“Memang kamu pikir ayah ini bank!” Bambang berkacak pinggang, melotot melihat Aksa dan Dara yang sedang duduk di sofa.
Aksa alias Dimas berhasil meminta tenggat waktu untuk membayar ganti rugi paket seafood yang tidak sengaja ia hancurkan.Sialnya, ia lupa tidak meminta nomor telepon Alan. Padahal kalau ia bisa menghubungi Alan, uang 20 juta bisa dengan mudah ia dapatkan.“Yah, Dara mohon.” Wajah Dara memelas, memohon pada Bambang agar mau membantu suaminya – Aksa.Dimas yang sedang menjadi Aksa, hanya diam. Sebelumnya, ia tidak pernah memohon kepada orang. Itu sama saja merendahkan dirinya.Bambang berpikir sejenak. Mungkin ini saatnya yang tepat untuk memisahkan putrinya yang terlalu baik hati ini dari suaminya yang miskin dan tidak berguna.Bambang menoleh melihat Aksa. Muak sekali ia melihat wajah miskin menantunya. Membuat malu saja, merusak keturunan keluarga Soedrajat.“Dengan gajinya, mana mungkin dia bisa kembalikan uang ayah!” Bambang masih menolak membantu Aksa.“Akan aku kembalikan besok sore.” Aksa menjawab dengan yakin. Ia membalas tatapan Bambang agar mertuanya itu percaya dengannya.“Pakai apa? Daun mangga? Ayah tahu berapa gajimu, jadi gak usah kasih ayah janji surga.” Cih! Bambang meludah ke lantai, jijik dengan Aksa.Aksa menggenggam tangannya dengan kuat, menahan emosinya yang sudah bergejolak dan siap meledak.Ia menoleh saat melihat tangan Dara berada di atas tangannya. Wanita itu tersenyum lembut. Melihat senyum itu, amarah Dimas tiba-tiba reda.Bambang pura-pura berpikir. Ia duduk di sofa yang berhadapan dengan Dara. “Jadi stafsus-nya Salim. Nanti kamu bisa ganti uang ayah pake gajimu.”Aksa mengerutkan kening melihat wajah terkejut Dara. Wanita itu kemudian menoleh melihat Aksa menunggu sesuatu.“Kalau mas Aksa ijinin Dara kerja, Dara gak masalah walau harus jadi stafsus-nya Salim,” ucap Dara lesu.Tunggu!Apa yang Bambang maksud adalah Salim Dirga?Gigi Aksa bergemeretak, ia kembali kesal.Siapa yang tidak kenal Salim Dirga? Pebisnis yang masuk politik. Pria itu terkenal sebagai casanova, suka berganti teman wanita.Wanita manapun yang dekat dengannya pasti sudah pernah ‘dipakai’.“Saya tidak setuju, Pak. Saya tidak bersedia jika istri saya harus dikorbankan karena saya.” Aksa menyela dan langsung menolak ide Bambang. Dara memang bukan istrinya tetapi ia tidak mau mengorbankan wanita itu hanya demi 20 juta.“Ya sudah, selamat menikmati tidur di penjara.” Bambang pergi begitu saja padahal Dara belum selesai bicara.Aksa tidak tega melihat tatapan melas Dara, ia kemudian berdiri dan mengatakan akan mencari jalan lain.Ia bangkit dari duduk dan masuk ke dalam kamar. Otak Dimas berputar mencari jalan lain untuk mendapatkan uang 20 juta.“‘Gimana, Mas?” Dara masuk dan duduk di sebelah Aksa.Ia hanya bisa menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Dara barusan. Wanita itu kembali menggenggam tangan Aksa, memberi semangat kepadanya.“Sudah kita terima saran ayah. Aku gak mau mas masuk penjara.” Suara lembut Dara mengisi pendengaran Dimas.