Share

Pricilia

Author: Rindhu_ughi
last update Last Updated: 2021-01-14 17:32:28

Farhan memarkirkan mobilnya di parkiran stasiun tugu Yogyakarta, berdiri sebentar disamping mobil sekedar menyulut rokok yang terselip di jarinya, sekejap asap rkok mengepul dari bibir laki-laki bertubuh jangkung itu, menatap sekeliling lahan parkir yang luas lalu melangkah menuju pintu keluar stasiun untuk menunggu pujaan hatinya.

Pricilia gadis keturunan Tionghoa yang berhasil memikat hatinya, menarik segala perhatiannya, Farhan sangat merindukan wanitanya, Ya wanitanya calon ibu bagi anak-anaknya.

Tak berapa lama kereta yang membawa Pricilia dari Jakarta telah tiba, keluarlah perempuan cantik berhijab diantara rombongan para penumpang yang antri di pintu keluar.

Farhan membuang rokoknya, dia terkesiap melihat penampakan yang begitu anggun dari pujaan hatinya, apa dia salah orang? Ayolah Farhan bahkan kalian lebih dari sekedar dekat mana mungkin kau salah mengenali orang.

"Pri . . .ci. .lia?" Farhan terbata mengucapkan nama kekasihnya, antara kaget dan kagum yang dirasakan Farhan, kata-kata yang telah dirangkai untuk sang pujaan hati kala mereka bertemupun menguap sudah.

"Assalamualaikum, Mas Farhan."

Lagi-lagi Farhan hanya terbengong melihat kekasihnya ini, dan dia memanggil apa barusan? Mas? Oh… Farhan sungguh terkejut dengan segala perubahan yang terjadi pada kekasihnya ini. Baru satu bulan yang lalu mereka berpisah, apa yang terjadi dengan kekasihnya? Farhan sungguh tak mengerti, apa demi mendapatkan restu orang tuanya hingga pricilia rela mengganti gaya berpakaiannya hingga cara memanggil dirinya? Farhan harus menanyakan itu.

"Kok diem aja sih, Mas?" Tegur Pricilia.

"Maaf Lia, aku sungguh kaget dengan penampilanmu, dan kamu manggil aku apa tadi?"

"Mas."

"Sebutkan sekali lagi."

"Mas."

"Aku bahagia mendengarnya."

"Kita mau disini terus? Kamu ga ngajak aku ke rumahmu? Atau aku harus menginap di hotel?"

"Kita kerumah." Farhan dengan cepat menarik koper yang berada di tangan Pricilia. Dan hendak mengandengnya menuju parkiran. Tapi Pricilia melepaskan tangan Farhan dengan lembut.

"Bukan muhrim."

"Bahkan kamu sedang mengandung anakku, Lia."

"Iya, yang lalu biarlah berlalu, ijinkan aku berhijrah dengan segenap jiwa dan ragaku."

Farhan tercekat. Apa yang baru saja wanitanya ini katakana, berhijrah? Benarkah? Benarkah dia sudah berpindah keyakinan? Kalau tidak apa maksudnya?

"Mas ayo, kok bengong lagi sih?"

"Aku kaget dengan perubahanmu."

"Aku ceritakan sambil jalan aja ya,"

"Baiklah ayo."

Farhan dan Pricilia jalan beriringan hingga mereka sampai di samping mobil yang terparkir. Farhan memasukkan koper Pricilia dalam bagasi, dan membukakan pintu penumpang di samping sopir untuk Pricilia. Lalu dia sendiri segera masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.

Jalanan Kota Jogja di siang hari cukup padat, banyak mobil becak dan pesepeda yang berlalu lalang melintasi kota gudeg itu. Hal ini cukup memberi waktu untuk Pricilia dan Farhan saling berbagi cerita.

"Jadi, kenapa penampilanmu berubah seperti ini, apa maksud kamu?"

"Aku sudah menjadi mualaf sejak dua minggu yang lalu."

