“Ini bukan aku!” Dimas memegangi kepalanya yang tiba-tiba merasa pusing melihat wajahnya di pantulan cermin.
Ia memejamkan mata mencoba mengingat apa yang terjadi. Keringat sebesar jagung membasahi kening tanda otaknya sedang bekerja keras mencari memori kejadian terakhir yang ia alami. Malam itu Dimas sedang merayakan keberhasilannya memenangkan tender senilai triliunan bersama para stafnya. Terbawa suasana, Dimas minum terlalu banyak dan lupa kalau menyetir sendiri tanpa supir. Dalam keadaan setengah sadar, ia mengemudikan mobil mewahnya dengan kecepatan tinggi. Adrenalin Dimas semakin terpacu melihat jalanan sepi dan hanya diterangi oleh lampu jalan. Ditambah sedang dalam pengaruh alkohol, membuat Dimas menekan pedal gas semakin dalam.Ia tidak memperhatikan jalan sampai tidak melihat sebuah tikungan tajam ada di depan hanya berjarak beberapa puluh meter. Dimas menekan pedal kuat pedal remnya, sayang hal itu tidak bisa mengimbangi kecepatan mobil yang begitu kencang. Mobil Dimas berguling beberapa kali di jalanan beraspal. Kepala terbentur dan tubuh Dimas terpelanting ke belakang karena ia tidak memakai sabuk pengaman. Tubuh Dimas membentur kaca belakang dengan keras sampai pecah dan ia terlempar keluar. Hal terakhir yang Dimas lihat hanya cahaya putih. Ia mencoba menggapainya ingin meminta pertolongan. Aroma obat-obatan menyeruak di hidung Dimas. Matanya mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya yang membuatnya silau. Kesadarannya berangsur pulih ketika mendengar suara ketus seorang laki-laki. “Bangun! Kamu itu bisanya nyusahin saya saja!” Kening Dimas berkerut mendengar suara asing yang tidak ia kenal. Perlahan, ia membuka mata untuk melihat siapa yang berani memarahi seorang Dimas Mahardika. “Si —siapa?” tanyanya sambil memegangi kepala yang berputar. Ia melihat sekeliling mencoba mengenali tempatnya berada. “Halah! Jangan drama! Bangun! Kamu sudah boleh pulang.” Pria berambut putih yang tidak Dimas kenal itu berdiri menjauh dari ranjang dengan mata yang terus memelototinya.Ia mendengus kasar lalu kembali melanjutkan. “Kalau miskin, gak punya uang gak usah aneh-aneh. Pakai kecelakaan segala. Memangnya kamu pikir rumah sakit ini gak bayar, hah?” pekik pria itu lagi. Dimas mencoba duduk walau rasanya ia mau muntah. Keningnya kembali menyatu melihat tangan miliknya yang seperti berbeda. Kulit tangannya lebih gelap, seperti sering terbakar matahari. Ada cincin di jari tengahnya, cincin emas polos. Ia tidak punya cincin seperti ini. Semua cincin koleksinya dihiasi batu berharga. Tidak seperti cincin ini, yang mungkin harganya tidak lebih dari dua juta. “Cepat bangun! Kamu pikir saya gak ada kerjaan lain selain ngurusin menantu gak guna kayak kamu?”“Menantu? Apa bapak salah orang? Saya bukan menantu bapak,” Dimas meraba wajahnya. Ia kembali dibuat heran dengan fisiknya yang terasa berbeda. “Apa kamu bilang? Berani kamu sama saya, huh? Kamu pikir kamu itu siapa?” Lelaki asing itu berkacak pinggang. Ia semakin emosi sampai berteriak memanggil seseorang. Dimas tidak lagi memperhatikan pria itu. Ia sibuk memperhatikan tubuhnya. Merasakan sakit pada kepala dan dada juga kakinya. Tapi semua itu tidak ada apa-apa dibanding keanehan yang ia rasakan saat ini. “Urus itu suami kamu! Mulai kurang ajar! Padahal nanti ayah juga yang keluar uang buat rumah sakit dia.” Pria tua itu bicara dengan seorang wanita muda berwajah lembut. Ia menunjuk-nunjuk Dimas dengan kesal. “Tidak usah repot, Pak. Nanti saya bisa bayar sendiri.”Bambang dan Dara menoleh bersamaan melihat Dimas yang sedang mencoba untuk turun dari ranjang.