“Aku gak apa-apa, kok Mas.” sambung Dara dengan senyum tulus yang mengembang di bibir.“Mas pikirkan dulu.” Dimas menjawab sebisanya. Ia berbaring dan membiarkan otaknya terus bekerja mencari jalan sambil memejamkan mata.Sampai waktunya berangkat, Dimas belum juga mendapatkan uang. Ia kesal kepada dirinya sendiri. Sulit sekali menjadi orang miskin, mencari uang 20 juta saja sampai membuatnya tidak bisa tidur.“Mana uangnya?” Manajer operasional langsung memanggil Aksa ke ruang kerja begitu pria itu tiba di terminal barang.Di ruangan itu bukan hanya ada sang manajer tetapi juga kapten tim dan pemilik barang yang terlihat kesal.“Kau tahu, gak? Saya rugi puluhan juta karena kehilangan barang bagus seperti kemarin.” Ia melotot kepada Aksa.“Maaf, Tuan.” Aksa hanya bisa menunduk. Ia tidak menatap mata pria itu bukan karena ia takut hanya saja tidak ingin masalahnya semakin besar kalau pria itu salah sangka.“A – apa bisa saya mengembalikannya dengan cara mencicil?” tanya Aksa. Itu satu-satunya cara yang terpikir olehnya. Semoga saja pria itu setuju dengan idenya.“Cicil? Enak saja! ? Kamu pikir uangku banyak? Itu semua modal, tahu! Kalau kamu cicil, aku gak bisa putar uangnya.” Tangan pria itu di pinggang. Dadanya naik turun saking kesalnya dengan Aksa.“Makanya kalau miskin itu kerja yang benar!” Orang itu kembali berteriak. Wajahnya semakin tegas setelah Aksa meminta melunasi ganti rugi dengan mencicil.“Sudah, kita panjangin aja ini. Lanjut di polisi aja. Nama saya juga jadi jelek gara-gara barang yang datang jadi kurang.”Manajer mengangguk. Ia mengangkat telepon, menghubungi polsek terdekat untuk memproses Aksa.Tidak sampai 30 menit beberapa polisi tiba di kantor. Mereka mengambil keterangan beberapa orang termasuk pemilik barang.“Ayo ikut ke kantor!” Polisi memegang tangan Aksa dan memasang borgol.Aksa mendelik, ini pertama kali dalam hidupnya diborgol dan ditangkap seperti ini.“Lepaskan saya!” Aksa menarik tangannya enggan dipegang oleh para polisi itu.Namun, tenaga Aksa kalah kuat. Dua orang polisi memegangi Aksa, membawanya pergi dengan paksa ke luar kantor.Aksa meronta, kakinya berusaha menendang para polisi tetapi gagal. Ia juga mencoba untuk melepaskan tangannya yang ditarik paksa. Tetapi hanya beberapa detik Aksa kembali tertangkap.“Jangan melawan atau hukumanmu semakin berat!” ujar salah satu polisi.“Saya bukan penjahat, dan bukan pencuri.” Aksa berusaha untuk tetap tenang.“Diam! Orang miskin gak usah banyak ngomong! Sebaiknya siapkan uang yang banyak supaya hukuman diringankan.” Seorang polisi berteriak kepadanya.Aksa diseret, dipaksa berjalan mengikuti petugas itu masuk ke mobil patroli mereka.“Berikan saya waktu, saya bisa ganti rugi uangnya.” Aksa kembali berontak.PLAK!Seorang polisi menampar Aksa untuk menenangkan pria itu,“Masuk!” Ia bahkan mendorong dan menendang Aksa agar masuk ke mobil.Aksa hanya bisa menahan sakit juga menahan kakinya agar tidak masuk ke dalam mobil. Ia tahu begitu ia masuk, ia akan sulit keluar dan menghubungi Alan.Polisi yang lain menekan kepala Aksa, sedang polisi yang lain mendorong tubuh Aksa dari belakang. Ia sudah tidak bisa lagi menghindar.