“Bu, Ibu!” teriak seseorang memecah keheningan di malam hari. “Tuli apa gimana sih? Dipanggil berpuluh-puluh kali kenapa gak jawab juga sih, Ibu!!” lagi-lagi suara itu semakin jelas terdengar olehku.
"Mana udah malem. Jam udah setengah dua belas lebih seperempat, masih juga teriak-teriak. Padahal aku baru mau tidur. Huf, tubuhku sangat lelah. Sebaiknya aku periksa aja deh.”
Aku selalu mengurus rumah dan menulis. Meski begitu, aku tidak pernah sedikit pun mengeluh. Namun sepertinya kali ini, aku akan mengeluh jika sekali lagi mendengar suara teriakan adikku—Rania Astri Safitri. Ya, dia adikku. Setiap hari aku tak pernah lepas dari suara-suara cemprengnya, dia selalu memaki Ibu kapan pun dia mau. Parahnya lagi, Rania menganggap Ibu seperti seorang pembantu. Bayangkan saja, anak mana yang tega melihat ibunya sendiri diperlakukan tidak baik. Sedih, sakit hati, tentu.
“Kenapa lagi, Rania?” tanyaku kepada Rania yang masih saja tidak merespon. Dia melewatiku begitu saja.
“Ibu! Buruan sini!” panggilnya lagi.
“Rania! Bisa gak kamu bersikap lebih baik? Dia Ibu kita!” kataku tegas. Namun Rania masih saja tidak memedulikanku. Dia tetap memasang wajah kekesalan. Apa yang harus aku lakukan?
Aku, Viani Brinza Millenium, berjanji untuk selalu menjaga Ibu baik dalam keadaan apa pun. Aku rela mengalah pada adikku asalkan dia tidak lagi memaki-maki Ibu. Rasanya, ingin aku pergi dari dunia ini. Ingin rasanya diri ini menghilang untuk selamanya. Akan tetapi, bagaimana dengan Ibu?
"Lebih baik kembali ke kamar, sekarang juga. Gue ada urusan dengan Ibu!” bentaknya sekali lagi sembari menunjukkan jemari tepat di wajahku yang masih bergeming.
“Rania, tolonglah. Jangan lakukan ini!"
Ya Allah, hamba mohon kepada-Mu! Berikanlah ibu kekuatan atas semua cobaan yang menimpa dirinya, saat ini, esok dan nanti. Hamba mohon kepada-Mu, kuatkanlah hamba dalam menghadapi hal ini, lirihku dalam hati.
"Lo mau pergi atau … jangan sampe gue berbuat kasar, ya! Sono pergi!” Dalam diam, aku berjalan memasuki kamarku. Aku merasa tertusuk melihat perlakuan adikku. Napas yang mulai sesak, aku atur dengan baik. Aku berjalan menuju kursi, dan duduk memikirkan cara mengatasi ini.
“Bruk!”
Saat itu juga, aku terperanjat bangun dari duduk. “Suara apa itu?” gumamku. Aku bergegas menuju pintu kamar dan mengamati ruangan. “Aku harap Rania tidak melakukan hal gila.”
“Argh …."
Namun beberapa menit saja, samar-samar aku mendengar suara rintihan seseorang yang sepertinya terjatuh. Jantungku semakin berdegup kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Aku bergegas langsung menuju kamar depan, di mana Rania tidur di sana.
“Aku harus cari tahu.”
Diam-diam aku mengintip siapa orang yang terjatuh, sontak aku terperanjat ketika melihat ibu telah berada di pojok lemari dengan kondisi tubuh tengkurap. Tangan kirinya dengan lemas menahan pinggangnya. “Ibu … kau …."
Sungguh, aku sangat tidak terima melihat Ibu diperlakukan seperti itu di depan mataku sendiri. Namun, apa daya, diri ini tak dapat membantunya. Ada hal yang menyebabkan membiarkan Ibu disiksa oleh Rania. Entah kalian akan membenciku dengan sifat Ketidak Beranianku, apa pun itu aku tak masalah.
Kurasakan bola mataku memanas. Mungkin jika melihat kaca, saat itu juga kedua mataku ini sudah terlihat berkaca-kaca. Aku hanya bisa menangis. Sedangkan Rania semakin gencar menyiksa Ibu. Meminta Ibu melakukan ini dan itu. Semua yang dilakukan Ibu tak pernah benar di matanya. Andaikan aku berani, ingin ku bungkam mulutnya, membalasnya balik.
