Sebagai seorang kakak tertua, seharusnya dia bisa mengayomi adik-adiknya. Memberikan contoh yang baik untuk mereka yang usianya jauh di bawahnya. Namun, nyatanya Diana memang berbeda dari sekian banyaknya perempuan di luar sana.
Diana menikah dengan seorang pria berusia lima tahun di atasnya. Kehidupan Diana memang terbilang sangat sempurna. Bagaimana tidak, mertuanya membuatkan rumah mewah bertingkat di pinggir sawah. Dengan halaman yang cukup luas. Segala kemauanya, selalu dituruti oleh suami dan semua anggota keluarga mertuanya.
Sayang, ketika dia mendapatkan segalanya. Diana tidak pernah ingat pada Ibu dan adik-adiknya di kampung. Dia selalu saja berpura-pura tidak punya uang, padahal dia terkadang memposting kegiatannya di status di WhatsAp. Sampai makan mengunjungi dan beli parfum pun, dia tidak pernah ketinggalan.
Dari pernikahannya bersama pria asal kota Garut ini, Diana dan suami dikarunia dua orang anak. Pertama perempuan dan kedua laki-laki. Yang perempuan usianya sudah menginjak sepuluh tahun dan adiknya berusia tujuh tahun.
"Aulia! Aulia, bangun! Woy, bangun ayo!" teriaknya pada anak sendiri.
"Ih, Mama atuh, masih ngantuk. Nanti aja, ya," ucap gadis itu tanpa membuka matanya.
Hal positif dari seorang Diana adalah, ketika dia mengerjakan pekerjaan rumah selalu gesit. Sebelum azan subuh berkumandang dia sudah bangun, membersihkan seluruh rumah mulai dari melap kaca, lantai dan mencuci piring. Namun, sebelum itu Diana membangunkan Aulia anaknya untuk menjaga adik lelakinya yang kecil.
"Buruan! Aulia! Awas, ya kalau misal kamu gak bangun juga, Mamah cubit juga wajah kamu, Aulia!" ancamnya.
Aulia—si gadis berusia sepuluh tahun ini menutup telinganya dengan boneka kodok miliknya. Lantaran merasa kesal akan sikap putrinya yang telah mengabaikannya, Diana bangkit dan mengambil sapu lidi dari dapur. Diana berteriak sekencang-kencangnya sampai membuat gadis itu bangkit.
Diana menjewernya, kemudian menarik Aulia menuju kamar pribadinya.
"Mamah atuh sakit, telinga Aulia. Mah, lepasin!" pinta Aulia.
Diana semakin menjadi, perempuan itu mendorong anaknya sendiri, lalu menguncinya di kamar.
"Diam di sana! Kalau misalkan masih aja bandel, Mamah gak akan ngajak kamu ke Tasik!" Lagi-lagi Diana tidak pernah menghentikan ancamannya. Pada anaknya sendiri pun seperti itu, apalagi sama orang lain?
Entahlah.
***
Hingga hari telah menjelang siang, Aulia masih terus menangis gara-gara Diana menguncinya di kamar. Aulia, gadis berambut panjang nan cantik ini menggedor-gedor pintu berharap ada oma atau siapapun yang lewat sehingga bisa membantunya untuk membuka pintu.
Gadis itu mencari ide untuk meminta bantuan kepada omanya atau keluarga terdekatnya. Melihat ponsel yang tergeletak di samping adik kecilnya, Aulia pun mengambil gawai itu, kemudian membukanya.
Beruntung, Diana tidak pernah mengunci ponselnya baik dengan sandi atau pola. Aulia berpikir keras bagaimana dia bisa mencari nomor ponsel milik saudara dekatnya.
"Aduh, gimana, ya? Aulia bingung harus apa? Ya Allah, bantu Aulia," lirih gadis itu, mengangkat kedua tangannya. Dan mengambil ponsel milik Diana kembali.
Tidak perlu terlalu lama bagi seorang Aulia mencari ide, gadis cantik ini memulai aksinya.
