Sepi. Malam yang kian larut ditambah guyuran hujan membuat para penghuni rumah kian lelap dalam buaian mimpinya. Hima yang berada dikamar pun hanya mampu menatap rintik hujan dari balik jendela kamarnya.
Terbuai dalam lamunan yang menyakitkan, bagaimana bisa dia berada diposisi yang begitu menyulitkan, dan sekaligus menyakitkan.
Ardan laki-laki yang sudah tiga tahun menjalin hubungan dengannya tiba-tiba memutuskan hubungan begitu saja. Tak tau apa penyebabnya, dan Hima hanya menjawab 'YA' kala Ardan mengakhiri hubungan mereka.
Dan siang tadi baru terkuak apa sebab Ardan meninggalkannya, Santi. Sahabat dekat Hima yang tega menjebak Ardan dalam jeratan cintanya.
Semua diluar dugaannya, bagaimana bisa dia berkutat dalam masalah sepelik ini.
"Ya Allah kuatkan hambamu, jangan biarkan hamba terhanyut dalam kebencian, jangan biarkan hamba terbisiki setan yang menjerumuskan." Gumam Hima disela lamunannya.
Pada saat seperti keadaan kita lemah seperti inilah biasanya setan akan berusaha untuk merasuki hati kita, menanamkan kebencian dan kejahatan. Setan akan mengiring manusia dengan emosi sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah.
"Astaghfirullahaladzim." Hima beristighfar dalam hati, hatinya berdenyut nyeri jika mengingat perjalanan cintanya dengan Ardan, tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi rentangan waktu yang cukup lama.
Namun jika ia tak mengalah maka apa yang akan terjadi pada Santi akan lebih parah, karena Santi adalah sosok yang ambisius dan bisa berbuat nekat, hal inilah yang tak diinginkan oleh Hima, walau Santi telah menyakitinya, namun dia tetap sahabatnya.
Lagi, Hima menghela napas panjang, di masih saja terhanyut dalam lamunannya, hingga derai hujan yang tadi lebat kini berganti angin sepoi yang menyejukkan. Jika ini adalah siang pasti setelah hujan deras akan terbit pelangi indah yang muncul setelahnya. Begitu juga yang diharapkan Hima. Pelangi dihatinya akan segera terlukis menggeser badai yang kini sedang bergelayut dan menyesakkan dadanya.
Perlahan Hima menutup jendela kamarnya, kemudian rebah di kasur berusaha untuk memejamkan matanya. Dia harus menyongsong hari bahagia Santi esok hari. Dimana seharusnya merupakan hari kebahagiaannya, karena seharusnya besok dia yang akan bertunangan dengan Ardan, namun kenyataannya Santilah yang menggantikan posisinya di samping Ardan.
Lengkaplah sudah sepi mengurung relung hati, jiwa nelangsa terbuai nyeri. Hima terus berusaha memejamkan mata, meramalkan kalimat istighfar berulang kali sebagai obat penenang jiwa yang bergejolak.
Hampir tengah malam, Hima baru dapat tidur, entah berapa banyak hafalan yang ia lafadz kan hingga ia dapat tertidur.
Pagi harinya, Hima sudah bersiap hendak pergi ke rumah Santi namun ucapan dari kakaknya menghentikan langkahnya yang hampir sampai di ujung ruang tamu.
"Buat apa kamu ke sana? buat nambahin rasa sakit hati kamu? lebih baik kamu dirumah bantuin ibu." Ucap Mas Aziz tanpa menatap Hima, tangannya sibuk membelai kucing persia yang kemarin baru saja ia beli.
"Lha mbok ya biarkan adikmu pergi, toh dia sudah legowo, mungkin memang Ardan bukan yang terbaik buat adikmu." Kata Ibunya, pelan dan penuh kasih.
Aziz mendesah panjang, lalu didalam hati beristighfar, menyadari kekeliruannya, tak seharusnya dia menanamkan kebencian dihati adik perempuannya ini, setelah hatinya tenang Aziz lantas berbicara dengan pelan.
"Mana kunci motormu, biar mas antar."