“Mas, kamu mau kemana? Biar aku bantu.” Wanita berwajah lembut itu mendekati bangkar Dimas, mencoba membantunya.Dimas pasrah, membiarkan wanita asing memegang tangannya. Bertumpu agar ia bisa berdiri. Kakinya lemas seperti habis berlari jauh. Padahal jika dilihat tidak ada cedera di bagian kaki. “Mas, mau kemana?” Dengan penuh perhatian, wanita itu memegangi Dimas agar tidak jatuh. “Mas, kamu habis kecelakaan. Kepalamu terbentur keras. Kamu yakin gak apa-apa? Apa gak pusing? Perlahan Dara — wanita yang disebut sebagai istrinya melepaskan pegangannya pada Dimas. Baru saja berdiri sedetik, Dimas kembali terjatuh duduk di tepi ranjang. Kepalanya berputar membuat perutnya mual. “Kamu uruslah suami kamu ini! Ayah tunggu di luar. Jangan lupa, bilang sama dia kalau biaya berobatnya ini gak gratis! Dia harus ganti uang papa!” “Bapak jangan khawatir, saya akan mengganti uang bapak, dan juga bonus sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolongku.” Dimas menjawab, mencoba merendahkan nadanya agar terkesan sopan. Padahal, sedari tadi telinganya sudah panas karena mendengar pria itu membicarakan soal uang.Jangankan biaya pengobatan, membeli rumah sakit ini saja ia mampu. Siapa yang tidak kenal Dimas Mahardika, CEO muda paling berhasil, orang terkaya nomor satu di negeri ini? “Mas, kamu mau kemana? Aku bantu, ya?” Wanita yang tidak Dimas kenal itu kembali membantu Dimas berdiri. Menahan tubuh Dimas agar iya bisa berdiri. “Mbak siapa ya? Kenapa panggil saya mas? Apakah kita saling mengenal sebelumnya?” Dimas berjalan dengan pelan menuju ke kamar mandi, ia ingin muntah. “Mas, jangan bercanda, deh! Masa kamu gak inget sama istrimu sendiri?”Dimas berhenti melangkah, ia menoleh melihat wanita bernama Dara, menatapnya heran. Dimas memikirkan sesuatu, penasaran ia kemudian bertanya, “Istri? Memangnya nama saya siapa?”Dimas bisa menangkap wajah heran dari itu. Dara berubah khawatir dan menjawab, “Aku panggilin dokter. Ini pasti karena kepalamu terbentur.” Dimas berpegangan pada dinding begitu Dara meninggalkannya. Ia menuju kamar mandi untuk membuktikan sesuatu yang dianggapnya tidak mungkin. Ia segera membuka pintu kamar mandi, berdiri di depan wastafel sambil menatap cermin dan memperhatikan pantulan bayangannya. “Ti —tidak!” Dimas mundur beberapa langkah tidak percaya dengan apa yang ia lihat di cermin. “Ini tidak mungkin!” serunya lagi. Kepalanya menggeleng kencang menolak kenyataan. “Bagaimana mungkin ini terjadi? Aku Dimas, Dimas Mahardika? Bagaimana mungkin aku menjadi orang lain?"Si —siapa aku?”“AKSA! Cuci mobil dinas ayah sekarang!” Suara teriakan Bambang tidak membuat Dimas bergerak dari duduknya. Ia belum terbiasa dengan nama Aksa Hartawan, suami dari Dara dan menantu dari Bambang Soedrajat yang sangat membanggakan posisinya sebagai dewan rakyat. Entah bagaimana ceritanya Dimas bisa masuk ke dalam tubuh Aksa yang malam itu sama-sama mengalami kecelakaan. Hanya saja, luka Aksa tidak terlalu parah. Hanya gegar otak ringan dan memar di beberapa bagian tubuhnya. “Aksa, kamu tuli, ya?!” Suara teriakan Bambang kembali mengisi pendengaran Dimas. “Mas, kamu dipanggil ayah, tuh!” Dara, wanita yang adalah istri Aksa mengusap lembut pundak Dimas, memberi kode kepada Dimas untuk segera menemui mertuanya itu. Dimas membuang nafas panjang, dengan terpaksa ia berdiri dan menghampiri mertuanya yang sejak tadi berteriak dari halaman rumah.