"Hah, Aulia ada ide nih."
"Halo, Pak," ucapnya memanggil seseorang di seberang dengan sebutan 'Pak'.
Seseorang di seberang pun menjawab panggilan telepon darinya, menanyakan bagaimana kabar dan sedang apa dia saat ini. Namun, Aulia malah menangis ketika papanya bertanya.
"Pak, suruh mak buat ke rumah, ya! Bukain pintu kamar, Aulia sama si Dedek pengap, Pak pengen keluar, bisa, kan?"
"Hah? Maksudnya gimana, Aulia? Sayang, emangnya mamah kamu ke mana? Sayang, Aulia Bapak lagi kerja, Nak. Mamah ke mana, kenapa bisa sampe ngunciin kamu di kamar sih?"
Nada suara dari seberang kini mulai berbeda, suami Diana mulai merasakan kekhawatiran yang teramat sangat pada putri tercinta. Akan tetapi, mengingat akan jarak yang memisahkannya. Dia harus terpisah dari anak dan istrinya.
Sesungguhnya, suami Diana tidak pernah mengetahui bagaimana kondisi sang istri di rumah. Yang dia tahu, saat sedang bersama Diana selalu baik dan tak pernah menunjukkan sifat buruknya. Akan tetapi, kala sang suami telah tiada. Barulah sifat buruknya terlihat.
"Pak, mamah ngunciin Aulia sama si Ad—"
Terdengar seseorang berjalan menuju ke arah kamar, Aulia mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Aulia kembali menyimpan ponsel milik mamanya di samping adiknya yang saat ini masih tertidur. Maklum saja, semalam anak itu terus menangis sampai tiba azan awal berkumandang.
***
"Si Adek bangun gak tadi?" tanya Diana begitu dia berhasil membukakan pintu.
Aulia yang berpura-pura tiduran di samping samg adik tercinta, sambil menepuk-nepuk pantatnya langsung bangun dan mengatakan yang sejelas-jelasnya. Aulia juga bertanya, mengapa dia lama menbuka pintu, dari manakah dia sampai tega mengunci anak sendiri berjam-jam?
Diana tak menjawab pertanyaan Aulia, melainkan dia menyuruh anak sulungnya ini pergi, segera membersihkan badannya dan mandi. Aulia menurut, gadis itu langsung meninggalkan kamar dengan suasana hati bermuram durja. Antara kesal, kecewa dan benci semua menjadi satu.
Setiap ibu tentunya mereka akan bersikap adil terhadap anak-anaknya, dia akan memperlakukan anak mereka sama. Berbeda dengan seorang Diana dan kalian perlu ketahui bagaimana dia sebenarnya dan inilah sosok Diana yang sesungguhnya.
Pada anak bungsunya, Diana selalu manis dan tutur katanya tak pernah terdengar kasar. Tetapi, pada Aulia? Setiap hari wanita aneh ini membentak anak sulungnya, ya kadang Aulia membalas sikap Diana meski pada akhirnya Aulia sendiri harus mendapatkan cubitan yang keras.
Selesai mandi, mengganti pakaiannya dan sarapan pagi. Aulia meminta izin pada Diana untuk main ke luar bersama teman-temannya. Sekumpulan anak kecil telah berada di depan rumah, memanggil-manggil nama sahabatnya mengajak bermain.
"Mah, boleh, ya? Plis, Mah!" Aulia memohon pada Diana, mengharap izin darinya.
"Boleh aja, tapi ingat, ya Aulia! Kalau sampai Mak atau siapapun yang nanya pipi kamu kenapa, jangan sampe kamu bilang ke mereka kalau itu ulah Mamah, paham! Liat nanti akibatnya, kalau sampe kamu bilang, Mamah gak akan bawa kamu ke Tasik ketemu Nenek!"
Aulia mengangguk sambil mengangkat kedua tangannya.