“Tunggu! Jangan bawa dia!”“Ta –tapi dia penjahat, Tuan!” Manajer yang melihat Alan menghentikan polisi untuk membawa Aksa segera berlari menghampiri salah satu eksportir besar itu.Maha Group adalah salah satu perusahaan kesayangan dari pelayanan pengiriman karena selalu mengekspor barang dalam jumlah besar.“Penjahat?” Sebelah alisnya terangkat heran dengan tuduhan sang manajer.“Aksa hanya menjatuhkan kotak seafood. Ia bahkan sudah bersedia mengganti rugi walau dengan dicicil. Bagaimana itu bisa disebut penjahat?” Alan berkata dengan mimik wajah dingin dan menyeramkan membuat nyali sang manajer ciut.“Biar aku yang mengganti kerugian anda. 20 juta, kan?” Alan berujar kepada pemilik seafood. Ia mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi m-bankingnya.Ia masukkan nomor rekening dan juga nominal uang yang akan dikirim. Aksa maju beberapa langkah mendekati Alan dan berbisik memberikan perintah. “Aku kirimkan 50 juta. 30 juta hadiah dari tuan Dimas Mahardika untuk anda.” Alan menunjukkan layar ponselnya memberika
“Tadi ayah bawa Dara ketemu sama Salim. Besok dia sudah mulai kerja dengan Salim.” Bambang mengatakan itu dengan santai. Ia menutup pintu mobilnya kemudian masuk meninggalkan Aksa dan Dara. Aksa menoleh, ia melihat tangannya yang ditarik oleh Dara. Ketika mendongak, Aksa mendapati wanita itu tengah menahan tangis dengan bibir dilipat ke dalam. Aksa melepaskan Dara, dengan langkah cepat menyusul Bambang masuk ke dalam rumah.“Ayah, saya tidak setuju Dara kerja sama Salim. Tolong bilang sama Salim, kalau Dara gak jadi kerja sama dia.” Aksa berkata terus terang dan tanpa basa basi seperti halnya Dimas.Dara yang menyusul suaminya segera menegur Aksa. Ia menggeleng pelan, meminta Aksa tidak perlu memperdebatkan masalah ini.“Mana bisa begitu! Kalau Dara berhenti sekarang, dia harus bayar pinalti karena melanggar kontrak.”Bambang meneruskan, “Kamu itu harusnya bersyukur. Suami sampah gak berguna kayak kamu tapi bisa punya istri yang bisa kerja.”“Menikah sama Dara derajatmu yang hanya
“Kamu bisa terus berkhayal!” Bambang membersihkan ujung bibirnya dengan serbet. “Dara, nanti siang kamu makan siang dengan Salim. Suamimu yang gak berguna ini gak akan bisa dapat uangnya!” Bambang menatap Dara dengan tajam, tidak ingin dibantah.Dara yang melihat sang ayah hanya bisa menunduk tidak berani mengatakan apapun. Tak lama Dara berdiri, menyusul Bambang meninggalkan ruang makan.Aksa ikut menyudahi sarapannya. Ia yang merasa wanita itu sedang marah segera menyusul Dara masuk ke dalam kamar.“Aku pasti bisa bayar tagihan listriknya. Jangan khawatir.” Aksa meyakinkan. Ia mengambil tas yang biasa ia bawa bekerja bersiap untuk berangkat.Dari tidak menjawab, namun Aksa bisa merasakan manik wanita itu menatapnya dalam mencoba membaca apa yang sedang ia pikirkan.Satu hembusan nafas panjang keluar dari bibir Dara. Tangannya bergerak membuka laci meja rias, mengambil buku kecil dan meletakkannya di atas meja.“Aku akan pergi sama ayah, Mas,” ujarnya pasrah. Aksa tahu, Dara ingin
