Sudah lima menit Ardi dan Arini berkeliling di dekat rumah sakit untuk mencari keberadaan Adnan, memastikan bahwa putranya tak jauh dari sekitar sini. Mereka berharap segera menemukan Adnan dan memberitahunya bahwa Thalia sudah ditemukan dan sudah bersama dengan Fathia. Meskipun dilanda khawatir mengenai kondisi Adnan, tetapi ekspektasi mereka yang membayangkan bahwa Adnan akan segera bertemu Thalia, pasti sangat mengharukan, ditambah lagi Adnan memang sulit mengekspresikan diri selain rasa marahnya.Setiap koridor rumah sakit mereka kelilingi dengan dibantu orang suruhan mereka yang sebelumnya diperintahkan untuk mencari keberadaan Thalia, hanya untuk mencari keberadaan Adnan. Tentu saja pencarian dilakukan dengan cara berpencar, namun sudah hampir setengah jam mereka mencari, Adnan belum terlihat batang hidungnya.Sesekali Arini mengecek ponselnya untuk berkabar dengan Fathia yang juga sama cemasnya mengenai keberadaan Adnan, tetapi tidak bisa ikut mencari karena harus menjaga Thali
"Tolong sedikit lebih cepat ya, Pak." Pinta Fathia kepada supir taksi.Baru lima menit taksi yang Fathia tumpangi menjauhi rumah sakit di mana Thalia dirawat, tetapi rasanya seperti sudah lama sekali waktu berjalan bagi Fathia. Ia sudah tidak sabar untuk cepat sampai ke rumah sakit yang dituju. Kaki dan tangannya bergetar karena panik, ia tak bisa meredam itu semua.Di tengah rasa paniknya, ia teringat belum mengabari mertuanya yang sedang mencari keberadaan Adnan. Tanpa mengurai waktu, Fathia mengambil ponselnya dan mulai mencari kontak ibu mertuanya. Di tengah kepanikan melanda, entah kenapa ia sedikit kesusahan menemukan kontak Ibu mertuanya padahal sebelumnya ia membaca pesan-pesan yang dikirimkan Ibu mertuanya.Hampir tiga menit Fathia berkutat dengan kontal di ponselnya, akhirnya ia dapat menemukan kontak ibu mertuanya."Assalamu'alaikum, Bu.""Wa'alaikumsalam, iya ada apa Fathia?""Pencarian Adnannya dihentikan saja bu, sekarang tolong susul Fathia ke rumah sakit B.""Ke rumah
Fathia tak dapat lagi membendung isak tangisnya saat ia duduk di samping ibu mertuanya. Tanpa ragu ia memeluk ibu mertuanya, menumpahkan tangisnya di bahu Arini.Arini membalas erat pelukan Fathia, mencoba memahami dan menenangkan menantunya. Ia tentu saja sudah bisa menangkap kondisi Adnan seperti apa dari isak tangis Fathia yang terdengar menyakitkan. Meskipun ia bertanya-tanya mengenai kondisi Adnan yang sebenarnya seperti apa, tetapi di kondisi seperti ini ia lebih baik diam terlebih dahulu sampai Fathia bisa sedikit meredakan isak tangisnya. Jujur saja perasaan takut dan gelisah semakin mendera Arini, jika memang kondisi Adnan benar-benar mengkhawatirkan, sejujurnya ia belum siap mendengar sepatah kata pun dari Fathia.Ardi mengusap lembut tangan Fathia yang berada di punggung istrinya, sebisa mungkin ia juga mencoba menenangkan Fathia walaupun mungkin usapannya tidak berarti apapun.Hampir lima belas menit Fathia hanya menangis memeluk Arini, tak ada sepatah kata pun yang keluar