"Apa?! Mualaf? Kamu tidak salah? Lalu bagaimana dengan orang tuamu?"

"Keyakinan adalah urusanku dengan Tuhan, tidak ada kaitannya dengan orang tuaku, aku sudah dewasa dan bebas memilih apapun yang aku yakini, termasuk agamaku."

"Apa karena aku?"

"Aku tak mau menanggung penyesalan jika aku berhijrah hanya karena kamu, ini sungguh dari dalam hatiku, ini kemauanku."

"Walau kita tak bersama, apa kau tetap akan berpindah keyakinan?"

"Ya, ini sudah pilihan hidupku, sebenarnya aku telah merelakanmu, ketika aku tahu kau dijodohkan oleh orang tuamu, dan aku pun memilih jalanku, untuk berhijrah dan mengenal Allah, karena itu yang membuat aku kuat menjalani hidup bahkan ikhlas jika kamu tinggalkan."

"Bagaimana dengan orang tuamu?"

"Mereka mengusirku, dan mencoret namaku dari daftar keluarga."

"Astagfirullahaladzim, Kamu hebat sayang, disaat kau terjepit dan tak ada tempat bernaung kau memilih tempat yang tepat, yaitu Allah, Aku janji ga akan ninggalin kamu, dan mulai sekarang kamu tak kan sendiri lagi. Ada aku dan keluargaku yang akan menjadi keluargamu, tapi jangan pernah kau membenci keluargamu apa lagi orang tuamu, walau apapun yang telah mereka lakukan padamu."

"Iya mas, terimakasih ya kamu udah kembali lagi padaku."

"Hatiku bahkan tak pernah meninggalkanmu."

"Lalu bagaimana dengan gadis yang di jodohkan denganmu, Mas?"

"Dia temanku waktu masih kecil, dan keluarga kami memang sangat dekat, tapi aku sudah menjelaskan semuanya pada mereka dan orang tuaku, mereka baik-baik saja, dan mendukung keputusanku, termasuk Hima gadis yang dijodohkan denganku."

"Namanya Hima?"

"Ya, dia seorang guru Tsanawiyah setingkat SMP, dia sangat baik, dia justru yang membantuku dan mensuport aku untuk berani menolak perjodohan ini, karena memang tidak ada rasa diantara kami, aku juga sudah menceritakan tentang dirimu dan hubungan kita padanya."

"Benarkah? Aku jadi tidak enak dengannya, mungkin jika aku tak hamil kamu akan menikah dengannya."

"Tentu tidak, memang kenyataannya kami tidak bisa saling mencintai, danhatiku selalu berlari kearahmu, bahkan setiap aku sholat malam, wajahmu yang selalu terbayang, semoga kau memang kau adalah wanita yang dipilihkan Allah untukku."

"Inshaallah, Mas. Aku senang mendengarnya."

"Kita akan berhijrah bersama, memperbaiki semua kesalahan kita, dan bertobat atas dosa-dosa yang kita lakukan."

"Iya, Mas. Bimbing aku ya."

"Ingat kan aku jika aku salah bagaimanapun aku juga manusia biasa, banyak kekurangan tapi aku akan berusaha menjadi suami yang baik dan ayah yang baik untuk keluarga kecil kita kelak."

"Amiin, semoga harapan kita untuk menjadi hamba yang taat pada Allah selalu dijaga dan kita tetap istiqomah ya, Mas."

"Iya sayang."

"Aku menyayangimu, Pricilia."

"Aku juga, Mas. Hadirmu memberi aku banyak pelajaran dan yang paling membuat aku bahagia, kau mengenalkan aku pada Allah, karena perantaramu lah hidayah itu muncul, Trimakasih."

"Aku tidak berbuat apa-apa untukmu, semua kau cari sendiri selama ini, kau yang mendekatkan dirimu sendiri pada pintu hidayah, kau sendiri yang mengetuknya, maka Allah membukanya untukmu."

"Jadi selama aku pergi apa yang kamu lakukan?"