"Apa ini? Ngapain pake nadah begini?" tanyanya ketus sembsri menggendong adik kecil Aulia.
"Mah atuh, minta duit ih. Lima ribu we, da baik," ucapnya merajuk.
Diana mengambil uang di kantong celananya dan memberikan selembar uang kertas bernilai dua ribu rupiah pada anaknya.
"Ih pelit," gumam Aulia sambil berlalu.
Setelah kepergian anaknya, seperti biasa Diana memandikan anak bungsunya, kemudian memberinya sarapan pagi. Selesai merapikan diri dan juga anak lelaki kesayangannya. Diana akan jalan-jalan di sekitar rumahnya sambil berjemur di bawah terik matahari.
Di depan rumah tetangga, Diana duduk bersama tiga orang ibu-ibu di sana. Mereka membahas segala topik, mulai dari yang tidak penting sampai tidak berguna. Tertawa terbahak-bahak.
Beberapa jam kemudian, pada pukul setengah sebelas lewat sepuluh menit. Seseorang datang menyambangi kediaman Diana, tetapi karena melihat menantunya sedang duduk di rumah tetangga. Seseorang tersebut membatalkan nita mengetuk pintu dan menemui menantunya.
"Teh Diana," sapa seseorang itu.
Suara yang tak asing di telinga Diana, ya seseorang tersebut tak lain adalah mertuanya sendiri. Mak Hana. Wanita yang memakai pakaian lusuh, berhijab ini menyapa menantunya. Meski berasal dari keturunan orang berada, Mak Hana tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya ini orang berada.
Mak Hana selalu terlihat biasa dan bertutur kata yang sopan. Entah pada menantunya atau orang lain sekali pun.
"Mak Hana, ada apa?" Diana langsung bangkit dan menyalami mertuanya.
"Mak mau bicara dengan Teteh sekarang apa bisa?"
"Bisa, Mak. Sebentar," katanya. "Bu, Ibu! Nanti kita lanjut lagi, ya gibahnya. Tadi sampe bahas soal si Rukmini, kan? Yang suaminya suka godain anak orang? Oke deh, nanti, ya."
Ketiga ibu-ibu yang tadi bersama dengan Diana mengangguk bersamaan. Diana meninggalkan mereka dan berjalan beriringan bersama mertuanya menuju ke rumah.
Mak Hana menceritakan maksud kedatangan dirinya ke rumah Diana. Diana terperanjat, mendengar mertuanya membahas soal Aulia. Dia kebingungan, dari mana wanita tua ini mengetahui jika anaknya dia kunci hingga pukul sembilan? Diana berasumsi jika Aulia yang melapor, namun teringat akan kepergiannya tadi bersama teman-temannya ke Lapangan Sekolah. Pikiran buruk itu dia hilangkan.
"Mak dari mana tau, kalau Diana ngunci Aul?" Pertanyaan singkat, tetapi nada suaranya terkesan tidak enak.
"Jelas Mak tau lah, Diana. Tadi Maman nelpon ke Samsul, katanya apa bener kamu ngunci Aulia di kamar berjam-jam? Dia terlihat khawatir loh, Diana," tutur Mak Hana menjelaskan.
An … jadi dia tau soal aku sekap Aulia? Padahal, kan nggak sampe … argh, bener-bener ini. Btw, timana Mas Maman tau, ya?
Diana berdiri. Usai dia melepaskan anaknya dan membiarkannya berkeliling-keliling rumah. Dia meminta penjelasan pada mertuanya, mengapa sampai suaminya tahu jika dirinya menyekap Aulia di kamar?
"Enggak perlu tahu, Diana! Mak hanya minta sama kamu buat tidak bersikap kasar sama anak sendiri, kasian dia lah, Diana! Masih kecil juga," imbuhnya sambil mencpba menasehati menantunya.
Sosok Diana yang keras kepala ini dan hanya mau menang sendiri, setiap kali Mak Hana mertuanya menasehati dia selalu menyanggahnya.