Hima melangkah mendekati Aziz, lalu memberikan kunci motornya. Aziz masuk kedalam kamarnya mengganti kaos dengan kemeja serta celana panjang kain.
Aziz mendekat ke ibunya, mencium tangan sambil berpamitan.
"Bu, kami pergi dulu sebentar, nanti setelah dari acara Santi baru kami akan membantu ibu. Assalamualaikum . . . ' Kata Aziz, Hima melakukan hal yang sama berpamitan dengan Ibunya.
" Waalaikumsalam, Hati-hati, tak usah buru-buru." Sahut Ibunya.
Kemudian Aziz menuju ke halaman dimana motor Hima telah terparkir. Hima pun menyusulnya.
Wajah Santi yang semula berbinar kebahagiaan karena pertunangannya dengan Ardan, mendadak berubah masam begitu ia melihat kedatangan Hima dan kakaknya. Namun berbeda dengan Ardan, laki-laki ini begitu penuh kerinduan pada sosok Hima, gadis yang selama tiga tahun mengisi hatinya, kini hanya sesal yang Ardan rasakan tentang kebodohan yang telah ia lakukan.
"Selamat ya San, semoga lancar ya sampai hari pernikahan kalian." Ucap Hima tulus, walau sebenarnya hatinya terasa perih tak terkira.
"Trimakasih, Him. . . Maafkan aku." Santi berbasa-basi pada sahabatnya, karena yang sebenarnya dia sangat bahagia bisa mengalahkan Hima dan mendapatkan Ardan.
Pandangan Hima beralih pada Ardan, kemudian berucap dengan pelan,
"Selamat ya mas, semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu." Tanpa menunggu jawaban Ardan, Hima langsung pergi meninggalkan tempat pertunangan Ardan dan Santi.
Ardan hendak mengejar namun Aziz terlebih dulu menghalanginya, mana mungkin dia membiarkan laki-laki yang menyakiti adiknya ia biarkan mendekat ke adiknya lagi, walau itu hanya untuk mengucapkan salam perpisahan tak kan pernah ia ijinkan, tak kan pernah.
Hima duduk diatas motornya berboncengan dengan Aziz kakaknya, hatinya sakit namun ia mencoba untuk ikhlas, dia berharap kelak dia akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Ardan dan tak kan menyakitinya.
"Kamu baik-baik aja kan, dik?" Tanya aziz pelan dan hati-hati takut menyingung perasaan adiknya.
"Hima baik-baik aja, Mas . . . Hima sudah ikhlas, mungkin ini yang terbaik untuk Hima dan Mas Ardan."
"Baguslah kalau begitu, Mas yakin suatu saat kamu akan mendapatkan laki-laki yang menerima mu apa adanya, dan mencintai kamu dengan tulus."
"Amiin, Mas."
Keadaan kembali hening, hanya deru motor yang berlalu lalang di jalanan kampung yang sepi.
Setibanya di rumah, Hima langsung masuk kedalam kamarnya, menganti gamisnya dengan pakaian muslim yang lebih santai, kemudian menuju ke halaman belakang dimana ada ibunya yang sedang mengupas kacang tanah untuk dijadikan cemilan.
"Assalamualaikum, bu . . ." Ucap Hima kemudian mencium tangan ibunya.
"Waalaikumsalam, kalian sudah pulang? Kog cuma sebentar, Mas mu mana?" Kata ibu, sambil melihat-lihat di belakang Hima mencari anak laki-lakinya.
"Mas Aziz cuma nganterin Hima pulang bu, lalu dia pergi ke toko, katanya ada orang yang menunggunya." Jawab Hima sopan sambil membantu Ibunya mengupas kacang tanah.
"Oh, yawes kalo gitu, kamu ga apa-apa to?" Tanya Ibunya.
"Ya ga apa-apa lah bu, Hima kan sudah bilang sama ibu, kalo Hima sudah ikhlas melepas Mas Ardan untuk Santi." Hima berusaha tersenyum agar Ibunya tidak mengkhawatirkannya.