“Yang bener dong, Bu. Kaki kiri Rania sakit, itu tangan apa parutan kelapa sih, kasar bener? Kalau begini caranya, bisa-bisa kaki Rania berdarah!” bentaknya.
“Maaf, Ran! Ibu enggak sengaja, Ibu ulangi lagi, ya. Maklum saja, Nak. Kan tangan ibu begini karena bekerja. Nanti jika sudah besar kamu—“
“Sudahlah Ibu. Sebaiknya diam!”
Gadis itu menendang Ibu dengan kedua kakinya, hingga kepala Ibu terkena dinding. Jika aku berada di posisi ibu sekarang, sudah pasti menangis. Tetapi ibu? Beliau tetap tersenyum menanggapinya. Genggamanku pada gorden kamar Rania semakin kuat. Kepalaku rasanya hendak meledak, aku bingung harus apa. Di saat Rania menyuruh Ibu untuk membuatkannya teh hangat, cepat-cepat kumenyudahi semuanya. Kembali menuju kamar belakang dan berpura-pura tertidur.
Malam semakin larut, rasa kantuk yang sedari tadi menyerangku sekarang berubah menjadi sebuah kekesalan. Pertama-tama aku kesal, karena tidak bisa membantu ibu. Kedua, bodohnya diri ini membiarkan Rania menyuruh-nyuruh ibu bak seorang pembantu. Dua hal yang sulit diubah.
|| Suatu saat kau akan menyesali atas perbuatanmu selama ini ||
"Lah, kek nya ada yang nangis deh. Apa itu ibu?" tanyaku pada diri sendiri. Lagi-lagi aku bangkit dan melepaskan selimutku, kemudian mengintip dari balik gorden kamarku.
Ternyata dugaanku benar. Ibu menangis sambil mengisi gelas dengan air putih. Akan tetapi, perasaanku tak enak saat melihat gelas yang tengah diisi air olehnya meleber ke mana-mana. Mel8hat hal itu, aku langsung bangkit dan mendekatinya.
"Ibu kenapa?" tanyaku seraya menyingkirkan gelas yang penuh itu. "Via liat dari tadi Ibu ngelamun gitu. Ada apa? Ibu bisa cerita sama Via, Bu!"
Kucoba membersihkan bekas air panas, kemudian memberikannya kepada Rania. Sayangnya, Ibu menolaknya. Ibu tidak membiarkanku memberikan air itu pada Rania. Ibu menginginkan dia sendiri yang menyerahkannya.
Sama halnya dengan Ibu. Yang keras kepala tidak mau berbagi kisah, aku juga tetap tidak memberikan gelas ini. Pikiranki adalah, mau Rania marah sekali pun aku tidak peduli. Marah saja sama aku, tapi jangan pada Ibu! ucapku dalam hati.
Ibu tidak juga menjawab pertanyaanku. Dia memintaku segera menyerahkan gelas yang tengah kugenggam. Namun lagi-lagi aku menolak.
"Sekali lagi Ibu minta ini, Via tidak mau menyerahkannya. Via mau Ibu cerita dulu, jawab pertanyaan Via, Bu!" lirihku memohon seraya mengusap bulir-bulir air mata Ibu.
Ibu mengembuskan napasnya pelan, "Sayang. Ibu enggak apa-apa, ya. Kamu teh gak usah khawatir. Sebaiknya tidur sana, udah malem."
"Via baru akan tidur setelah mendengar jawaban dari Ibu. Tapi, tunggu! Biar Via berikan gelas ini sama Rania, ya," kataku.
Aku berniat meninggalkan Ibu seorang diri di dapur dan melangkah menuju ke kamar Rania. Aku juga mendengar Ibu berteriak meminta supaya tidak mendekati kamar adik perempuanku. Akan tetapi, sekali lagi aku mengabaikan teriakannya.
Memangnya ada yang salah kalau kakak sendiri temui adiknya di kamar. Tidak, kan! pikirku.
Sebelum mendekati kamar Rania, kurasakan tanganku ditarik hingga tanpa sadar aku kembali ke dapur. Uh, buat kaget aja.