Rio hanya terkekeh melihat Fathia yang makan dengan terburu-buru, terlihat sangat kelaparan. Tadi saja keras kepala dan enggan untuk diperintah pergi ke kantin rumah sakit untuk mengisi perutnya, setelah ia yang berinisiatif dan membelikan makanan untuk adiknya itu, malah diterima dengan baik dan dimakan dengan terburu-buru. Ingin rasanya Rio berkata "tadi aja disuruh ke kantin buat makan gak mau, giliran dibeliin malah dimakan rakus banget." Tapi ia terlalu malas untuk berdebat dengan adiknya di kondisi seperti ini, lagi pula ia memang harus melakukan ini. Ia harus membiarkan Fathia mengisi perutnya dengan baik, supaya tenaganya lebih kuat dan tidak jatuh sakit karena kelaparan."Mau tambah lagi?" Tanya Rio saat ia menyadari nasi kotak yang dibelinya untuk Fathia, sudah bersih hanya menyisakan tulang ayam. Ia menyodorkan botol air mineral yang dibelinya bersama nasi kotak itu."Enggak bang, makasih."Rio lagi-lagi terkejut saat air mineral yang diteguk Fathia langsung tandas dalam be
Setelah beberapa jam Adnan berada di ICU, Fathia baru berani menginjakan kakinya memasuki ruang ICU. Ia baru tahu jika ruang ICU masih ada beberapa ruang lagi yang tersekat-sekat, kemudian ada juga meja resepsionis untuk tempat suster dan dokter berjaga. Waktu sudah menunjukan pukul 2 dini hari, dan Fathia baru memberanikan diri untuk melihat Adnan di jam yang selarut ini. Ada dua suster yang berjaga di dalam, dan Fathia bertanya di mana ruangan suaminya dirawat, dan bertanya mengenai prosedur yang harus dilakukannya saat melihat Adnan, dan apa yang tidak boleh dilakukannya selama di sana. Setelah memakai pakaian steril berwarna biru, dan memakai hand sanitizer dengan cara yang terlihat sedikit ribet, padahal sebenarnya pemakaian hand sanitizer sebenarnya memang seperti itu. Harus disebarkan di kedua telapak tangan, kemudian sela-sela jari, kuku-kuku tangan dengan memutarnya di telapak tangan yang terdapat hand sanitizer, juga di punggung tangan. Hal tersebut untuk mencegah kuman yan
"Abang berangkat dulu ya, kamu hati-hati di sini sendiri. Ayah katanya siang ke sini nemenin kamu. Abang juga balik lagi ke sini pulang ngantor."Fathia hanya menganggukan kepalanya menanggapi ucapan Rio yang ingin pamitan berangkat ke kantor.Mata Fathia terus mengikuti langkah Rio yang menjauh, sampai abangnya itu tak terlihat lagi karena berbelok di persimpangan koridor sana.Hari ini, Fathia berniat untuk menanyakan beberapa pertanyaan yang berkecamuk di benaknya mengenai kondisi Adnan dan sebenarnya apa yang terjadi sampai kondisi suaminya seperah itu, kepada dokter yang bertugas merawat Adnan di ICU. Mungkin saja hatinya sedikit lebih tenang jika kondisi Adnan diketahuinya dengan rinci dan detail.Baru saja beberapa menit Fathia masuk ke dalam lamunannya, tiba-tiba saja dering ponsel menyadarkannya."Fathia, Thalia sudah bisa pulang hari ini. Kamu gak mau gantian? Kamu pulang buat urus Fathia, biar mamah di sana yang jaga.""Fathia mau tahu terus perkembangan kondisi Adnan giman
Fathia menggigit bibir bawahnya untuk menahan isak tangisnya, ia harus lebih kuat dari Kalila. Sekarang tugasnya untuk menenangkan Kalila yang baru mengetahui kondisi Abangnya, tidak boleh ikut terlalut dalam kesedihan yang tercipta.Setelah beberapa belas menit hanya peluk dan isak tangis yang terjadi di antara mereka, Kalila pun mencoba menenangkan dirinya dan menyelesaikan isak tangisnya, walaupun sebenarnya ia masih ingin menangis, apalagi bayangan tentang kondisi abangnya di dalam, benar-benar terekam jelas di pikirannya."Dulu selalu diceritain sama Ibu gimana sedih dan sakitnya lihat bang Adnan kecil sakit sampai masuk ruang ICU, aku cuman bisa ngebayangin aja tanpa tahu rasanya. Sekarang, ngelihat dan ngerasain sendiri, aku jadi ngebayangin gimana perasaan mamah, ngalamin dan ngelihat anaknya harus kayak gitu lagi."Fathia hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun saat mendengar ucapan Kalila, saat ini ia hanya ingin jadi pendengar dan penenang. Tangannya tak berhenti men