"Baguslah kalau gitu, patah hati itu wajar berarti sedihnya juga harus wajar juga, karena sewajarnya cinta yang lain akan datang, setelah kamu ikhkas melepaskannya, fokus ke masa depan lebih penting, berarti Allah memberimu keempatan untuk mengejar harapan dan cita-citamu sebelum kamu swibuk dengan kewajiban mu sebagai istri."
Hima tersenyum mendengar perkataan ibunya, dia tak menyangka disaat seperti ini ibunya benar-benar bisa menjadi sahabat terbaik untuknya, berbeda dengan pembawaan ibunya yang tegas dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya.
Adzan subuh berkumandang, beriringan dengan ayam jantan yang berkokok menandakan hari baru telah dimulai.Seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap dengan rambut panjang sebatas bahu, berjalan menyusuri jalan komplek yang masih sepi, dipundaknya bergantung sajadah berwarna hijau, sejuknya embun yang berjatuhan dari pucuk dedaunan menambah aroma subuh kian terasa.Laki-laki itu terus berjalan membelah jalanan yang sepi, terkadang dia berpapasan dengan pedagang keliling yang hendak pergi kepasar, terkadang bersalaman dengan sesama jamaah masjid komplek."Assalamualaikum, Mas Erlangga." Sapa seorang bapak tua yang hendak pergi ke masjid, dia baru saja keluar dari dalam rumahnya. Erlangga menghentikan langkahnya, kemudian menoleh ke sumber suara."Waalaikumsalam pak Aci." jawab Erlangga disertai dengan senyuman menawannya."Mas erlangga ini, rajin sekali, semenjak Mas erlangga tinggal dikomplek sini, jadi banyak warga yang
"Udah ada kabar dari Nurul, Him?" Tanya Rindu yang kebetulan singgah ke rumah Hima, bersama para sahabat-sahabatnya."Katanya dia kerja di daerah Mertoyudan, tapi aku ga percaya. Waktu aku main ke kontrakannya, aku lihat ada motornya di teras." Jawab Hima sambil meletakkan cemilan ke atas meja."Sebenarnya masalah Nurul apaan sih, sampai kamu ikut-ikutan sibuk nyariin dia." Kini giliran Alfa yang bertanya."Entah, Ibunya yang minta aku bantu nyariin dia.""Kamu ga mau cerita sama aku, bagaimana pun Nurul itu sahabat kita, jadi ga ada lagi rahasia diantara kita." Tukas Rindu."Waktu Aku balik ke Magelang, aku mampir ke kontrakannya yang di Sleman, tapi kata ibu-ibu yang punya kontrakan, Nurul udah hampir satu bulan ga balik ke kontrakannya." Yana memberi tahu sahabatnya."Kalo kamu Rim, ada info apa tentang Nurul?" Hima menatap Karim yang duduk di sebelahnya."Ga ada
Matahari menyengat begitu terik, namun tidak menyurutkan Erlangga dan Joko menyelesaikan pekerjaannya, beberapa motor yang mengantri untuk di servis masih terparkir di dalam ruko milik Erlangga.Disaat Erlangga tengah asik memperbaiki motor yang hendak ganti ban, seorang perempuan cantik dengan dandanan modis masuk ke dalam bengkel. Perempuan itu tengok kanan kiri seolah mencari keberadaan seseorang."Mencari siapa mbak?" Tanya seorang pelangan bengkel yang duduk dikursi bambu depan bengkel."Saya mencari Mas Erlangga, apa benar dia bekerja di bengkel ini?" Jawab perempuan berlesung pipi itu.Melihat perempuan cantik, obsesi Joko terbangkitkan, matanya berbinar-binar bak melihat segepok berlian. Tak mau kehilangan kesempatan Joko langsung menyapa perempuat cantik yang berdiri di pintu bengkel."Hallo, Tia." sapa Joko ternyata yang baru saja datang adalah Tia, sahabat masa kuliahnya dulu, Tia memang terkenal cantik, namun kini setel
