"Bu, Ibu! Tau gak sih, katanya si Neng Milen pipinya digores, ya sama adiknya sendiri?" tanya salah seorang ibu-ibu di sebuah warung dekat tak jauh dari rumah.
"Maksudnya gimana itu? Maaf nih, ya, Ibu-Ibu saya teh gak ngerti sumpah. Jadi ceritanya Neng Milen kenapa? Saya penasaran, Bu," sahutnya lagi.
"Jadi begini, Bu Marni, kamaren ada seseorang yang datang ke rumahna si Neng Milen. Nah, di situ dia nemuin Neng Milen wajahnya cacat, menurut pendapat orang yang liatnya itu, katanya Neng Milen pipinya sengaja digores sama piso oleh adiknya."
"Owalah, eh kok bisa orang itu tau kejadian sebenarnya? Emangnya Neng Milen cerita?" tanya si Bu Marni.
Hatiku terasa panas sekali, ketika mereka memperbincangkanku di warung sana. Aku tidak tahu, mengapa bisa sampai berkata seperti itu. Sedangkan, diri ini tidak pernah sekalipun keluar rumah untuk mengunjungi atau pun bersenda gurau bersama mereka atau salah satu dari anaknya.
Saat itu, aku sengaja berdiam diri di balik dinding rumah milik Bi Imas. Ibu memintaku untuk membeli bumbu balado dan setengah kilo minyak goreng. Akan tetapi, hampir setengah jam lebih aku di sana. Sungguh, aku takut jika nanti lewat, mereka akan menanyaiku.
Ah, bagaimana ini? Kalau harus di sini terus nanti ibu bisa marah? Dan jika nanti mereka menanyaiku dan membongkar semuanya, Rania tidak akan memaafkanku.
Ya Allah, berikanlah petunjukmu!
Hari semakin sore dan aku masih belum beranjak juga dari sana. Entah, pikiranku melayang membayangkan bagaimana nasibnya saat tiba di rumah. Ibu dan Rania akan memarahiku pasti. Dan aku sangat meyakini itu.
"Neng Milen," sapa seseorang.
Jantungku mendadak berdegup kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Di kala hendak pergi dari tempat itu, seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku tak kuasa melihatnya ke belakang. Beribu macam pertanyaan dan rasa takut semakin menyelimuti hati ini.
Langkahku terhenti, kemudian memberanikan diri membalikkan badan agar aku dan si pemilik suara ini saling berhadapan. Tidak sopan rasanya bila aku membelakangi lawan bicaraku.
Dengan penuh percaya diri dan keyakinan yang kuat, aku pun menoleh dan mencoba tersenyum pada orang yang memanggilku.
Seperti yang kuduga sebelumnya. Dia menatapku dengan tatapan aneh, kedua bola matanya terbuka lebar dan bibirnya yang merah merona ini menganga. Hum, sudah kuduga, ucapku dalam hati.
"Bibi aya naon, panggil Milen?" tanyaku pada wanita tua ini.
Viani adalah pangggilan ibu dan orang-orang kampung memanggilku Milen. Maka kalian semua jangan heran, ya!
"Neng, eta wajah kamu teh kunaon? Kamu sakit atau kenapa? Astagfirullah," ucapnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat membosankan menurutku.
"Oh ini, enggak apa-apa kok. Hanya luka kecil aja, kemaren itu cuma gak sengaja kegores gitu," jawabku membual.
Ya Allah, kenapa gara-gara lukaku ini para tetangga pada heboh? pikirku.
"Kamu gak lagi berantem sama ibu atau adik kamu, kan? Bibi denger-denger soalnya ada yang bilang kamu hampir ditusuk, tapi malah kena pipinya. Neng, kalau ada masalah coba ceritakan!" balasnya menasehatiku.