Fathia terus saja melirik lorong di ujung sana, menunggu Mamahnya yang datang ke sini. Karena katanya sang Mamah mengatakan bahwa sebentar lagi akan sampai. Tak sampai lima menit Fathia celingukan ke arah lorong di ujung sana untuk mencari sosok Mamahnya, ternyata apa yang diharapkannya terjadi saat sosok sang Mamah berjalan ke arahnya. "Ya Allah bunda kangen banget sama kamu, sini sayang sama bunda." Tutur Fathia kepada putrinya yang berada di dalam dekapan Anya. Yap, Mamahnya membawa Thalia ikut serta ke rumah sakit karena ia rindu sekali hampir satu minggu ini hanya melihat putrinya dari layar ponsel. Anya menyerahkan Thalia begitu saja. Senyumnya sedikit terbit saat melihat Fathia begitu brutal menciumi pipi Thalia. Senang sekali melihat putrinya bisa kembali memeluk cucunya setelah hampir satu minggu ini mereka berjauhan karena keadaan. Semoga saja keluarga kecil putrinya kembali sempurna seperti sebelumnya. "Thalia beneran boleh dibawa ke dalam?"Fathia yang tengah asih mel
"Kamu maunya gimana? Proses semua kejadian ini lewat jalur hukum dan serahkan bukti-bukti ke pihak berwajib, atau mungkin ada pemikiran kamu tersendiri mau diapakan Andi? Ya meskipun dia putra Ibu, Ibu gak akan membela apapun yang kamu lakukan untuk dia sebagai hukuman atas hal yang dilakukannya."Fathia terdiam mencerna ucapan Ibu mertuanya. Walaupun matanya menatap Thalia yang tengah terlelap di ranjang rumah sakit, tetapi fokusnya terbagi. Hatinya tentu saja sakit melihat putrinya harus dirawat seperti ini, tetapi ia juga sedikit penasaran, apa alasan Andi sampai melakukan penculikan terhadap putri kandungnya sendiri. Walaupun memang sakit hatinya masih mendera karena penolakan tanggung-jawab yang pria itu berikan ketika ia baru mengetahui bahwa ia mengandung, tetapi pada kenyataannya Fathia akan tetap mempertemukan Andi dan Thalia, jika pria itu meminta izin dengan cara baik-baik. Fathia juga tidak akan melarang Thalia bertemu ayah kandungnya. Tetapi setelah kejadian ini, kemungki
Dengan berlari sekuat tenaga aku menyusuri lorong rumah sakit, untuk mencari ruangan di mana bunda berada.Hari ini aku dikabari Ayah bahwa Bunda melahirkan. Tentu saja tanpa menunda waktu, aku langsung bergegas untuk meminta izin supaya bisa menjenguk bunda, padahal aku baru saja selesai melakukan latihan. Bahkan aku baru menyadari bahwa aku masih menggunakan jersey penuh keringat dan lepek yang ku pakai saat latihan. Saking senang mendengar kabar tersebut dan buru-buru menuju ke rumah sakit, aku agak lupa untuk membersihkan tubuh dan mengganti pakaian. Agak ceroboh, Bunda pun pasti marah melihatku yang masih menggunakan jersey badminton, tapi mau bagaimana lagi karena aku sudah sampai di rumah sakit. Mungkin aku akan mengirim pesan kepada Tyla atau Tyna untuk membawa pakaian ganti untukku jika salah satu di antara mereka ada yang masih dir rumah.Aku langsung melambaikan tanganku beberapa kali saat melihat Ayah tengah berdiri di depan salah satu ruang rawat bersama Tyla dan suaminya