"Aku pergi bekerja seperti biasa, membantu papa di toko, kemudian disela-sela waktu luang aku datang ke kajian kampus kadang ke pengajian."

"Selama ikut kajian dan acara pengajian kampuslah aku tergerak hati untuk masuk agama Islam."

"Oh, sungguh kamu luar biasa."

"Sejujurnya aku takut kamu akan sedih waktu aku meninggalkanmu untuk pulang ke kampong halamanku, tapi ternyata kamu menggunakan waktumu untuk hal yang bermanfaat."

"Sebelum kamu kirim pesan padaku kemarin, aku pergi ke rumah orang tuaku, tapi mereka mengusirku ketika melihat aku menggunakan hijab."

"Lalu selama ini kamu tinggal dimana?"

"Sebelum aku berhijab aku masih tinggal di rumah, tapi ketika mulai berhijab aku tinggal di kontrakan mu, ibu kontrakan memberikan kuncinya padaku karena dia tahu aku pacar kamu, dan kamu sedang tidak ada di sana."

"Begitu rupanya, aku harus berterimakasih pada ibu kontrakan kalo begitu karena telah memperbolehkanmu tinggal."

"Maaf kan aku karena tidak minta ijinmu, untuk masuk ke dalam kontrakanmu."

"Tidak masalah, aku justru lega kamu tinggal disana, dari pada di tempat lain."

Satu jam berlalu begitu cepat, akhirnya setelah melewati kepadatan di jalan raya, mobil yang di kendarai Farhan masuk ke perkampungan yang asri dan sejuk, Pricilia sangat menyukai aroma desa yang begitu meneduhkan hatinya, semoga orang tua Farhan menerimanya dengan baik, itu satu harapan terbesarnya saat ini.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
semoga direstui ya...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Di ujung penantian   Cahaya Cinta

    Pricilia mengagumi sifat yang dimiliki oleh Hima, sosok gadis jawa yang sederhana tanpa banyak improvisasi dalam hidupnya. Setelah kemarin Pricilia bertemu dengan orang tua farhan, kini Ia di ajak oleh Farhan berkunjung ke rumah Hima, sesuai janjinya pada Hima Supaya Farhan mau mengenalkan sosok pricilia pada dirinya. Dan sekarang disinilah mereka diteras sederhana dengan bernuansa bunga dan tanaman hias yang merupakan hobi sebagian besar dari keluarga Hima."Aku sungguh tak percaya jika saat ini aku bisa bersama mas Farhan dan berada dikampung halamannya, bahkan keluarga Mas Farhan mau menerimaku apa adanya diriku, yang masih harus belajar banyak tentang agama, dan aku bertambah bahagia karena mempunyai teman baru sepertimu, Hima.""Akupun demikian, Lia, aku senang mempunyai seorang teman baru sepertimu, member ku inspirasi untuk harus lebih dekat pada Allah, malu rasanya kau yang notabene berasal dari agama lain, justru lebih rajin belajar dan mengerjakan perintah agam

    Last Updated : 2021-01-14
  • Di ujung penantian   Nada-nada cinta

    Hima menatap ponselnya yang tadi menyala karena seseorang yang terus saja menghubunginya, wajahnya ayunya berubah murung, moodnya yang ia bangunsusah payah agar bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik nyatanya runtuh karena nama yang berulang kali muncul di layar ponselnya.'Ardan' Laki-laki yang menyemai luka dihatinya, kembali dengan gombalan dan omongan palsu yang menyesakkan hatinya.Hima masih terus membiarkan laki-laki itu menghubunginya namun sengaja ia tak mau mengangkat telpon dari laki-laki tersebut. Sakit hati dan kecewa yang ia rasakan melebihi rasa cinta yang dulu ia berikan pada laki-laki itu, hingga kini walau Ardan menangis darah sekalipun tak kan pernah membuat hatinya luluh.Hingga bel pulang sekolah pulang, Hima membereskan buku acuan mengajarnya dan mengambil tas yang tersampir di belakang kursinya.Mengenakan helm lalu menstater motor matic miliknya menuju ke sebuah gerai makanan cepat saji yang tak jauh dari sekolah, Erlangga tak senga