Satu pun dari kalimat yang diutarakan oleh Mak Hana terhadapnya, tidak ada yang didengar juga diresapi baik-baik. Dia bilang, kalau seandainya dia sama sekali tidak pernah bersikap kasar. Apa yang diucapkan olehnya pada kedua anaknya itu semua semata-mata karena dia sayang dan ingin anaknya yang terbaik.
"Kamu ingin anak kamu jadi orang baik dan kamu bilang apa yang kamu katakan pada mereka itu baik juga? Diana, ingat! Kamu ini perempuan, pigur seorang ibu adalah mengasihi dan menyayangi anaknya. Kalau pun mereka bersikap nakal, ya wajar namanya anak kecil, kan? Memangnya dengan kamu berkata kasar itu semua masih dibilang baik?"
Dasar nenek peot, demennya ceramah mulu! Enggak ibu, enggak dia sukanya ceramahin orang lagi. Apa sih maksudnya? Enggak bisa apa, liat anak sendiri bahagia? Apa-apa salah, apa-apa salah. Aneh.
"Bu, Ibu! Tau gak sih, katanya si Neng Milen pipinya digores, ya sama adiknya sendiri?" tanya salah seorang ibu-ibu di sebuah warung dekat tak jauh dari rumah."Maksudnya gimana itu? Maaf nih, ya, Ibu-Ibu saya teh gak ngerti sumpah. Jadi ceritanya Neng Milen kenapa? Saya penasaran, Bu," sahutnya lagi."Jadi begini, Bu Marni, kamaren ada seseorang yang datang ke rumahna si Neng Milen. Nah, di situ dia nemuin Neng Milen wajahnya cacat, menurut pendapat orang yang liatnya itu, katanya Neng Milen pipinya sengaja digores sama piso oleh adiknya.""Owalah, eh kok bisa orang itu tau kejadian sebenarnya? Emangnya Neng Milen cerita?" tanya si Bu Marni.&nb
"Assalamualaikum, Bu Citra! Assalamualaikum!"Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar, membuat ucapanku kepotong. Aku, ibu dan Rania berpura-pura bersikap biasa demi menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebelum aku membuka pintu, Rania memberikan peringatan untukku supaya ketika nanti ada yang bertanya mengenai luka di pipiku diri ini tak menceritakan kejadian sebenarnya.Terpaksa malam ini aku lagi-lagi berbohong dan menuruti semua kemauannya. Setelah aku mengiyakan semua ucapannya, bergegas pergi menuju ke dekat pintu dan membukanya.Perasaanku memang tidak salah lagi, si pemilik suara tadi tak lain adalah Teh Kinan. Tetangga dekat kami, tetapi rumahnya pinggir jalan. Teh Kinan dan keluarga merupakan bos sayuran. Bisa dibilang orang kaya di kampung
"Dasar anak kecil gak tau diri! Bisa-bisanya nyakitin ibu kaya begini. Kamu sebenarnya disekolahin gak sih? Ngomong sama orang tua gue elo, memangnya kamu anak siapa?" Aku mengabaikan panggilan dari Jo dan segera membantu ibu yang jatuh ke lantai.Aku tidak mengerti bagaimana caranya menyikapi gadis seperti Rania. Kurasa aku sudah cukup sabar menghadapinya selama ini. Namun, aku benar-benar lelah harus berada dalam kondisi seperti ini.Bukan hanya pada Rania, aku pun bingung dengan ibu yang selalu saja menuruti setiap ucapan gadis itu. Seandainya aku tahu penyebab gadis itu sering melunjak, ingin rasanya aku membantu untuk menyadarkan bahwa kelakuannya pada ibu selama ini salah.Teringat sebuah pesan ketika aku masih berada di asrama, ustazah mengatakan jik
"Ikut Aa sekarang! Aa akan ceritakan apa yang terjadi sama Aulia saat kemaren di rumah! Oh iya, jangan khawatir, Aa ajak Teh Kinan juga tuh!" Dia menunjuk ke arah di mana seorang wanita yang berusia di atas iparku ini, tetangga yang kemarin malam datang ke rumahku.Aku dan Teh Kinan memang cukup lumayan dekat, karena kedua orang tuanya merupakan anak dari nenekku. Namun, kedekatanku dengannya berakhir ketika suatu hari curhatanku padanya dibongkar di depan orang banyak, sekitar tiga bulan lalu. Sejujurnya, bukan dia yang mengatakan kisah hidupku selama ini, melainkan teman dekat alias pembantunya.Setelah kejadian itu, aku sedikit menjaga jarak kepadanya. Saat malam kemarin dia memintaku bercerita, aku tidak melakukannya. Lantaran khawatir, suatu hari nanti ucapanku akan tersebar dari satu mulut ke mulut lain.