Saat ini jarak antara aku dan Ibu semakin dekat. Aku sengaja melakukan itu, kuingin melihat wajah Ibu dari jarak dekat. Aku heran, mengapa ibu selalu bersikap manis terhadapku ketika kutanya seputar apakah Rania menyakiti ibu atau apakah Rania menyiksa ibu? Jawabannya adalah, “Itu siksaan kasih sayang.”
"Bu! Apa Ibu masih juga akan diam?" tanyaku.
Tak lama kemudian, kurasakan seseorang berjalan mendekat ke arah kami. Aku meyakini bahwa itu adalah derap langkah Rania. Ah, pasti dia bakal marah-marah lagi deh. Perbincangan kami terhenti, kala Rania mengambil gelas yang ada dalam genggamanku. Matanya melotot menatap tajam kepadaku dan Ibu, menit setelahnya gadis bengis tak tahu malu menyiram teh tersebut hampir tepat mengenai wajah Ibu. Namun, kusingkirkan Ibu hingga tumpahan teh panas itu mengenai wajah dan tanganku. Aku berteriak sekencang-kencangnya, tetapi setelah itu teriakanku kuhentikan.
"Rania! Kamu apa-apaan sih, Nak? Kenapa kamu malah nyiram kakak kamu sendiri dengan air panas itu? Bagaimana kalau nanti kulitnya melepuh?” Ibu meniupi tanganku dan mengusap wajahku oleh kain yang telah didinginkan.
“Bodo amat! Enggak peduli. Rasain ... itu akibatnya karena Ibu lalai melakukan perintahku!” bentaknya.
“Dasar adik kurang ajar kamu, Ran!” umpatku.
***
Azan subuh berkumandang di beberapa masjid di desa kami, udara dingin menyeruak hingga ke pori-pori. Terpaksa membuka mata pelan-pelan, menatap langit-langit kamarku yang sudah beberapa hari ini belum sempat dibersihkan. Et lis, kalian tahu bagaimana bentuknya. Yang pasti banyaknya sarang laba-laba, tumpukan debu dan kotoran tikus bersarang di setiap penjuru ruangan itu. Tidak hanya itu, apakah kalian tahu? Aku tidur di tempat dan dalam keadaan bagaimana?
"Huft, gak kerasa udah azan aja," gumamku sambil menguap.
Ruangan super kecil dengan banyaknya perabotan rumah, lemari panjang berada di sudut kananku, dan di atasnya banyak pakaian berserakan. Padahal, sudah dibersihkan setiap pagi, tetapi nyatanya semua kembali berantakan.
Tubuhku lunglai, kakiku tak mampu lagi untuk berdiri dan menatap dunia penuh kekejaman ini. Bukan dunia yang kejam, melainkan adanya Rania dalam kehidupan aku dan ibu. Tak sengaja saat tengah membasuh wajah untuk berwudu, pipiku perih, sakit rasanya.
Enggak, Via. Kamu harus kuat! Jangan pernah sekalipun mengeluh, walau sesungguhnya kamu tak tahan. Viani kuat, Viani Brinza Milenium anak yang kuat! bisikku menguatkan diri sendiri.
Selesai mengambil air wudu, aku langsung menunaikan ibadah salat subuh. Seperti biasa, setelah salat aku tidak pernah tidur kembali. Kebiasaan buruk yang selama 20 tahun kulakukan kini telah ku ubah, aku tidak ingin terus larut dalam kebiasaan itu.
Aku berjanji, nanti sebelum dia pergi sekolah. Coba nasihati dia, semoga aja dengan aku kasih nasihat pelan-pelan Rania akan mengerti.
Mulai dari ruang tengah, kamar-kamar, semua telah ku bersihkan. Tinggal mencuci piring dan mencuci pakaian. 30 menit untuk aku menyelesaikan semuanya. Sedangkan, ibu sibuk memasak di dapur dan Rania? Hum, jangan kalian tanya lah. Gadis itu masih asik dalam mimpi, pukul setengah tujuh barulah dia akan bangun. Kalau hari libur, jam sembilan pagi.
"Em … kenapa pakaian Rania banyak nodanya, ya? Padahal sabun dah hampir habis setengahnya. Huh," lirihku.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lebih seperempat, Rania telah selesai mengganti pakaiannya dan siap berangkat ke sekolah. Sebelum membiarkannya pergi, aku berniat mengajaknya berbicara berdua tanpa sepengetahuan ibu. Rencanaku untuk menceramahi Rania akan gagal jika ibu ikut campur.