Ku tatap lekat foto yang terpajang rapih di samping televisi itu. Tatap matanya, senyumannya, raut wajahnya, suara lembutnya, masih melekat dengan indah di di pikiran dan hatiku hingga detik ini. Haah, rasanya aku sangat merindukan dia, untuk setiap detik waktu yang ku punya.Dengan segala keterbatasannya, dia sosok yang teramat sempurna untuk hidupku. Beberapa orang terdekatku sering kali menceritakannya. Menceritakan tentang tingkahnya, dan kisahnya.Tuhan, aku bersyukur sekali memiliki dia di dalam hidupku, sampai detik ini dan selamanya. Tuhan, terima kasih telah menghadirkan sosoknya di hidupku. Aku teramat beruntung memilikinya. Biarpun orang lain memandang sosoknya berbeda, merendahkannya, tetapi aku hanya bisa beryukur dan terus bersyukur memilikinya."Hei! Kok malah melamun sih? Kamu kangen, ya?"Aku terkesiap saat mendengar suara seseorang yang bertanya di samping tubuhku."Eh, bunda. Iya, aku kangen banget." Jawabku agak parau. Tak terasa air mataku mengalir di tengah lamun
"Kalau Adnan lelah, istirahat saja ya di kamar, nanti waktunya makan siang Fathia bangunkan."Adnan hanya menganggukan kepalanya kemudian langsung memasuki rumah.Fathia baru saja pulang ke rumah setelah mengantar Adnan ke Psikolog. Seperti dugaannya, kata Psikolog yang menangani Adnan, serious emotional distrubance atau gangguan emosi yang terjadi pada Adnan sudah mulai teratasi, walaupun katanya kadang masih sedikit mengganggu Adnan karena beberapa kali Adnan masih mengabaikan Thalia karena ada rasa trauma kehilangan. Adnan takut jika ia terlalu dekat dengan Thalia, di mana saat dia teramat sayang kepada Thalia dan ingin terus berada di dekat Thalia, Thalia kembali hilang dari jangkauan, jadi beberapa kali Adnan kadang menghindar jika ketakutan itu hinggap.Sebenarnya Fathia juga bingung kenapa Adnan bisa berpikiran sampai sejauh itu, apalagi dengan asd yang diidapnya, tapi ya mungkin memang Tuhan sudah menggariskan takdir Adnan seperti itu.Enam bulan waktu berjalan terasa lambat b
Hari demi hari fisioterapi yang dilakukan Adnan semakin menunjukan hasil, pelan tapi pasti. Adnan setidaknya sudah tidak perlu menggunakan bantuan kruk untuk berjalan, ya walaupun langkahnya masih pelan, kaku, dan sedikit pincang tetapi itu sudah menunjukan perubahan. Hanya saja pemulihannya memang sedikit lebih lambat karena Adnan mudah sekali lelah, terlihat ketara dari nafasnya dikarenakan efek pembengkakan jantungnya. Kurang lebih sudah lima bulan Adnan menjalani fisioterapi di rumah.Lima bulan ini untuk Fathia adalah lima bulan ter-hectic yang pernah dirasakan dalam hidupnya. Harus mengantar Adnan check up ke rumah sakit, konsultasi ke Psikolog, menemani suaminya itu fisioterapi, belum lagi Thalia yang semakin hari sudah semakin mengerti bahwa putrinya itu ingin selalu berada di dekatnya dan kadang menangis ketika ia harus meninggalkan Thalia bersama bi Tati karena harus mengurusi Adnan. Sejujurnya Fathia sedikit tidak terlalu memperhatikan perkembangan putrinya, padahal kalau k
Fathia hanya bisa ikut meringis saat mendengar suara ringisan Adnan yang sedang melakukan fisioterapi untuk penyembuhan tangan dan kaki kanannya.Hampir setiap hari Fathia mendatangkan fisioterapi profesional yang disarankan dokter, supaya proses penyembuhan Adnan lebih cepat. Ia juga ingin secepatnya melihat Adnan kembali melukis apapun yang diimajinasikannya.Waktu sudah berjalan hampir tiga bulan. Tangan Adnan pun sudah tidak memakai arm sling dan perkembangannya sudah lebih baik daripada kaki, hanya saja untuk membantunya berjalan Adnan masih memerlukan kruk."Tolong sudah, ini Sakit!"Fathia sedikit kaget mendengar Adnan yang meninggikan suaranya, tetapi tentu saja ia tidak boleh kalah dengan suara Adnan yang seperti itu. Dia harus terbiasa, meskipun di bulan ini sudah beberapa kali Adnan terlihat marah seperti itu, tetapi ia tetap saja masih kaget."Tidak boleh seperti itu, ini juga untuk kesembuhan Adnan. Adnan diam ya, nurut sama fisioterapisnya."Fathia menatap Adnan intens s