Tidak ingin berlama-lama berada di sana, khawatir nanti keberadaanku bersama Bibi itu akan mengundang banyak tetangga dan mereka tentu dengan segala kekepoannya akan menanyaiku. Maka, kuputuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Bi, maaf sebelumnya. Sepertinya Milen harus cepet pulang, karena ini udah sore juga terus ibu pasti nunggu belanjaan dari Milen, permisi!"
"Tapi, Neng! Neng Milen, yah keburu pergi lagi. Padahal saya belum berhasil dapet info lagi, ini cocok ini buat jadi bahan gosip besok."
Aku menggeleng, mendengar seruan Bibi itu. Kalian tahu enggak? Orang-orang di kampungku ini suka sekali menggosip. Sekecil apa pun masalahnya, ketika kita bercerita kepada mereka ya sudah satu kampung bakal tahu masalah kalian. Di sini, kalian terutama aku harus bisa pinter-pinter memilih seseorang untuk dijadikan teman curhat. Jika tidak, tanggung sendiri akibatnya.
***
Sesampainya tiba di depan rumah, aku melihat ibu datang dari arah dapur dengan kedua mata sayu seperti habis menangis. Dia melangkah ke arahku dan menanyakan memgapa diriku terlambat pulang.
Kuceritakan semuanya pada ibu, setelah aku menyerahkan bungkusan plastik berisi bumbu balado dan setengah kilo minyak goreng. Beruntung, sore ini Rania belum pulang sehingga aku bisa dengan bebas menceritakan segalanya kepada ibu.
Bagiku, ibu adalah surga dan tempat yang terbaik setelah Allah SWT kala ingin membagi kisah.
"Apa? Jadi, gara-gara luka kamu ini tetangga pada heboh ngomongin kamu, Via? Terus kamu jawab apa, ibu harap kamu gak bilang apa-apa, Nak. Kalau tidak, Rania pasti marah besar, Sayang!"
"Enggak, Bu. Via gak bilang apa-apa kok, meski tadi sebenerna teh bi Wening tanya. Ngedesek Via lagi," terangku pada ibu.
"Hm, syukurlah, Nak. Sayang, Ibu harap kamu kuat, ya! Ibu berdoa semoga kamu nanti mendapatkan jodoh, seseorang yang mau menyayangimu, menerima apa adanya dengan segala kekurangan ini. Ibu yakin kamu bisa."
Sentuhan hangat yang dia berikan untukku membuatku menitikkan air mata. Doa tulus darinya menjadikanku semakin bertambah semangat menjalani kehidupan menyakitkan ini. Lantaran waktu sudah hampir sore dan azan asar telah berkumandang di beberapa masjid. Gegas aku mengambil sapu dan menbersihkan seluruh ruangan hingga Rania datang nanti, dia tidak akan memarahiku karena rumah belum juga dibersihkan.
Dua jam sudah aku berhasil merapikan rumah bahkan mengepel lantai, kini saatnya mencuci piring. Namun, sebelum itu kuambil baju ganti dan handuk kesayanganku yang sudah tak robek bak lap pel.
"Via!" panggil Ibu.
"Iya, Bu. Kenapa lagi?" tanyaku sambil menoleh padanya.
"Kamu jangan dulu mandi deh, itu Rania udah pulang. Takutnya kalau kamu kelamaan di wc, dia marah lagi. Tau sendiri, kan gimana adikmu?"
Kuembuskan napas perlahan, lalu melangkah ke depan melihat jam pukul berapa sekarang. Ternyata jam setengah lima lewat tiga puluh empat menit. Yah, kalau aku nunggu Rania mandi pastinya lama banget, gimana, ya? Mana hari ini belum nulis satu bab pun, keluhku.
Setiap orang tentunya menginginkan kondisi kehidupannya baik-baik saja, tanpa ada masalah atau badai yang menerjang. Terkadang, di kala seseorang mengharap kebahagiaan Tuhan memberinya kesedihan. Begitu pun sebaliknya. Namun, percayalah di balik rasa sakitmu saat ini, kelak akan kau temukan kebahagiaannya. Percayalah.
