Berharap dengan menjelaskan ini kepadanya, dia dapat mengerti dan meminta ibu membatalkan keinginannya. Akan tetapi, ternyata pikiranku yang salah. Manusia macam Rania memang tidak punya hati.
"Viani, sudah! Ibu bisa pinjem kok ke tetangga seratus ribu lagi," sergah Ibu.
"Tuh, dia aja gak masalah. Kenapa lo yang sewot?"
"Apa? Ibu mau pinjem lagi? Ingat, Bu! Utang kita udah 200 ribu loh, kalau kita pinjem lagi dari mana bayarnya?" Rasanya semakin tidak rela, melihat ibu hanya demi seorang Rania mau untuk berutang.
"Pokoknya aku gak mau tau, Bu. Ibu jangan berutang lagi, Bu!"
Rania mendorongku, aku pun mengaduh kesakitan lantaran kali ini tangan kiriku benar-benar mengenai serpihan kaca. Malah sekarang serpihan itu menancap di tangan tersayang ini.
Sementara ibu pergi ke dapur, aku memcoba menasihat gadis itu setelah menutup gorden. Sekarang, waktu sudah menunjuk ke angka setengah enam lewat sepuluh menit. Sesekali terdengar suara jangkrik di sekeliling rumah.
"Rania, udah ya! Aku mohon, jangan kamu suruh-suruh ibu! Sekali lagi kuingatkan sama kamu, dia ibumu bukan pembantumu, Rania!"
Rania melangkah ke dalam dan sedetik kemudian kembali lagi keluar. Kurasakan ada sesuatu yang tidak enak, dalam hitungan ketiga gadis itu mendekatiku dan menancapkan jarum tajam itu dipipiku. Sayang, tidak hanya sekedar menancapkan saja. Rania menyiksaku dengan beberapa kali menggores pipiku dengan jarum itu.
Aku pun menjerit, menahan rasa sakit yang menggerogoti pipiku. Kualihkan pandangan ke arah ibu dan sontak membuatku terlejut karena dia berteriak menghentikan ulahnya.
"Rania!! Hentikan! Rania-Rani, cukup!" katanya.
"Bu … Rania, aku mo … hon … sudahi! Sakit, Ran! Argh!"
"Ini belum seberapa, Via! Ini balasan dari gue karena lo berani-beraninya nasehatin gue. Idup lo aja berantakan dan sekarang, mau-maunya nasehatin gue? Ngaca lo!" Rania semakin geram dan kurasakan benda kecil itu masih berada di pipiku. Kucoba menepiskan tangan Rania berharap benda kecil itu dapat diambil.
Namun mirisnya hidupku ini, jarum itu patah. Aku terkejut, kuraba pipi untuk memcari patahan jarum itu. Dan ya, patahannya masih menempel di pipi kanan.
Bagaimana aku mengambilnya?
Ya Allah, kuatkanlah hambamu ini. Aku benar-benar tak tahan rasanya, perih, ya Allah. Ya Allah, bukakanlah pintu hati Rania agar gadis itu bertaubat dan tidak berbuat jahat lagi semoga, lirihku.
"Aku tak tahan jika dia terus menerus seperti ini. Bagaimana nanti kalau dia sudah besar? Atau semua kejahatannya terbongkar?"
Tak henti aku berdoa pada Tuhan yang telah memberikanku kehidupan layak ini. Hanya padanya aku berharap, memohon untuk Rania bisa bertaubat.
Bukan aku tak ingin melawannya, tapi mendekatinya saja. Sulit bagiku.
"Bu. Boleh aku tau bagaimana Rania sebenarnya dulu?" tanyaku padanya.
"Sudah, Nak! Kita obati saja dulu lukamu, pasti sakit, ya?"
Aku menggelengkan kepala, berpura-pura tak merasakan sakit apa pun. Walau sejujurnya darah terus menetes, sampai aku sulit bagaimana menahan derasnya cairan merah itu.
Rupanya jarum yang dia tusukkan padaku lumayan tajam lukanya pun semakin dalam.
