Erlangga tiba-tiba saja merasa gugup di duduk bersebelahan dengan Hima, padahal tak seperti ini dulu rasanya ketika ia masih bersama dengan Sari, atau mungkin karena dia telah mengenal Sari sejak mereka masih remaja? Entahlah, namun Erlangga benar-benar merasa seolah dia sedang berhadapan dengan seseorang yang sangat istimewa, yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan entah mengapa baru kini ia sadari akan hal itu.
"Mas Erlangga kali yang punya pacar?" Tanya Hima dengan nada bercanda.
"Siapa yang mau sama laki-laki kere kayak aku ini?"
"Siapa bilang kamu kere? punya bengekel sendiri, punya karyawan, kayak gitu masak kere."
Erlangga terkekeh, tak tahu mesti jawab apa . . . seharusnya dia memang tak sesederhana ini, jabatan sebagai direktur pernah ia pegang, namun ia harus melepas segalanya demi membela harga dirinya.
"Perempuan mana yang mau sama orang yang duitnya pas-pasan kayak aku ini Tho, Him?"
Dalam hati Erlangga berdoa agar Hima bukanlah perempuan macam Sari, yang lebih memilih kakaknya yang merupakan CEO perusahaan besar, memilih harta bukan cinta.
"Suatu saat pasti ada." jawab Hima singkat.
"Dulu aku pernah menjalin hubungan sama teman SMA hingga kami lulus kuliah, tapi ternyata dia memilih orang yang lebih kaya dari aku, sampai sekarang aku jadi malas punya pacar, aku takut akan terulang kembali seperti dulu, jujur itu menyakitkan."
"Mas Erlangga lagi curhat sama saya?" Tanya Hima dengan wajah yang tanpa dosa, sontak membuat Erlangga menjadi gemas, akan sikapnya.
"Jadi kamu ga mau saya curhatin?"
"Kalau tahu Mas Erlangga mau curhat, saya pasang tarif dulu tadi, psykolog aja sekarang mahal mas." Hima terkekeh, memang sengaja dia berkata demikian, saat melihat wajah suram Erlangga, hati Hima tiba-tiba trenyuh, ternyata dia tak sendiri merasakan perihnya sakit hati ditinggal orang terkasih.
"Ya udah, besok lagi kalau kamu mau betulin motor di tempat saya ga perlu bayar, jadi kita impas, gimana?"
Hima mulai tertawa, hal itu tak dilewatkan begitu saja oleh Erlangga, dia tatap wajah yang sedang tertawa bahagia.
'Kamu cantik, Hima.' Puji Erlangga dalam hati.
"Kenapa tertawa?" Tanya Erlangga berpura-pura kesal.
"Semoga motor aku ga rusak, jadi kamu tetep berhutang sama aku."
"jahat banget sih kamu, Him. Kamu seneng ya kalau aku hutang sama kamu."
"iya lah, siapa tahu aku bisa mendapatkan bunganya sekalian, lebih lama berhutang kan lebih banyak bunganya."
"Dasar rentenir." Erlangga mengerutu, sambil melemparkan kerikil kecil pada Hima.
"aduhhh.." Hima sedikit mengaduh karena lemparan kerikil dari Erlangga.
"Rentenir baik hati saya." jawab Hima masih dengan bahu bergetar karena tertawa, melihat ekspresi kesal dari Erlangga.
"Mana ada rentenir yang baik hati?"
"Ada, aku contohnya."
Erlangga tak menjawab, hanya kerikil yang ia kembali lemparkan pada Hima. Tak berapa lama Aziz dan Joko datang menghampiri mereka.
"Jadi kamu disini ho, Ngga." Ucap Joko dari arah belakang.
"Kasian, cewek cantik duduk sendirian disini, jadi aku temani saja."
"Eh, mba Hima... kenapa jadi sering kebetulan begini ya kita ketemu, apa jangan-jangan kita jodoh ya?" tandas Joko dengan nada bercanda.
"Siapa jodoh kamu, Jok?" Tanya Aziz yang sudah ikut duduk di dekat Hima, adiknya.
"Ya itu cewek yang duduk di sebelah kamu?" jawab Joko sambil duduk diantar Erlangga dan Hima.
"Hima maksud kamu?" Tanya Aziz agak mendelik.
"Lha, iya siapa lagi? masal Nyai Blorong?"
"Enak aja, sampai kapanpun aku ga bakal merestui Hima jadi jodoh kamu." Ucap Aziz dengan nada kesal.
"Lha emangnya aku perlu restu dari kamu gitu?"
