Dengan tangan yang gemetar, Fathia meraih benda kecil panjang yang beberapa menit lalu ia simpan di dekat wastafel. Ia cemas akan hasil yang dikeluarkan benda itu. Semoga sesuai dengan harapannya. Semoga kecurigaannya tidak terbukti.
Hatinya terasa terhempas, dunianya seakan berhenti, harapannya hancur detik itu juga saat matanya menangkap dua garis merah dari benda yang di raihnya itu. Kecurigaanya tentang apa yang terjadi, terbukti detik itu juga.
Tubuhnya bergetar hebat. Pada akhirnya ia terduduk di dekat wastafel, saking lemasnya. Ini bukan hal yang diharapkannya. Jujur saja ia belum siap menjadi ibu, meskipun kini usianya sudah menginjak 24 tahun. Ia tahu ini salahnya, tapi ia tidak mengira akan sampai di titik ini.
"Tuhan, kenapa harus seperti ini? Aku belum siap, belum siap." Ucapnya lirih, isak tangis keluar begitu saja tanpa bisa ia tahan.
Semakin lama, tangisnya semakin menderas. Semuanya terlalu mendadak dan membuatnya bingung. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Fathia mencoba untuk tenang, menarik nafasnya dalam-dalam dan mencoba menghembuskannya secara perlahan. Hampir lima menit ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, setelahnya ia mencoba bangkit dengan berpegangan ke sisi wastafel dan meraih benda kecil bernama testpack itu, kemudian mulai melangkah keluar dari kamar mandi.
Ia segera mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur, lalu segera mendial nomor seseorang.
"Hallo! Andi...andi,"
"Iya, kenapa ada apa?"
"A..andi, a..a...aku hamil." Air matanya kembali turun tanpa bisa ia cegah, sesaat setelah memberitahukan berita tersebut kepada pacarnya, Andy.
"Fa, jangan bercanda deh. Pinter banget aktingnya, bisa pake nangis segala. Sekarang cepetan kamu mau ngomong apa nelpon aku? Aku lagi kerja soalnya."
"Tapi aku gak bohong ndi, aku beneran hamil. Gimana ini? Aku belum siap untuk jadi ibu."
"Kok bisa? Kamu selalu minum pil pencegah kan? Atau kamu sengaja?"
"Kok kamu ngomongnya gitu? Kalau aku sengaja, ngapain aku nangis sama panik kayak gini?"
"Udahlah, nanti kita bicarain sepulang aku ngantor. Di kafe biasa."
Baru saja Fathia ingin menyela, sambungan telpon malah terputus. Tangannya kembali bergerak cepat mendial nomor yang sama, namun hanya suara operator yang membalas, menyatakan nomor yang ditelpon tidak aktif.
Panik, bingung, amarah, semua bercampur aduk di benak Fathia. Ia meraih boneka panda besar yang tak jauh darinya, lalu dipeluknya boneka itu dan menumpahkan isak tangisnya di sana.
"Tuhan, kenapa begini?"
***
Fathia beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Sudah satu jam ia menunggu di kafe yang Andi janjikan, namun pria itu belum menunjukan batang hidungnya sama sekali.
Secercah harapan sedikit menyeruak di hati Fathia, saat melihat pria yang ditunggunya, sudah berada di hadapannya.
"Gugurkan janin itu, Fa." Ujar Andi to the point, membuat secercah harapan yang menyeruak di hati Fathia redup tanpa bisa dicegah.
"Kita diskusikan dulu semuanya, jangan mengambil keputusan secara sepihak." Fathia mencoba berbicara pelan, supaya semuanya bisa dibahas dan tersampaikan.
"Mau diskusi kayak gimana? Itu emang jalan satu-satunya. Anak ini sebuah kesalahan, jadi kita gak perlu mempertahankannya."
Hatinya kecewa luar biasa, Fathia menatap Andi dengan mata yang mulai berkaca.
"Anak ini anugerah, bukan kesalahan, gak sepantasnya kamu ngomong gitu. Sekarang mungkin waktu yang tepat untuk kita berumah tangga. Kita diskusikan semuanya ke orangtua kita, ya." Fathia mencoba bersabar dan tenang saat menyampaikan pendapatnya. Ia teramat tahu karakter Andi seperti apa, terpancing sedikit akan marah meskipun hal sepele, apalagi ini masalah besar.