“Iya, Yah. Ada apa?” Aksa berdiri tidak jauh dari Bambang. Bambang menyemprot Dimas dengan air dari selang sebagai pelampiasan marahnya. “Kamu i
"Anda siapa? Gak usah mengaku-ngaku kalau Anda adalah Tuan Muda Dimas.” Alan – pria berjas formal rapi menoleh membuang wajah. Enggan berurusan dengan pria aneh yang mengaku sebagai Dimas Mahardika.Dimas lupa, bahwa saat ini, dia bukan berada di tubuhnya, melainkan tubuh Aksa si porter kargo. Ia menggigit bagian dalam bibirnya, mencari cara agar Alan percaya jika ia dalah Dimas Mahardika — bosnya! “Aku tahu kalau apa yang kukatakan memang tak masuk akal. Tapi, apakah kau akan percaya jika aku mengatakan kode kombinasi brankas di ruangan milik Dimas, atasanmu?” Ucapan Aksa membuat Alan yang tadinya tidak peduli dengannya Aksa seketika menoleh. Pria itu menatap Aksa mencoba membaca pikiran Aksa, matanya menyipit penuh selidiki menebak niat Aksa yang mengaku sebagai Dimas. “Jangan bercanda. Ini sama sekali tidak lucu!” pekik Alan. “Aku tidak bercanda, Alan. 564738, kode kombinasi brankas yang berada tepat di belakang mejaku.” ucap Dimas, mendekatkan dirinya kepada Alan, dan mencoba
“Memang kamu pikir ayah ini bank!” Bambang berkacak pinggang, melotot melihat Aksa dan Dara yang sedang duduk di sofa. Aksa alias Dimas berhasil meminta tenggat waktu untuk membayar ganti rugi paket seafood yang tidak sengaja ia hancurkan. Sialnya, ia lupa tidak meminta nomor telepon Alan. Padahal kalau ia bisa menghubungi Alan, uang 20 juta bisa dengan mudah ia dapatkan.“Yah, Dara mohon.” Wajah Dara memelas, memohon pada Bambang agar mau membantu suaminya – Aksa.Dimas yang sedang menjadi Aksa, hanya diam. Sebelumnya, ia tidak pernah memohon kepada orang. Itu sama saja merendahkan dirinya.Bambang berpikir sejenak. Mungkin ini saatnya yang tepat untuk memisahkan putrinya yang terlalu baik hati ini dari suaminya yang miskin dan tidak berguna.Bambang menoleh melihat Aksa. Muak sekali ia melihat wajah miskin menantunya. Membuat malu saja, merusak keturunan keluarga Soedrajat.“Dengan gajinya, mana mungkin dia bisa kembalikan uang ayah!” Bambang masih menolak membantu Aksa. “Akan aku
“Ta –tapi dia penjahat, Tuan!” Manajer yang melihat Alan menghentikan polisi untuk membawa Aksa segera berlari menghampiri salah satu eksportir besar itu.Maha Group adalah salah satu perusahaan kesayangan dari pelayanan pengiriman karena selalu mengekspor barang dalam jumlah besar.“Penjahat?” Sebelah alisnya terangkat heran dengan tuduhan sang manajer.“Aksa hanya menjatuhkan kotak seafood. Ia bahkan sudah bersedia mengganti rugi walau dengan dicicil. Bagaimana itu bisa disebut penjahat?” Alan berkata dengan mimik wajah dingin dan menyeramkan membuat nyali sang manajer ciut.“Biar aku yang mengganti kerugian anda. 20 juta, kan?” Alan berujar kepada pemilik seafood. Ia mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi m-bankingnya.Ia masukkan nomor rekening dan juga nominal uang yang akan dikirim. Aksa maju beberapa langkah mendekati Alan dan berbisik memberikan perintah. “Aku kirimkan 50 juta. 30 juta hadiah dari tuan Dimas Mahardika untuk anda.” Alan menunjukkan layar ponselnya memberika