Kebohongan tetaplah kebohongan walau terbungkus untaian kata indah dan rangkuman bunga, Pelangi pun enggan muncul kala langit kembali gelap. Dan seketika angin akan membawa badai untuk menghemapas gelombang.Pagi hari yang cerah dengan suara kicau burung nan merdu, kilau mentari pagi menapak diantara dedaunan dan bunga-bunga pun bermekaran dengan indah."Hima, Ibu berangkat ke warung dulu, kasian mas mu kalau tidak ada yang bantu, nanti kalau Bapakmu pulang, tolong bikinkan minum ya.""Iya, Bu. Lha ibu berangkat ke warung sama siapa? apa Hima antar aja, Bu?" Sejenak Hima meletakkan gunting pemotong tanaman, dan melangkah menuju tempat ibunya berdiri."Ga usah, Ibu berangkat sendiri aja.""Bawa motor?""Lha iya, masak mau jalan kaki, gempor kaki ibu." Jawab Ibunya disertai senyum yang tersunging di wajahnya."Ya udah kalo gitu, Ibu hati-hati ya..." Hima mendekati Ibunya untuk mencium tangannya."Ibu bera
Hujan yang terus menguyur kota Yogyakarta beberapa hari ini cukup lebat, seperti air yang ditumpahkan dari langit. Seperti hari ini dari selepas subuh hingga menjelang dzuhur, hujan belum juga terhenti, justru diikuti petir yang saling bersahutan dan saling menyambar.Farhan menyadari bahwa apa yang sedang dia alami adalah buah dari perbuatannya, sebuah episode terberat dalam hidupnya jika sampai dia harus menentang keinginan orang tuanya untuk menikah dengan Hima, namun dia juga tak kuasa untuk meninggalkan kekasihnya. Tapi benar kata Hima, dia hanya manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan.Menatap hujan yang turun dengan derasnya, Farhan menarik nafas panjang bayangan kekasihnya berkelebat silih berganti, kenangan-kenangan bersamanya berputar silih berganti dari memori otaknya, apakah semua kenangan itu akan benar hanya tinggal kenangan? apakah sebuah keputusan yang benar jika dia memilih Hima demi orang tuanya? bagaimana perasaan Hima jika i
Hima menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Erlangga."Eh, Mba Hima apa kabar?" Tanya Joko sambil mengusap wajahnya yang terkena tetesan air hujan."Alhamdulilah baik, Mas Joko.""Ayo masuk mba, hujannya bertambah deras,"Hima menatap ke arah Joko, tapi mendadak perhatiannya teralihkan oleh seseorang yang sedang keluar dari mobil yang terparkir di sebrang rumah Erlangga.'Nurul' Gumam Hima.Tanpa memperdulikan hujan yang mengucur deras Hima berlari kearah mobil itu, dan berhenti tepat di depan perempuan yang ia panggil dengan sebutan Nurul.Erlangga dan Joko mematung melihat aksi tak terduga yang dilakukan Hima.Hima terengah, manik matanya menyusuri setiap jengkal tubuh Nurul yang kini berdiri di hadapannya. Hima menarik nafas panjang melihat Nurul dengan penampilan yang berlawanan dengan apa yang sering ia kenakan dulu. Pakaian minim dan tak lagi berjilbab. Hima menyeka wajahnya yang terkena guyuran hujan, kemudian dengan pela
Setelah berunding dengan Hima, akhirnya Farhan memutuskan untuk mengajak keluarganya untuk bersilaturahmi dengan keluarga Hima, bagaimanapun mereka harus menyelesaikan pembicaraan yang pernah dulu pernah tersampaikan.Awan hitam yang berkumpul sedari tadi sudah mulai berubah menjadi rintik hujan, dua keluarga sedang berkumpul di ruang tamu keluarga Hima, Farhan tertunduk, begitupun dengan Hima, setelah Pak burhan selesai berbasa-basi dengan keluarga Hima, kini giliran Farhan dipersilahkan untuk bicara."Sebelumnya saya mohon maaf pada keluarga bapak Syahrul sekeluarga selaku orang tua dari Hima, dan juga pada keluarga saya, sebenarnya saya berat mengambil keputusan ini, tapi demi Allah bukan karena ada kekurangan atau kesalahan dari Hima, tetapi ini murni karena kesalahan saya, yang tidak bicara jujur sedari awal jika saya mempunyai seseorang yang saya harapkan bisa menjadi pendamping hidup hingga akhir hayat."Farhan semakin menunduk, tak ada
