Rio hanya terkekeh melihat Fathia yang makan dengan terburu-buru, terlihat sangat kelaparan. Tadi saja keras kepala dan enggan untuk diperintah pergi ke kantin rumah sakit untuk mengisi perutnya, setelah ia yang berinisiatif dan membelikan makanan untuk adiknya itu, malah diterima dengan baik dan dimakan dengan terburu-buru. Ingin rasanya Rio berkata "tadi aja disuruh ke kantin buat makan gak mau, giliran dibeliin malah dimakan rakus banget." Tapi ia terlalu malas untuk berdebat dengan adiknya di kondisi seperti ini, lagi pula ia memang harus melakukan ini. Ia harus membiarkan Fathia mengisi perutnya dengan baik, supaya tenaganya lebih kuat dan tidak jatuh sakit karena kelaparan."Mau tambah lagi?" Tanya Rio saat ia menyadari nasi kotak yang dibelinya untuk Fathia, sudah bersih hanya menyisakan tulang ayam. Ia menyodorkan botol air mineral yang dibelinya bersama nasi kotak itu."Enggak bang, makasih."Rio lagi-lagi terkejut saat air mineral yang diteguk Fathia langsung tandas dalam be
Setelah beberapa jam Adnan berada di ICU, Fathia baru berani menginjakan kakinya memasuki ruang ICU. Ia baru tahu jika ruang ICU masih ada beberapa ruang lagi yang tersekat-sekat, kemudian ada juga meja resepsionis untuk tempat suster dan dokter berjaga. Waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari, dan Fathia baru memberanikan diri untuk melihat Adnan di jam yang selarut ini. Ada dua suster yang berjaga di dalam, dan Fathia bertanya di mana ruangan suaminya dirawat, dan bertanya mengenai prosedur yang harus dilakukannya saat melihat Adnan, dan apa yang tidak boleh dilakukannya selama di sana. Setelah memakai pakaian steril berwarna biru, dan memakai hand sanitizer dengan cara yang terlihat sedikit ribet, padahal sebenarnya pemakaian hand sanitizer sebenarnya memang seperti itu. Harus disebarkan di kedua telapak tangan, kemudian sela-sela jari, kuku-kuku tangan dengan memutarnya di telapak tangan yang terdapat hand sanitizer, juga di punggung tangan. Hal tersebut untuk mencegah kuman yan
"Abang berangkat dulu ya, kamu hati-hati di sini sendiri. Ayah katanya siang ke sini nemenin kamu. Abang juga balik lagi ke sini pulang ngantor."Fathia hanya menganggukan kepalanya menanggapi ucapan Rio yang ingin pamitan berangkat ke kantor.Mata Fathia terus mengikuti langkah Rio yang menjauh, sampai abangnya itu tak terlihat lagi karena berbelok di persimpangan koridor sana.Hari ini, Fathia berniat untuk menanyakan beberapa pertanyaan yang berkecamuk di benaknya mengenai kondisi Adnan dan sebenarnya apa yang terjadi sampai kondisi suaminya seperah itu, kepada dokter yang bertugas merawat Adnan di ICU. Mungkin saja hatinya sedikit lebih tenang jika kondisi Adnan diketahuinya dengan rinci dan detail.Baru saja beberapa menit Fathia masuk ke dalam lamunannya, tiba-tiba saja dering ponsel menyadarkannya."Fathia, Thalia sudah bisa pulang hari ini. Kamu gak mau gantian? Kamu pulang buat urus Fathia, biar mamah di sana yang jaga.""Fathia mau tahu terus perkembangan kondisi Adnan giman
Fathia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak tangisnya, ia harus lebih kuat dari Kalila. Sekarang tugasnya untuk menenangkan Kalila yang baru mengetahui kondisi Abangnya, tidak boleh ikut terlalut dalam kesedihan yang tercipta.Setelah beberapa belas menit hanya peluk dan isak tangis yang terjadi di antara mereka, Kalila pun mencoba menenangkan dirinya dan menyelesaikan isak tangisnya, walaupun sebenarnya ia masih ingin menangis, apalagi bayangan tentang kondisi abangnya di dalam, benar-benar terekam jelas di pikirannya."Dulu selalu diceritain sama Ibu gimana sedih dan sakitnya lihat bang Adnan kecil sakit sampai masuk ruang ICU, aku cuman bisa ngebayangin aja tanpa tahu rasanya. Sekarang, ngelihat dan ngerasain sendiri, aku jadi ngebayangin gimana perasaan mamah, ngalamin dan ngelihat anaknya harus kayak gitu lagi."Fathia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun saat mendengar ucapan Kalila, saat ini ia hanya ingin jadi pendengar dan penenang. Tangannya tak berhenti men