    Last Updated : 2021-02-18
  • Di ujung penantian   Awal Penantian

    Awan mendung menyelimuti sebagian kota Jogja di sore itu. Erlangga menaiki motornya dengan Joko berada dibelakang membonceng dengan menggunakan sarung."Ngga, jangan ngebut-ngebut, maghrib masih lama." Joko mengingatkan Erlangga untuk tidak melaju kencang di jalanan."Ya Allah, Jok. Yang ngebut tuh siapa, kamu dibawa kecepatan 60 km/jam udah rewel kayak anak perawan minta di nikahin aja, Jok." Ujar Erlangga pada Joko."Bukan gitu, Ngga. Aku belum nemu gadis cantik dan kaya untuk aku nikahin lho. Eman-eman muka gantengku ini kalau mati muda belum menikah, Ngga."Erlangga tertawa terbahak mendengar ucapan dari sahabat semprulnya itu. "Aduh Jok…Jok…kalau emang ganteng ga mungkin si Evi dulu nolak kamu mentah-mentah, dah kayak orang Jepang yang doyannya mentah-mentah.""Sembarangan kamu itu, Ngga. Bukan nya Evi yang nolak aku, tapi aku yang ga mau sama dia, buadannya itu nyeremin.""Nyeremin apanya? Badan seksi gitu kok dibilang nyeremin.""Elaah

    Last Updated : 2021-02-22
  • Di ujung penantian   Awal Perjuangan

    “Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,

    Last Updated : 2021-03-04
  • Di ujung penantian   Perjuangan 1

    Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in

    Last Updated : 2021-04-04
  • Di ujung penantian   Hakikat

    Ketika hidup berkisah tak menentu, merangkai kesedihan dan melukiskan kesunyian, meracik segala duka dan nestapa bagai tak bertepi di dalam sebuah tempayan. Hati yang kosong tanpa arah dan tujuan, hanya hembusan angin yang menjadi penopang lemahnya raga diantara deraan tangis yang tak berjeda. Dan baru ku sadari jika hidupku adalah hampa.Erlangga menatap gedung kantor yang tingginya hanya sepuluh lantai, tidak sebesar kantor ayahnya memang, namun ini adalah hasil kerja keras dirinya bersama Dermawan, satu-satunya sepupu yang masih dianggapnya waras ketimbang saudara yang lain.Awan juga satu-satunya saudara yang selalu mendukungnya masuk pesantren kala itu, disaat semua keluarga mencibirnya namun tidak dengan awan, dia hanya diam tapi dengan kediamannya itu dia mampu menjadi embun penyejuk untuk Erlangga.Awan dididik sangat keras oleh ayahnya untuk menjadi penerus keluarga, walau tidak selaras dengan keinginannya, namun Aw

    Last Updated : 2021-04-21
  • Di ujung penantian   Maafkan Aku

    Erlangga membuka berkas kantornya, lalu fokus mengerjakan pekerjaan yang dulu sering di handle oleh Awan. Hingga tak terasa jam menunjukkan pukul sebelas siang."Yoga, apa Awan belum juga datang?" Tanya Erlangga, yang justru heran melihat Yoga yang seperti kebingungan.Erlangga mengerutkan dahi, lalu mendekat pada Yoga yang berdiri mematung. "Ada apa sebenarnya dengan awan, aku lihat setiap aku menanyakan tentang keberadaan Awan, kamu selalu terlihat bingung untu menjawab." Kata Erlangga dengan menatap lekat Yoga.Yoga menelan salivanya kasar, haruskah Ia mengatakan pada bosnya tentang apa yang Ia ketahui mengenai saudara bosnya itu? Yoga terjerembab dalam dilemma, Ia tahu dengan benar permasalahan berat yang sedang dipikul oleh Erlangga, apa kah Ia tega menambah berat bebannya, namun jika Ia tidak mengatakannya, maka akan semakin berakibat buruk untuk Awan."Jadi?" Tanya Erlangga lagi, membuat Yoga semakin panas dingin di buatnya."Maaf