“Dasar suami Gak berguna!” Bambang yang ikut turun memaki Aksa di depan orang banyak yang menonton keributan antara Aksa dan petugas SPBU.“Masa uang bensin aja minta sama istrimu? Beli bensin saja gak mampu apalagi beli skin care. Pantas saja putriku jadi lusuh setelah menikah sama kamu,”hardik pria tua itu lagi.Orang-orang yang menonton pertengkaran itu saling berbisik, membicarakan Aksa. Ada juga yang merekam dan mengunggahnya ke sosial media. Mereka melihat Aksa penuh iba, ada pula yang menggunjingkan Aksa sebagai suami yang tidak bertanggung jawab.“Sudah, biarkan saja dia!” Bambang menarik tangan Dara, mengajak putrinya kembali masuk ke dalam mobil.“Kamu mau kemana, Dek?” Aksa baru menyadari kalau penampilan Dara sangat rapi. Gaun terusan selutut berwarna krem.“Makan siang dengan Salim, Mas.” Dara yang tidak tega melihat Aksa, mengambil uang Dari dalam tasnya dan memberikan kepada Aksa.“Buat beli bensin.”Dara mengambil tangan Aksa dan meletakkan uang itu di telapak tangan
“Tuan muda.”Petugas resepsionis mendadak lemas setelah mendengar Alan memanggil Aksa — pria yang ia kira tukang servis dengan sebutan tuan muda. Alan menelpon ke resepsionis untuk memastikan jika Aksa memang berada di bawah. Ia langsung turun ketika petugas resepsionis mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. “Saya akan mengurus dia, Tuan. Tuan ingin bicara di atas atau di mobil?” tawar Alan. Petugas resepsionis yang berdiri tidak. jauh dari Aksa dan Alan hanya bisa menunduk takut, pasrah dengan nasibnya. Aksa naik ke lantai 35 bersama Alan lewat lift khusus yang hanya digunakan oleh manajer ke atas. “Aku butuh uang, Al.” ucap Aksa getir. Batu kali ini seorang Dimas Mahardika membutuhkan uang sampai seperti ini. Aksa duduk di ruang kerjanya. Merasakan nyamannya kursi kebesaran tempatnya dulu duduk. Di ruangan ini, Aksa menghabiskan hampir lebih 10 jam sehari untuk bekerja dan juga bermain wanita. Ia menatap setiap sudut, mengingat semua yang dulu dilakukan di r
“Payah! Suami macam apa kamu itu! Tugas suami itu menafkahi istri. Masa bayar listrik aja gak sanggup!” Tangan Aksa mengepal kuat mendengar hinaan Bambang. Otaknya masih berpikir keras, ia ingin sekali menjawab ejekkan Bambang. TING! ~ Tuan, saya sudah kirimkan 100 juta ke rekening Aksa. ~ Aksa membaca pesan dari Alan. Tidak menunda, mengecek rekening Aksa melalui ponselnya. Ia masuk dengan mudah. Entah bagaimana, ia seperti tahu sandi m-banking Aksa. Tak sampai satu menit, Aksa berhasil melakukan pembayaran listrik lewat aplikasi perbankan. “Nih! Sudah saya bayar, Yah.” Aksa menunjukkan layar ponselnya. Membiarkan Bambang membaca sendiri bukti pembayaran. “Mas, mas dapat uang dari mana?” Dara ikut melihat layar ponsel Aksa. Ia tidak bisa menutupi keterkejutannya melihat transaksi sebesar 15 juta untuk pembayaran listrik. “Yang pasti bukan uang pinjaman. Sudah, besok kembalikan barang-barang ini. Kalau Salim gak mau terima, biar mas bayar semuanya.” Aksa berdiri dari duduknya.