"Ran, mau mandi kapan? Ini udah jam lima lebih loh, kamu gak mau mandi?" tanyaku.
Hening, tak ada jawaban.
Kucoba sekali lagi untuk bertanya kapan dia akan mandi, daripada tidur selonjoran lihat-lihat notifikasi yang gak jelas, kan? Mending mandi.
"Ra-Ran, ka-kapan kamu mau man." Mulutku tiba-tiba gagap, mendapati dia yang bangkit, kemudian mwnghampiriku.
Du-duh, ini kumaha eh, Bu! Ibu tolong Via.
"Jawab gue sekarang juga, Cacat! Apa lo ngadu sama tetangga kalau gue lukain pipi lo yang banyak jerawat ini? Hah? Jawab!" Teriakan cemprengnya berhasil membuat gendang telingaku hampir pecah.
Aku bergeming, seluruh tubuhku kaku kala berhadapan dengan Rania. Sebenarnya aku bisa melawan Rania, tetapi kalau sampai aku melawan. Nantinya malah semakin kacau.
"Ra-Ran, eng-enggak kok. Aku gak bilang ke siapa-siapa ini, asli. Mereka nanya pun, aku gak jawab," jawabku masih gagap.
"Lo jangan bohong jadi orang, ya! Jangan mentang-mentang lo sekarang jadi seorang penulis, tukang ngayal, terus lo bisa bohong sama gue?"
"Ran, sudah kubilang, kan sama kamu! Aku sama sekali gak bilang ke siapa-siapa, kamu nyakitin aku atau ibu sekali pun gak ada yang tau, plis hentikan ocehan ini. Aku mau mandi," ketusku seraya berniat hendak pergi.
Kepergianku untuk ke toilet terhalang oleh Rania yang menarik paksa bajuku sampai robek.
"Rania! Astaga, kamu ini kenapa sih jadi orang jahat banget, sadar, Ran!"
Entah dari mana kekuatan ini datang, mendadak aku bisa membentak gadis itu hingga bibirnya tertutup.
"Enggak mungkin ada asap kalau gak ada api, Via Cacat! Jadi lo jangan bohongin gue, paham! Sekali lagi lo bohong, gue akan bikin kepala lo botak gak ada rambutnya! Ancamnya.
Plak …
Satu tamparan keras melayang di pipinya dariku, aku tidak bisa menahannya lagi, berpura-pura diam menerima penyiksaan dari anak kecil sepertinya.
Habis sudah kesabaranku mendengar kalimat Rania yang semakin hari semakin membabi buta. Dia tidak memedulikan siapa orang yang diajaknya bicara dan melupakan siapa dirinya sebenarnya. Terlahir dari keluarga biasa, apalagi ibu yang notabenenya guru ngaji di Kampung Ciganea seharusnya membuat Rania menyadari siapa dirinya. Dia tidak bisa harus terus menerus berlaga seperti orang berada.
Ingin rasanya kuperlihatkan padanya di mana tempat dia. Namun, rasa iba dalam hatiku muncul setelah melihatnya mengeluarkaj bulir-bulir air di wajahnya.
"Ra-Ran, maafin aku, ya. Aku gak ada niat buat nampar kamu tau, aku cuma bermaksud buat kamu sadar supaya. Kalau cara kamu bicara sama aku itu salah!"
Sayangnya, peringatanku itu ternyata tak digubris. Dia mengusap air matanya, lalu menjambak rambutku keras-keras. Aku berteriak sekuat mungkin, berharap ibu segera datang dan menghentikan semuanya.
"Emang lo pikir lo doang yang merasa benar, hah? Heh, Via! Gue tau lo kakak gue dan gue tau kalau lo ini anak sebapa sama gue. Cuma, gara-gara adanya lo di sini hidup gue jadi berantakan! Paham!" terangnya.
Apa? Berantakan? Enggak salah bicara tuh?