“Tadi ayah bawa Dara ketemu sama Salim. Besok dia sudah mulai kerja dengan Salim.” Bambang mengatakan itu dengan santai. Ia menutup pintu mobilnya kemudian masuk meninggalkan Aksa dan Dara. Aksa menoleh, ia melihat tangannya yang ditarik oleh Dara. Ketika mendongak, Aksa mendapati wanita itu tengah menahan tangis dengan bibir dilipat ke dalam. Aksa melepaskan Dara, dengan langkah cepat menyusul Bambang masuk ke dalam rumah.“Ayah, saya tidak setuju Dara kerja sama Salim. Tolong bilang sama Salim, kalau Dara gak jadi kerja sama dia.” Aksa berkata terus terang dan tanpa basa basi seperti halnya Dimas.Dara yang menyusul suaminya segera menegur Aksa. Ia menggeleng pelan, meminta Aksa tidak perlu memperdebatkan masalah ini.“Mana bisa begitu! Kalau Dara berhenti sekarang, dia harus bayar pinalti karena melanggar kontrak.”Bambang meneruskan, “Kamu itu harusnya bersyukur. Suami sampah gak berguna kayak kamu tapi bisa punya istri yang bisa kerja.”“Menikah sama Dara derajatmu yang hanya
“Kamu bisa terus berkhayal!” Bambang membersihkan ujung bibirnya dengan serbet. “Dara, nanti siang kamu makan siang dengan Salim. Suamimu yang gak berguna ini gak akan bisa dapat uangnya!” Bambang menatap Dara dengan tajam, tidak ingin dibantah.Dara yang melihat sang ayah hanya bisa menunduk tidak berani mengatakan apapun. Tak lama Dara berdiri, menyusul Bambang meninggalkan ruang makan.Aksa ikut menyudahi sarapannya. Ia yang merasa wanita itu sedang marah segera menyusul Dara masuk ke dalam kamar.“Aku pasti bisa bayar tagihan listriknya. Jangan khawatir.” Aksa meyakinkan. Ia mengambil tas yang biasa ia bawa bekerja bersiap untuk berangkat.Dari tidak menjawab, namun Aksa bisa merasakan manik wanita itu menatapnya dalam mencoba membaca apa yang sedang ia pikirkan.Satu hembusan nafas panjang keluar dari bibir Dara. Tangannya bergerak membuka laci meja rias, mengambil buku kecil dan meletakkannya di atas meja.“Aku akan pergi sama ayah, Mas,” ujarnya pasrah. Aksa tahu, Dara ingin
“Dasar suami Gak berguna!” Bambang yang ikut turun memaki Aksa di depan orang banyak yang menonton keributan antara Aksa dan petugas SPBU.“Masa uang bensin aja minta sama istrimu? Beli bensin saja gak mampu apalagi beli skin care. Pantas saja putriku jadi lusuh setelah menikah sama kamu,”hardik pria tua itu lagi.Orang-orang yang menonton pertengkaran itu saling berbisik, membicarakan Aksa. Ada juga yang merekam dan mengunggahnya ke sosial media. Mereka melihat Aksa penuh iba, ada pula yang menggunjingkan Aksa sebagai suami yang tidak bertanggung jawab.“Sudah, biarkan saja dia!” Bambang menarik tangan Dara, mengajak putrinya kembali masuk ke dalam mobil.“Kamu mau kemana, Dek?” Aksa baru menyadari kalau penampilan Dara sangat rapi. Gaun terusan selutut berwarna krem.“Makan siang dengan Salim, Mas.” Dara yang tidak tega melihat Aksa, mengambil uang Dari dalam tasnya dan memberikan kepada Aksa.“Buat beli bensin.”Dara mengambil tangan Aksa dan meletakkan uang itu di telapak tangan