"Bagaimana bisa kamu teh bilang tidak sakit, padahal nyatana eta darah meni banyak," balas Ibu seraya merobek pakaiannya. Untuk dia jadikan lap.
Hatiku tersentuh dan sakit rasanya, melihat Ibu dalam kondisi seperti ini. Dia rela melakukan apa saja demi anaknya. Namun, yang dia pedulikan justru tiada.
****
Luka yang ada di pipiku semakin lama semakin mengeluarkan darah segar. Darah itu seperti enggan berhenti untuk keluar. Malah, ketika berusaha membersihkannya, cairan merah dari dalam pipiku ini terus mengalir layaknya air sungai yang tak ada ujungnya. Sungguh, ini lebih sakit dari apa yang dibayangkan. Mengapa hidupku seperti ini, Tuhan?
Inginku marah, ingin rasanya murka pada Tuhan yang telah memberiku ujian seberat ini. Namun, teringat akan nasihat yang telah diajarkan oleh ibu dan guru ngajiku semasa kecil. Mereka bilang, Tuhan memberikan kita ujian, tidak mungkin melebihi batas kemampuan manusia, hambanya. Tuhan kasih kita cobaan sebagai bentuk kasih sayang-Nya terhadap kita.
Mengingat hal ttersebut. Segera kuucap istigfar berkali-kali memohon ampun atas segala ucapanku tadi.
Ya Allah, ini teh kumaha sakit pisan. Astagfirullah, ya Allah. Kuserahkan semuanya kepada-Mu, lirihku.
"Via harus kuat, Via harus kuat demi ibu! Yah, Via kamu kuat," ucapku seraya menguatkan diri sendiri. Padahal kenyataannya aku rapuh, rasa tak sanggup menjalani hidup ini menyeruak masuk dalam sanubariku.
Samar-samar kudengar langkah seseorang dari arah luar, aku membalikkan badan menoleh siapa yang datang. Ya, ibu. Ibu datang sambil membawa rerumputan, entah dari mana beliau mendapatkan jukut riut tersebut.
Hidup di kampung ya memang begini adanya, jarang sekali jika kami sakit dibawa ke rumah sakit atau mantri dekat kampung, mantri di kampung sebelah apalah itu. Ibu selalu mengambil rerumputan yang dapat dijadikan obat dan beliau meraciknya sendiri.
"Sini, biar Ibu obatin, Nak," katanya.
"Makasih, Bu. Bu, andai saja Rania tadi langsung menusuk perutku, mungkin Via gak akan jadi begini. Merasakan sakit yang teramat sangat, itu sangat menyakitkan, Bu," sahutku.
Ibu mennghentikan aktivitasnya mengobati kedua pipiku, melihat air hangat di rantang yang telah berubah menjadi warna merah. Ku teguk air liurku, untuk menahan rasa mual di dalam peruf. Ih jijiknya, bisikku seraya bergidik.
"Apa-apaan kamu bilang gitu, Via? Kamu waras teu sih? Sadar, apa yang kamu katakan ini tidak lah baik, Allah sangat membenci hambanya yang putus asa," balas ibu dengan kalimat yang penuh penekanan.
"Via harus apa? Bu, daripada harus liat Ibu menderita karena ulah Rania. Sebaiknya Via menghilang aja dari dunia ini, sakit, Bu, sakut hati Via!" jawabku memperingatkan.
"Sudahi omonganmu yang gak jelas ini. Mending sekarang kita ke dokter aja, ya! Atau kamu mau ke mantri Ade di Panganten?"
"Enggak, Bu. Makasih, daripada uangnya buat periksa ke dokter. Sebaiknya tabung, kalau enggak setidaknya bayar utang-utang Ibu ke warung di sana, Bu."
Mendengar penolakanku. Tak pernah sekalipun aku merasakan dekapan hangat dari ibu, sejak kecil bahkan hingga saat ini. Semua terasa berbeda. Kehangatan ini melebihi hangatnya sinar mentari di pagi hari.