Adakalanya kita merasakan lelah, capek dengan semua yang terjadi hari ini. Terbersit dalam pikiranku untuk mengambil jalan tengah sebagai satu-satunya cara agar aku tak lagi mengalami hal buruk ini.Kepalaku rasanya sakit harus menerima kepahitan ini. Menjadi satu-satunya anak yang dibilang waras membuatku banyak menanggung derita.Aku dan iparku pulang ke rumah dengan harapan keadaan akan semakin membaik dan mereka dapat mengerti akan kondisiku. Begitu pun dengan ibu yang notabenenya beliau cukup banyak tahu perihal keadaanku di rumah. Tentu, aku mengharap ibu akan membelaku sama seperti aku membelanya ketika Rania hampir menancapkan pisau di wajahnya sehinga wajahku yang terkena goresan benda tajam itu.Sakit rasanya hati ini mengetahui ibu justru ikut-ik
"Aulia!" teriak kami secara bersamaan."Dasar anak pembawa sial!" hina Diana kepadaku.Bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan doa-doaku dan menyelamatkanku dari kobaran api yang begitu besar ini. Namun, takdir berkata lain. Memang aku selamat, tetapi sayangnya Aulia—putri bungsu Diana dan Marcel jatuh ke dalam api yang menyala-nyala.Aku merasa menyesal karena telah membiarkan gadis mungil itu membantuku. Aku menjerit histeris melihat Aulia jatuh tepat di depan mataku, tak dapat melakukan apa-apa terhadap gadis malang itu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian aku berinisiatif untuk menarik lengan Aulia dari dalam sana.Ya Allah, kumohon padamkanlah api ini! Aku percaya atas kekuasa
Liburan akhir tahun yang seharusnya dirasakan dan dinikmati oleh Aulia—keponakanku ini, berakhir dengan sebuah kematian tragis. Malang nian nasib gadis kecil itu. Seumur hidupnya, yang kutahu dari iparku, Aulia tak pernah mendapatkan kebahagiaan sedikitpun. Siksa dan air matalah yang dia terima.Karena kesalahanku yang menuruti Marcel untuk pergi ke dokter, kondisi rumah menjadi tidak stabil. Orang-orang selalu menganggap jika rumah adalah tempat paling nyaman, setelah kembali dari tempat pengasingan. Akan tetapi, bagiku saat ini dan seterusnya, tempat ini telah berubah menjadi tempat pertumpahan darah.Terbukti sekarang ini, iparku mengejar-ngejar istrinya dan pria itu hrndak membacoknya. Yah, seperti yang telah dijelaskan oleh kedua orang tuanya beberapa tahun lalu. Sebelum Marcel melamar Diana. Sempat kuden
"Tunggu!"Sekali lagi suara itu terdengar olehku dan bahkan oleh semua orang, berharap si pemilik suara itu bisa membuktikan kalau aku tidak bersalah. Aku sama sekali tak menyentuh Rania sedikit pun, apalagi menyakitinya pun tak pernah terbesit dalam benakku.Selama ini, Rania dan Diana lah yang selalu menyakiti perasaanku dan juga ibu. Kami berdua tak pernah membalas perbuatannya, kami juga selalu diam. Lalu, bagaimana mungkin sekarang ini polisi menuduhku seperti itu?Fitnah yang diutarakan kepadaku, sungguh lebih menyakitkan dibanding dengan mendapatkan tusukan benda tajam oleh Rania untukku. Mungkin benar apa yang orang katakan, di mana luka di hati sulit disembuhkan dan tidak ada penawarnya kecuali ketika kita mendapatkan satu goresan kecil. 