"Ya iya, Hima kan adikku." jawab Aziz ketus
"Ha!! adik kamu?" Tanya Joko tak percaya, kenapa bisa kebetulan? batinnya.
"Hm."
Hima dan Erlangga hanya terkekeh melihat aksi kedua orang disamping mereka, Akhirnya Joko bangkit dan duduk kembali di samping Erlangga di sisi yang lain.
"Perempuan cantik kayak gitu, ternyata kakaknya Drakula, menyeramkan." Canda Joko.
"Menyeram gini aku juga teman kamu, Jok." Ucap Aziz.
"Jadi Mas Aziz teman mereka?" Tanya Hima sambil menoleh pada kakaknya.
"Iya, kok kamu kenal sama mereka?"
"Waktu itu ban motor adik kamu bocor, dan kebetulan pas tak jauh dari bengekelku, ya sudah kita kenal disitu, tapi aku ga sangka ternyata Hima adik kamu, Ziz." Ucap Erlangga.
"Aku juga ga nyangka ternyata kamu deket juga sama adikku, kapan-kapan mainlah kerumah, nanti aku minta Ibu suruh masakin sayur lodeh kesukaan kamu, Ngga."
"Beneran ya, kapan-kapan aku main ke rumah kamu, ziz."
"Jangan kapan-kapan dong, kamu ga kangen sama masakan ibuku?"
"kangen banget, lama sekali semenjak terakhir kali Ibumu menjenguk kamu dipesantren dulu, terus bawain sayur lodeh kesukaanmu, sampai sekarang belum ketemu lagi."
"Iya kamu bener."
"Ya udah besok kita main ke rumah Aziz, sekalian sama teman-teman kita yang lain, yah . . . itung-itung reuni kecil-kecilan." Ucap Joko.
"Bener kamu, Jok. Aku tunggu beneran lho."
"Oke, nanti aku hubungi temen-temen yang lain."
"Sip."
"Jadi Mas Erlangga sama Mas Joko ini temen satu pesantren sama Mas Aziz?" Tanya Hima denga suara lembut.
"Iya, dulu kami satu pesantren, walau lain kamar tapi satu kelas di Aliyah, sampai kuliah." jawan Joko
"Tapi Erlangga lulus duluan, karena otaknya kelewat encer, makanya wisudanya ga barengan." Ucap Aziz pada adiknya.
"Otak encer tapi sekarang malah jadi pengusaha bengekel, malang nian nasibmu, Ngga." Ucap Joko yang tahu betul jalan hidup yang dilalui oleh sahabatnya ini. sedangkan aziz dan Hima menganggap itu hanyalah lelucon saja, karena memang mereka tak tehu kebenaran siapa Erlangga sebenarnya, hanya orang-orang tertentulah yang tahu siapa Erlangga itu, dan siapa orang tuanya.
"Kabar orang tuamu baik-baik aja kan, Ngga?" Tanya Aziz pada Erlangga
"Orang tuaku?" Jawab Erlangga yang agak bingung.
"Iya, yang suka jenguk kamu di pesantren dulu kan orang tua kamu to, yang dulu kamu kenalkan ke kita-kita, yang kalau datang bawa jajan buanyak banget." Terang Aziz.
"Oh, Iya, Alhamdulilah baik, kadang mengunjungiku disini kalau mereka sempat." Ucap Erlangga kemudian menarik nafas panjang, Bi Inah dan Pak Bowo, pengasuh dia ketika masih kecil dan sopir pribadi keluarganya, selama di pondok hanya mereka yang sering mengunjungi Erlangga, sedangkan kedua orang tuanya selalu sibuk dengan urusannya sendiri, Ayahnya sibuk dengan bisnis sedangkan Ibunya selalu sibuk dengan anggota arisannya.
Hanya Bi Inah dan Pak Bowo lah, yang selalu menemaninya, mengajarkan berbagai hal padanya, mereka berdua sudah dianggap sebagai orang tua oleh Erlangga. Entah apa jadinya dia jika tidak ada mereka, mungkin dia akan sama seperti kakak dan adiknya yang tak tahu soal agama.
