Arra dan Edo melangkah keluar dari gedung fakultas kedokteran universitas negeri kota Solo itu dengan langkah lunglai. Pihak kampus hanya punya alamat Redita yang di Semarang, nomor telepon yang dulu ia daftarkan bahkan sudah tidak aktif, begitu pula dengan nomor telepon rumah. Hanya alamat yang ada di Semarang yang Arra dan Edo dapatkan dari gedung fakultas dan bagian kemahasiswaan.
“Coba ke Semarang? Mungkin dia langsung pulang ketika selesai di sumpah tadi,” guman Arra ketika mereka sudah kembali dari bagian kemahasiswaan guna mencari data dan alamat rumah Redita.
“Boleh deh, ini hari terakhir dan kita nggak boleh sia-siakan kesempatan terakhir ini, Sayang. Tapi kamu nggak apa-apa ikut sampai Semarang? Atau mau aku antar pulang?” tawar Edo yang tahu betul pasti gadisnya ini lelah sejak tadi pagi be
“Redita? Maaf kami sudah tidak ingin lagi membahas tentang anak itu,” guman wanita paruh baya itu tegas yang sontak membuat Edo dan Arra melonjak kaget, mereka saling pandang sejenak, hinnga kemudian Arra yang memberanikan diri bersuara.Ini benar rumah keluarga Redita, bukan? Kenapa tanggapan mereka malah seperti ini?“Maaf, tapi kenapa? Hari ini kan Redita sudah sah jadi dokter, sudah diambil sumpah jabatannya, apakah dari pihak keluarga tidak tahu?” Arra benar-benar tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi?“Oh dia masih lanjut sekolah dokternya yang mahal setengah mati itu ya? Uang dari mana?” wanita paruh baya itu malah balik bertanya, membuat Edo dan Arra makin kebingungan.
Arra menyeka air matanya, nampak Edo juga melakukan hal yang sama, menyeka air mata yang menitik setelah mendengar semua cerita yang keluar dari Mbah Tumiyem itu. Arra meraih iPhone miliknya, menghentikan record yang sejak tadi hidup dan merekam semua cerita yang wanita renta itu kisahkan kepada mereka.Arra tampak mengetik sesuatu pada ponselnya, dan mengirimkan voice record itu pada seseorang yang seharusnya ikut hadir di sini bersama mereka, siapa lagi kalau bukan Aldo? Aldo harus dengar ini semua, ya ... dia harus tahu.***Aldo tengah istirahat ketika ponselnya berdering, ia merogoh ponsel di sakunya dan mendapati ada pesan masuk dari Arra. Wajah Aldo berbinar, ia berharap kabar bagus lah yang Arra sampaikan via pesan itu, karena jujur sejak tadi perasaan dan hati
Sudah banyak waktu mereka terbuang dengan hanya duduk di depan ruang OK itu. Belum ada tanda-tanda bahwa operasi selesai. Pintu itu masih begitu dingin dan kaku. Membuat Edo rasanya benar-benar ingin berteriak-teriak agar sang papa keluar dari sana.Namun apa mungkin? Yang ada dia akan diamankan dan dibawa security ke pos jaga dan diberi rujukan ke pskiater. Tidak .... tidak! Berteriak-teriak agar sang papa segera keluar itu bukan solusi yang tepat.Tampak Edo begitu tegang, Arra hanya menghela nafas panjang sambil memepuk pundak tunangannya dengan lembut. Edo menoleh, di tatapnya gadis yang selama ini setia menemani suka-duka ya itu."Sabar ya, doakan saja papa segera keluar dan kita bisa segera bicara dengan papa soal apa yang terjadi." guman Arra lirih berusaha menenangkan Edo dari ketegangna yang meliputinya sejak pulang dari Semarang tadi.Edo mengangguk pelan, diremasnya dengan lembut tangan Arra. Rasanya begitu damai berada di sisi Arra, membuat Ed
"PA ... TUNGGU!"Arra dan Edo bergegas memburu Adnan yang setengah berlari menuju parkiran itu. Hati Edo benar-benar tidak tenang, ia harap Redita belum pergi, ia harap semua ini belum terlambat dan sang ayah bisa berbahagia dengan sosok yang begitu ia cintai itu.Adnan langsung masuk ke dalam Land Cruisser miliknya, begitupula Edo, ia langsung masuk ke dalam mobil guna mengejar sang ayah yang tampak sangat panik itu. Sungguh semua ini diluar prediksi mereka! Sama sekali tidak pernah mereka bayangkan semuanya akan seperti ini.Arra hanya membisu tanpa banyak bersuara, ia tahu siatuasi begitu genting dan mendebarkan. Diliriknya Edo yang tampak pucat pasi dan berkeringat dingin itu. Arra hanya menghela nafas panjang, ia harap semua baik-baik saja dan masalah ini bisa sege