Apakah dia tidak menyadari jika kalimat yang baru saja dia ucapkan itu seharusnya aku yang mengatakannya. Bukan dia. Dia bilang hidupnya hancur, berantakan? Ya Tuhan.
Selama ini diriku cukup bersabar atas apa yang keluarga ayah lakukan padaku. Ayah dan keluarga ayah yang saat ini entah di mana keberadaannya lebih menyayangi Rania dibandingkan aku, anak pertamanya. Dengan dia, seketika mereka melupakan keberadaanku ini.
Namun, aku percaya pada takdir dan kekuasaan Tuhan dan Tuhan telah menuliskannya dalam Al-Quran.
"Rania! Apa yang akan kamu lakukan sama kakak kamu, Via?" tanya Ibu.
Bu, jangan mendekat, plis!
"Rania, sadarlah, Ran! Kamu ini terpengaruh sama ucap—"
"Assalamualaikum, Bu Citra! Assalamualaikum!"Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar, membuat ucapanku kepotong. Aku, ibu dan Rania berpura-pura bersikap biasa demi menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebelum aku membuka pintu, Rania memberikan peringatan untukku supaya ketika nanti ada yang bertanya mengenai luka di pipiku diri ini tak menceritakan kejadian sebenarnya.Terpaksa malam ini aku lagi-lagi berbohong dan menuruti semua kemauannya. Setelah aku mengiyakan semua ucapannya, bergegas pergi menuju ke dekat pintu dan membukanya.Perasaanku memang tidak salah lagi, si pemilik suara tadi tak lain adalah Teh Kinan. Tetangga dekat kami, tetapi rumahnya pinggir jalan. Teh Kinan dan keluarga merupakan bos sayuran. Bisa dibilang orang kaya di kampung
"Dasar anak kecil gak tau diri! Bisa-bisanya nyakitin ibu kaya begini. Kamu sebenarnya disekolahin gak sih? Ngomong sama orang tua gue elo, memangnya kamu anak siapa?" Aku mengabaikan panggilan dari Jo dan segera membantu ibu yang jatuh ke lantai.Aku tidak mengerti bagaimana caranya menyikapi gadis seperti Rania. Kurasa aku sudah cukup sabar menghadapinya selama ini. Namun, aku benar-benar lelah harus berada dalam kondisi seperti ini.Bukan hanya pada Rania, aku pun bingung dengan ibu yang selalu saja menuruti setiap ucapan gadis itu. Seandainya aku tahu penyebab gadis itu sering melunjak, ingin rasanya aku membantu untuk menyadarkan bahwa kelakuannya pada ibu selama ini salah.Teringat sebuah pesan ketika aku masih berada di asrama, ustazah mengatakan jik
"Ikut Aa sekarang! Aa akan ceritakan apa yang terjadi sama Aulia saat kemaren di rumah! Oh iya, jangan khawatir, Aa ajak Teh Kinan juga tuh!" Dia menunjuk ke arah di mana seorang wanita yang berusia di atas iparku ini, tetangga yang kemarin malam datang ke rumahku.Aku dan Teh Kinan memang cukup lumayan dekat, karena kedua orang tuanya merupakan anak dari nenekku. Namun, kedekatanku dengannya berakhir ketika suatu hari curhatanku padanya dibongkar di depan orang banyak, sekitar tiga bulan lalu. Sejujurnya, bukan dia yang mengatakan kisah hidupku selama ini, melainkan teman dekat alias pembantunya.Setelah kejadian itu, aku sedikit menjaga jarak kepadanya. Saat malam kemarin dia memintaku bercerita, aku tidak melakukannya. Lantaran khawatir, suatu hari nanti ucapanku akan tersebar dari satu mulut ke mulut lain.