Andai waktu bisa berhenti untuk beberapa menit saja, ingin sekali merasakan hangatnya pelukan ini. Ibu, Via berharap Ibu gak akan hiraukan lagi Via, batinku.
"Terserah kamu lah, Via. Ibu sudah memberikan penawaran sama kamu, toh kamu sendiri yang gak mau di ajak ke dokter. Ibu hanya berharap semoga luka ini gak semakin melebar atau pun infeksi nantinya."
Doa-doa serta harapannya lah yang membuatku bertahan hingga saat ini. Tanpanya mungkin, aku sudah tiada. Tanpa dia tak mungkin berani melanjutkan semuanya.
***
Azan isya telah berkumandang, lantaran aku belum bisa buat menyentuh air ke wajahku. Aku terpaksa harus melakukan tayamum.
Selesai salat isya, aku pun langsung membaringkan diri di kasur lantai. Samar-samar terdengar suara diiringi dengan tangisan lembut di ruang tengah. Ingin rasanya bangkit dan melihat siapa yang tengah menangis malam-malam begini, namun diri ini hanya mampu mengintip seseorang lewat bilik yang bolong.
Penglihatan dan perasaanku benar-benar tak salah. Di ruang tengah memang ibu sedang menangis sambil mengangkat kedua tangannya. Karena keberadaanku dan ibu terhalang oleh bilik yang tipis, aku bisa mendengar seruan ibu. Doa-doa yang beliau lantunkan itu semua untukku dan anak-anak ibu lainnya.
Rasanya hatiku tenang, tentram, mendengar semua itu. Akan tetapi, lagi-lagi sifat cengeng seorang Viani harus timbul lagi. Air mataku tumpah, saat doa-doa ketulusan ibu semakin lama semakin terdengar indah.
Apalagi di kampungku, ibu merupakan seorang ahli ibadah. Maksudku adalah Ibu sering kali mengisi kajian di beberapa masjid, jika memang para ustad atau ustazahnya sedang tidak ada. Tidak hanya itu, ibu sempat menggantikanku sebagai guru di salah satu sekolah TK di dekat rumah, hingga saat ini.
"Bu, semoga Allah mengabulkan doa-doa ibu, ya."
Baru saja hendak tidur, karena mataku sudah tak kuat menahan kantuk yang sejak siang mendera. Aku tak tahu, apakah aku salah mendengar atau memang ada suara orang terjatuh.
"Bagus, ya. Malam-malam begini, Ibu malah gangguin orang lagi tidur? Eh, Bu! Tau gak? Kalau doa itu, gak usah pake lebay kek angkat tangan segala, angkat kaki apalah itu. Itu lebay, Bu namanya!" bentaknya.
Aku mengenali pemilik suara ini. Siapa lagi kalau bukan Rania si anak bungsu yang menyebalkan ini. Entahlah, aku bingung bagaimana harus menghadapi gadis seperti dia.
"Rania!" panggilku setengah berteriak.
Kulihat Rania menoleh ke arahku. Kupaksakan untuk berjalan menghampiri ibu di depan.
"Apa?" Pertanyaan singkat, tapi dengan sinar mata yang tajam.
"Hentikan! Kamu teh jangan gitu sama Ibu, dosa, Ran inget!" Kuperingatkan dia tentang bagaimana larangan berbuat kejam terhadap orang tua. Jangankan berbuat kejam, membentak sekali pun sangat tidak boleh.
Rania tak menggubris seruanku, gadis bengis malah asik menarik ibu dan membawanya ke depan pintu.
Ya Allah, apa yang mau dia lakuin, ya? Ah, tidak jangan sampe dia berbuat macam-macam deh, bisikku harap-harap cemas.
"Ran, apa yang mau kamu lakuin sih?" tanyaku berusaha menahan tangannya, supaya cengkeramannya terhadap ibu bisa longgar.
"Diem!" titahnya.
"Rania, maafin Ibu, Nak. Kalau memang Ibu salah, tapi mohon tangan Ibu sakit kamu bisa kan lepasin," pintanya.