Satu ...
Dua ...
Bismillah, mudah-mudahan Rania mau mendengarkanku, aaamin, kataku.
“Ran, tunggu! Aku mau bicara dulu sama kamu,” ucapku memberanikan diri memanggilnya, saat dia sedang memakai sepatu.
Dia tak menjawab seruanku, sialnya lebih tepat Rania langsung pergi dari hadapanku. Akan tetapi, bukan Viani Brinza Milenium jika tak bikin Rania bergeming.
“Lo mau apaan sih? Gue dah telat nih ke sekolah!” ketus Rania.
“Astagfirullah. Sejak kapan bahasamu jadi lo gue kek gitu? Memangnya hidup di Jakarta? Inget, kamu siapa!”
“Lo datang cuma mau ceramahi gue? Mending pergi aja deh! Malu. Kalau sampe rang tau gue punya kakak cacat macam lo!” hinanya.
Perasaanku hancur, perih, kecewa. Semua itu bercampur menjadi satu, pertahananku mulai runtuh kala dia mengatakan kalimat itu. Apakah dia gak sadar, kalau aku begini itu semua karena ulahnya. Kulit pipi melepuh karena siraman air panas darinya.
“Dah lah, sebaiknya lo pergi sekarang juga atau kalau tidak—“
“Kalau tidak apa, Ran? Aku mohon sama kamu untuk jangan pernah menyuruh-nyuruh ibu, meminta ibu melakukan segala permintaan konyol mu itu." Kupegang tangannya supaya dia tidak kabur seenaknya. "Rania, aku mohon sadar. Sebelum penyesalan lebih dulu datang menghampirimu. Dia ibumu, bukan pembantumu, Rania!”
Seketika suasana menjadi hening, angin sepoi-sepoi berembus membuat handuk—penutup kepala ku sedikit terangkat. Sinar mentari di pagi itu terlihat sangat cerah, lebih cerah dibandingkan perasaanku saat ini. Rania melepaskan genggaman tangannya, dia semakin murka kepadaku. Beberapa warga yang melihat pertengkaranku hanya menatap kami dengan tatapan biasa saja. Sungguh menyedihkan sekali rasanya. Seperti sakit tidak berdarah.
“Rania, aku mohon! Dengerin aku sekali ini aja, ini semua demi kamu, ibu dan semuanya.”
Buk ...
Dia mendorongku dengan keras, membuat kakiku tersandung. Dia mengancam, memaki-maki bahkan tak segan-segan menarik rambutku sampai handuk pun jatuh ke tanah.
“Lo gak usah jadi kakak yang sok perhatian deh sama gue! Hm, lo tahu? Lo gak lebih dari sekedar sampah yang dipungut di jalanan sama wanita tua yang—"
Setelah memastikan Rania, si gadis menyebalkan itu pergi sekolah. Gegas kuhampiri ibu dan meminta ibu menyudahi pekerjaannya mencuci pakaian Rania."Bu! Aku mau bicara sama Ibu, sekarang juga ku mohon tinggalkan toilet dan ikut aku!" titahku kepadanya. Hati kecilku sangat sakit rasanya, harus berucap dengan nada tinggi. Aku yakin, ibu pasti setelah ini akan menangis.Ibu bangkit dan kulihat mencuci tangannya, kemudian mengikutiku hingga ke ruang tengah. Di saat kami berdua telah saling berhadap-hadapan, kuberanikan diri untuk mengembuskan napas, lalu membuka suara. Bismillah."Bu, viani mohon sama Ibu, jangan mau disuruh-suruh sama Rania! Via cuma gak mau kalau harus liat Ibu dimaki-maki, Via gak mau! Plis, ku
Berharap dengan menjelaskan ini kepadanya, dia dapat mengerti dan meminta ibu membatalkan keinginannya. Akan tetapi, ternyata pikiranku yang salah. Manusia macam Rania memang tidak punya hati."Viani, sudah! Ibu bisa pinjem kok ke tetangga seratus ribu lagi," sergah Ibu."Tuh, dia aja gak masalah. Kenapa lo yang sewot?""Apa? Ibu mau pinjem lagi? Ingat, Bu! Utang kita udah 200 ribu loh, kalau kita pinjem lagi dari mana bayarnya?" Rasanya semakin tidak rela, melihat ibu hanya demi seorang Rania mau untuk berutang."Pokoknya aku gak mau tau, Bu. I
"Ibu!!" teriakku memecah keheningan.Ibu melepas mukenanya dan dia langsung menghampiriku yang tergeletak tak berdaya di tanah. Aku yakin, pipiku ini semakin bertambah parah. Kucoba untuk menahan rasa sakit ini supaya ibu tak mengkhawatirkanku. Namun, diri ini terlalu sulit membohongi perasaan sendiri. Perih, panas, nyeri semuanya bercampur menjadi satu.Ku paksakan berdiri dan membantu ibu membawanya masuk ke dalam, angin malam sangatlah tak baik untuk usia sepertinya.Akhir-akhir ini ibu memang sering merasakan sakit, badan pegal-pegal, kepala puyeng dan semuanya. Namun, aku memaklumi akan hal tersebut. Sayangnya, meski ibu sakit atau masih dalam keadaan biasa. Saudara-saudaraku selalu memperlakukan ibu tak semestinya.