Fathia hanya bisa terus menyunggingkan senyumnya saat sesekali Adnan meliriknya, meskipun tatapan itu tidak berarti apapun.Adnan masih sama, diam dan tidak meminta apapun. Padahal ini sudah satu minggu Adnan berada di rumah, tetapi suaminya itu tidak menunjukan perubahan yang berarti. Tetapi setidaknya Fathia masih bisa bersyukur bahwa suaminya itu bersedia melahap makanan yang disediakannya, sehingga ia tidak perlu khawatir makanan apa yang suaminya itu inginkan. Ya walaupun masakan yang disediakan selalu makanan kesukaan Adnan yang dimasak Bi Tati, yang selang dua hari berganti karena takut bosan."Adnan kalau memang ada hal yang diinginkan, Adnan bisa ceritakan kepada Fathia ya."Seperti mengobrol dengan angin, ya itu lah obrolan satu arah yang terus dicoba Fathia meskipun tidak membuahkan hasil. Reaksi dari Adnan hanya meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain."Alhamdulillah sudah habis. Adnan tunggu sebentar ya, Fathia mau ambil minum sama obat." Izin Fathi
Alhamdulillah den Adnan pulang. Bibi khawatir---""Bi tolong bantu angkatin tas di dalam mobil ya." Sebelum Bi Tati melanjutkan ucapannya, Fathia lebih memilih memotongnya dengan meminta pertolongan.Sebenarnya ia belum menceritakan apa saja yang terjadi kepada Adnan, kecuali memberitahukan bahwa lengan bawah dan betis kanan suaminya itu mengalami patah tulang dan sudah dioperasi pemasangan pen. Fathia terlalu bingung untuk menjelaskan semuanya kepada Adnan, mungkin jika suaminya itu bertanya baru ia akan menjawabnya secara gamblang dan mudah dicerna pemikiran Adnan. Atau mungkin nanti Mertuanya bisa menjelaskan semuanya dengan cara mereka. Rumah tangganya sudah sejauh ini, tetapi Fathia masih saja sedikit bingung jika tentang menjelaskan sesuatu kepada Adnan."Adnan kamarnya pindah ke kamar tamu dulu, ya."Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir Adnan untuk menjawab perkataan Fathia.Setelah keluar dari ruang ICU dan pemulihan di ruang perawatan biasa, Fathia seperti melih
"Tadi dipindahin ke sininya jam berapa?" "Jam 10 pagi, Bu. Kata dokter Adnan sudah sadar sepenuhnya, tapi tadi dikasih obat tidur biar istirahat, karena katanya semalaman dia sadar terus." Ya, hari ini lebih tepatnya tadi pagi, Adnan dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Sudah tidak ada lagi peralatan medis yang mengelilingi Adnan, hanya tersisa jarum infus di lengan kirinya dan kanula nasal di hidungnya. Fathia bersyukur sekali Adnan akhirnya bisa keluar dari ruang ICU yang menurutnya mengerikan. Ya walaupun banyak hal yang didapat Adnan setelah kecelakaan itu, tetapi Fathia tetap bersyukur setidaknya Adnan berhasil melewati masa kritisnya. "Terima kasih sudah berjuang sejauh ini ya. Ibu bangga sekali dengan Adnan." Fathia hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Ibu mertuanya. Senyumnya semakin merekah saat ia bisa menyaksikan langsung Ibu mertuanya menghujani wajah Adnan dengan kecupan sayangnya. Hangat sekali rasanya hati Fathia melihat hal seperti itu. Tentu saja Ibu mana yang