Pricilia mengagumi sifat yang dimiliki oleh Hima, sosok gadis jawa yang sederhana tanpa banyak improvisasi dalam hidupnya. Setelah kemarin Pricilia bertemu dengan orang tua farhan, kini Ia di ajak oleh Farhan berkunjung ke rumah Hima, sesuai janjinya pada Hima Supaya Farhan mau mengenalkan sosok pricilia pada dirinya. Dan sekarang disinilah mereka diteras sederhana dengan bernuansa bunga dan tanaman hias yang merupakan hobi sebagian besar dari keluarga Hima.
"Aku sungguh tak percaya jika saat ini aku bisa bersama mas Farhan dan berada dikampung halamannya, bahkan keluarga Mas Farhan mau menerimaku apa adanya diriku, yang masih harus belajar banyak tentang agama, dan aku bertambah bahagia karena mempunyai teman baru sepertimu, Hima."
"Akupun demikian, Lia, aku senang mempunyai seorang teman baru sepertimu, member ku inspirasi untuk harus lebih dekat pada Allah, malu rasanya kau yang notabene berasal dari agama lain, justru lebih rajin belajar dan mengerjakan perintah agamaku,"
"Kita sama-sama belajar ya, him. Sama-sama mengapai ridho ilahi, sang pencipta alam dan segadat raya ini."
"iya."
"Him, sepertinya ditaman belakang ada tamu ya, kok rame sekali?" Tanya farhan.
"Iya, han. Ada teman-teman mas Aziz dulu waktu masih dipesantren,"
"Oh, pantas saja rame sekali tapi aku ga lihat ada kendaraan terparkir disini dari tadi, kirain mas Aziz di toko."
"Iya, Mas Aziz lagi jemput temennya satu lagi, tadi kayaknya mereka Cuma bawa satu mobil bareng-bareng, terus barusan mas Aziz keluar bawa mobil temennya buat jemput temennya yang lain."
"Oh gitu, oya Him, kamu bisa ikut kami besok untuk mencari baju pengantin untuk Lia, jujur saja kami belum menikah takut khilaf lagi," Kata Farhan sambil mangut-mangut.
"Ow boleh, tapi nunggu aku pulang dari sekolah gimana? Aku harus mengajar besok."
"Oke, ga apa-apa, sesempet kamu aja, kamu mau nemenin aja aku udah seneng banget, Him." Ujar Pricilia pada Hima.
Tak berapa lama sebuah mobil masuk ke dalaman rumah Hima, dan berhenti tepat di depan mereka sedang mengobrol. Pada awalnya mereka biasa saja melihat Aziz dan temannya turun dari mobil, tapi lama-lama Farhan mengernyitkan dahinya.
'Aku sepertinya kenal orang itu, Pak Erlan.' Farhan langsung mengenal sosok yang sedang mengambil barang di jok belakang mobil.
"Pak Erlan." Sapa Farhan pada Erlangga.
Erlangga terdiam sejenak untuk mengingat siapa gerangan yang mengetahui nama panggilannya di kantor orang tuanya dulu.
"Saya farhan, Pak. Mantan Manager administrasi di kantor Baratayudha." Ucap Farhan dengan penuh hormat, walau dia telah mengundurkan diri dari kantor itu, tapi Farhan tetap menghormati Erlangga sebagai mantan bosnya yang terkenal ramah pada semua karyawan pada bagian manapun.
Erlangga tersenyum, "Aku ingat sekarang, kamu Farhan Manager Administrasi yang pernah nemenin saya lembur sampe ketiduran di kantor kan?"
"Iya Pak Benar, itu saya."
"Senang bisa bertemu sama kamu lagi, Farhan."
"Saya juga senang bertemu lagi dengan bapak, tapi kenapa bapak ada disini? Apa bapak sekarang memimpin perusahaan anak cabang di Jogja?"
"Ga, kok. Saya memang tinggal disini, udah sejak lama."
"Apa semenjak posisi bapak digantikan oleh kakak Anda?"
"Ya, sejak saat itu, bagaimana kabar perusahaan?"
"Baik Pak tapi waktu saya mengundurkan diri, kalau saya sekarang tidak tahu pak, karena sudah hamper sebulan ini saya tinggal di kampong melanjutkan usaha bapak saya."
"Oh gitu, kenapa kalian bengong?" Tanya Erlangga pada Aziz, Hima dan Pricilia.
"Kamu kenal sama Farhan?"
"Iya kenal, seperti yang kamu lihat barusan, kami lumayan akrabkan?"