Fathia terus saja melirik lorong di ujung sana, menunggu Mamahnya yang datang ke sini. Karena katanya sang Mamah mengatakan bahwa sebentar lagi akan sampai. Tak sampai lima menit Fathia celingukan ke arah lorong di ujung sana untuk mencari sosok Mamahnya, ternyata apa yang diharapkannya terjadi saat sosok sang Mamah berjalan ke arahnya. "Ya Allah bunda kangen banget sama kamu, sini sayang sama bunda." Tutur Fathia kepada putrinya yang berada di dalam dekapan Anya. Yap, Mamahnya membawa Thalia ikut serta ke rumah sakit karena ia rindu sekali hampir satu minggu ini hanya melihat putrinya dari layar ponsel. Anya menyerahkan Thalia begitu saja. Senyumnya sedikit terbit saat melihat Fathia begitu brutal menciumi pipi Thalia. Senang sekali melihat putrinya bisa kembali memeluk cucunya setelah hampir satu minggu ini mereka berjauhan karena keadaan. Semoga saja keluarga kecil putrinya kembali sempurna seperti sebelumnya. "Thalia beneran boleh dibawa ke dalam?"Fathia yang tengah asih mel
Di tengah takut dan kalutnya pikiran Fathia, ia disadarkan oleh sebuah tepukan di bahu kirinya."Mbak, saya duluan ya."Fathia lantas menganggukan kepalanya sembari menyunggingkan sedikit senyum saat ibu yang tadi menceritakan menantunya itu pamit.Tak berselang lama, sebuah brankar yang di atasnya terdapat pasien yang seluruh tubuhnya bahkan sampai kepala, ditutupi selimut, keluar dari ruang ICU yang terbuka lebar. Fathia bahkan baru menyadari pintu ICU terbuka lebar, padahal terakhir dilihatnya tertutup rapat tadi.Entah mengapa tubuh Fathia melemas tanpa daya di posisinya. Pikirannya semakin kalut, apalagi saat membayangkan jika ia yang menangis histeris seperti tadi karena Adnan-- ah sudahlah ia harus menghentikan semua pikiran buruknya di sini. Ia hanya perlu terus berdoa dan berikhtiar supaya Allah mengembalikan Adnannya kembali sehat dan terus bisa hidup mendampinginya dan Thalia.Fathia menarik nafasnya panjang, mencoba menenangkan dirinya, dan menghembuskannya perlahan. Berka
"Tadi dipindahin ke sininya jam berapa?" "Jam 10 pagi, Bu. Kata dokter Adnan sudah sadar sepenuhnya, tapi tadi dikasih obat tidur biar istirahat, karena katanya semalaman dia sadar terus." Ya, hari ini lebih tepatnya tadi pagi, Adnan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Sudah tidak ada lagi peralatan medis yang mengelilingi Adnan, hanya tersisa jarum infus di lengan kirinya dan kanula nasal di hidungnya. Fathia bersyukur sekali Adnan akhirnya bisa keluar dari ruang ICU yang menurutnya mengerikan. Ya walaupun banyak hal yang didapat Adnan setelah kecelakaan itu, tetapi Fathia tetap bersyukur setidaknya Adnan berhasil melewati masa kritisnya. "Terima kasih sudah berjuang sejauh ini ya. Ibu bangga sekali dengan Adnan." Fathia hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Ibu mertuanya. Senyumnya semakin merekah saat ia bisa menyaksikan langsung Ibu mertuanya menghujani wajah Adnan dengan kecupan sayangnya. Hangat sekali rasanya hati Fathia melihat hal seperti itu. Tentu saja Ibu mana yang
Alhamdulillah den Adnan pulang. Bibi khawatir---""Bi tolong bantu angkatin tas di dalam mobil ya." Sebelum Bi Tati melanjutkan ucapannya, Fathia lebih memilih memotongnya dengan meminta pertolongan.Sebenarnya ia belum menceritakan apa saja yang terjadi kepada Adnan, kecuali memberitahukan bahwa lengan bawah dan betis kanan suaminya itu mengalami patah tulang dan sudah dioperasi pemasangan pen. Fathia terlalu bingung untuk menjelaskan semuanya kepada Adnan, mungkin jika suaminya itu bertanya baru ia akan menjawabnya secara gamblang dan mudah dicerna pemikiran Adnan. Atau mungkin nanti Mertuanya bisa menjelaskan semuanya dengan cara mereka. Rumah tangganya sudah sejauh ini, tetapi Fathia masih saja sedikit bingung jika tentang menjelaskan sesuatu kepada Adnan."Adnan kamarnya pindah ke kamar tamu dulu, ya."Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir Adnan untuk menjawab perkataan Fathia.Setelah keluar dari ruang ICU dan pemulihan di ruang perawatan biasa, Fathia seperti melih