aku terkejut melihat penampilannya yang rapi dan wangi. Apalagi melihat dia tersenyum lebar tanpa beban. “Lo di sini?” tanyaku masih tidak percaya. Maksudku, selain aku dan Jace, Aiden adalah orang yang paling membenci rencana pertunangan ini. Dia merasa ib
“Cantik banget sih, temen gue. Senyum dong.” Sheryl mengusap anak rambut yang masih mencuat nakal lalu menyelipkannya ke belakang telingaku. Sebagai sentuhan terakhir, dia menjepitkan hiasan rambut kecil berbentuk kupu-kupu di kepala bagian kiri. “Selesai,” gumamnya nampak puas akan hasil karyanya yang terpantul pada cermin di depan kami. “Makasih, Sher. Gue jadi menghemat anggaran make up artist,” gurauku diselingi senyum tipis di bibir. “Sama-sama, Sayang.” Sheryl meremas pelan kedua bahuku dari belakang. Lalu memutar kursi penunjang aktifitas yang aku duduki ini menjadi saling berhadapan. “Lo baik-baik aja, kan?” Aku mengangguk meyakinkannya. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku hanya perlu menebar senyum pada semua yang hadir. Setidaknya untuk malam ini saja. Sheryl menghela napasnya dalam-dalam dan menatapku dengan mata sendu. Namun, buru-buru dia bergeleng dan merubah lengkungan bibirnya menjadi tarikan ke atas. “Eh, udah latihan jalan belum hari ini?” “Udah tadi pagi. Ta
Aku mengerjap. Gejolak menyakitkan dari bagian atas perut memaksaku untuk membuka mata. Namun, terlalu silau. Sinar-sinar itu terlalu menyakiti mataku. Lalu dorongan kuat itu kembali mendera perutku. Seolah isinya sedang diaduk dan sebentar lagi akan meledak melewati kerongkongan.Aku mengerang dengan lemah sambil mencoba membuka mataku lagi. Semoga kali ini sinar itu tidak terlalu menusuk bola mata.“Kat?”Ah, suara Aiden. Untunglah ada orang di sampingku. Cahaya putih yang menyelusup melewati bulu mataku menampilkan siluet sosok yang familar. Aku kembali mengerjap berharap bayangan buram itu bisa segera menjadi jelas.Bau antiseptik, cairan infus yang menggantung, dan selang oksigen di hidung menjelaskan bahwa aku sedang di rumah sakit. Tentu saja. Aku habis tertabrak mobil.Ingatan tentang bagaimana aku harus berakhir di rumah sakit ini membuat kepalaku diserang rasa nyeri yang hebat. Jeritan klakson dan decitan ban yang kencang kembali berdengung di telinga. Duniaku berputar kenca
Jace's POV Suara orang berdebat di luar ruangan membuatku jengah. Pertengkaran konyol, saling tuduh dan menyalahkan tak berkesudahan. Beberapa kali suster mengingatkan untuk mereka tetap tenang, tetapi para manusia yang rata-rata berumur hampir setengah abad itu tetap saja bersitegang. Di ujung ruangan, pria muda dengan wajah dan raut serupa dengan kakaknya sedang tertunduk lesu. Sama denganku yang tengah di rundung gelisah, dia pun tampak terganggu dengan ucapan-ucapan tidak masuk akal yang selalu menjadi perdebatan para orang tua di luar sana. “Nyokap lo bikin rusuh,” ucapnya ketika pria muda itu mendongak ke arahku. Aku terkekeh pelan. Tidak ada yang lucu. Hanya kekehan pengganti rasa getir yang sedang menggelayuti dadaku sekarang. “Sorry enggak ngabarin lo semalam. Gue terlalu ketakutan dan lupa ngasi tahu keluarganya,” sesalku mengingat Aiden yang baru mengetahui berita ini saat Katy sudah selesai menjalani operasi darurat. Aiden menegakkan punggung. Melepaskan napas panjang
“Katy!” Aku mendengar Alex berteriak, menghentikan langkahku yang masih saja mengejar mobil Jace tanpa melihat keadaan sekeliling. “Lo mau ngapain?” Tanganku di tarik dengan kencang membuatku tersentak ke bahu jalan. Aku menoleh dan baru menyadari aku berlari terlalu ke tengah. Membuatku hampir tersenggol mobil yang sedang melaju dari arah belakang. “Alex, tolongin gue. Susul dia.” Aku merengek. Entahlah, hanya ini yang bisa aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut dia kembali menghilang. Alex mengembuskan napas dengan kasar lalu menggerakan kepalanya ke belakang. Memintaku untuk segera naik ke atas skuternya. “Naik.” Tidak sulit untuk mengejar mobil Jace yang tidak mungkin memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tiba di persimpangan, dia harus berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. “Jace!!” Aku mengetuk kaca mobilnya ketika posisiku sudah berada tepat di samping mobilnya. Sekilas, aku melihat raut terkejut dari wajah Jace. Namun, Dia tidak sempat membuka kaca mobil
Aku mematung memandangi mobil Jace yang menjauh. Meninggalkanku dengan kebingungan atas tuduhan yang di layangkan padaku, tanpa pernah menanyakan kebenarannya terlebih dahulu.Aku mengerjap demi menahan butiran air yang hendak meluncur dari sudut mata. Menghela napas beberapa kali, lalu segera membuka layar handphone. Mencoba mencari tahu penyebab sikap Jace yang berubah drastis seperti ini.Sebuah pesan dari nomor baru dengan waktu kirim paling kini telah terbuka. Aku usap layar demi menampilkan isi pesan itu.‘Kat, ini gue Alex. Gue dapet nomor lo dari Arula. Makasi ya udah nemenin gue malam tadi. Maaf gue enggak anterin lo pulang. Istirahat yang cukup. Lo pasti kelelahan.’Aku menelan ludah sambil meremas handphone dalam gegaman. Pantas saja Jace semarah ini. Siapa pun yang membaca kalimat di dalam teks tadi tentu akan berpikir negatif tentang apa yang telah terjadi semalam.Aku harus segera menjelaskan semuanya sebelum dia memutuskan untuk menjauhiku lagi. Aku tidak bisa membiarka
“I love you, Kat.” Tunggu, apa itu? Badanku menegang. Terkejut dan sedikit ragu dengan apa yang baru saja aku dengar. Apa Jace baru saja mengucapkannya? Tiga kata yang selalu aku tunggu itu benar-benar keluar dari mulutnya? Aku menegakan punggung dan melepas penyatuan bibir kami. Berbalik dengan cepat dan menatap netranya yang sendu. “Apa Jace?” Jace tidak menjawab. Dia masih memandangku seolah aku adalah barang berharga yang baru saja dia dapatkan setelah sekian lama mencari. Mata itu jelas menyorotkan kekagumannya padaku. “I love you,” ulangnya dengan suara yang dalam. Jauh lebih seksi dari suara mana pun yang pernah di dengar telingaku “You said that?” Jace mengangguk. Jarinya menyentuh daguku dan mengusap pelan di sana. Matanya yang terbiasa menyorotkan ambisi sekarang berubah teduh. Sendu dan mendamba. Sekali lagi, dia menyatukan kembali dua bibir yang terlalu lama merindu. Keharuan memenuhi dadaku. Aku seperti sedang disiram air pegunungan yang segar setelah sekian lama t