"Kamu atasannya Farhan? Kakak kamu seorang direktur? Kok aku ga tahu?" Tanya Aziz penasaran akut, karena selama mereka sekolah dipesantren sekalipun tidak pernah Erlangga menceritakan tentang keluarganya di Jakarta.
"Sudahlah, itu dulu, sekarang aku ga lebih dari pria kere, dan Cuma pemilik bengkel. Oya Farhan, ga usah panggil saya Pak, panggil saya Erlangga aja. Kita ga lagi di kantor lho sekarang." Ucap Erlangga pada Aziz dan Farhan.
"Iya, Pak eh… Mas Erlangga , maksud saya."
"Nah itu lebih enak didengar." Ucap Erlangga sambil menepuk pundak Farhan pelan.
"Hima, apa kabar?" Sapa Erlangga pada Hima yang dari tadi hanya diam dan menyimak pembicaraan mereka.
"Alhamdulilah baik."
"Ini?" Tunjuk Erlangga pada sosok wanita tionghoa yang berdiri diantara Hima dan Farhan.
"Oh, Perkenalkan ini Pricilia calon istri saya." Ucap Farhan .
"Oh, sudah punya calon istri, selamat kalau begitu, kapan nikahnya?"
"Inshaallah satu bulan lagi, Mas."
"Saya tunggu undangannya."
"Siap, Mas. Pasti saya undang."
"Ini jaket kamu yang waktu itu basah kena hujan, sudah saya cuci bersih." Ucap Erlangga sambil memberikan kantong berwarna merah itu pada HIma, Sontak wajah Hima memerah mendengar ucapan Erlangga, seumur-umur baru kali ini pakaiannya di cuci oleh seorang laki-laki dan bukan dari kalangan keluarganya.
Aziz yang melihat hal itu sontak menatap Hima seolah minta penjelasan bagaimana jaket kesayangan Hima yang bahkan dipinjam oleh kakaknya saja tak ia ijinkan kini bisa berpindah tangan dan itu tangan seorang pria pulak.
Hima menunduk, tak berani menatap kakaknya yang sudah menatapnya horror. Erlangga yang paham akan situasi yang kurang enak langsung memberikan penjelasan.
"Waktu itu Hima mengembalikan mantel hujan ke bengkel, tapi kebetulan bengkel tutup kemudian dia diberi tahu oleh tetangga bengkel letak rumah saya, karena tidak terlalu jauh Hima kemudian mengantarnya ke rumahku, dan disana dia bertemu dengan sahabatnya lalu hujan, dan saya paksa dia untuk menganti jaketnya dengan jaket saya. Takut dia masuk angin. Dan semenjak itu kami baru ketemu waktu itu dipantai sama kamu bro. Jangan salah paham sama adikmu," Ucap Erlangga panjang lebar, dan Aziz membuang nafas nya lega, ternyata memang tidak ada yang aneh-aneh pada adiknya dan sahabatnya itu.
"O, gitu tho, kirain. Masalahnya ini jaket seolah keramat banget, aku pinjem aja ga boleh, masak sekarang sama kamu, Ngga. Kan otomatis aku jadi curiga tho."
"Oh gitu. Beruntung sekali aku ini berarti ya." Ucap Erlangga berlanjut dengan tawa dan canda.
"Yuk masuk, teman-teman kita udah nunggu kamu dari tadi." Ucap Aziz pada Erlangga.
"Saya tinggal dulu ya, Han. Lia, mau temu kangen dulu sama teman lama." Pamit Erlangga pada Farhan dan Pricilia.
Menatap Hima dengan senyum sekilas kemudian masuk ke halaman belakang tempat dimana teman-teman mereka sudah berkumpul.
"Aku ga nyangka bisa ketemu mantan bos, dirumah kamu Him. Lebih ga nyangka lagi ternyata kamu kenal dekat sama dia."
"Ga dekat kok, biasa aja, dia kan temannya mas Aziz."
"Deket juga ga apa-apa Him, Pak Erlangga itu orangnya baik lho, tapi kok malah buka bengkel disini ga kerja dikantor papanya lagi kenapa ya, aku kira Pak Erlangga itu pindah kantor, tahunya malah keluar dari kantor."
"Berarti orang tuanya pemilik perusahaan?" Tanya Hima.
"Iya, baru tahu kamu Him?" Tanya Farhan, dan dijawab anggukan oleh Hima.