"Kamu gak mau nemenin suami bekerja, Yang? Kalau gitu ya udah mending aku sama yang lain aja gimana?"Kepalaku rasanya mendidih mendengar dia mengatakan kalimat itu di dekat telingaku. Andai aku bisa dan berani, ingin rasanya menutup mulut dia agar tidak bisa berkata seperti tadi lagi. Aku benar-benar tidak bisa bila dia mengatakan 'mending aku sama yang lain' , perasaanku bak terbakar oleh api cemburu."Kalau gitu silakan aja! Tapi, jangan pernah berharap nanti pulang aku ada di rumah, bay!" seruku, kemudian meninggalkan dia di samping meja rias.Sebenarnya aku tidak ingin jauh-jauh darinya. Jika perlu aku ingin setiap detik, setiap menit bahkan setiap jam berada di dekat Jo. Tidak ada sehari atau dua hari terpisahkan. Selamanya dekat di sisi Jo sampai mau
Seminggu kemudian …Hari sekaligus bulan yang telah kami tunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Aku dan Jo telah resmi menjadi sepasang suami istri tepat pukul sepuluh pagi. Kebahagiaan yang seharusnya menyelimuti hariku ini justru berganti menjadi sebuah kesedihan. you know yourself , ibuku tak ada disampingku. Dia sudah tenang di alam sana bersama Dinda. Sementara itu, Bapak dan Rania entah di mana dan bagaimana kabarnya sekarang. Aku tidak tahu.'Aku harus bisa menyembunyikan kesedihan ini, pokoknya harus bisa!!' tekadku dalam hati.Kala penyematan cincin pernikahan oleh Jo, sebisa mungkin aku menatapnya dengan senyum menyer
"Ish, jahil kamu.""Suka, kan?" tanyanya.Aku hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Tiga puluh menit waktu yang cukup lama bagiku mengabulkan permintaannya.Cinta … hadir tanpa kita duga. Datang tanpa memberi salam, kemudian singgah tanpa permisi. Kata orang cinta unik. Cinta itu nyata sehingga kedatangannya mengubah kepedihan menjadi kebahagiaan. Menghapus tangis air mata, menjadi senyuman."Unik, kan?"Awalnya aku tak percaya akan cinta, aku pun tidak berharap lebih dari kata tersebut. Hanya saja setiap orang ingin bahagia bersama pasangan masing-masing begitupun yang dirasakan olehku. Aku ingin bahagia bersama Joo
Aku serba salah dengan keadaan sekarang. Antara bahagia dan tidak. Itulah dua rasa yang tidak bisa disatukan. Bahagia karena bisa lebih dekat dengan keluarga besar Joo dan tidak lantaran adanya wanita itu menjadikan hidupku mungkin akan lebih buruk lagi ketimbang saat bersama Rania dulu."Sayang-sayang! Ayang! Millen udah, Millen dia udah gak ada kok. Sayang!" panggilnya begitu lembut.Kurasakan tangannya menyentuh punggungku, mengusapnya kemudian dia mengangkatku agar wajahku bisa sejajar dengannya."Yang! Ayang gak enak sama bibikku?" tanyanya.Aku menggeleng, mengusap air mata kepalsuan ini sambil tersenyum memandangnya."Mi
"Dia kenapa sih, kok aneh banget sama aku?" tanyaku dengan memelankan suara sehingga hanya aku sendiri yang mendengarnya.Semenjak Joo menurunkanku dari pangkuannya. Sekilas aku melirik ke arah wanita tua yang usianya sekitar dibawah bunda. Aku sendiri tidak tahu pasti berapa usianya. Hanya saja tatapan dialah yang membuatku tak nyaman saat ini."Joo!" panggil si Kakek.Kekasihku ini menoleh dan menjawab panggilannya dengan sangat santun. "Ada apa, Mbah?""Bawa pacarmu nih istirahat! Kasian pasti capek lama di jalan," katanya menyuruh Joo membawaku beristirahat.Kupikir setelah si Kakek memintaku m