"Alah, gak usah banyak cincong! Ibu udah berani bikin tidur aku keganggu, jadi rasakan balasannya!" ancamnya memperingatkan.
"Rania, hentikan!" teriakku.
Hampir saja dia mendorong ibu hingga keluar rumah, namun semua itu berhasil kucegah walau pada kenyatannya diriku sendiri yang terjatuh di antara tanah dan tembok. Yap, kakiku berada di atas lantai sedangkan tubuhku di bawah tanah.
"Viani!" panggil Ibu.
"Bu, Ibu tolong Via!" Kucoba berteriak sekuat tenaga agar bisa mendaoatkan bantuan.
Entah, aku tidak tahu bagaimana caranya berdiri. Kalau seandainya kupaksakan, khawatir nanti kepalaku terbentur batu di samping kiri.
Ya Allah, bantulah hambamu ini, lirihku.
Setelah memberanikan diri untuk bangkit, meski harus terkena benturan batu di samping tubuhku. Aku tak masalah.
"Via, kamu gak apa-apa?" tanya Ibu.
"Via, baik-baik aja. Ibu gimana, ada yang sakit?" tanyaku balik.
"Ibu gak masalah."
Dari dalam, Rania memberikan peringatan kepadaku jika seandainya dalam hitungan ketiga aku tak masuk rumah juga. Dia akan mengunciku bersama ibu di luar.
"Enggak, Ran! Kalau aku masuk rumah, Ibu juga harus masuk rumah. Lagian, cuma karena Ibu berdoa doang kamu sampe mau nyiksa ibu gini, tega! Jangan ampe kamu kualat, ya, Ran!"
"Banyak bacot lo," bentaknya seraya menarik rambutku, lalu tiba-tiba sebuat pisau yang bergagang merah dia keluarkan dari dalam sakunya.
Aku pasrah, jika memang dia hendak menyiksaku atau bahkan membunuhku sekali pun. Aku hanya tidak rido melihat Ibu harus menerima perlakuan Rania yang kasar ini.
Kelakuan Rania memang sudah diambang batas kewajaran. Dia selalu menyuruh ibu ketika ibu sedang sibuk. Gadis itu seolah-olah menganggap ibu adalah pembantunya. Bukan orang tua.
Malam semakin larut, penduduk di desaku jam segini sudah tampak sepi. Ingin rasanya ada para warga yang datang membantu kami dan melihat kelakuan busuk Rania terhadap kami. Namun, harapanku tentang warga sepertinya belum direstui oleh yang di atas.
Tak ada yang dapat kulakukan selain hanya pasrah, memohon pada Yang Maha Esa agar Ranua dubukakan pintu hatinya.
"Rania, kamu mau ngapain, Nak? Itu kakak kamu loh, kasian dia. Udah wajahnya rusak masa iya kamu mau lukai dia lagi?"
Ibu memcoba melerai, tapi nyatanya gadis itu tak menggubrisnya. Rania mendorong Ibu dan aku pun berteriak. Sayang, rambutku semakin di jambak keras-keras.
Dia menyodorkan pisau yang dipegangnya ke depan wajahku, aku yang melihat itu cepat-cepat menutup mata lantaran tak tahan.
"Rania, aku mohon jangan lakuin itu! Rania, aku mohon sama kamu. Jangan biarkan pisau itu menyentuh pipiku lagi, Ran! Aku janji apapun yang kamu minta akan aku turuti, tapi pl---"
Ketakutanku kini menjadi kenyataan. Tanpa melihat dan merasakan rasa iba, Rania menggoreskan pisaunya ke pipi kanan.
"Argh!"
"Rania! Viani astaga," lirih Ibu seraya berteriak.
Rania melepaskan tangannya dan mendorongku begitu saja. Tangisan air mataku bercampur dengan darah yang menetes lewat pipiku.
Ku raba pipiku dan aku tetap tersenyum untuk ini. Aku mengusap setiap darah yang menetes dengan bajuku. Biarlah pakaian butut ini menjadi pembersih lukaku.
"Via, Nak. Anak Ibu, kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Ibu memegang pundakku.