Hima menatap ponselnya yang tadi menyala karena seseorang yang terus saja menghubunginya, wajahnya ayunya berubah murung, moodnya yang ia bangunsusah payah agar bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik nyatanya runtuh karena nama yang berulang kali muncul di layar ponselnya.'Ardan' Laki-laki yang menyemai luka dihatinya, kembali dengan gombalan dan omongan palsu yang menyesakkan hatinya.Hima masih terus membiarkan laki-laki itu menghubunginya namun sengaja ia tak mau mengangkat telpon dari laki-laki tersebut. Sakit hati dan kecewa yang ia rasakan melebihi rasa cinta yang dulu ia berikan pada laki-laki itu, hingga kini walau Ardan menangis darah sekalipun tak kan pernah membuat hatinya luluh.Hingga bel pulang sekolah pulang, Hima membereskan buku acuan mengajarnya dan mengambil tas yang tersampir di belakang kursinya.Mengenakan helm lalu menstater motor matic miliknya menuju ke sebuah gerai makanan cepat saji yang tak jauh dari sekolah, Erlangga tak senga
Awan mendung menyelimuti sebagian kota Jogja di sore itu. Erlangga menaiki motornya dengan Joko berada dibelakang membonceng dengan menggunakan sarung."Ngga, jangan ngebut-ngebut, maghrib masih lama." Joko mengingatkan Erlangga untuk tidak melaju kencang di jalanan."Ya Allah, Jok. Yang ngebut tuh siapa, kamu dibawa kecepatan 60 km/jam udah rewel kayak anak perawan minta di nikahin aja, Jok." Ujar Erlangga pada Joko."Bukan gitu, Ngga. Aku belum nemu gadis cantik dan kaya untuk aku nikahin lho. Eman-eman muka gantengku ini kalau mati muda belum menikah, Ngga."Erlangga tertawa terbahak mendengar ucapan dari sahabat semprulnya itu. "Aduh Jok…Jok…kalau emang ganteng ga mungkin si Evi dulu nolak kamu mentah-mentah, dah kayak orang Jepang yang doyannya mentah-mentah.""Sembarangan kamu itu, Ngga. Bukan nya Evi yang nolak aku, tapi aku yang ga mau sama dia, buadannya itu nyeremin.""Nyeremin apanya? Badan seksi gitu kok dibilang nyeremin.""Elaah
“Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,
Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in
Ketika hidup berkisah tak menentu, merangkai kesedihan dan melukiskan kesunyian, meracik segala duka dan nestapa bagai tak bertepi di dalam sebuah tempayan. Hati yang kosong tanpa arah dan tujuan, hanya hembusan angin yang menjadi penopang lemahnya raga diantara deraan tangis yang tak berjeda. Dan baru ku sadari jika hidupku adalah hampa.Erlangga menatap gedung kantor yang tingginya hanya sepuluh lantai, tidak sebesar kantor ayahnya memang, namun ini adalah hasil kerja keras dirinya bersama Dermawan, satu-satunya sepupu yang masih dianggapnya waras ketimbang saudara yang lain.Awan juga satu-satunya saudara yang selalu mendukungnya masuk pesantren kala itu, disaat semua keluarga mencibirnya namun tidak dengan awan, dia hanya diam tapi dengan kediamannya itu dia mampu menjadi embun penyejuk untuk Erlangga.Awan dididik sangat keras oleh ayahnya untuk menjadi penerus keluarga, walau tidak selaras dengan keinginannya, namun Aw
Erlangga membuka berkas kantornya, lalu fokus mengerjakan pekerjaan yang dulu sering di handle oleh Awan. Hingga tak terasa jam menunjukkan pukul sebelas siang."Yoga, apa Awan belum juga datang?" Tanya Erlangga, yang justru heran melihat Yoga yang seperti kebingungan.Erlangga mengerutkan dahi, lalu mendekat pada Yoga yang berdiri mematung. "Ada apa sebenarnya dengan awan, aku lihat setiap aku menanyakan tentang keberadaan Awan, kamu selalu terlihat bingung untu menjawab." Kata Erlangga dengan menatap lekat Yoga.Yoga menelan salivanya kasar, haruskah Ia mengatakan pada bosnya tentang apa yang Ia ketahui mengenai saudara bosnya itu? Yoga terjerembab dalam dilemma, Ia tahu dengan benar permasalahan berat yang sedang dipikul oleh Erlangga, apa kah Ia tega menambah berat bebannya, namun jika Ia tidak mengatakannya, maka akan semakin berakibat buruk untuk Awan."Jadi?" Tanya Erlangga lagi, membuat Yoga semakin panas dingin di buatnya."Maaf
