Arra menyeka air matanya, nampak Edo juga melakukan hal yang sama, menyeka air mata yang menitik setelah mendengar semua cerita yang keluar dari Mbah Tumiyem itu. Arra meraih iPhone miliknya, menghentikan record yang sejak tadi hidup dan merekam semua cerita yang wanita renta itu kisahkan kepada mereka.
Arra tampak mengetik sesuatu pada ponselnya, dan mengirimkan voice record itu pada seseorang yang seharusnya ikut hadir di sini bersama mereka, siapa lagi kalau bukan Aldo? Aldo harus dengar ini semua, ya ... dia harus tahu.
***
Aldo tengah istirahat ketika ponselnya berdering, ia merogoh ponsel di sakunya dan mendapati ada pesan masuk dari Arra. Wajah Aldo berbinar, ia berharap kabar bagus lah yang Arra sampaikan via pesan itu, karena jujur sejak tadi perasaan dan hati
Sudah banyak waktu mereka terbuang dengan hanya duduk di depan ruang OK itu. Belum ada tanda-tanda bahwa operasi selesai. Pintu itu masih begitu dingin dan kaku. Membuat Edo rasanya benar-benar ingin berteriak-teriak agar sang papa keluar dari sana.Namun apa mungkin? Yang ada dia akan diamankan dan dibawa security ke pos jaga dan diberi rujukan ke pskiater. Tidak .... tidak! Berteriak-teriak agar sang papa segera keluar itu bukan solusi yang tepat.Tampak Edo begitu tegang, Arra hanya menghela nafas panjang sambil memepuk pundak tunangannya dengan lembut. Edo menoleh, di tatapnya gadis yang selama ini setia menemani suka-duka ya itu."Sabar ya, doakan saja papa segera keluar dan kita bisa segera bicara dengan papa soal apa yang terjadi." guman Arra lirih berusaha menenangkan Edo dari ketegangna yang meliputinya sejak pulang dari Semarang tadi.Edo mengangguk pelan, diremasnya dengan lembut tangan Arra. Rasanya begitu damai berada di sisi Arra, membuat Ed
"PA ... TUNGGU!"Arra dan Edo bergegas memburu Adnan yang setengah berlari menuju parkiran itu. Hati Edo benar-benar tidak tenang, ia harap Redita belum pergi, ia harap semua ini belum terlambat dan sang ayah bisa berbahagia dengan sosok yang begitu ia cintai itu.Adnan langsung masuk ke dalam Land Cruisser miliknya, begitupula Edo, ia langsung masuk ke dalam mobil guna mengejar sang ayah yang tampak sangat panik itu. Sungguh semua ini diluar prediksi mereka! Sama sekali tidak pernah mereka bayangkan semuanya akan seperti ini.Arra hanya membisu tanpa banyak bersuara, ia tahu siatuasi begitu genting dan mendebarkan. Diliriknya Edo yang tampak pucat pasi dan berkeringat dingin itu. Arra hanya menghela nafas panjang, ia harap semua baik-baik saja dan masalah ini bisa sege
Setahun kemudian ....“Nah itu dokter Redita-nya, Pak.” Guman perawat IGD itu sambil menunjuk seseorang yang ada di belakang Adnan.Adnan sontak menoleh dan mendapati benar sosok itu berdiri di sana. Tidak ada yang berubah dari sosok itu, ia masih secantik dulu, ia masih sama seperti terakhir Adnan mengecup pipi dan bibirnya ketika berpamitan hendak kerumah sakit. Ia masih Redita milik Adnan, isteri Adnan.“Do-dokter Adnan?” tampak sosok itu memucat, senyum di bibirnya yang tadi tersungging begitu manis lenyap seketika.Adnan sebenarnya hendak menangis, ia begitu terharu dan tidak percaya bahwa akhirnya setelah sekian lama mencari keberadaan sang isteri, mereka bisa dipertemukan kembali. Ia