Adakalanya kita merasakan lelah, capek dengan semua yang terjadi hari ini. Terbersit dalam pikiranku untuk mengambil jalan tengah sebagai satu-satunya cara agar aku tak lagi mengalami hal buruk ini.Kepalaku rasanya sakit harus menerima kepahitan ini. Menjadi satu-satunya anak yang dibilang waras membuatku banyak menanggung derita.Aku dan iparku pulang ke rumah dengan harapan keadaan akan semakin membaik dan mereka dapat mengerti akan kondisiku. Begitu pun dengan ibu yang notabenenya beliau cukup banyak tahu perihal keadaanku di rumah. Tentu, aku mengharap ibu akan membelaku sama seperti aku membelanya ketika Rania hampir menancapkan pisau di wajahnya sehinga wajahku yang terkena goresan benda tajam itu.Sakit rasanya hati ini mengetahui ibu justru ikut-ik
"Aulia!" teriak kami secara bersamaan."Dasar anak pembawa sial!" hina Diana kepadaku.Bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan doa-doaku dan menyelamatkanku dari kobaran api yang begitu besar ini. Namun, takdir berkata lain. Memang aku selamat, tetapi sayangnya Aulia—putri bungsu Diana dan Marcel jatuh ke dalam api yang menyala-nyala.Aku merasa menyesal karena telah membiarkan gadis mungil itu membantuku. Aku menjerit histeris melihat Aulia jatuh tepat di depan mataku, tak dapat melakukan apa-apa terhadap gadis malang itu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian aku berinisiatif untuk menarik lengan Aulia dari dalam sana.Ya Allah, kumohon padamkanlah api ini! Aku percaya atas kekuasa
Liburan akhir tahun yang seharusnya dirasakan dan dinikmati oleh Aulia—keponakanku ini, berakhir dengan sebuah kematian tragis. Malang nian nasib gadis kecil itu. Seumur hidupnya, yang kutahu dari iparku, Aulia tak pernah mendapatkan kebahagiaan sedikitpun. Siksa dan air matalah yang dia terima.Karena kesalahanku yang menuruti Marcel untuk pergi ke dokter, kondisi rumah menjadi tidak stabil. Orang-orang selalu menganggap jika rumah adalah tempat paling nyaman, setelah kembali dari tempat pengasingan. Akan tetapi, bagiku saat ini dan seterusnya, tempat ini telah berubah menjadi tempat pertumpahan darah.Terbukti sekarang ini, iparku mengejar-ngejar istrinya dan pria itu hrndak membacoknya. Yah, seperti yang telah dijelaskan oleh kedua orang tuanya beberapa tahun lalu. Sebelum Marcel melamar Diana. Sempat kuden
"Tunggu!"Sekali lagi suara itu terdengar olehku dan bahkan oleh semua orang, berharap si pemilik suara itu bisa membuktikan kalau aku tidak bersalah. Aku sama sekali tak menyentuh Rania sedikit pun, apalagi menyakitinya pun tak pernah terbesit dalam benakku.Selama ini, Rania dan Diana lah yang selalu menyakiti perasaanku dan juga ibu. Kami berdua tak pernah membalas perbuatannya, kami juga selalu diam. Lalu, bagaimana mungkin sekarang ini polisi menuduhku seperti itu?Fitnah yang diutarakan kepadaku, sungguh lebih menyakitkan dibanding dengan mendapatkan tusukan benda tajam oleh Rania untukku. Mungkin benar apa yang orang katakan, di mana luka di hati sulit disembuhkan dan tidak ada penawarnya kecuali ketika kita mendapatkan satu goresan kecil. 