Sebagai seorang kakak tertua, seharusnya dia bisa mengayomi adik-adiknya. Memberikan contoh yang baik untuk mereka yang usianya jauh di bawahnya. Namun, nyatanya Diana memang berbeda dari sekian banyaknya perempuan di luar sana. Diana menikah dengan seorang pria berusia lima tahun di atasnya. Kehidupan Diana memang terbilang sangat sempurna. Bagaimana tidak, mertuanya membuatkan rumah mewah bertingkat di pinggir sawah. Dengan halaman yang cukup luas. Segala kemauanya, selalu dituruti oleh suami dan semua anggota keluarga mertuanya. Sayang, ketika dia mendapatkan segalanya. Diana tidak pernah ingat pada Ibu dan adik-adiknya di kampung. Dia selalu saja berpura-pura tidak punya uang, padahal dia terkadang memposting kegiatannya di status di WhatsAp. Sampai makan mengunjungi dan beli parfum pun, dia tidak pernah ket
"Bu, Ibu! Tau gak sih, katanya si Neng Milen pipinya digores, ya sama adiknya sendiri?" tanya salah seorang ibu-ibu di sebuah warung dekat tak jauh dari rumah."Maksudnya gimana itu? Maaf nih, ya, Ibu-Ibu saya teh gak ngerti sumpah. Jadi ceritanya Neng Milen kenapa? Saya penasaran, Bu," sahutnya lagi."Jadi begini, Bu Marni, kamaren ada seseorang yang datang ke rumahna si Neng Milen. Nah, di situ dia nemuin Neng Milen wajahnya cacat, menurut pendapat orang yang liatnya itu, katanya Neng Milen pipinya sengaja digores sama piso oleh adiknya.""Owalah, eh kok bisa orang itu tau kejadian sebenarnya? Emangnya Neng Milen cerita?" tanya si Bu Marni.&nb
"Assalamualaikum, Bu Citra! Assalamualaikum!"Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar, membuat ucapanku kepotong. Aku, ibu dan Rania berpura-pura bersikap biasa demi menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebelum aku membuka pintu, Rania memberikan peringatan untukku supaya ketika nanti ada yang bertanya mengenai luka di pipiku diri ini tak menceritakan kejadian sebenarnya.Terpaksa malam ini aku lagi-lagi berbohong dan menuruti semua kemauannya. Setelah aku mengiyakan semua ucapannya, bergegas pergi menuju ke dekat pintu dan membukanya.Perasaanku memang tidak salah lagi, si pemilik suara tadi tak lain adalah Teh Kinan. Tetangga dekat kami, tetapi rumahnya pinggir jalan. Teh Kinan dan keluarga merupakan bos sayuran. Bisa dibilang orang kaya di kampung
"Dasar anak kecil gak tau diri! Bisa-bisanya nyakitin ibu kaya begini. Kamu sebenarnya disekolahin gak sih? Ngomong sama orang tua gue elo, memangnya kamu anak siapa?" Aku mengabaikan panggilan dari Jo dan segera membantu ibu yang jatuh ke lantai.Aku tidak mengerti bagaimana caranya menyikapi gadis seperti Rania. Kurasa aku sudah cukup sabar menghadapinya selama ini. Namun, aku benar-benar lelah harus berada dalam kondisi seperti ini.Bukan hanya pada Rania, aku pun bingung dengan ibu yang selalu saja menuruti setiap ucapan gadis itu. Seandainya aku tahu penyebab gadis itu sering melunjak, ingin rasanya aku membantu untuk menyadarkan bahwa kelakuannya pada ibu selama ini salah.Teringat sebuah pesan ketika aku masih berada di asrama, ustazah mengatakan jik
"Ikut Aa sekarang! Aa akan ceritakan apa yang terjadi sama Aulia saat kemaren di rumah! Oh iya, jangan khawatir, Aa ajak Teh Kinan juga tuh!" Dia menunjuk ke arah di mana seorang wanita yang berusia di atas iparku ini, tetangga yang kemarin malam datang ke rumahku.Aku dan Teh Kinan memang cukup lumayan dekat, karena kedua orang tuanya merupakan anak dari nenekku. Namun, kedekatanku dengannya berakhir ketika suatu hari curhatanku padanya dibongkar di depan orang banyak, sekitar tiga bulan lalu. Sejujurnya, bukan dia yang mengatakan kisah hidupku selama ini, melainkan teman dekat alias pembantunya.Setelah kejadian itu, aku sedikit menjaga jarak kepadanya. Saat malam kemarin dia memintaku bercerita, aku tidak melakukannya. Lantaran khawatir, suatu hari nanti ucapanku akan tersebar dari satu mulut ke mulut lain.