    Last Updated : 2021-04-23
  • Di ujung penantian   Kegalauan

    Hima duduk diatas motor besama sang ibu dalam boncenganya, seperti janjinya bahwa setelah selesai mengajar ia akan mengantarkan ibunya ke rumah salah satu sahabatnya."Rumahnya masih jauh ndak, Bu?" Tanya Hima pada sang Ibu."Ndak kok, sebentar lagi sampai, dipertigaan depan belok kiri, nanti ada rumah bercat hijau, Nah itu rumahnya." Kata Ibu."Njih, Bu."Hima lalu menancap gas motornya, lalu mengikuti arahan dari sang ibu, dan tak beberapa lama mereka sampai dirumah yang mereka tuju. Hima memarkirkan motornya di halaman rumah khas jawa dengan nuansa warna hijau yang mendominasi, disampingnya ada sebuah gazebo dan tempat parkir mobil, karena ada beberapa mobil yang terparkir disana."Orangnya kaya banget ya, Bu, mobilnya banyak banget." Tanya Hima pada ibunya."Teman ibu ini pemilik rental mobil, ya sudah tentu mobilnya banyak." Jawab sang ibu sambil melepas helm.Hima hanya mengangguk, setelah selesai mengambil barang pesanan yang akan di b

    Last Updated : 2021-04-26

Latest chapter

  • Di ujung penantian   Antara Ikhlas dan Pasrah

    Satu minggu sudah acara pertunangan Hima dan Angger berlalu. Namun Hima masih menjaga jarak dan bahkan menghindari Angger, setiap kali Angger datang ke rumah Hima selalu berpura – pura tidur atau bahkan memang Ia sudah terlelap di dalam kamarnya.Hima masih enggan menemui Angger walau apapun alasannya, sampai mala mini Angger datang ke rumahnya dan Hima yang sedang banyak pekerjaan dan harus segera di selesaikan membuat Ia tak mungkin untuk pura – pura tidur.“Hima.” Panggil Ibu.“Ya bu.” Sahut Hima yang masih sibuk dengan laptop dan lembaran kertas di hadapannya.“Ada Angger di depan.” Ibu duduk di tepi ranjang Hima. Manik matanya menatap lembut pada sang putri yang sedang sibuk sibuk di kursi kerjanya.“Sebentar bu, ini harus selesai besok pagi.” Sahut Hima tanpa menoleh pada sang Ibu.Ibu hanya menghela nafas panjang, Ia tahu walau tak ada pekerjaan pu

  • Di ujung penantian   Penyesalan Aziz

    Siapakah dia yang mampu meruntuhkan rasa setiamu padaku, siapakah dia yang mampu mengalihkan duniamu untukku? Siapa kah dia yang mampu mencuri kerinduan di tiap detik sanubariku? Kata – kata itu yang kini berkecamuk di dalam pikiran Erlangga. Memikirkan gadisnya yang jauh disana dan mungkin tak aka nada lagi harapan baginya untuk mendapatkan gadisitu. “Hima, beginikah akhir dari perjuanganku untukmu? Atau sebenarnya aku belum memulai perjuangan ku? Maafkan aku Hima, pasti kau tersiksa saat ini, namun apa yang bisa aku lakukan selain mendoakanmu, mengharapkan kebahagiaan untukmu.” “HIma…” Erlangga menelungkupkan kepalanya diatas pagar balkon. Kepalanya dipenuhi permasalahan yang begitu pelik mulai dari masalah perusahaan hingga masalah hatinya sendiri yang seakan ditusuk ribuan pisau mendengar jika Hima melakukan prosesi lamaran oada malam ini. DrrrrTTtttt Ponsel Erlangg