Degup jantungku semakin berdebar hangat mendengar ibu memanggilku dengan panggilan sayang, sedikit tak menyangka. Tetapi aku tetap bersikap biasa.
"Kenapa kamu malah tersenyum, Nak. Setelah apa yang dilakukan oleh adik kamu sama kamu?"
"Aku tidak apa-apa, Bu. Aku ikhlas, asalkan dia tak melukai ibu. Aku bersumpah, seujung kuku pun aku tak rido jika melihat Ibu terluka," ucapku bersumpah.
Ibu mengangkat tangan kirinya, kemudian mengusap puncak kepalaku. Sentuhan hangat ini membuatku sedikit meerasa nyaman, rasa nyeri di pipiku terobati karena pelukan kasih ibu.
Selamanya, aku tidak akan pernah melupakan semuanya, Bu.
"Kalian masih mau drama-dramaan? Enggak akan masuk? Oh, aku ngerti, kalian mau tidur di luar, ya. Baiklah!" Suara panggilan Rania membuat suasana kian memanas kembali.
"Rania, apa-apaan kamu!" teriakku, mengusap air mata.
"Diam lo!" dengkusnya seraya menunjukkan tangannya."Ibu!!" teriakku memecah keheningan.Ibu melepas mukenanya dan dia langsung menghampiriku yang tergeletak tak berdaya di tanah. Aku yakin, pipiku ini semakin bertambah parah. Kucoba untuk menahan rasa sakit ini supaya ibu tak mengkhawatirkanku. Namun, diri ini terlalu sulit membohongi perasaan sendiri. Perih, panas, nyeri semuanya bercampur menjadi satu.Ku paksakan berdiri dan membantu ibu membawanya masuk ke dalam, angin malam sangatlah tak baik untuk usia sepertinya.Akhir-akhir ini ibu memang sering merasakan sakit, badan pegal-pegal, kepala puyeng dan semuanya. Namun, aku memaklumi akan hal tersebut. Sayangnya, meski ibu sakit atau masih dalam keadaan biasa. Saudara-saudaraku selalu memperlakukan ibu tak semestinya.
Sebagai seorang kakak tertua, seharusnya dia bisa mengayomi adik-adiknya. Memberikan contoh yang baik untuk mereka yang usianya jauh di bawahnya. Namun, nyatanya Diana memang berbeda dari sekian banyaknya perempuan di luar sana. Diana menikah dengan seorang pria berusia lima tahun di atasnya. Kehidupan Diana memang terbilang sangat sempurna. Bagaimana tidak, mertuanya membuatkan rumah mewah bertingkat di pinggir sawah. Dengan halaman yang cukup luas. Segala kemauanya, selalu dituruti oleh suami dan semua anggota keluarga mertuanya. Sayang, ketika dia mendapatkan segalanya. Diana tidak pernah ingat pada Ibu dan adik-adiknya di kampung. Dia selalu saja berpura-pura tidak punya uang, padahal dia terkadang memposting kegiatannya di status di WhatsAp. Sampai makan mengunjungi dan beli parfum pun, dia tidak pernah ket
"Bu, Ibu! Tau gak sih, katanya si Neng Milen pipinya digores, ya sama adiknya sendiri?" tanya salah seorang ibu-ibu di sebuah warung dekat tak jauh dari rumah."Maksudnya gimana itu? Maaf nih, ya, Ibu-Ibu saya teh gak ngerti sumpah. Jadi ceritanya Neng Milen kenapa? Saya penasaran, Bu," sahutnya lagi."Jadi begini, Bu Marni, kamaren ada seseorang yang datang ke rumahna si Neng Milen. Nah, di situ dia nemuin Neng Milen wajahnya cacat, menurut pendapat orang yang liatnya itu, katanya Neng Milen pipinya sengaja digores sama piso oleh adiknya.""Owalah, eh kok bisa orang itu tau kejadian sebenarnya? Emangnya Neng Milen cerita?" tanya si Bu Marni.&nb