“Pa ....” Adnan yang tengah terisak sambil memeluk Adta dan Redita itu sontak mengangkat wajahnya dan mendapati Edo, Aldo dan Arra, isteri Edo sudah berdiri di depan pintu. Adnan memang ke Ambarawa bersama mereka, dan ketika ke rumah sakit tadi, ia memang berangkat sendirian karena sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan sang isteri. Jadilah mereka menyusul kemari setelah Adnan membagikan titik lokasi melalui pesan Wh*tsApp. “Nah masuklah, yang kalian cari ada di sini,” Adnan menyusut air matanya dengan satu tangan, satu tangannya lagi masih menggendong Adta. “I-ini ...,” mata Edo berkaca-kaca ketika melihat bayi yang sedang terlelap dalam gendongan sang papa itu. Begitu pula dengan Aldo dan Arra, siapa bayi ini? Jangan bilang kalau .... “Mirip banget kamu waktu kecil, kan?” Adnan tersenyum melihat betapa Edo tertegun
Redita terkejut ketika sosok itu memeluknya dari belakang. Senyumnya mengembang ketika menyadari suami yang selama ini dia rindukan tengah memeluknya dengan erat. Ia mengentikan aktivitas mencuci botol susu Adta, mengelus tangan itu dan membalikkan badan, menatap laki-laki matang yang selama satu tahun ini begitu ia rindukan."Sekali lagi maafkan aku, Mas," desis Redita lirih ketika sadar mata Adnan kembali menitikkan air mata."Bukan sepenuhnya salahmu, Re.""Tolong jangan menangis," jemari Redita terulur menyeka bulir bening yang luruh dari mata laki-laki yang rambutnya sudah banyak memutih itu."Semua seperti mimpi, tolong jangan pernah pergi lagi dari saya ya, Re?" Adnan meraih jemari itu, mengecupnya lembut dan meremas-remas jemari lentik yang begitu ia rindukan setahun ini.Redita mengangguk, air matanya ikut menitik, ia benar-benar kejam pada sosok ini. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan laki-laki itu. Kembali kehangatan tubuh itu
Redita melenguh panjang ketika Adnan mulai menyentuhnya inci demi inci, ada sesuatu yang membakar dirinya dengan begitu luar biasa, gejolak itu benar-benar membuat Redita bertekad, malam ini ia harus mendapatkan semua pelampiasan untuk satu tahun waktu yang sudah terbuang sia-sia."Mmmpphh ...," sentuhan-sentuhan itu makin liar, dan makin membuat Redita tidak sanggup lagi menahan semuanya, ia sudah tidak tahan lagi.Adnan tersenyum, ia belum ingin memulainya, ia ingin bermain-main sejenak dengan sang isteri sebelum mereka tiba pada inti permainan. Ia lihat betul arti tatapan mata itu, tatapan mata yang begitu memohon, membuat senyum Adnan makin merekah."Ayo!" titah Redita setengah memohon."Jangan buru-buru, nikmati saja dulu," tukas Adnan yang masih ingin menjelajahi inci demi inci tubh sang isteri. Ia mulai membuka satu persatu baju sang isteri ketika kemudian ia menemukan garis bekas luka itu di perut bagian bawah sang isteri.Adnan tertegun, g
"Mas masih cuti ya?" pagi itu Redita sudah siap dengan setelan scrub warna hijau, snelli-nya sudah Adnan siapkan, sementara Adta sudah dipegang asisten Redita."Besok sudah harus masuk, hari ini masih cuti. Pengen rasanya saya bawa kamu ke Solo, Re." desis Adnan lalu memeluk sang isteri dari belakang.Redita tersenyum, ia mengelus dan menggenggam tangan Adnan yang tengah merengkuh tubuhnya itu. Rasanya ia pun ingin ikut pulang ke Solo, tapi Redita masih punya tanggung jawab di sini, bukan?"Setelah internship ku selesai, Mas sudah bisa bawa aku pulang," Redita membalikkan badannya, menatap sang suami lekat-lekat.Adnan tersenyum, ia mengangguk lalu kembali meraih sang isteri ke dalam pelukan. Masih belum hilang rindu yang ia simpan setahun ini, sama sekali belum hilang."Saya masih rindu banget sama kamu, Sayang."Redita tersenyum, ia melepaskan diri dan menatap sang suami lekat-lekat."Bisa nggak jangan seformal itu denganku, Mas? Ak