  • Di ujung penantian   Kegalauan Melanda Hati

    Matahari terbenam di ufuk barat, menandakan hari yang akan segera berganti. Burung – burung dan binatang malam mulai mengeliat siap untuk memulai petualangan mereka.Bersujud dengan khusuk meminta ampunan di setiap dosa yang kita lakukan, dan memohon segala kemudahan dari Allah, itulah yang di lakukan Hima saat ini. Mencoba merayu Tuhan dengan segenap janji dan kepasrahan untuk lebih berdekatan dengan sang khalik.“Him…” Panggil sang Ibu dari balik pintu kamarnya.“Njih Bu.”“Kamu sudah selesai sholat?”“Sudah, Bu.”“Ya sudah gantian sama Ibu ya, Ibu mau sholat dulu itu teh nya belum di seduh.”“Ya bu, sebentar Hima keluar,”“Yowes Ibu tak sholat dulu.”Hima lalu meletakkan mukena yang baru saja Ia lipat ke tempat semula. Perlahan Ia keluar dari kamar lalu menuju ke dapur tempat diman

  • Di ujung penantian   Firasat hati

    “Him, kamu serius mau menerima lamarannya Angger?” Hima menatap kosong, jemari lentiknya hanya mengaduk minuman es jeruk yang ada di hadapannya. “Him!” Lagi, sahabatnya yang diajak bertemu di warung soto dekat sekolah tempatnya mengajar memanggil namanya, Hima terlalu larut dalam pikirannya sendiri hingga Ia tak mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabat dekatnya itu. “Eh! Maaf Rin.” Sahut Hima penuh penyesalan. Rindu memutar bola matanya malas, “Jadi kamu beneran mau nerima lamaran dari Angger?” Rindu mengulang pertanyaannya pada Hima. “Lalu aku harus bagai mana? Aku sudah sering menolak permintaan Ibu dan Bapak. Aku tidak bisa membuat mereka kecewa lagi.” “Tapi kamu membuat dirimu kecewa Hima, mungkin juga Erlangga… bukankah kau diminta untuk menunggunya? Laki – laki yang tempo hari kamu ceritakan padaku itu, benarkan? Sebenarnya bagai mana perasaanmu sama dia?” Berondongan pertanyaan da

  • Di ujung penantian   Keputusan Hima

    Maaf para pembacaku, terlalu lama Hiatus, semoga mulai hari ini bisa updates tiap hari ya.. terimakasih untuk yang masih setia menunggu cerita abal - abalku ini.*******Duduk bersimpuh disepertiga malam, menangisdan meratap penuh kepiluan, mencurahkan segala sesak di hatinya yang kian mencekik seolah menjerat lehernya untuk berhenti bernafas.Hima terus bermunajat, mengharap segala yang terbaik untuk kehidupannya kelak. Lelehan air mata tak bisa Ia bendung, hanya meluncur begitu saja tanpa dapat ia duga dan ia cegah.“Ya Allah berikan hamba petunjuk, keputusan apa yang harus hamba ambil, sesungguhnya hanya Engkau yang mengetahui segala kebimbangan dan keraguan di hati hamba.” Hima mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu melepas sajadahnya dan meletakkan kembali ke tempat semula.Ditempat lain, Erlangga pun melakukan hal yang

  • Di ujung penantian   Awal Perjuangan

    “Hima, Tunggulah aku.” Ucap Erlangga sebelum Ia keluar dari ruang makan rumah Hima.Kata-kata itu selalu terngiang di dalam benak Hima, entah apa maksud dari Erlangga mengucapkan kata-kata itu namun Ia yakin Erlangga tak pernah main-main dengan apa yang Ia ucapkan.Hima kembali larut dalam pekerjaannya mengoreksi hasil ujian semester anak didiknya. Ia mengacuhkan hatinya yang masih ingin terlarut dalam ucapan bak sihir yang di ucapkan oleh Erlangga.“Ya Allah jagalah hati hamba.” Doa Hima di dalam hati.Berbeda dengan Hima, Erlangga sedang berkemas menuju kota Jakarta untuk mengecek kondisi perusahaan milik orang tuanya yang sedang dalam masalah.Sungguh Erlangga tak ingin usaha yang di rintis keluarganya hancur hanya karena kesalahan kakaknya yang tamak dan sombong.“Jok, kamu bener tidak mau ikut aku ke Jakarta?”Joko mengeleng,