Fathia mengerenyit bingung saat Andi melemparkan sebuah amplop putih berukuran sedang, ia segera membuka amplop tersebut dan membacanya.
"Aku belum siap untuk berumah tangga, untuk menjadi ayah, Fa. Dan itu, surat pindah tugas dari kantor. Aku di pindah tugaskan ke cabang lain."
"Ya kita bisa memulai semuanya dari awal, di daerah kantor baru kamu."
"Gak bisa. Persyaratan dari kantor, aku gak boleh nikah. Jadi lebih baik kita berakhir di sini, kamu gugurkan anak itu, sudah selesai."
Fathia menggelengkan kepalanya tak percaya, tanpa terencana, tangannya sudah melayang menampar pria brengsek yang berada di depannya ini.
"Kamu bilang sudah selesai?! Semuanya gak segampang apa yang kamu bilang. Setelah kamu ngerusak aku, gak mau bertanggungjawab, kamu mau akhiri hubungan ini gitu aja? Brengsek banget!"
"Ya terus kamu maunya gimana, hah?! Aku dipindah tugas ke Singapur. Kamu sendiri tahu kan segimana usahanya aku buat sampai di titik ini? Kalau kita menikah, aku harus melepas karirku, memulai semuanya dari awal, itu ga gampang Fa. Kamu mikir ke situ gak?!"
Fathia terlonjak kaget saat Andi menggebrak meja kafe cukup kencang, menimbulkan bisikan-bisikan dan tatapan orang-orang yang ada di kafe ini.
"Aku tahu itu, tapi saran kamu pun bukan hal yang baik. Aku harus gimana? Harus gimana?"
Fathia tak peduli ia menjadi tontonan gratis orang-orang, menjadi drama dan mengemis tanggung-jawab kepada pria brengsek yang ada di hadapannya ini. Ia menyesal telah menyerahkan semuanya kepada pria brengsek, yang sialnya sangat ia sayangi dan cintai.
"Intinya aku gak bisa. Sekarang terserah kamu mau gimana pun, aku gak peduli. Semuanya berakhir, aku gak ada urusan lagi sama kamu."
"Aku akan bilang semuanya ke orangtua kamu!" Ujar Fathia dengan nada tinggi saat ia melihat Andi mulai melangkah untuk keluar kafe.
Seperti dugaan yang ditakutkannya, pria itu tetap berjalan meninggalkannya. Tak peduli dengan isak tangis dan hancurnya ia saat ini.
"Ya Allah, aku harus apa?" Tanyanya lirih. Tubuhnya ambruk begitu saja. Semua rasa sakit, kecewa, amarah, benci, teraduk menjadi satu, mengoyakan hatinya.
*
Satu minggu sudah berlalu dari pertama kali Fathia mendapati dirinya hamil. Setelah menenangkan diri dan mengecek kandungannya ke dokter, akhirnya hari ini ia memberanikan diri untuk membicarakan semuanya kepada keluarganya. Meskipun ia ragu dengan reaksi keluarganya, namun mau tidak mau ia harus membicarakan semuanya. Kebetulan hari ini orangtua dan kedua adiknya sedang berkumpul di ruang keluarga.
"Mah, pah, ada yang ingin Fathia bicarakan." Ujar Fathia, setelah beberapa menit tadi ia hanya diam dengan pemikirannya sendiri.
"Ada apa? Kok kayaknya serius banget?" Tanya sang Mamah.
Fathia mencoba menarik nafas dan menghembuskannya dengan perlahan, jujur saja berat sekali untuk membeberkan semuanya.
"Ngomong ya ngomong aja sih, kak." Ujar Rio, adiknya yang pertama. Fathia memiliki dua adik dan satu kakak.
"Fathia hamil."
Keheningan melanda ruangan keluarga itu. Semua yang ada di sana, mencoba mencerna ucapan yang Fathia lontarkan.
"Kak jangan bercanda deh, gak lucu tahu bercandaan kayak gitu."
Fathia segera menggelengkan kepalanya, menyangkal ucapan Nadia, sang adik bungsu.