Hima duduk diatas motor besama sang ibu dalam boncenganya, seperti janjinya bahwa setelah selesai mengajar ia akan mengantarkan ibunya ke rumah salah satu sahabatnya."Rumahnya masih jauh ndak, Bu?" Tanya Hima pada sang Ibu."Ndak kok, sebentar lagi sampai, dipertigaan depan belok kiri, nanti ada rumah bercat hijau, Nah itu rumahnya." Kata Ibu."Njih, Bu."Hima lalu menancap gas motornya, lalu mengikuti arahan dari sang ibu, dan tak beberapa lama mereka sampai dirumah yang mereka tuju. Hima memarkirkan motornya di halaman rumah khas jawa dengan nuansa warna hijau yang mendominasi, disampingnya ada sebuah gazebo dan tempat parkir mobil, karena ada beberapa mobil yang terparkir disana."Orangnya kaya banget ya, Bu, mobilnya banyak banget." Tanya Hima pada ibunya."Teman ibu ini pemilik rental mobil, ya sudah tentu mobilnya banyak." Jawab sang ibu sambil melepas helm.Hima hanya mengangguk, setelah selesai mengambil barang pesanan yang akan di b
“Kak Erlangga.” Suara seorang gadis membuyarkan ia dari lamunan.Seorang gadis dengan celana belel dan kemeja flannel panjang berdiri di ambang pintu, ditangannya tergantung papper bag yang sudah bisa diterka oleh Erlangga apa isi di dalamnya.Erlangga merentangkan kedua tangannya, memaksa gadis itu untuk masuk ke dalam dekapan.“Apa kau baik-baik saja selama ini?” Tanya Erlangga pada gadis yang saat ini ada dalam pelukannya.Gadis itu mengurai pelukannya, lalu menatap kakak sepupunya dengan sendu. “Semua tak akan baik jika tak ada kakak disini, harusnya kau tahu itu.” Ucap Kaira, adik sepupu Erlangga dan juga sekaligus adik Awan.“Maafkan kakak, Kai. Kakak terlalu egois, kakak tidak memikirkan kalian yang selalu ada untuk kakak, tapi kakak seolah menutup mata dengan keadaan kalian.” Ucap Erlangga dengan raut sedih dan menyesal.“Sudahlah kak, yang jelas sekarang kakak telah
Satu minggu sudah acara pertunangan Hima dan Angger berlalu. Namun Hima masih menjaga jarak dan bahkan menghindari Angger, setiap kali Angger datang ke rumah Hima selalu berpura – pura tidur atau bahkan memang Ia sudah terlelap di dalam kamarnya.Hima masih enggan menemui Angger walau apapun alasannya, sampai mala mini Angger datang ke rumahnya dan Hima yang sedang banyak pekerjaan dan harus segera di selesaikan membuat Ia tak mungkin untuk pura – pura tidur.“Hima.” Panggil Ibu.“Ya bu.” Sahut Hima yang masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di hadapannya.“Ada Angger di depan.” Ibu duduk di tepi ranjang Hima. Manik matanya menatap lembut pada sang putri yang sedang sibuk sibuk di kursi kerjanya.“Sebentar bu, ini harus selesai besok pagi.” Sahut Hima tanpa menoleh pada sang Ibu.Ibu hanya menghela nafas panjang, Ia tahu walau tak ada pekerjaan pu
Siapakah dia yang mampu meruntuhkan rasa setiamu padaku, siapakah dia yang mampu mengalihkan duniamu untukku? Siapa kah dia yang mampu mencuri kerinduan di tiap detik sanubariku? Kata – kata itu yang kini berkecamuk di dalam pikiran Erlangga. Memikirkan gadisnya yang jauh disana dan mungkin tak aka nada lagi harapan baginya untuk mendapatkan gadisitu. “Hima, beginikah akhir dari perjuanganku untukmu? Atau sebenarnya aku belum memulai perjuangan ku? Maafkan aku Hima, pasti kau tersiksa saat ini, namun apa yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu, mengharapkan kebahagiaan untukmu.” “HIma…” Erlangga menelungkupkan kepalanya diatas pagar balkon. Kepalanya dipenuhi permasalahan yang begitu pelik mulai dari masalah perusahaan hingga masalah hatinya sendiri yang seakan ditusuk ribuan pisau mendengar jika Hima melakukan prosesi lamaran oada malam ini. DrrrrTTtttt Ponsel Erlangg
Matahari terbenam di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berganti. Burung – burung dan binatang malam mulai mengeliat siap untuk memulai petualangan mereka.Bersujud dengan khusuk meminta ampunan di setiap dosa yang kita lakukan, dan memohon segala kemudahan dari Allah, itulah yang di lakukan Hima saat ini. Mencoba merayu Tuhan dengan segenap janji dan kepasrahan untuk lebih berdekatan dengan sang khalik.“Him…” Panggil sang Ibu dari balik pintu kamarnya.“Njih Bu.”“Kamu sudah selesai sholat?”“Sudah, Bu.”“Ya sudah gantian sama Ibu ya, Ibu mau sholat dulu itu teh nya belum di seduh.”“Ya bu, sebentar Hima keluar,”“Yowes Ibu tak sholat dulu.”Hima lalu meletakkan mukena yang baru saja Ia lipat ke tempat semula. Perlahan Ia keluar dari kamar lalu menuju ke dapur tempat diman