"Kamu gak mau nemenin suami bekerja, Yang? Kalau gitu ya udah mending aku sama yang lain aja gimana?"Kepalaku rasanya mendidih mendengar dia mengatakan kalimat itu di dekat telingaku. Andai aku bisa dan berani, ingin rasanya menutup mulut dia agar tidak bisa berkata seperti tadi lagi. Aku benar-benar tidak bisa bila dia mengatakan 'mending aku sama yang lain' , perasaanku bak terbakar oleh api cemburu."Kalau gitu silakan aja! Tapi, jangan pernah berharap nanti pulang aku ada di rumah, bay!" seruku, kemudian meninggalkan dia di samping meja rias.Sebenarnya aku tidak ingin jauh-jauh darinya. Jika perlu aku ingin setiap detik, setiap menit bahkan setiap jam berada di dekat Jo. Tidak ada sehari atau dua hari terpisahkan. Selamanya dekat di sisi Jo sampai mau
Seminggu kemudian …Hari sekaligus bulan yang telah kami tunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Aku dan Jo telah resmi menjadi sepasang suami istri tepat pukul sepuluh pagi. Kebahagiaan yang seharusnya menyelimuti hariku ini justru berganti menjadi sebuah kesedihan. you know yourself , ibuku tak ada disampingku. Dia sudah tenang di alam sana bersama Dinda. Sementara itu, Bapak dan Rania entah di mana dan bagaimana kabarnya sekarang. Aku tidak tahu.'Aku harus bisa menyembunyikan kesedihan ini, pokoknya harus bisa!!' tekadku dalam hati.Kala penyematan cincin pernikahan oleh Jo, sebisa mungkin aku menatapnya dengan senyum menyer
"Ish, jahil kamu.""Suka, kan?" tanyanya.Aku hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Tiga puluh menit waktu yang cukup lama bagiku mengabulkan permintaannya.Cinta … hadir tanpa kita duga. Datang tanpa memberi salam, kemudian singgah tanpa permisi. Kata orang cinta unik. Cinta itu nyata sehingga kedatangannya mengubah kepedihan menjadi kebahagiaan. Menghapus tangis air mata, menjadi senyuman."Unik, kan?"Awalnya aku tak percaya akan cinta, aku pun tidak berharap lebih dari kata tersebut. Hanya saja setiap orang ingin bahagia bersama pasangan masing-masing begitupun yang dirasakan olehku. Aku ingin bahagia bersama Joo
Aku serba salah dengan keadaan sekarang. Antara bahagia dan tidak. Itulah dua rasa yang tidak bisa disatukan. Bahagia karena bisa lebih dekat dengan keluarga besar Joo dan tidak lantaran adanya wanita itu menjadikan hidupku mungkin akan lebih buruk lagi ketimbang saat bersama Rania dulu."Sayang-sayang! Ayang! Millen udah, Millen dia udah gak ada kok. Sayang!" panggilnya begitu lembut.Kurasakan tangannya menyentuh punggungku, mengusapnya kemudian dia mengangkatku agar wajahku bisa sejajar dengannya."Yang! Ayang gak enak sama bibikku?" tanyanya.Aku menggeleng, mengusap air mata kepalsuan ini sambil tersenyum memandangnya."Mi
"Dia kenapa sih, kok aneh banget sama aku?" tanyaku dengan memelankan suara sehingga hanya aku sendiri yang mendengarnya.Semenjak Joo menurunkanku dari pangkuannya. Sekilas aku melirik ke arah wanita tua yang usianya sekitar dibawah bunda. Aku sendiri tidak tahu pasti berapa usianya. Hanya saja tatapan dialah yang membuatku tak nyaman saat ini."Joo!" panggil si Kakek.Kekasihku ini menoleh dan menjawab panggilannya dengan sangat santun. "Ada apa, Mbah?""Bawa pacarmu nih istirahat! Kasian pasti capek lama di jalan," katanya menyuruh Joo membawaku beristirahat.Kupikir setelah si Kakek memintaku m