"Kakak gak bercanda, Nad. Ini buktinya." Fathia mengeluarkan testpack dan foto usg yang sedari tadi disembunyikannya. Hatinya sudah kalut luar biasa, apalagi orangtuanya belum memberikan reaksi apapun.
"Ya Allah, yang papah takutin terjadi juga. Berkali-kali papah ingetin kamu untuk pacaran secara sehat sama Andi, kamu malah ngelangkah sejauh itu. Astagfirullah."
"Abang gak nyangka kamu bertindak sejauh itu, Thia."
Fathia hanya bisa menundukan kepalanya dalam. Jujur saja ia sangat malu untuk menghadapi keluarganya saat ini, tapi mau bagaimana, hanya mereka orang terdekat yang Fathia punya.
"Mamah gak mau nyalahin kamu. Kamu melakukannya secara sadar dan ini pilihan kamu sendiri. Berani bertindak, berani terima resikonya. Kamu udah kasih tahu Andi?"Fathia menganggukan kepalanya.
"Terus Andi mau bertanggung-jawab kan? Dia bersedia menikahi kamu?" Tanya sang papah, yang kemudian dijawab gelengan kepala oleh Fathia.
"Maksud kamu apa? Andi gak mau tanggung-jawab? Tolong bicara Thia, jelasin semuanya."
"Satu minggu lalu, aku menjelaskan semuanya ke Andi, tetapi dia malah meminta menggugurkan kandungan Thia dan mengakhiri hubungan kita." Fathia menggigit bibirnya dalam, ia semakin takut dengan reaksi keluarganya, juga dengan pemikirannya yang semakin memperkeruh perasaannya.
"Astagfirullah. Kalian itu udah berbuat dosa, dengan kalian gugurin anak yang gak berdosa itu udah salah sekali! Papah gagal mendidik kamu."
"Thia gak punya pemikiran seperti itu, Pah. Itu hanya permintaan Andi. Fathia akan mempertahankannya."
"Ya terus kamu mau gimana? Andi gak mau tanggung-jawab, sedangkan perut kamu akan terus membesar seiring berjalannya waktu. Mau kamu digunjingin sama tetangga?!"
"Radi, tolong pelanin suaranya sedikit. Fathia butuh dukungan dari kita, jangan memojokannya."
"Mah, yang dilakukan abang wajar, itu karena kelakuan mereka berdua. Sekarang mau gimana? Yang ngelakuin salah dia, tapi yang nanggung malu dan gunjingan ya kita."
"Sekarang abang diam, mamah mau bicara."
"Sekarang keputusan kamu kayak gimana?"
Fathia memandang wajah sang Mamah, air matanya semakin mengalir deras saat melihat wajah sang Mamah. Terdapat rasa kecewa yang seperti di tahan, di kedua bola mata sang Mamah yang sedang ditatapnya.
"Fathia tetap mau minta tanggung-jawab Andi, Mah."
"Bego lo dek! Udah tahu dia gak mau tanggung-jawab, ngapain masih mau ngemis tanggung-jawab ke cowok brengsek kayak gitu." Radi tak bisa menahan umpatannya saat mendengar ucapan sang adik. Ingin rasanya ia menghabisi Andi, jika perlu sampai nyawanya juga habis.
"Ya terus aku harus gimana bang? Aku gak mungkin dan gak akan kuat kalau harus nanggung semua ini sendirian."
Isakan yang keluar dari bibir Fathia semakin terdengar keras saat sang Mamah memeluknya erat.
"Nanti mamah dan Papah akan antar kamu ke keluarga Andi, kita diskusikan semuanya, ya."