“Tuan muda.”Petugas resepsionis mendadak lemas setelah mendengar Alan memanggil Aksa — pria yang ia kira tukang servis dengan sebutan tuan muda. Alan menelpon ke resepsionis untuk memastikan jika Aksa memang berada di bawah. Ia langsung turun ketika petugas resepsionis mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. “Saya akan mengurus dia, Tuan. Tuan ingin bicara di atas atau di mobil?” tawar Alan. Petugas resepsionis yang berdiri tidak. jauh dari Aksa dan Alan hanya bisa menunduk takut, pasrah dengan nasibnya. Aksa naik ke lantai 35 bersama Alan lewat lift khusus yang hanya digunakan oleh manajer ke atas. “Aku butuh uang, Al.” ucap Aksa getir. Batu kali ini seorang Dimas Mahardika membutuhkan uang sampai seperti ini. Aksa duduk di ruang kerjanya. Merasakan nyamannya kursi kebesaran tempatnya dulu duduk. Di ruangan ini, Aksa menghabiskan hampir lebih 10 jam sehari untuk bekerja dan juga bermain wanita. Ia menatap setiap sudut, mengingat semua yang dulu dilakukan di r
“Dimas kembali?” Salim mendelik. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Sonya. “Kamu bilang, kecelakan ini akan membuat Dimas menghilang selamanya, tapi kenapa dia muncul lagi?” Salim mencecar Sonya begitu wanita itu menjawab panggilan teleponnya.Salim diam, mendengarkan suara Sonya diujung telepon. Ia mengangguk beberapa kali lalu menutup teleponnya.“Usahakan sebisa mungkin untuk meredam berita ini.” Sambil berjalan, Salim memberi perintah kepada asisten ayahnya sedang ia sendiri akan bertemu dengan Sonya dan melihat sendiri keadaan Dimas di rumah sakit.Sonya dan Salim terpaksa harus kembali masuk ke dalam lift karena hanya orang tertentu yang bisa melihat keadaan Dimas.Tentu saja itu perintah Alan. Sejak kemunculan ‘Dimas’ dalam lelang tender, ia sudah menyiapkan banyak hal yang pastinya akan menjadi kejutan.“Bagaimana menurutmu, Son? Apa Dimas benar-benar sembuh dan kembali?” Ia dan Sonya sedang berdua di dalam lift.Hening.Keduanya tidak ada yang bisa men
“Kartu debit siapa itu?” Bambang menatap curiga kartu kecil berwarna kuning keemasan yang Aksa serahkan kepada perawat pria yang membawakan tagihan Dara. “Kartu saya, Yah.” Aksa membiarkan perawat pria itu bekerja. Menggesek kartunya pada mesin kecil yang ia bawa. “Silahkan PIN-nya, Pak.” Aksa menerima mesin merchant dari perawat. Menekan beberapa angka, tak lama keluar kertas tanda pembayarannya berhasil. Mulut Bambang terbuka lebar melihat kartu Aksa benar bisa digunakan. Pun begitu dengan rekan parlemen Bambang. Mereka saling tatap heran. Baru beberapa menit yang lalu ia menghina Aksa habis-habisan. “Darimana kamu dapat uang sebanyak itu, hah?! Pinjol?” Bambang menuduh di depan sejawatnya. Aksa mendengus pelan, kesal tetapi tidak bisa marah. “Awas aja kalau sampai ada debt collector yang datang ke rumah!” Setelah memberikan ancaman, Bambang bergabung lagi dengan teman satu partainya. Samar-samar Aksa mendengar rencana Bambang yang akan maju menjadi calon gubernur. Ket
