Aldo menatap langit yang menghitam itu, rasanya ia ingin pergi, lari guna menyelesaikan masalahnya. iPhone sudah masuk kembali ke dalam kantong, meninggalkan secercah perasaan ragu yang menyeruak luar biasa di dalam hatinya. Kenapa perasaan Aldo tidak enak? Apa yang kemudian akan terjadi?
Aldo mencoba mengusir jauh-jauh perasaan tidak enak itu dari dalam hatinya, tidak ada hal buruk yang boleh terjadi. Tidak boleh! Namun hal buruk yang seperti apa Aldo sendiri tidak tahu! Aldo merogoh saku celananya, mengeluarkan bungkus rokok dan korek yang selalu ia bawa kemana-mana. Hanya ketika di sini lah ia berani merokok, di rumah? Mana berani! Punya bapak dan kakak seorang dokter terkadang cukup merepotkan.
Aldo menyalakan dan menyesap rokok itu dalam-dalam, ia memejamkan matanya sejenak. Membiarkan nikotin dalam rokok i
Edo mengernyit ketika jarinya selesai dijahit. Memang di anestesi, hanya saja tetap terasa bukan benang itu ditarik-tarik menembus kulitnya? Ia menatap nanar jarinya yang sudah bersih dari darah itu. Pikirannya fokus ke Arra, ia khawatir pada gadisnya itu. Arra baik-baik saja bukan? Arra memang sudah mahir membawa mobil sendiri, hanya saja jujur Edo sebenarnya khawatir jika Arra harus pulang ke Solo dengan menyetir sendiri macam tadi. “Dok, sama dokter Ambar disuruh istirahat saja di sini, tidak usah balik ke dalam,” guman perawat OK tadi sambil memberesi perlangkapannya. “Baik terima kasih banyak, Sus,” Edo tersenyum, ia bergegas melepas gown-nya, lalu mencuci tangannya di wastafel. Untung jarinya sudah dilapisi plester anti air, jadi Edo tetap bisa mencuci tangannya bersih-bersih seperti ini. Ia bergegas meraih snelli-nya yang ada di dalam loker, mengambil iPhone dan terkejut luar biasa ketika mendapati ada puluhan panggilan tidak terjawab. Siapa? Kenapa sa
Redita menatap bayangan dirinya di cermin. Sekarang ia sudah siap, siap untuk diambil sumpah dokternya dan kemudian siap untuk kemudian pergi dari semua ini. Ia menghela nafas panjang, bergegas melangkah keluar dari salon yang merias wajahnya pagi ini guna menemui Adnan yang sudah menantinya di dalam mobil. Adnan tertegun menatap sosok yang masuk ke dalam mobilnya itu. Tidak salah bukan kalau kemudian ia jatuh cinta dengan sosok itu? Adnan tersenyum begitu manis, dibelainya lembut. Redita merasakan hatinya teramat pedih. Apakah Adnan tidak merasa bahwa setelah semua ini selesai maka isterinya ini akan segera pergi dari hidup Adnan? Apakah ia tidak merasa bahwa ini adalah saat-saat terakhir Redita bersama sosok itu? “Kamu cantik sekali, Sayang!” puji Adnan tulus. Redita tersenyum, ia berusaha menekan semua perasaan hancurnya yang sejak beberapa hari ini menyiksanya dengan begitu luar biasa. Kuatkah ia melewati semua ini setelah ia pergi? Apakah hidupnya akan l
“Kira-kira nanti kita ketemu di mana? Kamu ada nomornya, Sayang?” tanya Arra sambil mengunyah sandwich isi tuna yang tadi ia beli di minimarket. Mereka sudah dalam perjalanan menuju Solo, hendak menemui sosok itu guna membatalkan semua perjanjian gila yang sudah Aldo dan sosok itu sepakati. “Nah itu, aku sendiri tidak tahu harus mencari kemana, yang jelas kita sampai Solo nanti acara sumpah dokternya sudah selesai bukan?” Edo tersenyum kecut, ia sama sekali tidak tahu kemana nantinya akan mencari sosok Redita itu, ia tidak punya nomor handphone atau alamatnya. “Lha terus nanti gimana?” Arra melotot, bagaimana bisa ketemu orangnya kalau begini? Ia pikir tunangannya itu sudah tahu setelah ini harus kemana untuk menemui sosok itu, rupanya Edo malah belum tahu? “Sayang,
