Dua orang personel dari tim baseball mencoba menenangkan Rangga. Namun, Rangga masih terlihat seperti orang ketakutan dan justru mendorong mereka berdua. Almara tidak bisa menahan dirinya untuk tidak ikut campur. Saat dia hendak menghampiri Rangga, Fiolina tiba – tiba berlari dari arah luar dan mendahului Almara.
“Tolong, singkirkan dulu perlengkapan kalian. Karena Pak Rangga phobia dengan tongkat baseball,” ujar Fiolina kepada para personel tim baseball.
‘Apa? Rangga phobia tongkat baseball? Sejak kapan? Kenapa Aku gak pernah tahu?’ Almara bertanya – tanya dalam hatinya.
Segera semua personel menyingkirkan perlengkapan mereka ke luar ruangan. Fiolina juga menginstruksikan untuk melepas jaket mereka. Setelah semua sudah aman dari atribut baseball, Rangga menjadi lebih tenang. Diteguknya segelas air yang disodorkan oleh Fiolina lalu secara perlahan dia bangkit berdiri menuju so
“Ardan? Jangan salah paham ya, Almara hanya membantu Saya memilih cincin untuk Fiolina,” ujar Rangga seketika.Ardan tersenyum lalu memalingkan pandangannya kepada Rangga, “Tentu. Aku percaya sama Almara.”“Lho, Almara disini?” ucap seorang wanita dewasa yang baru saja memasuki toko. Almara menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati bahwa wanita itu adalah Melisa.“Eh iya Tante,” jawab Almara canggung.“Kamu bilang gak akan ajak Almara Ar?”“Almara kesini bukan karena Aku aja kok Ma. Dia menemani Kak Rangga memilih cincin untuk tunangannya,” terang Ardan kepada Melisa.“Oh... Sebentar. Ini Rangga Adiputera kan? CEO PT Natura Mega Chemica?” Melisa memandang Rangga dengan sorot mata yang berbinar.“Iya benar. Wah Bu Melisa ingat dengan pengusaha kecil
Ruangan tempat Almara duduk sebenarnya cukup riuh sekalipun suasananya masih tergolong tenang. Ada barisan customer service yang masing – masing sedang bercakap dengan pelanggan mereka. Sesekali, dering telepon kantor dan ketikan keyboard komputer bersautan pertanda sibuknya aktifitas karyawan. Namun, dunia Almara mendadak sepi, hanya karena satu pesan singkat.Cukup dengan satu pesan singkat, riuh kesibukan khas kantor itu tak lagi bisa Almara rasakan, yang tersisa hanyalah kesunyian dalam otaknya. Kesunyian yang sayangnya tak bisa ia penjara agar tak keluar dari pikirannya. Kesunyian itu seakan turut menyelimuti setiap sensor panca inderanya.[Bulan depan Aku dan Rangga akan resmi jadi suami istri]Pesan itu datang bagai tikaman yang melumpuhkan jantung Almara, tenang, tak bersuara, namun mematikan.‘Secepat itu? Secepat itu aku kehilangan Rangga?’&nbs
“Yaaah ... jadwalnya harus sama banget ya? Kita jadi gak bisa saling hadir di pernikahan masing – masing dong,” Fiolina tampak menggerutu namun masih dengan semangat melahap sushinya. “Heem, gimana lagi, para orang tua sudah setuju dan gedung juga sudah kami book,” ucap Almara. Dalam hati dia merasa lega, untunglah jika dia ada alasan untuk tidak hadir di pernikahan Rangga. Mereka berempat lanjut berbincang mengenai banyak hal. Hingga waktu menunjukkan pukul empat sore, barulah mereka berpisah dan pulang dengan pasangan masing – masing. Hari itu adalah hari terakhir Almara bertemu dengan Rangga dan Fiolina sebelum pernikahannya. Hari – hari selanjutnya diisi dengan kesibukan menjelang pernikahan. Sedikit banyak, tetek bengek pernikahan mampu mengalihkan pikirannya dari Rangga. Namun, saat dia sendirian, rasa pedih masih sering muncul dalam hatinya. Yang bisa Almara lakukan hanya meni