"Aduuhh!"Aku menjerit histeris merasakan kepalaku membentur sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, mengapa kepalaku sampai mengenai bagian depan mobil. Jujur, sakit sekali dan tepat saat Joo menangkap tubuhku. Aku muntah.'Astaga, aku kok sampe muntah segala?' tanyaku dalam hati.Kupandangi wajah tampannya itu dan sekilas aku bisa melihat bagaimana reaksinya melihatku menumpahkan isi perutku di mobil mahalnya ini. Akan tetapi, tiba-tiba dia membenarkan posisi dudukku, lalu membantu membersihkan muntahan tadi. Tidak banyak yang dia ungkapkan selain dari mengambil pembersih mobil seperti; lap, air secukupnya dan keresek hitam.Aku pun tidak tahu bagaimana isi hatinya. Entah memang dia tida
Teruntuk kamu …Dari aku, si pengagum dari dunia nyata …'Halo, Joo. Joo, aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku. Kamu lebih sering datang ke luar kota entah aku tidak tahu kamu nemuin siapa. Aku harap bukan bertemu perempuan, melainkan untuk bekerja saja.Joo … kamu harus tahu, kalau aku sebenarnya suka sama kamu. Dari kita SD sampai kita sebesar ini. Aku benar-benar sangat menyukai kamu. Perasaan ini masih rapi tersimpan dalam lubuk hati aku yang paling dalam. Kuakui … aku memang bukan siapa-siapa, tidak pantas bersanding dengan dirimu.Joo … untuk kali ini, ijinkan aku menyentuhmu. Maaf, aku membuat malam ini menjadi mal
Kulangkahkan kaki perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes. Perih rasanya harus meninggalkan rumah dan kampung halaman ini demi sebuah lembaran baru yang akan aku mulai bersama Joo di sana. Jujur aku ragu, baru kali pertama pergi jauh dan tanpa di dampingi ibu atau bapak."Sayang! Kakak tau, kamu tuh sedih dan pastinya berat banget buat lalui semua ini. Tapi, coba liat Joo. Bertahun-tahun dia menantikan momen ini, ingin menjagamu lebih dekat, masihkah kamu ragu?" tanya Jelita yang kemudian menghentikan langkahku, lalu memelukku."Aku bingung, Kak. Aku ragu untuk pergi. Di tampat ini begitu banyak kenangan sama ibu, Rania dan semuanya. Aku takut di sana malah akan ngecewain Joo," jawaku berterus terang.Kuharap dia mengerti denga
Di tempat favoritku ini, Asia Plaza. Tempat yang ketika dulu bersama teman-temanku sering ke sini sebelum Rania dan Diana berbuat ulah. Teringat akan sesuatu hal yang sangat indah. Ada cerita di setiap sudut Mall tersebut. Setiap langkah kami bercerita panjang lebar, sampai-sampai kami pernah menabrak seseorang karena kami terus menunduk.Selain kenangan bersama sahabat dan teman-teman yang lainnya. Ada hal lain yang seketika ingatanku kembali pada sosok ibu. Dulu aku sempat berjanji ketika memiliki upah dari hasil menulisku aku berharap akan mengajaknya ke sini. Ke tempat yang orang-orang pun ingin sekali mengunjunginya."Kamu ngapain sih ngelamun mulu, Brinz?" tanyanya kepadaku sambil menjentikkan jarinya.Mataku mengerjap dan langsung menoleh, "Kamu apaan sih