“Dok —dokter!” Wanita berpakaian serba putih itu memanggil dokter dari tempatnya berdiri. Matanya tak lepas dari uang merah yang ada di dompet Aksa.Jarak bangkar Dara tidak terlalu jauh dari meja dokter. Wanita paruh baya berkacamata itu bergegas berdiri dari duduk begitu melihat kepanikan di wajah sang perawat senior.Uang memang bisa memperlancar urusan.Saat pemakai jasa asuransi di nomor sekiankan, gepokan uang merah mempercepat pelayanan.“Apa yang terjadi?” Dokter itu menempelkan stetoskop di dada Dara sambil mendengarkan cerita Aksa. Ia kemudian menanyakan informasi dasar kepada perawat.Sama seperti perawat tadi, dokter juga memeriksa mata Dara dengan senter kecil. Hasilnya dokter itu mengirim Dara untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.“Kita akan lihat apa benturan saat jatuh berdampak pada mata ibu Dara.”Dokter itu mengisi beberapa formulir, meminta Aksa melakukan pendaftaran dan pembayaran sebelum Dara mendapatkan penanganan lebih lanjut.Hanya butuh 15 menit, kin
“Dara, bangun!” Aksa berlari kencang menaiki anak tangga berusaha menangkap Dara agar tidak menggelinding sampai dasar tangga di lantai satu. Ia berhasil menangkap Dara yang tepat di pertengahan tangga antara lantai satu dan dua. Tak sempat lagi memikirkan Salim juga Bambang yang berteriak ketika melihatnya masuk rumah, Aksa menggendong Dara yang lemas. Ia bergegas membawa Dara turun. Melompati beberapa anak tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai bawah. Aksa berhenti di depan pintu masuk. Melihat deretan mobil yang terparkir di halaman depan, ia memilih mobil milik Bambang. Menunggu taksi akan memakan waktu! “Hei, mau kamu bawa kemana putriku?” Bambang menarik tangan Aksa yang baru saja membaringkan Dara di kursi belakang. “Kamu mau menculik Dara, ya?” teriak pria tua itu lagi. Ia menarik tangan Aksa memaksa pria itu menoleh melihatnya. “Membawanya ke rumah sakit!” Aksa membalas dengan teriakan. Melampiaskan kemarahannya karena Bambang diam saja saat Dara diperlakukan b
“Seharusnya kau sudah bisa menebak!” Dewa keluar dari ruang kerja Sonya setelah menjawab Aksa. Wajah arogan dan berkharismanya tidak luntur meski bayang-bayang kejadian 30 tahun lalu kembali melintas di benaknya.Aksa masih berdiri di tempatnya walau pintu sudah kembali tertutup. Ia menatap Alan, kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Al?”Alan mengangkat pundak. “Kita berdua tahu bagaimana cara kerja tuan besar, Tuan muda. Seharusnya anda sudah bisa menebak.” Alan mengulang perkataan Dewa.Ya, Aksa bisa membayangkan apa yang papanya lakukan kepada keluarga Hartawan. Apa karena itu ibunya selama ini menghilang dan tidak pernah berusaha untuk menemuinya?Lagi-lagi Aksa dihadapkan pada pertanyaan yang hanya Dewa Mahardika yang tahu jawabannya.Alan mulai melakukan tugasnya. Ia menangkat interkom dan memanggil beberapa orang untuk melakukan investigasi internal sesuai dengan perintah tuan Dewa.Tidak butuh waktu lama, mulai dari satpam sampai perwakilan divisi terkait masuk ke ruang k
“Jelaskan padaku tentang proyek itu, Son.” Tatapan dingin Dewa seakan menembus jantung Aksa. Pria itu memang bicara kepada Sonya namun pandangan matanya mengarah pada Aksa.Tidak mendengar suara Sonya yang seharusnya menjawab pertanyaan, Dewa mengalihkan tatapannya kepada manajer marketing Maha Group.“Sonya?” Suara dingin Dewa kembali terdengar membuat si empunya nama merinding.Sonya terhenyak kaget. Ia mendongak menatap Dewa sejenak lalu memalingkan wajahnya melihat Aksa meminta bantuan.Rupanya Dewa mengerti maksud dari tatapan Sonya. Pria itu menyandarkan punggungnya lalu berkata, “Aku mau jawaban darimu, Sonya! Bukan anak ingusan itu!” Sonya kembali dibuat kaget dengan permintaan sang pemilik perusahaan. Sejak Dimas memegang kendali Maha Group, Dewa tidak pernah lagi mencampuri urusan perusahaan.Tapi kali ini, Dewa Mahardika pebisnis legenda kembali turun gunung. Terjun langsung menangani perusahaannya.“O —om, itu….”“Ini di kantor, Sonya. Bersikaplah profesional. Kau meman