"Assalamualaikum, Bu Citra! Assalamualaikum!"Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar, membuat ucapanku kepotong. Aku, ibu dan Rania berpura-pura bersikap biasa demi menghindari hal yang tidak diinginkan. Sebelum aku membuka pintu, Rania memberikan peringatan untukku supaya ketika nanti ada yang bertanya mengenai luka di pipiku diri ini tak menceritakan kejadian sebenarnya.Terpaksa malam ini aku lagi-lagi berbohong dan menuruti semua kemauannya. Setelah aku mengiyakan semua ucapannya, bergegas pergi menuju ke dekat pintu dan membukanya.Perasaanku memang tidak salah lagi, si pemilik suara tadi tak lain adalah Teh Kinan. Tetangga dekat kami, tetapi rumahnya pinggir jalan. Teh Kinan dan keluarga merupakan bos sayuran. Bisa dibilang orang kaya di kampung
"Dasar anak kecil gak tau diri! Bisa-bisanya nyakitin ibu kaya begini. Kamu sebenarnya disekolahin gak sih? Ngomong sama orang tua gue elo, memangnya kamu anak siapa?" Aku mengabaikan panggilan dari Jo dan segera membantu ibu yang jatuh ke lantai.Aku tidak mengerti bagaimana caranya menyikapi gadis seperti Rania. Kurasa aku sudah cukup sabar menghadapinya selama ini. Namun, aku benar-benar lelah harus berada dalam kondisi seperti ini.Bukan hanya pada Rania, aku pun bingung dengan ibu yang selalu saja menuruti setiap ucapan gadis itu. Seandainya aku tahu penyebab gadis itu sering melunjak, ingin rasanya aku membantu untuk menyadarkan bahwa kelakuannya pada ibu selama ini salah.Teringat sebuah pesan ketika aku masih berada di asrama, ustazah mengatakan jik
"Ikut Aa sekarang! Aa akan ceritakan apa yang terjadi sama Aulia saat kemaren di rumah! Oh iya, jangan khawatir, Aa ajak Teh Kinan juga tuh!" Dia menunjuk ke arah di mana seorang wanita yang berusia di atas iparku ini, tetangga yang kemarin malam datang ke rumahku.Aku dan Teh Kinan memang cukup lumayan dekat, karena kedua orang tuanya merupakan anak dari nenekku. Namun, kedekatanku dengannya berakhir ketika suatu hari curhatanku padanya dibongkar di depan orang banyak, sekitar tiga bulan lalu. Sejujurnya, bukan dia yang mengatakan kisah hidupku selama ini, melainkan teman dekat alias pembantunya.Setelah kejadian itu, aku sedikit menjaga jarak kepadanya. Saat malam kemarin dia memintaku bercerita, aku tidak melakukannya. Lantaran khawatir, suatu hari nanti ucapanku akan tersebar dari satu mulut ke mulut lain.
Adakalanya kita merasakan lelah, capek dengan semua yang terjadi hari ini. Terbersit dalam pikiranku untuk mengambil jalan tengah sebagai satu-satunya cara agar aku tak lagi mengalami hal buruk ini.Kepalaku rasanya sakit harus menerima kepahitan ini. Menjadi satu-satunya anak yang dibilang waras membuatku banyak menanggung derita.Aku dan iparku pulang ke rumah dengan harapan keadaan akan semakin membaik dan mereka dapat mengerti akan kondisiku. Begitu pun dengan ibu yang notabenenya beliau cukup banyak tahu perihal keadaanku di rumah. Tentu, aku mengharap ibu akan membelaku sama seperti aku membelanya ketika Rania hampir menancapkan pisau di wajahnya sehinga wajahku yang terkena goresan benda tajam itu.Sakit rasanya hati ini mengetahui ibu justru ikut-ik