Farhan memarkirkan mobilnya di parkiran stasiun tugu Yogyakarta, berdiri sebentar disamping mobil sekedar menyulut rokok yang terselip di jarinya, sekejap asap rkok mengepul dari bibir laki-laki bertubuh jangkung itu, menatap sekeliling lahan parkir yang luas lalu melangkah menuju pintu keluar stasiun untuk menunggu pujaan hatinya.Pricilia gadis keturunan Tionghoa yang berhasil memikat hatinya, menarik segala perhatiannya, Farhan sangat merindukan wanitanya, Ya wanitanya calon ibu bagi anak-anaknya.Tak berapa lama kereta yang membawa Pricilia dari Jakarta telah tiba, keluarlah perempuan cantik berhijab diantara rombongan para penumpang yang antri di pintu keluar.Farhan membuang rokoknya, dia terkesiap melihat penampakan yang begitu anggun dari pujaan hatinya, apa dia salah orang? Ayolah Farhan bahkan kalian lebih dari sekedar dekat mana mungkin kau salah mengenali orang."Pri . . .ci. .lia?" Farhan terbat
Pricilia mengagumi sifat yang dimiliki oleh Hima, sosok gadis jawa yang sederhana tanpa banyak improvisasi dalam hidupnya. Setelah kemarin Pricilia bertemu dengan orang tua farhan, kini Ia di ajak oleh Farhan berkunjung ke rumah Hima, sesuai janjinya pada Hima Supaya Farhan mau mengenalkan sosok pricilia pada dirinya. Dan sekarang disinilah mereka diteras sederhana dengan bernuansa bunga dan tanaman hias yang merupakan hobi sebagian besar dari keluarga Hima."Aku sungguh tak percaya jika saat ini aku bisa bersama mas Farhan dan berada dikampung halamannya, bahkan keluarga Mas Farhan mau menerimaku apa adanya diriku, yang masih harus belajar banyak tentang agama, dan aku bertambah bahagia karena mempunyai teman baru sepertimu, Hima.""Akupun demikian, Lia, aku senang mempunyai seorang teman baru sepertimu, member ku inspirasi untuk harus lebih dekat pada Allah, malu rasanya kau yang notabene berasal dari agama lain, justru lebih rajin belajar dan mengerjakan perintah agam
Hima menatap ponselnya yang tadi menyala karena seseorang yang terus saja menghubunginya, wajahnya ayunya berubah murung, moodnya yang ia bangunsusah payah agar bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik nyatanya runtuh karena nama yang berulang kali muncul di layar ponselnya.'Ardan' Laki-laki yang menyemai luka dihatinya, kembali dengan gombalan dan omongan palsu yang menyesakkan hatinya.Hima masih terus membiarkan laki-laki itu menghubunginya namun sengaja ia tak mau mengangkat telpon dari laki-laki tersebut. Sakit hati dan kecewa yang ia rasakan melebihi rasa cinta yang dulu ia berikan pada laki-laki itu, hingga kini walau Ardan menangis darah sekalipun tak kan pernah membuat hatinya luluh.Hingga bel pulang sekolah pulang, Hima membereskan buku acuan mengajarnya dan mengambil tas yang tersampir di belakang kursinya.Mengenakan helm lalu menstater motor matic miliknya menuju ke sebuah gerai makanan cepat saji yang tak jauh dari sekolah, Erlangga tak senga
Awan mendung menyelimuti sebagian kota Jogja di sore itu. Erlangga menaiki motornya dengan Joko berada dibelakang membonceng dengan menggunakan sarung."Ngga, jangan ngebut-ngebut, maghrib masih lama." Joko mengingatkan Erlangga untuk tidak melaju kencang di jalanan."Ya Allah, Jok. Yang ngebut tuh siapa, kamu dibawa kecepatan 60 km/jam udah rewel kayak anak perawan minta di nikahin aja, Jok." Ujar Erlangga pada Joko."Bukan gitu, Ngga. Aku belum nemu gadis cantik dan kaya untuk aku nikahin lho. Eman-eman muka gantengku ini kalau mati muda belum menikah, Ngga."Erlangga tertawa terbahak mendengar ucapan dari sahabat semprulnya itu. "Aduh Jok…Jok…kalau emang ganteng ga mungkin si Evi dulu nolak kamu mentah-mentah, dah kayak orang Jepang yang doyannya mentah-mentah.""Sembarangan kamu itu, Ngga. Bukan nya Evi yang nolak aku, tapi aku yang ga mau sama dia, buadannya itu nyeremin.""Nyeremin apanya? Badan seksi gitu kok dibilang nyeremin.""Elaah
“Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,
Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in