Setahun kemudian ....“Nah itu dokter Redita-nya, Pak.” Guman perawat IGD itu sambil menunjuk seseorang yang ada di belakang Adnan.Adnan sontak menoleh dan mendapati benar sosok itu berdiri di sana. Tidak ada yang berubah dari sosok itu, ia masih secantik dulu, ia masih sama seperti terakhir Adnan mengecup pipi dan bibirnya ketika berpamitan hendak kerumah sakit. Ia masih Redita milik Adnan, isteri Adnan.“Do-dokter Adnan?” tampak sosok itu memucat, senyum di bibirnya yang tadi tersungging begitu manis lenyap seketika.Adnan sebenarnya hendak menangis, ia begitu terharu dan tidak percaya bahwa akhirnya setelah sekian lama mencari keberadaan sang isteri, mereka bisa dipertemukan kembali. Ia
“Pa ....” Adnan yang tengah terisak sambil memeluk Adta dan Redita itu sontak mengangkat wajahnya dan mendapati Edo, Aldo dan Arra, isteri Edo sudah berdiri di depan pintu. Adnan memang ke Ambarawa bersama mereka, dan ketika ke rumah sakit tadi, ia memang berangkat sendirian karena sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan sang isteri. Jadilah mereka menyusul kemari setelah Adnan membagikan titik lokasi melalui pesan Wh*tsApp. “Nah masuklah, yang kalian cari ada di sini,” Adnan menyusut air matanya dengan satu tangan, satu tangannya lagi masih menggendong Adta. “I-ini ...,” mata Edo berkaca-kaca ketika melihat bayi yang sedang terlelap dalam gendongan sang papa itu. Begitu pula dengan Aldo dan Arra, siapa bayi ini? Jangan bilang kalau .... “Mirip banget kamu waktu kecil, kan?” Adnan tersenyum melihat betapa Edo tertegun
Redita terkejut ketika sosok itu memeluknya dari belakang. Senyumnya mengembang ketika menyadari suami yang selama ini dia rindukan tengah memeluknya dengan erat. Ia mengentikan aktivitas mencuci botol susu Adta, mengelus tangan itu dan membalikkan badan, menatap laki-laki matang yang selama satu tahun ini begitu ia rindukan."Sekali lagi maafkan aku, Mas," desis Redita lirih ketika sadar mata Adnan kembali menitikkan air mata."Bukan sepenuhnya salahmu, Re.""Tolong jangan menangis," jemari Redita terulur menyeka bulir bening yang luruh dari mata laki-laki yang rambutnya sudah banyak memutih itu."Semua seperti mimpi, tolong jangan pernah pergi lagi dari saya ya, Re?" Adnan meraih jemari itu, mengecupnya lembut dan meremas-remas jemari lentik yang begitu ia rindukan setahun ini.Redita mengangguk, air matanya ikut menitik, ia benar-benar kejam pada sosok ini. Ia kembali menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan laki-laki itu. Kembali kehangatan tubuh itu
Redita melenguh panjang ketika Adnan mulai menyentuhnya inci demi inci, ada sesuatu yang membakar dirinya dengan begitu luar biasa, gejolak itu benar-benar membuat Redita bertekad, malam ini ia harus mendapatkan semua pelampiasan untuk satu tahun waktu yang sudah terbuang sia-sia."Mmmpphh ...," sentuhan-sentuhan itu makin liar, dan makin membuat Redita tidak sanggup lagi menahan semuanya, ia sudah tidak tahan lagi.Adnan tersenyum, ia belum ingin memulainya, ia ingin bermain-main sejenak dengan sang isteri sebelum mereka tiba pada inti permainan. Ia lihat betul arti tatapan mata itu, tatapan mata yang begitu memohon, membuat senyum Adnan makin merekah."Ayo!" titah Redita setengah memohon."Jangan buru-buru, nikmati saja dulu," tukas Adnan yang masih ingin menjelajahi inci demi inci tubh sang isteri. Ia mulai membuka satu persatu baju sang isteri ketika kemudian ia menemukan garis bekas luka itu di perut bagian bawah sang isteri.Adnan tertegun, g