Adnan membawa mobilnya pergi dari halaman RSUD itu, ia mencari-cari minimarket untuk membeli sesuatu dan berhenti sejenak untuk sekedar menelepon seseorang. Dan tak jauh dari tempatnya berada, lokasi yang ia cari terlihat di depan mata, membuat wajah Adnan bersinar cerah dan langsung perlahan-lahan menepikan mobilnya guna menuju minimarket itu.Ia sontak membelokkan mobilnya, mematikan mesin dan langsung meraih ponsel seraya melepas seat belt. Ia menekan nomor itu, menantikan panggilannya diangkat oleh si pemilik nomor, ada banyak hal yang ingin Adnan tanyakan kepada sosok itu.Lama sekali Adnan menunggu, panggilannya tidak diangkat, membuat ia kembali menekan nomor itu guna mencoba memanggilnya sekali lagi. Dan akhirnya penggilan itu diangkat oleh si pemilik nomor."Hallo, kenapa Mas?""Maaf kalau menganggu, aku cuma mau minta saran padamu yang paham permasalahan hukum," guman Adnan lirih."Kamu tidak melakukan malpraktek, kan? Perlu pengacara? Ak
Redita hendak kembali pulang selepas jaga malam pagi itu ketika ia mendapati Land Cruisser yang ia tahu betul adalah milik sang suami sudah terparkir di halaman parkir rumah sakit. Tak beberapa lama sosok itu turun dari mobil, tersenyum begitu manis ke arahnya.Rasanya Redita ingin berlari dan menjatuhkan diri di pelukan sang suami kalau saja mereka tidak sedang berada di halaman rumah sakit saat ini. Jadi Redita sekuat tenaga menahan keinginannya untuk melakukan hal itu, ia melangkah perlahan mendekati sang suami yang tersenyum begitu lebar ke arahnya.“Hai suamiku,” sapa Redita lalu mengulurkan tangannya, bergegas mencium punggung tangan Adnan begitu uluran tangannya terbalas.“Hai juga isteriku, kamu tampak lelah. Bisa kita pulang sekarang? Aku rindu dengan jagoan kecilku.”Redita sontak mencebik, ia memanyunkan bibirnya yang sukses membuat Adnan terkekeh melihat perubahan wajahnya itu.“Jadi pulang cuma kangen sama
Beberapa hari kemudian ... “Dokter!” Redita setengah berlari mengejar langkah dokter Ricard, beliau adalah dokter bedah yang bertanggung jawab pada sang nenek pasca operasi kemarin. Dan hari ini adalah visiting terakhir, bukan? Kondisi sang nenek sudah lebih baik, dan itu artinya dia sudah boleh pulang. Untuk itu Redita ingin melihat wajahnya, mungkin untuk terakhir kalinya dia bisa melihat wajah-wajah yang dulu menorehkan luka dengan begitu dalam di relung hati Redita itu. “Ada apa, Re?” tanya dokter Richard yang tampak mengerutkan kening melihat Redita berlari-lari menghampirinya itu. “Boleh saya ikut visiting, Dok?” mohon Redita dengan nafas terenggah-enggah. “Tentu boleh, bukan kah pasien itu pertama kali datang kamu yang pegang?” tampak dokter Ricard tersenyum, ia sudah hendak kembali melangkah ketika kemudian tangan Redita mencekal tangan dokter Richard, mencegahnya melangkah lebih jauh. “Dok, tunggu sebentar!” Dokter Ric