"Aduuhh!"Aku menjerit histeris merasakan kepalaku membentur sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, mengapa kepalaku sampai mengenai bagian depan mobil. Jujur, sakit sekali dan tepat saat Joo menangkap tubuhku. Aku muntah.'Astaga, aku kok sampe muntah segala?' tanyaku dalam hati.Kupandangi wajah tampannya itu dan sekilas aku bisa melihat bagaimana reaksinya melihatku menumpahkan isi perutku di mobil mahalnya ini. Akan tetapi, tiba-tiba dia membenarkan posisi dudukku, lalu membantu membersihkan muntahan tadi. Tidak banyak yang dia ungkapkan selain dari mengambil pembersih mobil seperti; lap, air secukupnya dan keresek hitam.Aku pun tidak tahu bagaimana isi hatinya. Entah memang dia tida
Teruntuk kamu …Dari aku, si pengagum dari dunia nyata …'Halo, Joo. Joo, aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku. Kamu lebih sering datang ke luar kota entah aku tidak tahu kamu nemuin siapa. Aku harap bukan bertemu perempuan, melainkan untuk bekerja saja.Joo … kamu harus tahu, kalau aku sebenarnya suka sama kamu. Dari kita SD sampai kita sebesar ini. Aku benar-benar sangat menyukai kamu. Perasaan ini masih rapi tersimpan dalam lubuk hati aku yang paling dalam. Kuakui … aku memang bukan siapa-siapa, tidak pantas bersanding dengan dirimu.Joo … untuk kali ini, ijinkan aku menyentuhmu. Maaf, aku membuat malam ini menjadi mal
Kulangkahkan kaki perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes. Perih rasanya harus meninggalkan rumah dan kampung halaman ini demi sebuah lembaran baru yang akan aku mulai bersama Joo di sana. Jujur aku ragu, baru kali pertama pergi jauh dan tanpa di dampingi ibu atau bapak."Sayang! Kakak tau, kamu tuh sedih dan pastinya berat banget buat lalui semua ini. Tapi, coba liat Joo. Bertahun-tahun dia menantikan momen ini, ingin menjagamu lebih dekat, masihkah kamu ragu?" tanya Jelita yang kemudian menghentikan langkahku, lalu memelukku."Aku bingung, Kak. Aku ragu untuk pergi. Di tampat ini begitu banyak kenangan sama ibu, Rania dan semuanya. Aku takut di sana malah akan ngecewain Joo," jawaku berterus terang.Kuharap dia mengerti denga
Di tempat favoritku ini, Asia Plaza. Tempat yang ketika dulu bersama teman-temanku sering ke sini sebelum Rania dan Diana berbuat ulah. Teringat akan sesuatu hal yang sangat indah. Ada cerita di setiap sudut Mall tersebut. Setiap langkah kami bercerita panjang lebar, sampai-sampai kami pernah menabrak seseorang karena kami terus menunduk.Selain kenangan bersama sahabat dan teman-teman yang lainnya. Ada hal lain yang seketika ingatanku kembali pada sosok ibu. Dulu aku sempat berjanji ketika memiliki upah dari hasil menulisku aku berharap akan mengajaknya ke sini. Ke tempat yang orang-orang pun ingin sekali mengunjunginya."Kamu ngapain sih ngelamun mulu, Brinz?" tanyanya kepadaku sambil menjentikkan jarinya.Mataku mengerjap dan langsung menoleh, "Kamu apaan sih