"Aulia!" teriak kami secara bersamaan."Dasar anak pembawa sial!" hina Diana kepadaku.Bersyukur karena Tuhan telah mengabulkan doa-doaku dan menyelamatkanku dari kobaran api yang begitu besar ini. Namun, takdir berkata lain. Memang aku selamat, tetapi sayangnya Aulia—putri bungsu Diana dan Marcel jatuh ke dalam api yang menyala-nyala.Aku merasa menyesal karena telah membiarkan gadis mungil itu membantuku. Aku menjerit histeris melihat Aulia jatuh tepat di depan mataku, tak dapat melakukan apa-apa terhadap gadis malang itu. Akan tetapi, beberapa saat kemudian aku berinisiatif untuk menarik lengan Aulia dari dalam sana.Ya Allah, kumohon padamkanlah api ini! Aku percaya atas kekuasa
"Kamu gak mau nemenin suami bekerja, Yang? Kalau gitu ya udah mending aku sama yang lain aja gimana?"Kepalaku rasanya mendidih mendengar dia mengatakan kalimat itu di dekat telingaku. Andai aku bisa dan berani, ingin rasanya menutup mulut dia agar tidak bisa berkata seperti tadi lagi. Aku benar-benar tidak bisa bila dia mengatakan 'mending aku sama yang lain' , perasaanku bak terbakar oleh api cemburu."Kalau gitu silakan aja! Tapi, jangan pernah berharap nanti pulang aku ada di rumah, bay!" seruku, kemudian meninggalkan dia di samping meja rias.Sebenarnya aku tidak ingin jauh-jauh darinya. Jika perlu aku ingin setiap detik, setiap menit bahkan setiap jam berada di dekat Jo. Tidak ada sehari atau dua hari terpisahkan. Selamanya dekat di sisi Jo sampai mau
Seminggu kemudian …Hari sekaligus bulan yang telah kami tunggu-tunggu akhirnya telah tiba. Aku dan Jo telah resmi menjadi sepasang suami istri tepat pukul sepuluh pagi. Kebahagiaan yang seharusnya menyelimuti hariku ini justru berganti menjadi sebuah kesedihan. you know yourself , ibuku tak ada disampingku. Dia sudah tenang di alam sana bersama Dinda. Sementara itu, Bapak dan Rania entah di mana dan bagaimana kabarnya sekarang. Aku tidak tahu.'Aku harus bisa menyembunyikan kesedihan ini, pokoknya harus bisa!!' tekadku dalam hati.Kala penyematan cincin pernikahan oleh Jo, sebisa mungkin aku menatapnya dengan senyum menyer
"Ish, jahil kamu.""Suka, kan?" tanyanya.Aku hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Tiga puluh menit waktu yang cukup lama bagiku mengabulkan permintaannya.Cinta … hadir tanpa kita duga. Datang tanpa memberi salam, kemudian singgah tanpa permisi. Kata orang cinta unik. Cinta itu nyata sehingga kedatangannya mengubah kepedihan menjadi kebahagiaan. Menghapus tangis air mata, menjadi senyuman."Unik, kan?"Awalnya aku tak percaya akan cinta, aku pun tidak berharap lebih dari kata tersebut. Hanya saja setiap orang ingin bahagia bersama pasangan masing-masing begitupun yang dirasakan olehku. Aku ingin bahagia bersama Joo
Aku serba salah dengan keadaan sekarang. Antara bahagia dan tidak. Itulah dua rasa yang tidak bisa disatukan. Bahagia karena bisa lebih dekat dengan keluarga besar Joo dan tidak lantaran adanya wanita itu menjadikan hidupku mungkin akan lebih buruk lagi ketimbang saat bersama Rania dulu."Sayang-sayang! Ayang! Millen udah, Millen dia udah gak ada kok. Sayang!" panggilnya begitu lembut.Kurasakan tangannya menyentuh punggungku, mengusapnya kemudian dia mengangkatku agar wajahku bisa sejajar dengannya."Yang! Ayang gak enak sama bibikku?" tanyanya.Aku menggeleng, mengusap air mata kepalsuan ini sambil tersenyum memandangnya."Mi