Ketika hidup berkisah tak menentu, merangkai kesedihan dan melukiskan kesunyian, meracik segala duka dan nestapa bagai tak bertepi di dalam sebuah tempayan. Hati yang kosong tanpa arah dan tujuan, hanya hembusan angin yang menjadi penopang lemahnya raga diantara deraan tangis yang tak berjeda. Dan baru ku sadari jika hidupku adalah hampa.Erlangga menatap gedung kantor yang tingginya hanya sepuluh lantai, tidak sebesar kantor ayahnya memang, namun ini adalah hasil kerja keras dirinya bersama Dermawan, satu-satunya sepupu yang masih dianggapnya waras ketimbang saudara yang lain.Awan juga satu-satunya saudara yang selalu mendukungnya masuk pesantren kala itu, disaat semua keluarga mencibirnya namun tidak dengan awan, dia hanya diam tapi dengan kediamannya itu dia mampu menjadi embun penyejuk untuk Erlangga.Awan dididik sangat keras oleh ayahnya untuk menjadi penerus keluarga, walau tidak selaras dengan keinginannya, namun Aw
Erlangga membuka berkas kantornya, lalu fokus mengerjakan pekerjaan yang dulu sering di handle oleh Awan. Hingga tak terasa jam menunjukkan pukul sebelas siang."Yoga, apa Awan belum juga datang?" Tanya Erlangga, yang justru heran melihat Yoga yang seperti kebingungan.Erlangga mengerutkan dahi, lalu mendekat pada Yoga yang berdiri mematung. "Ada apa sebenarnya dengan awan, aku lihat setiap aku menanyakan tentang keberadaan Awan, kamu selalu terlihat bingung untu menjawab." Kata Erlangga dengan menatap lekat Yoga.Yoga menelan salivanya kasar, haruskah Ia mengatakan pada bosnya tentang apa yang Ia ketahui mengenai saudara bosnya itu? Yoga terjerembab dalam dilemma, Ia tahu dengan benar permasalahan berat yang sedang dipikul oleh Erlangga, apa kah Ia tega menambah berat bebannya, namun jika Ia tidak mengatakannya, maka akan semakin berakibat buruk untuk Awan."Jadi?" Tanya Erlangga lagi, membuat Yoga semakin panas dingin di buatnya."Maaf
Satu minggu sudah acara pertunangan Hima dan Angger berlalu. Namun Hima masih menjaga jarak dan bahkan menghindari Angger, setiap kali Angger datang ke rumah Hima selalu berpura – pura tidur atau bahkan memang Ia sudah terlelap di dalam kamarnya.Hima masih enggan menemui Angger walau apapun alasannya, sampai mala mini Angger datang ke rumahnya dan Hima yang sedang banyak pekerjaan dan harus segera di selesaikan membuat Ia tak mungkin untuk pura – pura tidur.“Hima.” Panggil Ibu.“Ya bu.” Sahut Hima yang masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di hadapannya.“Ada Angger di depan.” Ibu duduk di tepi ranjang Hima. Manik matanya menatap lembut pada sang putri yang sedang sibuk sibuk di kursi kerjanya.“Sebentar bu, ini harus selesai besok pagi.” Sahut Hima tanpa menoleh pada sang Ibu.Ibu hanya menghela nafas panjang, Ia tahu walau tak ada pekerjaan pu
Siapakah dia yang mampu meruntuhkan rasa setiamu padaku, siapakah dia yang mampu mengalihkan duniamu untukku? Siapa kah dia yang mampu mencuri kerinduan di tiap detik sanubariku? Kata – kata itu yang kini berkecamuk di dalam pikiran Erlangga. Memikirkan gadisnya yang jauh disana dan mungkin tak aka nada lagi harapan baginya untuk mendapatkan gadisitu. “Hima, beginikah akhir dari perjuanganku untukmu? Atau sebenarnya aku belum memulai perjuangan ku? Maafkan aku Hima, pasti kau tersiksa saat ini, namun apa yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu, mengharapkan kebahagiaan untukmu.” “HIma…” Erlangga menelungkupkan kepalanya diatas pagar balkon. Kepalanya dipenuhi permasalahan yang begitu pelik mulai dari masalah perusahaan hingga masalah hatinya sendiri yang seakan ditusuk ribuan pisau mendengar jika Hima melakukan prosesi lamaran oada malam ini. DrrrrTTtttt Ponsel Erlangg
Matahari terbenam di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berganti. Burung – burung dan binatang malam mulai mengeliat siap untuk memulai petualangan mereka.Bersujud dengan khusuk meminta ampunan di setiap dosa yang kita lakukan, dan memohon segala kemudahan dari Allah, itulah yang di lakukan Hima saat ini. Mencoba merayu Tuhan dengan segenap janji dan kepasrahan untuk lebih berdekatan dengan sang khalik.“Him…” Panggil sang Ibu dari balik pintu kamarnya.“Njih Bu.”“Kamu sudah selesai sholat?”“Sudah, Bu.”“Ya sudah gantian sama Ibu ya, Ibu mau sholat dulu itu teh nya belum di seduh.”“Ya bu, sebentar Hima keluar,”“Yowes Ibu tak sholat dulu.”Hima lalu meletakkan mukena yang baru saja Ia lipat ke tempat semula. Perlahan Ia keluar dari kamar lalu menuju ke dapur tempat diman