“Lepaskan aku!” Aksa berteriak, meronta ketika satpam showroom menyeretnya keluar atas permintaan Salim.“Bawa gembel ini jauh-jauh!” Manajer showroom langsung menuruti permintaan pelanggan VIP mereka. Ia memerintah satpam mengusir Aksa. Aksa didorong dengan tongkat satpam, kadang terkena pukulan di kakinya. Satpam itu mengangkat tongkat seperti sedang mengusir seekor anjing. Salim memegang tangan Dara, melarang wanita itu menolong Aksa. Ia sudah mendapatkan kebebasan dari Bambang untuk bersama dengan Dara. Bagi Salim dan Bambang status Dara yang sudah bersuami hanya di atas kertas. Dengan terpaksa Aksa kembali melanjutkan perjalan ke Maha Group. Kali ini, Aksa tidak kesulitan untuk menemui Alan. Ia bahkan memiliki kartu pass lift khusus pemberian Alan. Ia mampir ke meja resepsionis untuk menandatangani buku tamu dan mengambil kartu pengenal. Ia sedang mengalungkan tanda pengenal, berdiri di depan lift saat beberapa orang karyawan wanita keluar dari lift yang lain. “Pak Dimas
“Saya OB baru,” Aksa segera menjawab, memotong ucapan Alan. “Maaf, Pak Alan. Lain kali saya tidak akan membuat kesalahan. Saya permisi dulu.” Aksa keluar dari ruang rapat, meninggalkan Aksa yang terheran-heran melihat Aksa. Dulu, tatanan rambutnya diejek orang saja bisa membuat Dimas murka. Tetapi kali ini, Dimas yang sedang berada dalam tubuh Aksa bisa pergi begitu saja tanpa merasa tersinggung sama sekali. Aksa menyelinap ke ruang kerja Alan begitu keluar dari ruang rapat. Ia duduk di meja kerja Alan, menyalakan laptop dan mencari tahu bisnis yang hendak ditawarkan oleh kedua orang tadi. Ia baru berhenti membaca berkas di laptop Alan setelah sang asisten datang. “Tuan, maaf atas kesalahpahaman tadi. Tapi, kalau aku boleh tahu kenapa tahu biarkan mereka berpikir kalau tuan itu OB?” Alan mengambil tempat di sebelah Aksa. Tempat biasa ia selalu berdiri saat menemani bosnya itu. Aksa menggerakan tangan tanda ia tidak mempermasalahkan kejadian di ruang rapat.Ia menutup laptop lalu
“Dimas kembali?” Salim mendelik. Ia merogoh saku celana, mengambil ponsel lalu menghubungi Sonya. “Kamu bilang, kecelakan ini akan membuat Dimas menghilang selamanya, tapi kenapa dia muncul lagi?” Salim mencecar Sonya begitu wanita itu menjawab panggilan teleponnya.Salim diam, mendengarkan suara Sonya diujung telepon. Ia mengangguk beberapa kali lalu menutup teleponnya.“Usahakan sebisa mungkin untuk meredam berita ini.” Sambil berjalan, Salim memberi perintah kepada asisten ayahnya sedang ia sendiri akan bertemu dengan Sonya dan melihat sendiri keadaan Dimas di rumah sakit.Sonya dan Salim terpaksa harus kembali masuk ke dalam lift karena hanya orang tertentu yang bisa melihat keadaan Dimas.Tentu saja itu perintah Alan. Sejak kemunculan ‘Dimas’ dalam lelang tender, ia sudah menyiapkan banyak hal yang pastinya akan menjadi kejutan.“Bagaimana menurutmu, Son? Apa Dimas benar-benar sembuh dan kembali?” Ia dan Sonya sedang berdua di dalam lift.Hening.Keduanya tidak ada yang bisa men
“Kartu debit siapa itu?” Bambang menatap curiga kartu kecil berwarna kuning keemasan yang Aksa serahkan kepada perawat pria yang membawakan tagihan Dara. “Kartu saya, Yah.” Aksa membiarkan perawat pria itu bekerja. Menggesek kartunya pada mesin kecil yang ia bawa. “Silahkan PIN-nya, Pak.” Aksa menerima mesin merchant dari perawat. Menekan beberapa angka, tak lama keluar kertas tanda pembayarannya berhasil. Mulut Bambang terbuka lebar melihat kartu Aksa benar bisa digunakan. Pun begitu dengan rekan parlemen Bambang. Mereka saling tatap heran. Baru beberapa menit yang lalu ia menghina Aksa habis-habisan. “Darimana kamu dapat uang sebanyak itu, hah?! Pinjol?” Bambang menuduh di depan sejawatnya. Aksa mendengus pelan, kesal tetapi tidak bisa marah. “Awas aja kalau sampai ada debt collector yang datang ke rumah!” Setelah memberikan ancaman, Bambang bergabung lagi dengan teman satu partainya. Samar-samar Aksa mendengar rencana Bambang yang akan maju menjadi calon gubernur. Ket