Erlangga tiba-tiba saja merasa gugup di duduk bersebelahan dengan Hima, padahal tak seperti ini dulu rasanya ketika ia masih bersama dengan Sari, atau mungkin karena dia telah mengenal Sari sejak mereka masih remaja? Entahlah, namun Erlangga benar-benar merasa seolah dia sedang berhadapan dengan seseorang yang sangat istimewa, yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan entah mengapa baru kini ia sadari akan hal itu."Mas Erlangga kali yang punya pacar?" Tanya Hima dengan nada bercanda."Siapa yang mau sama laki-laki kere kayak aku ini?""Siapa bilang kamu kere? punya bengekel sendiri, punya karyawan, kayak gitu masak kere."Erlangga terkekeh, tak tahu mesti jawab apa . . . seharusnya dia memang tak sesederhana ini, jabatan sebagai direktur pernah ia pegang, namun ia harus melepas segalanya demi membela harga dirinya."Perempuan mana yang mau sama orang yang duitnya pas-pasan kayak aku ini Tho, Him?"Dalam hati Erlan
Satu minggu sudah acara pertunangan Hima dan Angger berlalu. Namun Hima masih menjaga jarak dan bahkan menghindari Angger, setiap kali Angger datang ke rumah Hima selalu berpura – pura tidur atau bahkan memang Ia sudah terlelap di dalam kamarnya.Hima masih enggan menemui Angger walau apapun alasannya, sampai mala mini Angger datang ke rumahnya dan Hima yang sedang banyak pekerjaan dan harus segera di selesaikan membuat Ia tak mungkin untuk pura – pura tidur.“Hima.” Panggil Ibu.“Ya bu.” Sahut Hima yang masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di hadapannya.“Ada Angger di depan.” Ibu duduk di tepi ranjang Hima. Manik matanya menatap lembut pada sang putri yang sedang sibuk sibuk di kursi kerjanya.“Sebentar bu, ini harus selesai besok pagi.” Sahut Hima tanpa menoleh pada sang Ibu.Ibu hanya menghela nafas panjang, Ia tahu walau tak ada pekerjaan pu
Siapakah dia yang mampu meruntuhkan rasa setiamu padaku, siapakah dia yang mampu mengalihkan duniamu untukku? Siapa kah dia yang mampu mencuri kerinduan di tiap detik sanubariku? Kata – kata itu yang kini berkecamuk di dalam pikiran Erlangga. Memikirkan gadisnya yang jauh disana dan mungkin tak aka nada lagi harapan baginya untuk mendapatkan gadisitu. “Hima, beginikah akhir dari perjuanganku untukmu? Atau sebenarnya aku belum memulai perjuangan ku? Maafkan aku Hima, pasti kau tersiksa saat ini, namun apa yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu, mengharapkan kebahagiaan untukmu.” “HIma…” Erlangga menelungkupkan kepalanya diatas pagar balkon. Kepalanya dipenuhi permasalahan yang begitu pelik mulai dari masalah perusahaan hingga masalah hatinya sendiri yang seakan ditusuk ribuan pisau mendengar jika Hima melakukan prosesi lamaran oada malam ini. DrrrrTTtttt Ponsel Erlangg
Matahari terbenam di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berganti. Burung – burung dan binatang malam mulai mengeliat siap untuk memulai petualangan mereka.Bersujud dengan khusuk meminta ampunan di setiap dosa yang kita lakukan, dan memohon segala kemudahan dari Allah, itulah yang di lakukan Hima saat ini. Mencoba merayu Tuhan dengan segenap janji dan kepasrahan untuk lebih berdekatan dengan sang khalik.“Him…” Panggil sang Ibu dari balik pintu kamarnya.“Njih Bu.”“Kamu sudah selesai sholat?”“Sudah, Bu.”“Ya sudah gantian sama Ibu ya, Ibu mau sholat dulu itu teh nya belum di seduh.”“Ya bu, sebentar Hima keluar,”“Yowes Ibu tak sholat dulu.”Hima lalu meletakkan mukena yang baru saja Ia lipat ke tempat semula. Perlahan Ia keluar dari kamar lalu menuju ke dapur tempat diman