Setelah memastikan semua warga dan beberapa polisi itu pergi dan tak lagi terlihat dari pandanganku. Kuputuskan untuk mengajak Jo masuk rumah, meninggalkan Rania dan ibu yang masih di luar. Sedangkan, keluarga besan ibu sudah menghilang entah ke mana.Aku mempersilakan Jo duduk terlebih dahulu, karena aku ingin membersihkan badanku yang mulai lengket ini. Sungguh, seharian aku tidak minum atau makan rasanya tubuhku terasa lemas. Cacing-cacing di perut sudah berdemo sejak pagi, tapi ku lupakan hal itu.Huft, karena Rania semuanya jadi kacau. Huh, tapi untung Jo datang tepat waktu. Kalau enggak, bisa-bisa aku mendekam di penjara karena ulahnya. Sampai kapan, Tuhan! Sampai kapan derita ini akan berakhir, kumohon kepada-Mu. Bukakanlah pintu hati ibu dan juga Rania, bisikku penuh
"Kamu gak mau nemenin suami bekerja, Yang? Kalau gitu ya udah mending aku sama yang lain aja gimana?"Kepalaku rasanya mendidih mendengar dia mengatakan kalimat itu di dekat telingaku. Andai aku bisa dan berani, ingin rasanya menutup mulut dia agar tidak bisa berkata seperti tadi lagi. Aku benar-benar tidak bisa bila dia mengatakan 'mending aku sama yang lain' , perasaanku bak terbakar oleh api cemburu."Kalau gitu silakan aja! Tapi, jangan pernah berharap nanti pulang aku ada di rumah, bay!" seruku, kemudian meninggalkan dia di samping meja rias.Sebenarnya aku tidak ingin jauh-jauh darinya. Jika perlu aku ingin setiap detik, setiap menit bahkan setiap jam berada di dekat Jo. Tidak ada sehari atau dua hari terpisahkan. Selamanya dekat di sisi Jo sampai mau
Seminggu kemudian …Hari sekaligus bulan yang telah kami tunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Aku dan Jo telah resmi menjadi sepasang suami istri tepat pukul sepuluh pagi. Kebahagiaan yang seharusnya menyelimuti hariku ini justru berganti menjadi sebuah kesedihan. you know yourself , ibuku tak ada disampingku. Dia sudah tenang di alam sana bersama Dinda. Sementara itu, Bapak dan Rania entah di mana dan bagaimana kabarnya sekarang. Aku tidak tahu.'Aku harus bisa menyembunyikan kesedihan ini, pokoknya harus bisa!!' tekadku dalam hati.Kala penyematan cincin pernikahan oleh Jo, sebisa mungkin aku menatapnya dengan senyum menyer
"Ish, jahil kamu.""Suka, kan?" tanyanya.Aku hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Tiga puluh menit waktu yang cukup lama bagiku mengabulkan permintaannya.Cinta … hadir tanpa kita duga. Datang tanpa memberi salam, kemudian singgah tanpa permisi. Kata orang cinta unik. Cinta itu nyata sehingga kedatangannya mengubah kepedihan menjadi kebahagiaan. Menghapus tangis air mata, menjadi senyuman."Unik, kan?"Awalnya aku tak percaya akan cinta, aku pun tidak berharap lebih dari kata tersebut. Hanya saja setiap orang ingin bahagia bersama pasangan masing-masing begitupun yang dirasakan olehku. Aku ingin bahagia bersama Joo
Aku serba salah dengan keadaan sekarang. Antara bahagia dan tidak. Itulah dua rasa yang tidak bisa disatukan. Bahagia karena bisa lebih dekat dengan keluarga besar Joo dan tidak lantaran adanya wanita itu menjadikan hidupku mungkin akan lebih buruk lagi ketimbang saat bersama Rania dulu."Sayang-sayang! Ayang! Millen udah, Millen dia udah gak ada kok. Sayang!" panggilnya begitu lembut.Kurasakan tangannya menyentuh punggungku, mengusapnya kemudian dia mengangkatku agar wajahku bisa sejajar dengannya."Yang! Ayang gak enak sama bibikku?" tanyanya.Aku menggeleng, mengusap air mata kepalsuan ini sambil tersenyum memandangnya."Mi