“Bagaimana dengan Salim?” tanya Aksa yang baru saja memenangkan tender pertamanya untuk Maha Group.Pria itu melonggarkan dari dan membuka dua kancing kemejanya. Membiarkan dinginnya AC mobil mendinginkan tubuhnya.Bukannya menjawab, Alan malah terkekeh. Ia memutar kunci mobil sambil membayangkan apa yang Salim alami saat ini.“Rencana tuan muda memang selalu terbaik. Aku yakin saat ini Salim Dirga sedang kerepotan. Tuan mau pesan cakaran atau tamparan?” Aksa berdecak tetapi tidak menjawab pertanyaan sarkas Alan. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Tiba-tiba ia merindukan Dara.Wanita itu selalu bisa menghilangkan lelahnya seperti saat pertama kali ia bekerja sebagai porter.****“Kenapa kita berhenti disini?” Salim mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa melihat apa yang membuat mobilnya berhenti.Mobil mewah miliknya bahkan belum keluar dari pagar. Pria yang selalu berpenampilan rapi ini melirik jam tangan miliaran yang melingkat di lengannya. “Maaf, Tuan, saya tidak b
Tin! Tin tin! “Siapa, sih?! Malam-malam gini masih berisik aja!” Agnes mundur satu langkah. Ia mematikan lampu dan menutup ruang kerja suaminya. Sambil menggerutu, keluar dan berteriak kepada satpam dari pintu depan. Kesempatan ini digunakan Aksa untuk keluar dari ruang kerja. Sama seperti saat masuk tadi, Aksa juga keluar lewat jendela. Berlari di bawah bayangan dinding dan keluar melalui pintu samping. Aksa menunggu beberapa saat di bawah pohon. Tak lama ia melihat dua cahaya bulat dari lampu depan mobil perlahan mendekat. “Tuan muda, ayo!” Alan membukakan pintu dan Aksa segera masuk. Untung saja tadi ia sempat menghubungi Alan. Asistennya itu melakukan pengalihan perhatian dengan sangat baik. Aksa melepas penutup wajahnya. Menurunkan resleting jaket hitam yang ia kenakan lalu menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat setelah mengetahui kenyataan. Satu hembusan nafas kasar keluar dari bibir Aksa. Ia mengusap wajahnya lalu ber-hah seperti sedang membuang bebannya.
“Rasanya nama ini tidak asing,” gumam Aksa saat melihat nama di batu nisan putih milik ibu Aksa.Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal mencoba mengingat nama Dona Arum. Ia sangat yakin pernah mendengar nama itu.“Papa ngapain ke sini, ya?” Aksa kembali bermonolog.Bunga lili segar tersandar di batu nisan ibu Aksa. Bunga lili yang dibawa oleh Dewa Mahardika.Makan Dona sudah bersih. Bunga tabur menutupi tanah yang basah setelah disiram oleh air oleh Dewa.Aksa semakin penasaran apa hubunganpapanya dengan ibu Aksa.Ia jongkok disisi tanah makam. Mengusap batu nisan putih sambil terus berusaha mengingat nama itu.Aksa menaburkan bunga yang ia bawa. Memanjatkan doa sebisanya karena ia bukan pria yang religius.Merasa cukup berada di sana, Aksa memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia menghampiri rumah kecil yang letaknya tidak jauh dari makam. “Mas ini lucu, makam ibunya sendiri kok lupa!” serunya ketika Aksa kembali. “Ketemu, kan makamnya?” tanyanya lagi. Ia mempersilahkan Aksa duduk d