“Him, kamu serius mau menerima lamarannya Angger?” Hima menatap kosong, jemari lentiknya hanya mengaduk minuman es jeruk yang ada di hadapannya. “Him!” Lagi, sahabatnya yang diajak bertemu di warung soto dekat sekolah tempatnya mengajar memanggil namanya, Hima terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga Ia tak mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabat dekatnya itu. “Eh! Maaf Rin.” Sahut Hima penuh penyesalan. Rindu memutar bola matanya malas, “Jadi kamu beneran mau nerima lamaran dari Angger?” Rindu mengulang pertanyaannya pada Hima. “Lalu aku harus bagai mana? Aku sudah sering menolak permintaan Ibu dan Bapak. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa lagi.” “Tapi kamu membuat dirimu kecewa Hima, mungkin juga Erlangga… bukankah kau diminta untuk menunggunya? Laki – laki yang tempo hari kamu ceritakan padaku itu, benarkan? Sebenarnya bagai mana perasaanmu sama dia?” Berondongan pertanyaan da
Maaf para pembacaku, terlalu lama Hiatus, semoga mulai hari ini bisa updates tiap hari ya.. terimakasih untuk yang masih setia menunggu cerita abal - abalku ini.*******Duduk bersimpuh disepertiga malam, menangisdan meratap penuh kepiluan, mencurahkan segala sesak di hatinya yang kian mencekik seolah menjerat lehernya untuk berhenti bernafas.Hima terus bermunajat, mengharap segala yang terbaik untuk kehidupannya kelak. Lelehan air mata tak bisa Ia bendung, hanya meluncur begitu saja tanpa dapat ia duga dan ia cegah.“Ya Allah berikan hamba petunjuk, keputusan apa yang harus hamba ambil, sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui segala kebimbangan dan keraguan di hati hamba.” Hima mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu melepas sajadahnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.Ditempat lain, Erlangga pun melakukan hal yang
“Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,
Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in
Masih dengan rindu yang sama, masih dengan tatapan cinta yang sama. Merengkuh detik-detik yang terasa hampa tanpa hadirnya sosok yang Ia rindu hadir memeluk jiwa yang mengersang. Mengukir waktu yang kian berdebu, tak terjamah kehangatan bercumbu. Impian yang tergantung di ujung malam, melabuh angan dan harapan di penghujung doa disepertiga malam. Erlangga duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, setelah melihat wajah Hima dari ponsel, membuat rindu yang menggunung sedikit terobati, walau ada keresahan dank e khawatiran yang mendalam akibat melihat sang pujaan merintih sakit. “Ya Allah, jagalah dia selalu, berilah dia keselamatan dimanapun dia berada, dan dekatkan hati kami jika memang kami berjodoh ya Allah, namun jauhkan lah jika memang kami tidak berjodoh.” Doa Erlangga di setiap sholatnya. “Pak Bos.” Panggil Yoga saat melihat Erlangga sedang melipat sajadahnya. “Ada apa Yoga?” Tanya Erlangga sambil menoleh pada asisten set
Hima menatap ke arah jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, dia sedang berdiri di taman sekolah yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Entah mengapa akhir-akhir ini rasa rindunya semakin besar pada sosok laki-laki bernama Erlangga, tak dapat Ia pungkiri jika Ia memang menyukai laki-laki itu, Ia memang mencintainya. Salahkah? Tidak ada yang salah dalam hal cinta, karena cinta tak memandang status sosial atau kedudukan seseorang. Cinta adalah sebuah rasa yang kuat untuk menyayangi, melindungi dan rasa ingin memiliki.Desiran angin di siang itu menyibak rasa rindu yang kian menyeruak, Hima menarik nafas panjang, kedua lengannya bertumpu pada pagar pembatas antara sekolah dan jalan raya.“Hai, Nglamun aja.” Sapa Alfa dari belakang Hima.Hima menoleh ke belakang, dilihatnya sahabatnya, Alfa. Yang juga ikut berdiri dipinggir pagar .“Kamu kenapa, Him. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun, dan lebih banyak diam.” Kata Alfa