"Dia kenapa sih, kok aneh banget sama aku?" tanyaku dengan memelankan suara sehingga hanya aku sendiri yang mendengarnya.Semenjak Joo menurunkanku dari pangkuannya. Sekilas aku melirik ke arah wanita tua yang usianya sekitar dibawah bunda. Aku sendiri tidak tahu pasti berapa usianya. Hanya saja tatapan dialah yang membuatku tak nyaman saat ini."Joo!" panggil si Kakek.Kekasihku ini menoleh dan menjawab panggilannya dengan sangat santun. "Ada apa, Mbah?""Bawa pacarmu nih istirahat! Kasian pasti capek lama di jalan," katanya menyuruh Joo membawaku beristirahat.Kupikir setelah si Kakek memintaku m
"Aduuhh!"Aku menjerit histeris merasakan kepalaku membentur sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, mengapa kepalaku sampai mengenai bagian depan mobil. Jujur, sakit sekali dan tepat saat Joo menangkap tubuhku. Aku muntah.'Astaga, aku kok sampe muntah segala?' tanyaku dalam hati.Kupandangi wajah tampannya itu dan sekilas aku bisa melihat bagaimana reaksinya melihatku menumpahkan isi perutku di mobil mahalnya ini. Akan tetapi, tiba-tiba dia membenarkan posisi dudukku, lalu membantu membersihkan muntahan tadi. Tidak banyak yang dia ungkapkan selain dari mengambil pembersih mobil seperti; lap, air secukupnya dan keresek hitam.Aku pun tidak tahu bagaimana isi hatinya. Entah memang dia tida
Teruntuk kamu …Dari aku, si pengagum dari dunia nyata …'Halo, Joo. Joo, aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku. Kamu lebih sering datang ke luar kota entah aku tidak tahu kamu nemuin siapa. Aku harap bukan bertemu perempuan, melainkan untuk bekerja saja.Joo … kamu harus tahu, kalau aku sebenarnya suka sama kamu. Dari kita SD sampai kita sebesar ini. Aku benar-benar sangat menyukai kamu. Perasaan ini masih rapi tersimpan dalam lubuk hati aku yang paling dalam. Kuakui … aku memang bukan siapa-siapa, tidak pantas bersanding dengan dirimu.Joo … untuk kali ini, ijinkan aku menyentuhmu. Maaf, aku membuat malam ini menjadi mal
Kulangkahkan kaki perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes. Perih rasanya harus meninggalkan rumah dan kampung halaman ini demi sebuah lembaran baru yang akan aku mulai bersama Joo di sana. Jujur aku ragu, baru kali pertama pergi jauh dan tanpa di dampingi ibu atau bapak."Sayang! Kakak tau, kamu tuh sedih dan pastinya berat banget buat lalui semua ini. Tapi, coba liat Joo. Bertahun-tahun dia menantikan momen ini, ingin menjagamu lebih dekat, masihkah kamu ragu?" tanya Jelita yang kemudian menghentikan langkahku, lalu memelukku."Aku bingung, Kak. Aku ragu untuk pergi. Di tampat ini begitu banyak kenangan sama ibu, Rania dan semuanya. Aku takut di sana malah akan ngecewain Joo," jawaku berterus terang.Kuharap dia mengerti denga
Di tempat favoritku ini, Asia Plaza. Tempat yang ketika dulu bersama teman-temanku sering ke sini sebelum Rania dan Diana berbuat ulah. Teringat akan sesuatu hal yang sangat indah. Ada cerita di setiap sudut Mall tersebut. Setiap langkah kami bercerita panjang lebar, sampai-sampai kami pernah menabrak seseorang karena kami terus menunduk.Selain kenangan bersama sahabat dan teman-teman yang lainnya. Ada hal lain yang seketika ingatanku kembali pada sosok ibu. Dulu aku sempat berjanji ketika memiliki upah dari hasil menulisku aku berharap akan mengajaknya ke sini. Ke tempat yang orang-orang pun ingin sekali mengunjunginya."Kamu ngapain sih ngelamun mulu, Brinz?" tanyanya kepadaku sambil menjentikkan jarinya.Mataku mengerjap dan langsung menoleh, "Kamu apaan sih