Edo membelokkan mobilnya masuk ke dalam halaman gedung RSUD tempat sang papa dan calon papa mertuanya dinas. Ia harus segera mungkin menemukan sosok itu, menyelesaikan masalah ini dan hidup tenang tanpa bayang-bayang rasa bersalah yang menghantui dirinya karena sudah bersikap tidak adil pada sang papa.Dengan tergesa Edo bergegas turun dari mobil begitu ia beres parkir. Begitu pula dengan Arra. Satu tempat yang langsung akan mereka tuju adalah poli penyakit dalam, ruang praktek papa Arra, karena tidak mungkin kalau mereka menuju ruang praktek papa Edo, bisa runyam. Mereka terus melangkah menuju poli penyakit dalam, menyusuri lorong rumah sakit sambil sedikit was-was kalau terlihat oleh Adnan.“Sus, Dokter Yudha masih di ruangan? Atau sedang visiting?” tanya Arra pada beberapa perawat yang ada di nurse station beg
“Benerdi sini?” Edo mengerutkan keningnya, mereka sudah berhenti di depan sebuah kost puteri yang ada di belakang perguruan tinggi negeri di kota Solo itu. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Edo sedikit ragu, pasalnya ini kost khusus puteri dan ada tulisan tamu laki-laki dilarang masuk, padahal selama ini papanya tidak pernah pulang kerumah, masa iya sih papanya tidur di sini? Sangat tidak mungkin! Namun tidak ada salahnya mencoba mencari tahu, siapa tahu mereka bisa menemukan sosok itu di sini ataupun data perihal dirinya di rumah kost khusus puteri ini.“Bener Sayang, ini tempatnya.” Arra membaca lagi pesan WhatsApp yang dikirimkan sang papa, memang ini nama rumah kost yang dihuni Redita, calon mama mertuanya.“
Arra dan Edo melangkah keluar dari gedung fakultas kedokteran universitas negeri kota Solo itu dengan langkah lunglai. Pihak kampus hanya punya alamat Redita yang di Semarang, nomor telepon yang dulu ia daftarkan bahkan sudah tidak aktif, begitu pula dengan nomor telepon rumah. Hanya alamat yang ada di Semarang yang Arra dan Edo dapatkan dari gedung fakultas dan bagian kemahasiswaan.“Coba ke Semarang? Mungkin dia langsung pulang ketika selesai di sumpah tadi,” guman Arra ketika mereka sudah kembali dari bagian kemahasiswaan guna mencari data dan alamat rumah Redita.“Boleh deh, ini hari terakhir dan kita nggak boleh sia-siakan kesempatan terakhir ini, Sayang. Tapi kamu nggak apa-apa ikut sampai Semarang? Atau mau aku antar pulang?” tawar Edo yang tahu betul pasti gadisnya ini lelah sejak tadi pagi be
“Redita? Maaf kami sudah tidak ingin lagi membahas tentang anak itu,” guman wanita paruh baya itu tegas yang sontak membuat Edo dan Arra melonjak kaget, mereka saling pandang sejenak, hinnga kemudian Arra yang memberanikan diri bersuara.Ini benar rumah keluarga Redita, bukan? Kenapa tanggapan mereka malah seperti ini?“Maaf, tapi kenapa? Hari ini kan Redita sudah sah jadi dokter, sudah diambil sumpah jabatannya, apakah dari pihak keluarga tidak tahu?” Arra benar-benar tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi?“Oh dia masih lanjut sekolah dokternya yang mahal setengah mati itu ya? Uang dari mana?” wanita paruh baya itu malah balik bertanya, membuat Edo dan Arra makin kebingungan.
Arra menyeka air matanya, nampak Edo juga melakukan hal yang sama, menyeka air mata yang menitik setelah mendengar semua cerita yang keluar dari Mbah Tumiyem itu. Arra meraih iPhone miliknya, menghentikan record yang sejak tadi hidup dan merekam semua cerita yang wanita renta itu kisahkan kepada mereka.Arra tampak mengetik sesuatu pada ponselnya, dan mengirimkan voice record itu pada seseorang yang seharusnya ikut hadir di sini bersama mereka, siapa lagi kalau bukan Aldo? Aldo harus dengar ini semua, ya ... dia harus tahu.***Aldo tengah istirahat ketika ponselnya berdering, ia merogoh ponsel di sakunya dan mendapati ada pesan masuk dari Arra. Wajah Aldo berbinar, ia berharap kabar bagus lah yang Arra sampaikan via pesan itu, karena jujur sejak tadi perasaan dan hati