“Dok —dokter!” Wanita berpakaian serba putih itu memanggil dokter dari tempatnya berdiri. Matanya tak lepas dari uang merah yang ada di dompet Aksa.Jarak bangkar Dara tidak terlalu jauh dari meja dokter. Wanita paruh baya berkacamata itu bergegas berdiri dari duduk begitu melihat kepanikan di wajah sang perawat senior.Uang memang bisa memperlancar urusan.Saat pemakai jasa asuransi di nomor sekiankan, gepokan uang merah mempercepat pelayanan.“Apa yang terjadi?” Dokter itu menempelkan stetoskop di dada Dara sambil mendengarkan cerita Aksa. Ia kemudian menanyakan informasi dasar kepada perawat.Sama seperti perawat tadi, dokter juga memeriksa mata Dara dengan senter kecil. Hasilnya dokter itu mengirim Dara untuk melakukan beberapa pemeriksaan lanjutan.“Kita akan lihat apa benturan saat jatuh berdampak pada mata ibu Dara.”Dokter itu mengisi beberapa formulir, meminta Aksa melakukan pendaftaran dan pembayaran sebelum Dara mendapatkan penanganan lebih lanjut.Hanya butuh 15 menit, kin
“Dara, bangun!” Aksa berlari kencang menaiki anak tangga berusaha menangkap Dara agar tidak menggelinding sampai dasar tangga di lantai satu. Ia berhasil menangkap Dara yang tepat di pertengahan tangga antara lantai satu dan dua. Tak sempat lagi memikirkan Salim juga Bambang yang berteriak ketika melihatnya masuk rumah, Aksa menggendong Dara yang lemas. Ia bergegas membawa Dara turun. Melompati beberapa anak tangga sekaligus agar cepat sampai di lantai bawah. Aksa berhenti di depan pintu masuk. Melihat deretan mobil yang terparkir di halaman depan, ia memilih mobil milik Bambang. Menunggu taksi akan memakan waktu! “Hei, mau kamu bawa kemana putriku?” Bambang menarik tangan Aksa yang baru saja membaringkan Dara di kursi belakang. “Kamu mau menculik Dara, ya?” teriak pria tua itu lagi. Ia menarik tangan Aksa memaksa pria itu menoleh melihatnya. “Membawanya ke rumah sakit!” Aksa membalas dengan teriakan. Melampiaskan kemarahannya karena Bambang diam saja saat Dara diperlakukan b
“Seharusnya kau sudah bisa menebak!” Dewa keluar dari ruang kerja Sonya setelah menjawab Aksa. Wajah arogan dan berkharismanya tidak luntur meski bayang-bayang kejadian 30 tahun lalu kembali melintas di benaknya.Aksa masih berdiri di tempatnya walau pintu sudah kembali tertutup. Ia menatap Alan, kemudian bertanya, “Bagaimana menurutmu, Al?”Alan mengangkat pundak. “Kita berdua tahu bagaimana cara kerja tuan besar, Tuan muda. Seharusnya anda sudah bisa menebak.” Alan mengulang perkataan Dewa.Ya, Aksa bisa membayangkan apa yang papanya lakukan kepada keluarga Hartawan. Apa karena itu ibunya selama ini menghilang dan tidak pernah berusaha untuk menemuinya?Lagi-lagi Aksa dihadapkan pada pertanyaan yang hanya Dewa Mahardika yang tahu jawabannya.Alan mulai melakukan tugasnya. Ia menangkat interkom dan memanggil beberapa orang untuk melakukan investigasi internal sesuai dengan perintah tuan Dewa.Tidak butuh waktu lama, mulai dari satpam sampai perwakilan divisi terkait masuk ke ruang k