"Dia kenapa sih, kok aneh banget sama aku?" tanyaku dengan memelankan suara sehingga hanya aku sendiri yang mendengarnya.Semenjak Joo menurunkanku dari pangkuannya. Sekilas aku melirik ke arah wanita tua yang usianya sekitar dibawah bunda. Aku sendiri tidak tahu pasti berapa usianya. Hanya saja tatapan dialah yang membuatku tak nyaman saat ini."Joo!" panggil si Kakek.Kekasihku ini menoleh dan menjawab panggilannya dengan sangat santun. "Ada apa, Mbah?""Bawa pacarmu nih istirahat! Kasian pasti capek lama di jalan," katanya menyuruh Joo membawaku beristirahat.Kupikir setelah si Kakek memintaku m
"Aduuhh!"Aku menjerit histeris merasakan kepalaku membentur sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, mengapa kepalaku sampai mengenai bagian depan mobil. Jujur, sakit sekali dan tepat saat Joo menangkap tubuhku. Aku muntah.'Astaga, aku kok sampe muntah segala?' tanyaku dalam hati.Kupandangi wajah tampannya itu dan sekilas aku bisa melihat bagaimana reaksinya melihatku menumpahkan isi perutku di mobil mahalnya ini. Akan tetapi, tiba-tiba dia membenarkan posisi dudukku, lalu membantu membersihkan muntahan tadi. Tidak banyak yang dia ungkapkan selain dari mengambil pembersih mobil seperti; lap, air secukupnya dan keresek hitam.Aku pun tidak tahu bagaimana isi hatinya. Entah memang dia tida
Teruntuk kamu …Dari aku, si pengagum dari dunia nyata …'Halo, Joo. Joo, aku merasa akhir-akhir ini kamu menghindar dari aku. Kamu lebih sering datang ke luar kota entah aku tidak tahu kamu nemuin siapa. Aku harap bukan bertemu perempuan, melainkan untuk bekerja saja.Joo … kamu harus tahu, kalau aku sebenarnya suka sama kamu. Dari kita SD sampai kita sebesar ini. Aku benar-benar sangat menyukai kamu. Perasaan ini masih rapi tersimpan dalam lubuk hati aku yang paling dalam. Kuakui … aku memang bukan siapa-siapa, tidak pantas bersanding dengan dirimu.Joo … untuk kali ini, ijinkan aku menyentuhmu. Maaf, aku membuat malam ini menjadi mal
Kulangkahkan kaki perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Dengan air mata yang tak henti-hentinya menetes. Perih rasanya harus meninggalkan rumah dan kampung halaman ini demi sebuah lembaran baru yang akan aku mulai bersama Joo di sana. Jujur aku ragu, baru kali pertama pergi jauh dan tanpa di dampingi ibu atau bapak."Sayang! Kakak tau, kamu tuh sedih dan pastinya berat banget buat lalui semua ini. Tapi, coba liat Joo. Bertahun-tahun dia menantikan momen ini, ingin menjagamu lebih dekat, masihkah kamu ragu?" tanya Jelita yang kemudian menghentikan langkahku, lalu memelukku."Aku bingung, Kak. Aku ragu untuk pergi. Di tampat ini begitu banyak kenangan sama ibu, Rania dan semuanya. Aku takut di sana malah akan ngecewain Joo," jawaku berterus terang.Kuharap dia mengerti denga
Di tempat favoritku ini, Asia Plaza. Tempat yang ketika dulu bersama teman-temanku sering ke sini sebelum Rania dan Diana berbuat ulah. Teringat akan sesuatu hal yang sangat indah. Ada cerita di setiap sudut Mall tersebut. Setiap langkah kami bercerita panjang lebar, sampai-sampai kami pernah menabrak seseorang karena kami terus menunduk.Selain kenangan bersama sahabat dan teman-teman yang lainnya. Ada hal lain yang seketika ingatanku kembali pada sosok ibu. Dulu aku sempat berjanji ketika memiliki upah dari hasil menulisku aku berharap akan mengajaknya ke sini. Ke tempat yang orang-orang pun ingin sekali mengunjunginya."Kamu ngapain sih ngelamun mulu, Brinz?" tanyanya kepadaku sambil menjentikkan jarinya.Mataku mengerjap dan langsung menoleh, "Kamu apaan sih