“Him, kamu serius mau menerima lamarannya Angger?” Hima menatap kosong, jemari lentiknya hanya mengaduk minuman es jeruk yang ada di hadapannya. “Him!” Lagi, sahabatnya yang diajak bertemu di warung soto dekat sekolah tempatnya mengajar memanggil namanya, Hima terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga Ia tak mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabat dekatnya itu. “Eh! Maaf Rin.” Sahut Hima penuh penyesalan. Rindu memutar bola matanya malas, “Jadi kamu beneran mau nerima lamaran dari Angger?” Rindu mengulang pertanyaannya pada Hima. “Lalu aku harus bagai mana? Aku sudah sering menolak permintaan Ibu dan Bapak. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa lagi.” “Tapi kamu membuat dirimu kecewa Hima, mungkin juga Erlangga… bukankah kau diminta untuk menunggunya? Laki – laki yang tempo hari kamu ceritakan padaku itu, benarkan? Sebenarnya bagai mana perasaanmu sama dia?” Berondongan pertanyaan da
Maaf para pembacaku, terlalu lama Hiatus, semoga mulai hari ini bisa updates tiap hari ya.. terimakasih untuk yang masih setia menunggu cerita abal - abalku ini.*******Duduk bersimpuh disepertiga malam, menangisdan meratap penuh kepiluan, mencurahkan segala sesak di hatinya yang kian mencekik seolah menjerat lehernya untuk berhenti bernafas.Hima terus bermunajat, mengharap segala yang terbaik untuk kehidupannya kelak. Lelehan air mata tak bisa Ia bendung, hanya meluncur begitu saja tanpa dapat ia duga dan ia cegah.“Ya Allah berikan hamba petunjuk, keputusan apa yang harus hamba ambil, sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui segala kebimbangan dan keraguan di hati hamba.” Hima mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu melepas sajadahnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.Ditempat lain, Erlangga pun melakukan hal yang
“Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,
Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in
Masih dengan rindu yang sama, masih dengan tatapan cinta yang sama. Merengkuh detik-detik yang terasa hampa tanpa hadirnya sosok yang Ia rindu hadir memeluk jiwa yang mengersang. Mengukir waktu yang kian berdebu, tak terjamah kehangatan bercumbu. Impian yang tergantung di ujung malam, melabuh angan dan harapan di penghujung doa disepertiga malam. Erlangga duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, setelah melihat wajah Hima dari ponsel, membuat rindu yang menggunung sedikit terobati, walau ada keresahan dank e khawatiran yang mendalam akibat melihat sang pujaan merintih sakit. “Ya Allah, jagalah dia selalu, berilah dia keselamatan dimanapun dia berada, dan dekatkan hati kami jika memang kami berjodoh ya Allah, namun jauhkan lah jika memang kami tidak berjodoh.” Doa Erlangga di setiap sholatnya. “Pak Bos.” Panggil Yoga saat melihat Erlangga sedang melipat sajadahnya. “Ada apa Yoga?” Tanya Erlangga sambil menoleh pada asisten set
Hima menatap ke arah jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, dia sedang berdiri di taman sekolah yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Entah mengapa akhir-akhir ini rasa rindunya semakin besar pada sosok laki-laki bernama Erlangga, tak dapat Ia pungkiri jika Ia memang menyukai laki-laki itu, Ia memang mencintainya. Salahkah? Tidak ada yang salah dalam hal cinta, karena cinta tak memandang status sosial atau kedudukan seseorang. Cinta adalah sebuah rasa yang kuat untuk menyayangi, melindungi dan rasa ingin memiliki.Desiran angin di siang itu menyibak rasa rindu yang kian menyeruak, Hima menarik nafas panjang, kedua lengannya bertumpu pada pagar pembatas antara sekolah dan jalan raya.“Hai, Nglamun aja.” Sapa Alfa dari belakang Hima.Hima menoleh ke belakang, dilihatnya sahabatnya, Alfa. Yang juga ikut berdiri dipinggir pagar .“Kamu kenapa, Him. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun, dan lebih banyak diam.” Kata Alfa