Bersambung
(Selesai ditulis pada hari Sabtu, 04 september 2021, pukul 23.11)
Fathia berkali-kali menghembuskan nafasnya dengan gusar. Jujur saja ia ragu untuk memasuki rumah yang ada di hadapannya ini. Rumah orangtua Andi. Ragu untuk mengungkapkan semuanya, dan takutnya mereka tidak bisa menerima kabar tak mengenakan yang ingin disampaikannya."Thia, ayo. Kamu rileks, jangan banyak pikiran ya."Fathia menganggukan kepalanya saat sang mamah berucap. Ia kemudian melangkahkan kakinya, mengekori Mamah dan Papahnya yang sudah lebih dahulu berjalan mendekati pintu rumah."Eh Pak Ardi, ibu Anya, mendadak banget sih ke sininya, gak bilang dulu." Ujar Didi, ayah dari Andi yang kebetulan sedang terduduk di kursi yang ada di teras rumah."Maaf jika mengganggu pak, ada hal serius yang ingin kami bicarakan."Didi segera mempersilahkan tamunya masuk, saat mendengar ada hal seriu
Setelah mencoba menenangkan sang istri, Didi mulai menghampiri Adnan yang ternyata sedari tadi sedang memperhatikannya."Adnan, ayah boleh meminta sesuatu sama Adnan?"Adnan bingung mendengar permintaan sang Ayah yang tiba-tiba, namun yang bisa ia lakukan hanya menganggukan kepalanya."Ayah minta untuk Adnan menikah, boleh?""Menikah itu seperti apa, Yah?""Menikah itu mempersatukan dua orang yang berbeda, seperti ayah dan Ibu. Adnan mau 'kan seperti Ayah dan Ibu? Memiliki anak juga nanti?"Rasanya Adnan masih agak bingung dengan penjelasan sang Ayah, tetapi ia mulai berpikir bahwa mungkin dengan menikah, ia bisa bahagia seperti yang Ayah dan Ibunya selalu tunjukan di depannya."Menikah, seperti Ayah dan Ibu. Jika Adnan seperti Ayah, lalu sosok 'ibu' nya siapa Yah?""Nanti kita ketemu sama dia. Ayah tahu Adnan anak baik, pasti mau menuruti
Fathia hanya bisa terdiam di tempatnya. Pikiran dan hatinya berkecamuk bingung memikirkan hal tersebut.Sampai beberapa menit berlalu, keheningan melanda di ruang tamu keluarga Ardi. Mereka menunggu sedikit jawaban dari Fathia."Ini cukup berat untuk saya. Tetapi pada akhirnya, mungkin saya akan mencoba mendekati Adnan, sebelum akhirnya nanti saya akan memutuskan untuk menerimanya atau tidak."Wajah-wajah tegang yang sedari tadi terpasang di wajah orang-orang yang berada di ruangan ini, akhirnya sedikit meluruh juga ketika mendengar penuturan Fathia.Semoga saat ini, apa yang diucapkannya adalah hal yang tepat. Walaupun sepertinya Fathia harus sedikit mengikis harga dirinya, karena ia yang harus berjuang untuk mendekati Adnan.Kenapa pada akhirnya Fathia mau untuk mencoba mendekati Adnan? Karena ia berpikir Adnan adalah pria baik, yang terlihat polos dan berbeda dari pria di luaran sana. M
Awalnya Fathia mengira semuanya akan terasa mudah untuk mendekati Adnan, karena pria itu tertawa di pertemuan pertamanya setelah menjadi teman, tetapi ternyata ya seperti inilah ujungnya. Fathia seperti melukis sendirian, saking fokus dan diamnya pria itu saat sedang melukis.Daripada pusing memikirkan hal tersebut, Fathia segera mengambil cat dan menuangkannya ke atas palet yang ia beli tadi. Kemudian mulai memikirkan ide, apa yang mau dilukisnya. Setelah beberapa menit, akhirnya ia memilih untuk melukis taman bunga yang ada di depannya. Taman bunga dengan berbagai jenis bunga yang indah dilihat mata. Ia mulai mengayunkan kuasnya di atas kanvas. Matanya sesekali melirik lukisan Adnan, dan dia cukup terkejut saat melihat lukisan Adnan bahkan sudah setengah jadi. Memangnya berapa lama ia diam untuk berpikir memikirkan hal apa yang ingin dilukisnya, ia rasa tidak sampai setengah jam ia berpikir, tapi pria di sampingnya itu sudah setengah jalan saja.