Redita tersenyum menatap sosok itu yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Beberapa alat medis masih menempel di tubuh renta itu. Ia sudah berhasil melewati masa kritisnya, tinggal menanti dia kembali sadar dan kondisinya pulih.Redita meraih tangan berkeriput itu, meremasnya perlahan dengan hati yang teramat pedih. Bayangan masa lalu dimana sosok itu dengan tangan yang saat ini Redita genggam, sering menamparnya, menjewer telinga Redita sampai memerah, mecubit pahanya sampai memar membiru dan terkadang memukul kakinya dengan gagang sapu. Belum lagi, mulut yang sekarang terpasang ventilator itu, dulu begitu pedas tiap mengata-ngatai dirinya, mencaci-maki Redita yang bahkan dulu masih begitu kecil dan tidak paham apa-apa.Redita menghela nafas panjang, berusaha melupakan semua itu meskipun rasanya begitu sulit dan tidak semudah yang ia katakan. Redita melirik jam dinding, sudah pukul setengah enam, ia bergegas merogoh saku snelli-nya, mengambil masker medis yang
"Iya Sayang, stok ASIP Adta sudah ready banyak di kulkas, jangan khawatir ya." Redita tersenyum, malam ini ia harus jaga IGD sampai besok pukul tujuh pagi. Dan Adnan sudah ribut khawatir dengan Adta katanya."Benar? Apa perlu aku balik ke sana sekarang?"Sontak Redita tertawa, ah lebay sekali bapak tiga orang anak itu? Sebelum mereka kembali bertemu, toh Adta baik-baik saja jika dia ada jaga malam, kenapa sekarang dia jadi begitu khawatir?"Sudah, tenang saja! Jagoan kecil kita aman dan akan baik-baik saja, Sayang." guman Redita lirih, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja."Yasudah, kabari aku terus ya. Aku benar-benar khawatir dengan kalian berdua."Redita tersenyum, hatinya berbungga-bungga mendengar nada kekhawatiran itu meluncur dari bibir sang suami. Rasanya ia begitu bahagia mendengarnya. Bagaimanapun, setua apapun laki-laki yang menjadi suaminya ini, dia benar-benar sosok yang begitu peduli dan penyayang. Ah ... sung
Adnan tersenyum ketika mendapati panggilan dari nomor itu, nomor yang ia tunggu untuk memberinya kabar perihal perkembangan pendaftaran itsbat nikahnya. Semoga semuanya lancar dan tidak perlu waktu lama ia bisa mendaftarkan pernikahannya dan memperoleh apa yang sudah ia janjikan kepada sang isteri sejak dulu.“Halo, gimana Fan?” tanya Adnan yang sudah sangat tidak sabar itu.“Berkasnya sudah masuk, Dok. Sudah diurus sama isteri saya, nanti tinggal tunggu kabar persidangannya saja ya, Dok.”Wajah Adnan makin cerah, senyumnya mengembang sempurna mendengar hal itu. Redita pasti akan sangat bahagia mendengar kabar ini, bukan? Impiannya untuk bisa segera memiliki buku nikah dan menikahi Redita secara resmi akan terwujud.“Baik, saya berterima kasih sekali padamu, Fan. Sampaikan ucapan terima kasihku pada isterimu juga, ya.”Adnan menyandarkan tubuhnya di kursi, hatinya tengah berbunga-bunga. Rupanya inilah kebahagiaan
Adnan mematikan mesin mobilnya ketika ia sudah sampai di halaman rumahnya. Mobil Edo dan Arra masih ada, itu artinya dia masih di sini, belum kembali ke Jogja dan Arra belum balik ke rumah Yudha. Ya ... memang seperti itu, bukan? Selama Edo masih harus pendidikan di Jogja, Edo harus terpisah dari sang isteri karena Arra sudah dinas di salah satu rumah sakit swasta di Solo dan sebuah klinik. Jadi lah tiap Edo di Jogja Arra lebih memilih pulang ke rumah orang tuanya karena di rumah Adnan ini ia merasa kesepian.Adnan bergegas turun, melirik arlodjinya dan masuk ke dalam rumah. Sudah pukul setengah lima. Bisa lah dia mandi besar dulu lalu sholat subuh dan bersiap berangkat ke rumah sakit. Adnan bergegas naik kelantai atas, hanya dapur yang sudah tampak menyala lampunya, yang artinya dua asistennya sudah sibuk menyiapkan sarapan dan melakukan pekerjaan lain.Adnan bergegas masuk ke dalam kamar, mandi dan bersiap sholat. Ia tersenyum menatap kamarnya itu. Kelak kamar ini ak