“Jelaskan padaku tentang proyek itu, Son.” Tatapan dingin Dewa seakan menembus jantung Aksa. Pria itu memang bicara kepada Sonya namun pandangan matanya mengarah pada Aksa.Tidak mendengar suara Sonya yang seharusnya menjawab pertanyaan, Dewa mengalihkan tatapannya kepada manajer marketing Maha Group.“Sonya?” Suara dingin Dewa kembali terdengar membuat si empunya nama merinding.Sonya terhenyak kaget. Ia mendongak menatap Dewa sejenak lalu memalingkan wajahnya melihat Aksa meminta bantuan.Rupanya Dewa mengerti maksud dari tatapan Sonya. Pria itu menyandarkan punggungnya lalu berkata, “Aku mau jawaban darimu, Sonya! Bukan anak ingusan itu!” Sonya kembali dibuat kaget dengan permintaan sang pemilik perusahaan. Sejak Dimas memegang kendali Maha Group, Dewa tidak pernah lagi mencampuri urusan perusahaan.Tapi kali ini, Dewa Mahardika pebisnis legenda kembali turun gunung. Terjun langsung menangani perusahaannya.“O —om, itu….”“Ini di kantor, Sonya. Bersikaplah profesional. Kau meman
“Bagaimana dengan Salim?” tanya Aksa yang baru saja memenangkan tender pertamanya untuk Maha Group.Pria itu melonggarkan dari dan membuka dua kancing kemejanya. Membiarkan dinginnya AC mobil mendinginkan tubuhnya.Bukannya menjawab, Alan malah terkekeh. Ia memutar kunci mobil sambil membayangkan apa yang Salim alami saat ini.“Rencana tuan muda memang selalu terbaik. Aku yakin saat ini Salim Dirga sedang kerepotan. Tuan mau pesan cakaran atau tamparan?” Aksa berdecak tetapi tidak menjawab pertanyaan sarkas Alan. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Tiba-tiba ia merindukan Dara.Wanita itu selalu bisa menghilangkan lelahnya seperti saat pertama kali ia bekerja sebagai porter.****“Kenapa kita berhenti disini?” Salim mencondongkan tubuhnya ke depan agar bisa melihat apa yang membuat mobilnya berhenti.Mobil mewah miliknya bahkan belum keluar dari pagar. Pria yang selalu berpenampilan rapi ini melirik jam tangan miliaran yang melingkat di lengannya. “Maaf, Tuan, saya tidak b
Tin! Tin tin! “Siapa, sih?! Malam-malam gini masih berisik aja!” Agnes mundur satu langkah. Ia mematikan lampu dan menutup ruang kerja suaminya. Sambil menggerutu, keluar dan berteriak kepada satpam dari pintu depan. Kesempatan ini digunakan Aksa untuk keluar dari ruang kerja. Sama seperti saat masuk tadi, Aksa juga keluar lewat jendela. Berlari di bawah bayangan dinding dan keluar melalui pintu samping. Aksa menunggu beberapa saat di bawah pohon. Tak lama ia melihat dua cahaya bulat dari lampu depan mobil perlahan mendekat. “Tuan muda, ayo!” Alan membukakan pintu dan Aksa segera masuk. Untung saja tadi ia sempat menghubungi Alan. Asistennya itu melakukan pengalihan perhatian dengan sangat baik. Aksa melepas penutup wajahnya. Menurunkan resleting jaket hitam yang ia kenakan lalu menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat setelah mengetahui kenyataan. Satu hembusan nafas kasar keluar dari bibir Aksa. Ia mengusap wajahnya lalu ber-hah seperti sedang membuang bebannya.
“Rasanya nama ini tidak asing,” gumam Aksa saat melihat nama di batu nisan putih milik ibu Aksa.Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal mencoba mengingat nama Dona Arum. Ia sangat yakin pernah mendengar nama itu.“Papa ngapain ke sini, ya?” Aksa kembali bermonolog.Bunga lili segar tersandar di batu nisan ibu Aksa. Bunga lili yang dibawa oleh Dewa Mahardika.Makan Dona sudah bersih. Bunga tabur menutupi tanah yang basah setelah disiram oleh air oleh Dewa.Aksa semakin penasaran apa hubunganpapanya dengan ibu Aksa.Ia jongkok disisi tanah makam. Mengusap batu nisan putih sambil terus berusaha mengingat nama itu.Aksa menaburkan bunga yang ia bawa. Memanjatkan doa sebisanya karena ia bukan pria yang religius.Merasa cukup berada di sana, Aksa memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia menghampiri rumah kecil yang letaknya tidak jauh dari makam. “Mas ini lucu, makam ibunya sendiri kok lupa!” serunya ketika Aksa kembali. “Ketemu, kan makamnya?” tanyanya lagi. Ia mempersilahkan Aksa duduk d