"Kayaknya kamu kok capek banget sih, emang ngapain aja seharian ini sama Adnan?"Fathia yang sedang berleha-leha di sofa yang terletak di ruang tamu, segera membuka matanya dan ia baru menyadari bahwa sang Mamah sudah terduduk di kursi yang letaknya tak jauh dari sofa yang ia tempati."Cuman ngelukis aja, ngobrol-ngobrol sama adiknya, sama tante Arini, udah. Terus Adnan ngasih beberapa lukisan. Sebenernya adiknya sih yang ngasih, tapi yang lukis Adnan. Kayaknya boleh tuh mah dipajang, bagus banget lukisannya.""Mamah jadi bingung deh sama semuanya. Yang harus bertanggung-jawab kan keluarga mereka, tapi kok malah kamu yang kelihatannya harus berusaha buat deket sama Adnan, harus mengambil keputusan menerima enggaknya. Beberapa hari ini kamu harus terus berkunjung dan 'mendekati' Adnan."Fathia yang mendengar tutur kata sang Mamah yang terdengar serius, langsung mengubah posisinya menjadi duduk.
Fathia kaget bukan main saat melihat wajah Adnan berada di atasnya, apalagi tatapannya yang begitu intens. Ia segera mengubah posisinya untuk menjadi duduk di sebelah pria itu. Ia jadi bingung sendiri, kenapa ia bisa tertidur di paha Adnan, padahal seingatnya ia hanya jatuh tertidur ketika Adnan sedang fokus dengan lukisannya."Kok aku bisa tidur di atas paha kamu?""Tadi Fathia keliatan gak enak tidurnya, Adnan pikir butuh bantal, jadi Adnan jadiin paha Adnan buat jadi bantal Fathia deh. Maaf ya kalau itu gak boleh."Fathia segera menggelengkan kepalanya, menyanggah pernyataan maaf dari Adnan."Enggak, gak papa kok. Malah aku yang makasih, kamu pasti pegel kan nungguin aku tidur, pasti lama deh. Oh iya, kamu udah selesai ngelukisnya?"Fathia mengikuti tatapan mata Adnan, kemudian ia baru menyadari bahwa baru sedikit goresan cat di atas kanvas, itu berarti sedari awal ia tertidur, Adnan me
Fathia menatap intens kalender yang tertempel di dinding kamarnya itu. Ia baru menyadari jika hari pernikahannya semakin mendekat, hampir satu minggu lagi. Rasanya seperti terlalu cepat waktu berlalu, dan terlalu cepat ia mengambil keputusan yang ia bicarakan dengan Adnan di Taman tempo hari. Tetapi mau bagaimana lagi, ia memang harus terpaksa untuk mengambil keputusan dengan waktu yang cepat.Ia menjadi bingung sendiri dengan takdirnya yang entah mau dibawa ke mana. Di kehidupan sebelumnya, bahkan ia tidak pernah membayangkan bahwa takdirnya berjalan ke arah yang seperti ini.Tempo hari, memang ia sudah yakin dengan keputusannya, bahwa Adnan mungkin orang yang tepat untuk menjadi sosok Ayah dari bayi yang sedang di kandungnya. Ia yakin pria itu akan menyayangi dan mencintai anaknya dengan sepenuh hati, walaupun dengan kekurangannya, hanya karena ia melihat interaksi yang selalu Adnan tunjukan ketika sedang bersama dengan anak kecil.
Fathia terdiam sebentar saat Adnan mengajaknya masuk ke rumah yang ada di hadapannya itu. Rumah yang dimaksud Adnan akan ditinggali mereka setelah menikah.Interior luarnya saja sudah cukup membuat Fathia kagum, terlihat minimalis dan sederhana namun elegannya masih dapat dilihat. Persis seperti rumah yang dahulu sering ia mimpikan untuk menjadi rumah masa depannya. Tidak terlalu mewah dan besar, tetapi menggunakan konsep industrial house."Ini kamu yang pilih sendiri atau dipilihin sama orangtua kamu?" Tanya Fathia saat langkahnya sudah dekat dengan Adnan."Adnan dikasih beberapa pilihan, terus akhirnya pilih yang ini karena suka aja."Fathia menganggukan kepalanya, tanpa meneruskan pembicaraan tersebut. Ia mulai sibuk melihat interior dalam rumahnya, yang terlihat nyaman untuk ditinggali, dan bahkan furniturenya sudah komplit. Ada juga beberapa lukisan yang sudah pasti Adnan yang melukis, karena