“Aku pamit balik Solo dulu, Sayang. Jaga anak kita baik-baik ya?” Adnan mengecup kening sang isteri, kemudian beringsut mendekati Adta yang terlelap begitu nyenyak di dalam box-nya. Rasanya berat sekali Adnan hendak kembali, namun ia masih punya tanggung jawab, bukan? Terlebih sekarang ia punya tanggungan membiayai Adta, belum lagi Edo masih beberapa tahun lagi lulus PPDS-nya, ah ... itulah yang selama ini selalu membuat Adnan semangat tetap bekerja.“Mas hati-hati ya, kabari kalau sudah sampai Solo.” desis Redita lalu memeluk erat sang suami.Adnan hanya tersenyum, melepaskan Redita perlahan-lahan lalu mengecup keningnya perlahan. Hanya sekilas, karena kemudian kecupan itu turun mengecup bibir Redita penuh cinta, ya walaupun juga hanya sebentar.“Pasti, akan saya kabari selalu, Sayang!” Adnan tersenyum, kemudian meraih kunci mobil dan dompet yang tergeletak di atas lemari Adta.Redita menyodorkan jaket milik Adnan, mem
Edo bangkit dari ranjang, senyumnya merekah melihat betapa lelap Arra yang tubuhnya masih polos itu. Ia melirik jam dinding, sudah pukul satu dini hari dan papanya belum ada tanda-tanda pulang dari rumah mama tirinya itu? Padahal besok pagi dia harus dinas, bukan?Edo meraih baju-bajunya yang tadi ia lempar sembarangan ketika sudah tidak tahan lagi untuk menyentuh sang isteri. Siapa sih yang tidak tergoda dengan tubuh dengan lekuk indah dan kulit putih bersih itu? Dia laki-laki normal, jadi tentu lah ia langsung kalang-kabut begitu mendapati sang isteri sudah dengan lingerie warna merah itu.Dasar Arra, memang umurnya masih kecil, tapi ia sudah sangat matang rupanya, bahkan untuk urusan ranjang seperti ini. Ah Edo tidak salah pilih, bukan? Edo bergegas memakai kembali bajunya, meraih bungkus serta ‘benda’ bekas pakai itu dari atas nakas dari atas meja dan membuangnya ke dalam tempat sampah yang ada di kamar mandi.Ya ... meskipun dia dan Arra sudah m
“Mas, katanya besok sudah dinas?” tanya Redita ketika sore itu Adnan belum ada tanda-tanda hendak balik ke Solo, ia malah menggendong Adta dan sama sekali tidak melepaskan bayi itu barang sedetik pun.“Ah, jadi kamu hendak mengusir suamimu sendiri?” Adnan mencebik, memang kenapa kalau besok dia sudah dinas?Redita terkekeh, kenapa jadi baper macam ABG kemarin sore sih suaminya ini? Ia mendekati Adnan yang tampak begitu bahagai dengan Adta yang berada dalam gendongannya. Kenapa rasanya bahagia sekali melihat betapa manis bapak dan anak itu ketika sedang seperti ini?“Bukan begitu Sayang, besok kan pasti masuk pagi.” Redita memeluk suaminya itu dari belakang, jendela kamarnya aman kok, meskipun tirai terbuka, tidak akan ada yang melihat apa yang mereka lakukan kecuali jika sengaja ingin mengintip.“Aku balik subuh boleh kan? Masih kangen sama kamu, sama jagoan kecilku ini.”Redita hanya tersenyum dan me