  • Di ujung penantian   Perjuangan 1

    Erlangga keluar dari taksi lalu masuk ke lobby utama gedung apartemen mewah di tengah kota Jakarta, tangannya merogoh saku celana lalu menghubungi awan saudara sepupunya."Assalamualaikum, Wan. Aku dibawah." Kata Erlangga tanpa menunggu jawaban salam dari sepupunya itu."Waalaikumsalam, kamu langsung naik keatas aja, sandi masih sama seperti dulu belum pernah aku ganti, aku lagi keluar sebentar.""Oke. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Erlangga bergegas memasuki lift yang kebetulan sedang terbuka, lalu berdiri diam sambil membawa koper miliknya.Tak lama kemudian Ia telah sampai di lantai tempat apartemen Awan berada. Erlangga keluar dengan segera dan langsung menuju ke ruang apartemen milik awan dipojok bangunan.Setelah memasukkan nomor sandi, pintu aoartemen mewah itu akhirnya terbuka, Erlangga langsung masuk ke dalamnya dan menuju salah satu kamar milik awan, yang sering Ia gunakan setiap kali Ia menginap di apartemen milik sepupunya in

  • Di ujung penantian   Antara aku, kamu dan dia 2

    Masih dengan rindu yang sama, masih dengan tatapan cinta yang sama. Merengkuh detik-detik yang terasa hampa tanpa hadirnya sosok yang Ia rindu hadir memeluk jiwa yang mengersang. Mengukir waktu yang kian berdebu, tak terjamah kehangatan bercumbu. Impian yang tergantung di ujung malam, melabuh angan dan harapan di penghujung doa disepertiga malam. Erlangga duduk bersimpuh di atas sajadah panjang, setelah melihat wajah Hima dari ponsel, membuat rindu yang menggunung sedikit terobati, walau ada keresahan dank e khawatiran yang mendalam akibat melihat sang pujaan merintih sakit. “Ya Allah, jagalah dia selalu, berilah dia keselamatan dimanapun dia berada, dan dekatkan hati kami jika memang kami berjodoh ya Allah, namun jauhkan lah jika memang kami tidak berjodoh.” Doa Erlangga di setiap sholatnya. “Pak Bos.” Panggil Yoga saat melihat Erlangga sedang melipat sajadahnya. “Ada apa Yoga?” Tanya Erlangga sambil menoleh pada asisten set

  • Di ujung penantian   Antara kamu dan dia 1

    Hima menatap ke arah jalanan yang ramai dengan lalu lalang kendaraan bermotor, dia sedang berdiri di taman sekolah yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Entah mengapa akhir-akhir ini rasa rindunya semakin besar pada sosok laki-laki bernama Erlangga, tak dapat Ia pungkiri jika Ia memang menyukai laki-laki itu, Ia memang mencintainya. Salahkah? Tidak ada yang salah dalam hal cinta, karena cinta tak memandang status sosial atau kedudukan seseorang. Cinta adalah sebuah rasa yang kuat untuk menyayangi, melindungi dan rasa ingin memiliki.Desiran angin di siang itu menyibak rasa rindu yang kian menyeruak, Hima menarik nafas panjang, kedua lengannya bertumpu pada pagar pembatas antara sekolah dan jalan raya.“Hai, Nglamun aja.” Sapa Alfa dari belakang Hima.Hima menoleh ke belakang, dilihatnya sahabatnya, Alfa. Yang juga ikut berdiri dipinggir pagar .“Kamu kenapa, Him. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun, dan lebih banyak diam.” Kata Alfa

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status