“Him, kamu serius mau menerima lamarannya Angger?” Hima menatap kosong, jemari lentiknya hanya mengaduk minuman es jeruk yang ada di hadapannya. “Him!” Lagi, sahabatnya yang diajak bertemu di warung soto dekat sekolah tempatnya mengajar memanggil namanya, Hima terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga Ia tak mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabat dekatnya itu. “Eh! Maaf Rin.” Sahut Hima penuh penyesalan. Rindu memutar bola matanya malas, “Jadi kamu beneran mau nerima lamaran dari Angger?” Rindu mengulang pertanyaannya pada Hima. “Lalu aku harus bagai mana? Aku sudah sering menolak permintaan Ibu dan Bapak. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa lagi.” “Tapi kamu membuat dirimu kecewa Hima, mungkin juga Erlangga… bukankah kau diminta untuk menunggunya? Laki – laki yang tempo hari kamu ceritakan padaku itu, benarkan? Sebenarnya bagai mana perasaanmu sama dia?” Berondongan pertanyaan da
Maaf para pembacaku, terlalu lama Hiatus, semoga mulai hari ini bisa updates tiap hari ya.. terimakasih untuk yang masih setia menunggu cerita abal - abalku ini.*******Duduk bersimpuh disepertiga malam, menangisdan meratap penuh kepiluan, mencurahkan segala sesak di hatinya yang kian mencekik seolah menjerat lehernya untuk berhenti bernafas.Hima terus bermunajat, mengharap segala yang terbaik untuk kehidupannya kelak. Lelehan air mata tak bisa Ia bendung, hanya meluncur begitu saja tanpa dapat ia duga dan ia cegah.“Ya Allah berikan hamba petunjuk, keputusan apa yang harus hamba ambil, sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui segala kebimbangan dan keraguan di hati hamba.” Hima mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu melepas sajadahnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.Ditempat lain, Erlangga pun melakukan hal yang
“Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,
Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in
Masih dengan rindu yang sama, masih dengan tatapan cinta yang sama. Merengkuh detik-detik yang terasa hampa tanpa hadirnya sosok yang Ia rindu hadir memeluk jiwa yang mengersang. Mengukir waktu yang kian berdebu, tak terjamah kehangatan bercumbu. Impian yang tergantung di ujung malam, melabuh angan dan harapan di penghujung doa disepertiga malam. Erlangga duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, setelah melihat wajah Hima dari ponsel, membuat rindu yang menggunung sedikit terobati, walau ada keresahan dank e khawatiran yang mendalam akibat melihat sang pujaan merintih sakit. “Ya Allah, jagalah dia selalu, berilah dia keselamatan dimanapun dia berada, dan dekatkan hati kami jika memang kami berjodoh ya Allah, namun jauhkan lah jika memang kami tidak berjodoh.” Doa Erlangga di setiap sholatnya. “Pak Bos.” Panggil Yoga saat melihat Erlangga sedang melipat sajadahnya. “Ada apa Yoga?” Tanya Erlangga sambil menoleh pada asisten set
Hima menatap ke arah jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, dia sedang berdiri di taman sekolah yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Entah mengapa akhir-akhir ini rasa rindunya semakin besar pada sosok laki-laki bernama Erlangga, tak dapat Ia pungkiri jika Ia memang menyukai laki-laki itu, Ia memang mencintainya. Salahkah? Tidak ada yang salah dalam hal cinta, karena cinta tak memandang status sosial atau kedudukan seseorang. Cinta adalah sebuah rasa yang kuat untuk menyayangi, melindungi dan rasa ingin memiliki.Desiran angin di siang itu menyibak rasa rindu yang kian menyeruak, Hima menarik nafas panjang, kedua lengannya bertumpu pada pagar pembatas antara sekolah dan jalan raya.“Hai, Nglamun aja.” Sapa Alfa dari belakang Hima.Hima menoleh ke belakang, dilihatnya sahabatnya, Alfa. Yang juga ikut berdiri dipinggir pagar .“Kamu kenapa, Him. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun, dan lebih banyak diam.” Kata Alfa