Dear reader, Buat yang masih bingung dengan tanggal – tanggal alias timeline. Aku akan jelaskan di sini ya supaya kalian gak bingung lagi membaca bab – bab selanjutnya. Ini adalah umur para tokoh pada tahun 2022 : Almara : 28 tahun (Lahir 5 April 1994) Rangga : 37 tahun (Lahir 14 Desember 1984) Ardan : 28 tahun (Lahir 20 Januari 1994) Fiolina : 34 tahun (Lahir 25 Agustus 1987) Peristiwa Penting : &n
Almara terjatuh semakin dalam dan semakin cepat. Seketika anggota tubuhnya tersentak. Hanya dalam waktu sepersekian detik, dia mendapati tubuhnya berbaring pada sebuah ranjang.Di antara detak jantungnya yang semakin cepat, sekuat tenaga dia mencoba untuk membuka matanya. Pandangannya berkabut. Ditatapnya langit – langit ruangan yang sunyi namun menenangkan.“Almara ... Almara Kamu sadar Nak,” Suara seorang wanita bergumam di sebelah kiri tubuh Almara yang sedang berbaring.Almara hafal suara itu. Itu adalah suara Kinanti, Mamanya.Dengan sigap Kinanti menekan tombol untuk memanggil perawat. Almara belum sepenuhnya sadar, yang dia rasakan hanyalah siluete perawat yang datang silih berganti, gumaman Kinanti yang entah apa, dan juga dokter yang datang melakukan pemeriksaan sesekali.Almara tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak pertama kali diri
“Sebenernya ada apa Pa? Rangga kenapa?” Almara menatap lekat – lekat sosok Ayahnya itu. Berharap menemukan jawaban.“Pa, please kasih tahu Aku...” ujarnya saat Hardian tak kunjung memberi jawaban.“Almara, jangan terlalu dipikirkan. Papa yakin semua baik – baik saja. Kamu banyak istirahat dulu, nanti kalau kamu sudah benar – benar sembuh ...”“Aku sudah sembuh Pa. Aku gak papa. Please Pa ...” Almara memohon pada Hardian. Namun ucapannya terhenti saat Kinanti memasuki ruangan dengan terburu –buru dan wajah frustasi.“Gawat. Mereka dapat info darimana sih?” ujar Kinanti. Nafasnya tersengal.“Ada apa Ma? Tenang dulu, ini minum dulu,” Hardian menyodorkan segelas air kepada istrinya sambil menuntunnya untuk duduk di sofa.“Wartawan. Wartawan dapa
Senyumnya tersungging. Namun ada kegetiran di baliknya. Dia sudah siap jika reputasi dan karirnya hancur. Atau jika rumah tangganya berantakan. Atau jika seluruh manusia membencinya. Dia siap. Namun apa yang dilakukan wanita itu seakan meruntuhkan pertahanannya.Hampir sewindu berlalu, hatinya tetap milik wanita itu. Sekalipun riuh kehidupan sebagai artis menyibukkannya beberapa tahun ke belakang, kepalanya tak pernah sesibuk saat dia memikirkan wanita itu. Sekalipun ada seseorang sesempurna Sharon di sampingnya, dia tidak pernah mampu mengusir bayangan wanita itu dari ingatannya.Cintanya, hatinya, pikirannya, semuanya.Empat bulan yang lalu dia diberi harapan. Namun lihatlah apa yang wanita itu lakukan kepadanya sekarang. Di hadapan publik dia menyatakan cintanya kepada suaminya, seseorang yang katanya tidak pernah mampu menggantikan dirinya di hati wanita itu.Almara ternyata setega itu.&n
“Kita kemana sekarang Pak?” tanya Fariz saat hendak mengemudi mobil.“Ke kantor, ada yang menunggu Saya di sana,” jawab Rangga sambil melihat jam tangannya.“Baik.”Jalanan agak macet sehingga mereka baru tiba di kantor setelah menempuh perjalanan hampir satu jam.“Dia masih di dalam?” tanya Rangga pada Wina, sekretaris kantornya, saat dia sudah sampai di depan ruangan kerjanya.“Masih Pak,” jawab Wina.“Oke,” Rangga melangkah masuk ke ruangannya. Seorang pria sedang duduk santai di sofa tamu sambil menyesap secangkir kopi.“Maaf membuatmu lama menunggu, Ardan,” ujar Rangga sambil memposisikan dirinya duduk di hadapan Ardan.Ardan meletakkan cangkirnya lalu bersandar pada sofanya. Tersenyum, dia berkata, “It’s okay. C